Sabtu, 25 Desember 2021
Ayas Mampir ke Koopen Ngalam, Salut Sam Ngopi
Misa Natal di Surabaya dan Larantuka - Tak Ada Pesta Lagi
Misa hari raya ini sepi sendiri. Cukup duduk di depan laptop atau HP. Tidak perlu pakai baju batik atau kemeja baru. Saya hanya pakai kaos Liverpool dan bawahan sarung. Baik misa Vigili Natal dari Katedral Surabaya, Jumat (24/12), dan misa Fajar Natal, Sabtu (25/12), dari Katedral Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, NTT.
Teknologi komunikasi, era digital, membuat kita bisa sangat fleksibel. Termasuk dalam urusan ibadah atau liturgi. Bisa memilih misa yang singkat, bahkan super padat di bawah 30 menit, atau misa yang super lama ala High Latin Mass di internet.
Misa Malam Natal di Katedral Surabaya dipimpin Uskup Surabaya Mgr Vencentius Sutikno Wisaksono. Beliau ini tipe gembala yang efisien, tidak suka bertele-tele. Dan cenderung ke gregorian. "Kita tidak perlu yang dahsyat-dashyat, pakai band, jingkrak-jingkrak," katanya beberapa kali.
Lagu ordinarium misa malam Natal di Surabaya ini memang pakai Gregorian. Misa VIII atau de Angelis yang terkenal itu. Saya hafal karena pernah jadi misdinar saat remaja. Juga pernah jadi dirigen kor kelas lingkungan dan mudika tempo doeloe. Padahal, saya tidak bisa baca not balok. Hanya bisa not angka.
Yang menarik, sebelum misa, ada penampilan Ervinna, penyanyi senior asal Surabaya. Mbak Ervinna membawakan lagu O, Holy Night dalam bahasa Inggris. Meski sudah senior dan jarang muncul ke publik, suara Ervinna masih oke. Pernapasannya pun masih terjaga.
Bapa Uskup Sutikno dalam homilinya menekankan kesederhaan Natal. Apalagi di tengah pandemi. Kita dipaksa dan terpaksa merayakan ekaristi dengan berbagai prokes, protokol kesehatan, selama dua tahun. Namun, menurut Bapa Uskup, tidak boleh menghilangkan sukacita kedatangan Sang Immanuel.
Sabtu, 25 Desember 2021. Pagi-pagi sudah live streaming misa dari Katedral Larantuka. Beda waktu satu jam dengan Surabaya. Karena itu, gereja-gereja di Surabaya belum mulai misa. Kalau mau nggowes pagi, sebaiknya ikut misa daring dari Papua atau Australia. Sebab, misa Natal di Jawa umumnya di atas 09.00.
Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kur yang pimpin misa di Katedral Larantuka. Ada PPKM juga tapi tidak seketat di Jawa kelihatannya. Anggota paduan suara di Flores kelihatannya lengkap, tidak pakai masker, seperti kondisi normal. Beda dengan di Surabaya yang cuma beberapa penyanyi saja.
Kualitas kor di NTT tidak terlalu istimewa. Tapi semangat menyanyi dan memuji Tuhan sangat tinggi. Volume suara mereka selalu keras. Istilah musiknya: forte dan fortessimo. Jarang ada piano dan pianossimo. Karena itu, sulit menang kalau ikut lomba paduan suara tingkat nasional.
Dinamika dan ekspresi itu penting. Menyanyi itu ada halus kasar, keras lembut, cepat, lambat, largo, accelerando, largato dan sebagainya. Saya paham ini semua ya setelah hijrah ke Jawa dan ikut paduan suara yang baek dan bener.
Ada satu lagu lama Natal yang sudah jarang saya dengar. Transeamus! Paduan suara di Larantuka membawakan dengan semangat dan gembira. Transeamus, usque Bethlehem, et videamus hoq verbum quod factum est!
Lagu ini tingkat kesulitannya cukup tinggi. Ada kejar-kejaran ala kanon. Sopran, alto, tenor, bas punya part sendiri-sendiri. Beda dengan Malam Kudus atau Adeste Videles yang homofoni. Salut untuk saudara-saudari di Larantuka yang tetap semangat merayakan Natal di tengah pandemi.
Bagi warga Keuskupan Larantuka di perantauan macam saya, Gereja Katedral Larantuka ini punya keunikan dan keunggulan tersendiri. Mungkin inilah satu-satunya gereja peninggalan Portugis yang masih ada di Indonesia. Beda dengan gereja-gereja tua di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain yang didirikan kolonial Belanda.
Kerajaan Larantuka juga satu-satunya kerajaan Katolik di Nusantara di masa lalu. Karena itu, Raja Larantuka menjadi pelindung gereja tua di kawasan Postoh, Larantuka, itu. Raja Diaz Viera Godindho (DVG) dan keturunannya juga yang menjaga tradisi prosesi Semana Santa selama Pekan Suci Paskah. Ini tidak ada di tempat-tempat lain di Nusantara.
Suasana di Gereja Katedral Larantuka itu praktis masih sama seperti yang saya lihat 30-40 tahun lalu. Bedanya cuma tidak ada lagi organ pipa. Dulu, ketika saya dapat giliran jadi misdidar saat SMP, masih ada organ atau orgel pipa yang megah di balkon belakang. Organis paling top adalah Ama Anton Kedang.
Sepeninggal Anton Kedang, mulai beralih ke organ elektrik seperti di mana-mana gereja. Dan, memang sangat sulit menemukan pemain organ pipa di kalangan generasi muda. Di Jawa yang hebat sekalipun sangat jarang saya temukan pemain organ pipa.
Apalagi dengan gerakan inkulturasi musik liturgi yang sangat intensif pada tahun 1980-an dan 1990-an, dengan buku Madah Bakti, maka otomatis orgel pipa tidak cocok untuk mengiringi lagu-lagu bercorak etnik seperti Sembahan Sudra, Tenang-Tenang Mendayung, Kenanga Bunga Utusan, Di Relung Gunung-Gunung, Ingin Kami Sesaji Sembah, atau Misa Dolo-Dolo yang notabene berasal dari Flores Timur alias Keuskupan Larantuka itu.
"Selamat Pesta Natal," kata Bapa Uskup Frans Kopong di akhir misa.
Selamat Natal... tanpa pesta... karena masih pandemi.
Semoga tahun depan Natal kembali dipestakan, potong sapi, potong babi, potong kambing, makan bersama seperti tradisi di kampung-kampung di Flores Timur dan Lembata.
Kamis, 23 Desember 2021
Natal super sederhana di tahun kedua pandemi Covid-19
Maka, pembatasan sosial yang dikenal dengan PPKM, PSBB, atau apa pun namanya tetap berlaku. Masyarakat dilarang bepergian ke mana-mana. Tidak boleh libur ke luar kota. Tidak boleh kumpul-kumpul. Jaga jarak. Pakai masker dsb dsb.
Bagaimana dengan misa Natal? Sama saja. Boleh tapi dibatasi. Jemaat yang boleh ikut misa langsung di gereja cuma 25 persen atau 30 persen. Pakai macam-macam protokol kesehatan yang ketat. Prokes-prokes ini bikin bosan saking seringnya disebut selama dua tahun terakhir.
Kamis Pon, 23 Desember 2021. Saya mampir ke Gereja Roh Kudus di Perumahan Purimas, Gunung Anyar, Surabaya. Mau lihat suasana jelang misa Natal. Dekorasi gereja, kesibukan umat, dan sebagainya.
Sayang sekali, suasananya masih muram. Seakan-akan tidak ada perayaan ekaristi besar atau misa raya Natal. Suasananya mirip hari biasa. Bahkan lebih muram. Tidak ada orang di halaman gereja. Kecuali dua orang satpam.
Syukurlah, saya masih diizinkan masuk ke Taman Doa yang ada Gua Maria. Sekalian doa rosario satu peristiwa saja. Rosario yang normal harus lima peristiwa. Sembahyang lama-lama pun khawatir melanggar protokol kesehatan.
Dari Gua Maria saya cuma melihat dekorasi sederhana di depan pintu gereja yang tertutup rapat. Hanya itu yang menunjukkan bakal ada ekaristi Natal di Gereja Roh Kudus.
Suasana Natal yang meriah, mirip pesta rakyat, khususnya di NTT, tak ada lagi gara-gara serangan Covid-19. Tak terdengar lagu-lagu Natal dari paduan suara atau pengeras suara. Semuanya hening dalam kegelapan pandemi corona.
Suasana yang muram ini malah mirip suasana Natal di kitab suci. Bayi Yesus hanya ditemani Yosef dan Maria di kandang sederhana di Bethlehem. Tak ada dekorasi. Tak ada kemeriahan, apalagi kemewahan, seperti yang biasa kita lihat di pusat belanja, hotel, dan gereja-gereja sebelum pandemi.
Covid-19 ini punya blessing in disguise. Kita jadi kembali sederhana. Simplicity in everything. Misa Natal yang biasanya berlangsung selama dua jam kini dipangkas paling lama satu jam. Bahkan, misa-misa di USA malah tidak sampai 30 menit.
Selamat Natal!
Semua makhluk berbahagia!
Pastoran Baru di Paroki Roh Kudus Surabaya
Karena itu, saya agak pangling ketika mampir di Gereja Roh Kudus, kawasan Purimas, Gunung Anyar, Surabaya, Kamis (23/12) pagi. Sambil istirahat setelah nggowes sepeda pancak agak jauh. Melihat-lihat kondisi gereja menjelang Natal.
"Romo-romo mau boyongan," kata petugas keamanan asal Timor.
Ke mana? "Ke pastoran yang baru."
Pastoran baru itu terpisah agak jauh dari bangunan gereja. Tepatnya di pojok parkiran. Cukup megah. Rupanya sudah diberkati bulan lalu. Tapi baru ditempati hari ini, Kamis Pon 23 Desember 2012.
Kapan bancakan? Seorang bapak, aktivis gereja, tertawa kecil. Pemberkatan itu dianggap bancakan. Tinggal ditempati saja.
Saya lihat Pater Yoseph Jaga Dawan SVD sedang membawa tasnya ke pastoran baru. Kelihatannya sibuk. Tak bagus kalau diganggu. Pastor ini berasal dari Flores Timur. Tepatnya Desa Lamawalang, dekat Larantuka.
Pastor parokinya Pater Dominicus Udjan SVD asal Pulau Lembata, NTT. Cocok sudah! Ditambah rama praja dan pater Soverdi dari Jawa.
Paroki Roh Kudus termasuk paroki baru di kawasan Surabaya Timur, dekat perbatasan Kabupaten Sidoarjo. Pastoran lama memang kurang luas. Jadi satu dengan sekretariat paroki, balai paroki, kelihatan sempit. Karena itu, pastoran yang baru ini memang sangat layak untuk paroki yang pater-paternya kebanyakan SVD sejak awal diresmikan itu.
Semoga pater-pater lebih kerasan dan semangat melayani para domba setelah menempati rumah baru.
Rabu, 17 November 2021
Warung Langgananku di Jolotundo Ditimpa Pohon Tumbang, Mas Riyan Meninggal
Selasa, 09 November 2021
Wang Yaping Jalan-Jalan ke Istana Surga
Senin, 08 November 2021
Car Free Day Hil yang Mustahal
Sabtu, 06 November 2021
Teman lama jadi romo, sungkan ngaku dosa
Kamis, 04 November 2021
Vaksin alon-alon waton kelakon
Selasa, 02 November 2021
Kita perlu menerima dos penggalak
Sabtu, 30 Oktober 2021
Makan Singkong Rebus, Nostalgia Bioskop Tempo Doeloe di Kawasan Pabean
Kamis, 28 Oktober 2021
Nostalgia Alumni Graffiti SMAN 1 Malang
Selasa, 26 Oktober 2021
Naik kapal terbang harus tas-tes-tos PCR mahal
Senin, 25 Oktober 2021
Syukurlah, koran masih laris!
Minggu, 10 Oktober 2021
Gregorius Soeharsojo Goenito berangkat menemui Tuhan sumber gembira
Protokol kesehatan itu memang baik untuk mengatasi wabah korona. Tapi di sisi lain kita kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan teman, kerabat, kenalan, atau orang dekat.
Eh, tiba-tiba muncul kabar dukacita. Mas X sudah nggak ada. Bapak Y sampun kepundut. Innalilahi...
Sudah satu tahun ini saya tidak mampir ke rumah
di kawasan Beringinbendo, Taman, Sidoarjo. Pria kelahiran 10 Februari 1936 itu seniman serbabisa yang dulu dibuang di Pulau Buru gara-gara aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Pak Greg dipenjara beberapa kali. Terakhir di Nusa Kambangan. Kemudian dibawa ke Pulau Buru. Banyak sekali cerita-cerita menarik yang disampaikan Pak Greg tentang pengalaman di Buru. "Puji Tuhan, kita orang masih dikasih napas oleh Tuhan. Sementara Pak Harto sudah lebih dulu dipanggil Tuhan," kata Pak Greg lantas tertawa kecil.
Musik, puisi, melukis, deklamasi... tak pernah lepas dari Greg Soeharsojo. Selama di Pulau Buru pun ia tetap berkarya. Bikin sketsa para tahanan politik yang kerja di sawah, babat alas, ngopi sambil diskusi, hingga terpaksa makan tikus untuk menambah protein.
"Tikus itu biasa dimakan mentah," kata Greg.
Seniman yang tempo dooeloe belajar di Balai Pemuda Surabaya itu tak lupa mengabadikan adegan para tahanan Pulau Buru makan tikus itu dalam salah satu karya sketsanya. Jadi guyonan pahit.
"Yah.. namanya juga tahanan ya rekoso. Yang penting, kita orang masih hidup to. Tuhan Allah masih piara kita," kata kakek yang selalu riang itu.
Pak Greg selalu menirukan gaya bahasa Melayu pasaran ala Pulau Baru, Maluku, setiap kali bertemu saya. Mengenang masa-masa pembuangan yang pahit. Logat Maluku masih bagus meski sudah lama jadi orang bebas di Jawa dengan bonus kode ET di kartu tanda penduduknya.
Akhir September atau awal Oktober biasanya saya mampir ke rumah Greg Soeharsojo. Pancing dia bicara tentang G30S, Pancasila sakti, pembuangan sekitar 15 ribu tahanan politik ke Pulau Buru karena dianggap simpatisan kelompok kiri.
Diskusinya ringan-ringan saja. Lebih banyak guyon. Pak Greg yang juga seniman biola itu kadang saya minta menyanyikan lagu Nasakom Bersatu yang menggelegar itu. Karya Subronto Kusumo Armodjo, komponis hebat yang juga dibuang di Pulau Buru.
"Pak Subronto itu guru musik saya. Beliau komponis yang luar biasa. Juga pakar paduan suara. Beliau yang mengajar kami cara jadi dirigen paduan suara yang benar. Harus tegas, berwibawa, mantap. Jangan lembek tangannya kayak orang usir nyamuk," kata Greg tentang Subronto.
Coba Pak Greg kasih contoh. Maka, Greg pun bernyanyi sambil membirama layaknya dirigen paduan suara besar. "Nasakom bersatu.. singkirkan kepala batu...," begitu antara lain syair Mars Nasakom Bersatu.
Luar biasa, Pak Greg. Masih segar ingatannya tentang seluk beluk remeh temeh di Pulau Buru. Ia juga mencatat syair lagu-lagu lama, khususnya seriosa di buku catatannya. Salah satunya Malam Indah yang memang indah. Orang yang pernah belajar seriosa pasti hafal lagu itu.
Akhir September lalu saya ingin sekali mampir di rumah Pak Greg meski masih ada larangan berkunjung ke rumah lansia. Sebetulnya saya sering melintas di atas jalan layang Trosobo. Rumah Pak Greg kelihatan dari atas flyover itu. Tapi saya tidak berani mampir karena... Mbak Corona itu tadi.
Kali ini saya nekat aja mampir. Pakai masker ganda, jaga prokes. Toh pandemi covid sudah melandai.
Oh, Tuhan... Bapa Gregorius Soeharsojo sudah tak ada lagi di dunia. Pergi menghadap Bapa di surga.
"Bapa meninggal bukan karena covid tapi penyakit yang lain. Sudah lama sakit sih," kata putrinya.
Kelu lidah saya. Saya tidak bisa berkata apa-apa selain memanjatkan doa pendek. Semoga Pak Greg berbahagia bersama-Nya.
Kali terakhir bertemu kondisi Pak Greg memang kurang segar. Tidak sekuat ketika istrinya masih hidup. Setelah sang istri berpulang, sebelum pandemi covid, kesehatan beliau memang menurun. Lebih banyak diam dan merenung.
Namun, Pak Greg saat itu tiba-tiba antusias menyanyikan lagu gereja lama dari buku Madah Bakti: Tuhan Sumber Gembiraku.
"Semua bunga ikut bernyanyi, gembira hatiku
Segala rumput pun riang ria
Tuhan sumber gembiraku."
Saya dan Pak Greg pun bersama-sama menyanyikan lagu yang dulu memang sangat populer di Gereja Katolik itu. Rupanya inilah nyanyian terakhir Pak Greg sebelum berangkat menemui Tuhan, sumber sukacita dan kegembiraan itu.
Selamat jalan, Pak Greg!
Matur sembah nuwun!
Rabu, 06 Oktober 2021
Tahlil untuk Mas Andri dan Prof Trijono Ayahnya
Senin, 04 Oktober 2021
Terlalu banyak berita kematian, tapi mau bagaimana lagi?
Tidak terasa sudah bulan Oktober. PPKM atau pembatasan sosial masih berlaku. Protokol kesehatan, jaga jarak, pakai masker, cuci tangan pakai sabun.. tetap diserukan pemerintah.
Pasien-pasien covid masih ada meski tak sebanyak pertengahan Juni, Juli (paling parah), kemudian Agustus, dan September (mulai melandai).
Terlalu banyak kematian orang-orang dekat membuat aku makin sering merenung. Kabur ke hutan, baca renungan di ponsel, dengar kata-kata bijak yang disimpan di YouTube online.
Bahwa sang maut selalu datang kapan saja. Bagaikan pencuri yang sulit ditebak. Maka, berjaga-jagalah, berjaga-jagalah... Kata-kata ini pun makin sering disuarakan para gembala di gereja-gereja yang kosong. Kita orang cukup ikut misa daring via live streaming.
Gara-gara terlalu sering merenung, menyingkir ke hutan, khususnya di kawasan Trawas, aku makin jarang menulis untuk blog. Oktober ini sepi catatan. Bukan apa-apa. Kalau ditulis pun yah.. jatuhnya ke obituari juga. Cerita tentang orang-orang dekat yang berpulang.
Berita kematian, kematian, kematian.. akibat virus korona jadi tema utama selama pandemi yang jelang dua tahun. Berita yang sifatnya senang-senang, hura-hura, main-main makin jauh. Pahit memang.
Tidak menarik kalau setiap hari kita orang menulis tentang orang mati. RIP terus. Bolak-balik muncul frase "Innalilahi wa inna ilahi raji'un". Tapi mau bagaimana lagi?
Semoga pandemi ini cepat berlalu agar kehidupan ini bisa kita rayakan lagi!
Senin, 27 September 2021
Mukjizat Yesti Rambu! PRT Asal Sumba Jadi Sarjana Matematika
Sabtu, 25 September 2021
Pelajaran Disiplin Waktu dari Prof Sahetapy
Sabtu, 11 September 2021
Menyambangi Tante Yuyun di Kelenteng Bangkalan
Kamis, 02 September 2021
Njamoek Pers, Koeli Tinta, Kuli Kalimas
Wartawan juga sering diumpamakan watch dog. Anjing penjaga yang menggonggong keras ketika ada orang tak dikenal atau mencurigakan punya niat jahat. Watch dog ini penting agar orang tidak kebablasan.
Sebelum nyolong, si maling sudah dicokot sama si asoe. Malingnya ketahuan tapi barang-barang tidak sampai hilang dicuri.
Di Surabaya Raya ini sering sekali terjadi pencurian sepeda motor, sepeda pantjal, dan burung kicauan. Malingnya terekam kamera pengawas atau CCTV - bagi yang punya. Tapi kadang maling-maling ini terus berkeliaran. Ditangkap kalau sedang apes saja.
Kembali ke pers atau media massa.
Istilah koeli tinta kemudian diganti kuli disket. Sebab saat itu wartawan ke mana-mana bawa disket untuk simpan data. Maklum, belum ada USB yang bisa menyimpan hingga giga bita.
Lalu datanglah ponsel pintar, smartphone. Data digital bisa disimpan dengan mudah dan banyaaaaak... unlimited.
Istilah kuli tinta, kuli disket, kuli USB, apalagi njamoek pers, otomatis hilang. Tak ada lagi istilah khusus untuk wartawan, reporter, jurnalis, pewarta, pemberita dan sebagainya. Apalagi saat ini semua orang bisa bikin berita di media sosial, blog, dsb.
Tapi saya masih sering pakai istilah "kuli tinta" sekadar guyon. Atau menyamarkan diri biar tidak ketahuan sebagai njamoek pers.
"Sampean kerja di mana?" tanya Ning Sih, pemilik warung di Rungkut Menanggal.
"Di daerah Kalimas sana."
"Tanjung Perak?"
"Yah.. dekat pelabuhan itulah," jawabku enteng.
Kantor saya memang di pinggir Sungai Kalimas. Tidak jauh dari Pelabuhan Kalimas. Dekat Tanjung Perak memang.
"Sampean bagian apa di Kalimas?"
"Bagian kuli tinta aja," kata saya enteng. Kata "tinta" saya rendahkan. Sehingga yang terdengar hanya kuli di Kalimas.
Begitulah. Selama empat atau lima tahun ini Ning Sih mengenal aku sebagai kuli di Kalimas. Tukang angkat barang di pelabuhan tua di muara Sungai Kalimas tersebut.
Karena itu, Ning Sih ini selalu heran melihat saya begitu rajin baca koran di warungnya. Saya baca detail, khususnya berita-berita kota. "Lapo awakmu kok doyan moco koran kayak wong pinter ae," ujar ibu yang senang guyon ini.
"Iku tukang becak yo moco koran ben gak ketinggalan berita. Tukang rombeng iku yo doyan koran," kata saya merujuk beberapa pelanggan warungnya.
Pagi tadi saya mampir lagi di warkopnya Ning Sih sehabis nggowes dari kawasan tambak sekitar Bandara Juanda. Baca koran Jawa Pos, seperti biasa, lalu mulai main HP. Bukan main-main game atau media sosial, tapi unggah konten.
Salah satu tugas saya memang upload berita-berita di laman atau website. Sedikitnya 10-15 naskah sehari. Kelihatannya gampang tapi jelimet. Apalagi upload pakai HP. Beda kalau pakai komputer atau laptop yang lebih cepat dan enak.
Ning Sih melihat saya terlalu sibuk main HP. Tidak ikut nimbrung guyon bersama jemaah warkop lainnya. "Ngapaian sampean itu? Kok senang main medsos kayak arek nom ae," katanya.
"Ini lagi kerja Mbak. Rada ruwet ini."
"Halah... kerja di Kalimas aja kok gayanya serius banget," semprot Ning Sih lagi.
Hehehe... Memang susah jadi kuli pelabuhan, kuli bangunan, kuli tinta, dan kuli apa saja.
Bung Karno tidak mau kita orang jadi bangsa koeli en koeli di antara bangsa-bangsa. o