Kamis, 03 Oktober 2019

Kades dari Lembata Studi Banding Sorgum di Jatim



Dua pekan lalu ada rombongan kepala desa, sekdes, dan BPD dari tiga desa di Lembata, NTT, studi banding di Jawa Timur. Mereka belajar budidaya sorgum di Lamongan, buah naga di Banyuwangi, dan tata kelola wisata pantai di Banyuwangi. Mungkin baru kali pertama kades-kades di Lembata pigi studi banding sekaligus jalan-jalan.

"Banyak hal yang bisa kita pelajari di Jawa. Orang Jawa sangat kreatif dan maju," kata Kades Mawa Napasabok Patrisius Gawi Manuk kepada saya saat ngopi di Hotel Neo Sidoarjo, Jalan Raya Waru.

Kades Gawi didampingi Kades Lamawara Ama Moses dan Kades Bungamuda Ama Berni. Selama satu minggu mereka pesiar, cuci mata, dan mencoba menyerap ilmu dari orang Lamongan dan Banyuwangi. Juga menikmati keramaian dan kemacetan Surabaya dan Sidoarjo. Malamnya melihat Jembatan Suramadu yang menghubungan Pulau Jawa dan Madura itu.

Sorgum bukanlah tanaman yang asing di Lembata dan Flores Timur, NTT. Saat anak-anak di kampung, saya biasa menikmati makanan olahan sorgum yang lezat. Sorgum juga ditanam sebagai selingan jagung. 

Kalau jagung disebut WATA dalam bahasa Lamaholot, sorgum disebut WATA HOLOT. Maka bumi Lamaholot bisa diartikan sebagai Kampung Sorgum. (Lama artinya kampung atau wilayah.)  

Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Wata holot alias sorgum itu lama-lama hilang. Tinggal wata (jagung) biasa. Jagung pun makin terdesak oleh raskin alias beras untuk warga miskin. Maka orang Lembata di desa-desa pun makin kecanduan makan nasi putih. Saat mudik di kampung halaman, saya sangat kesulitan mendapatkan nasi jagung. 

Aneh! Sebab tanah di Lembata lebih cocok untuk jagung dan jagung cantel alias sorgum ini. Saya hanya melihat sedikit sorgum di sebuah pondok di Parek, ladang utama orang Ile Ape di kawasan Lembata Utara, dekat Laut Flores.

Rupanya beberapa tahun terakhir ada gerakan untuk kembali menanam sorgum. Dibuat beberapa kebun contoh di NTT. Orang Lembata yang sudah puluhan tahun lupa wata holot pun teringat nenek moyangnya.

 Oh, dulu banyak wata holot di kampung! Tapi hilang karena tidak dibudidayakan. Dianggap makanan yang kelasnya lebih rendah daripada beras. Makan beras lebih bergengsi. Macam pejabat, PNS, atau orang Jawa yang dianggap hebat-hebat.

Apa hasil studi banding sorgum itu? Banyak, kata tiga kades yang masih punya hubungan kekerabatan dengan saya. "Tanam sorgum perlu serius. Bukan lagi selingan, tapi tanaman utama," kata Ama Gawi.

Begitu juga buah naga yang sudah mulai dikenal di Lembata. Selama ini orang Lembata hanya fokus ke jagung. Tanaman-tanaman lain hanya selingan. "Kami akan coba di Parek Walang," kata Ama Gawi.

Yang menarik adalah pengolahan pascapanen. Sorgum bisa diolah menjadi aneka ragam makanan. Dan bisa dijadikan uang.

Malam makin larut. Obrolan di kafe Hotel Neo+ itu pun berlanjut dengan pengelolaan wisata pantai di Banyuwangi. Pantainya sih biasa saja. Pantai dan laut di Lembata jauh lebih bersih dan eksotis. Tapi belum digarap sebagai objek wisata yang menarik.

Ama Gawi bilang saat ini Desa Mawa Napasabok sudah merintis Pantai Eler. Biar keren disebut Eler Beach. Pantai di pinggir desa ini punya pemandangan yang eksotik. "Bisa untuk uji nyali," kata kades yang juga Opu Lake ini.

Kades Gawi Manuk mengaku sudah punya konsep untuk mengembangkan wisata pantai. Apalagi ia sudah dapat inspirasi dari Banyuwangi. Ke depan Eler Beach bakal jadi salah satu destinasi unggulan di Kabupaten Lembata.

Uangnya dari mana? "Kan ada dana desa. Dana dari Jokowi itu akan kita pakai untuk pembangunan fisik. Salah satunya Pantai Eler," katanya.

Malam makin larut. Obrolan makin asyik. Sayang, malam itu rombongan kades, sekdes, dan BPD itu harus ngelencer ke Surabaya dan Sidoarjo. Kapan lagi? Sebab besok harus kembali ke NTT.

5 komentar:

  1. Sorgum atau jewawut di Tiongkok disebut Xiao-mi (小米), sedangkan beras disana disebut Da-mi (大米). Tetapi jaman sekarang orang China tahunya Xiao-mi adalah merek handphone.
    Saran kepada bapak2 dari Lembata, kalau mau studi banding tentang budidaya dan pengolahan sorgum, bukan-nya di Lamongan tempatnya, melainkan di Guizhou/Tiongkok tepatnya. Sebab orang Jawa tidak makan Jewawut, paling2 mereka menggunakan jewawut untuk pakan manuk perkutut, puter dan derkuku. Sedangkan di Guizhou masih banyak makanan yang dibuat dari jewawut.
    Produk jewawut yang paling terkenal dari Guizhou adalah arak Maotai, yang harganya selangit.
    Memproduksi suatu barang tidak terlalu susah, tetapi yang susah adalah pengolahan dan pemasarannya.
    Lamongan terkenalnya, tahu-campur, soto, goa Maharani dan Tanjung Kodok.
    Jalan2 ke Guizhou pastilah lebih menyenangkan bagi bapak2 dari Lembata. Pak Dahlan Iskan bisa dimohon untuk sudi menjadi pemandu wisata dan penterjemah. Kalau instansi resmi Lembata menulis surat ke Konjen Pak Gu Kucing, mungkin studi-bandingnya malah bisa gratis, ditanggung semuanya oleh pemerintah Tiongkok.

    BalasHapus
  2. Haiya.. kamsia sudah kasih masukan yg bagus. Ada sorgum, ada jewawut. Tempo doeloe banyak ditanam di Lembata. Tapi lama2 tidak ditanam lagi. Ada juga padi hitam yg masih ditanam. Varietas padi lahan kering alias ladang.

    Mr Yu Shegan alias Dahlan Iskan waktu jadi menteri BUMN sangat getol anjurkan petani menanam sorgum. Dia kampanye bahwa sorgum itu sangat bermanfaat dan laku. Mulai batang, daun hingga buahnya. Mr Yu juga paksa bumn untuk membeli sorgum yg ditanam petani2 itu.

    Tapi ya itu... hasilnya tidak seindah yg dijanjikan. Banyak petani kecewa karena sorgumnya tidak laku. Padahal mereka sudah kadung tidak nanam jagung dsb.

    Apalagi setelah beliau tidak jadi menteri ya kebijakan pro sorgum ini tidak berlanjut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mr Yu Shegan alias Dahlan Iskan.
      Saya, cina-bali, belajar bahasa Mandarin dari seorang Guru, orang pribumi Bali Asli, yang bernama Bapak Guru
      Ie Tjong Sien. Siapa sebenarnya nama Beliau dalam bahasa Bali, saya sungguh tidak tahu.
      Teman sekelas saya di sekolah THHK Denpasar juga ada orang pribumi Bali asli yang pakai nama Ie Lui Tek, nama Bali asli-nya baru saya kenal, setelah kita duduk sekelas lagi di SR-Negeri, kelas 5 sampai kelas 6, yaitu I Wayan Letter. Karena sudah biasa memanggilnya dengan nama Lui-tek, maka kami anak2 tionghoa tetap memanggilnya dengan nama itu, hanya Ibu-guru yang memanggilnya Letter.
      Ada juga kala itu, seorang teman wanita sekelas , bahkan saya duduk sebangku dengan-nya, orang pribumi Bugis, yang diberi nama chinese, Gu Ai-ni. Bapaknya seorang tentara yang dimutasi dari Makassar ke Denpasar. Karena awal tahun 50-an, orang Bali jarang yang mampu berbahasa melayu, maka oleh sang ayah, puteri-nya disekolahkan ke sekolah THHK. Sejak 1955 tidak pernah berjumpa dengan Ai-ni, sedangkan terachir ketemu Lui-tek tahun 1960.
      Siapa nama asli-nya Gu Ai-ni, saya juga tidak tahu.

      Hapus
    2. Halo sian seng, saya mau tanya dkpd sianseng, THHK Denpasar sekarang jadi gedung apa ya? Apakah masih ada? Kamsia sianseng

      Hapus
  3. Lamongan jadi daerah percontohan sorgum yg dinilai berhasil. Makanya sering dijadikan tempat studi banding. Tapi tetap aneh karena mestinya yg paling jago nanam sorgum itu orang NTT khususnya Lamaholot alias Lomblen dan Flores Timur.

    Wolak walik jaman. Belajar sorgum malah ke Lamongan Jatim yg masyarakatnya punya tradisi budidaya padi sejak zaman Dewi Sri.

    Bagus banget kalau Pak Kucing mau bantu petani2 Lembata kembangkan sorgum untuk dijadikan Mr Wang alias Rupiah. Apalagi Konjen Tiongkok di Surabaya itu wilayahnya termasuk Bali, NTT, NTB. Bisa pigi melancong ke daerah Guizhou yg ciamik itu.

    BalasHapus