Sabtu, 25 Desember 2021

Ayas Mampir ke Koopen Ngalam, Salut Sam Ngopi

 Dua tahun ini saya tidak mudik Natal. Pandemi berkepanjangan, PPKM, PSBB, dan entah apa lagi membuat kita orang tidak bisa bebas ke mana-mana. Belum lagi tes antigen, PCT, prokes 3M atau 5M atau 7M.

Maka saya pun menyepi saja di Malang. Kota dingin penuh kenangan. Apalagi belakangan ini kawan-kawan lama eks satu kelas di Smansa aktif sekali di grup WA. Salah satunya cerita tentang kopi, kopi, kopi.

Begitu hebatnya kultur ngopi di Malang beberapa tahun belakangan. Ipong, teman satu kelas Graffiti dulu, pun jadi salah satu juragan kopi di Malang. Terkenal sekali Sam Ngopi (Mas Ipong, dibaca terbalik) alias Arif Murahman ini. Kalau ada diskusi atau seminar tentang kopi, biasanya kawan yang juga sesama alumni Jember ini jadi pembicara.

Kopi dengan kafeinnya yang pahit dianggap obat. Bisa menetralkan lemak, kolsterol, dsb. Ipong senang makan duren. Ketika diingatkan teman segrup yang dokter, "Gampang. Kopi jadi penetral," katanya.

Sabtu 25 Desember 2021. 

Setelah menengok sejenak suasana Natalan, misa pagi di Gereja Katedral Malang, Jalan Ijen, saya mampir ke Koopen di Jalan Ijen juga. Kafe dengan suasana tempo doeloe. Mencoba mencicipi kopi yang sering dipamerkan di media sosial.

Cukup profesional layanannya. Ala hotel bintang tiga. Silakan pilih kopi varietas apa. Ada karlos, bumiaji, ijen, dan entah apa lagi. Ayas (saya, dibaca terbalik ala Malang) pilih karlos. Lalu duduk di luar dekat taman. Mirip meneer Belanda tempo doeloe.

Ehem... rasanya memang beda. Lain dengan kopi sasetan atau racikan di warkop-warkop Sidoarjo atau Surabaya. Ayas tambahkan gula satu saset agar tidak terlalu pahit. Siiip.

Ayas coba cari informasi Koopen Malang di Google. Ternyata banyak banget tulisan atau liputan tentang si Koopen itu.

Salah satu portal berita menulis:

"Toko kopi yang juga warkop milik Arif Ipong ini sudah dikenal sampai ke mancanegara. Lokasi pertamanya ada di Jalan Trunojoyo A1, Kota Malang, Jawa Timur, tepatnya ada di pojok Prapatan Klojen. Toko kopi ini hanya sekitar lima menit dari Stasiun Malang Kota Baru.

"Tidak disangka, Toko Kopi Koopen membuka cabang kedua setelah suskes menggemparkan warga Malang di cabang pertamanya. Lokasi cabang kedua ada Jalan Ijen Nomor 90 , Kota Malang, Jawa Timur. Wah, seiring berjalannya waktu Toko Kopi Koopen ini mulai menjadi primadona kopi di Kota Malang."

Wow.. luar biasa Ipong. Teman kelas yang ramah, murah senyum, bahasanya halus itu sudah berhasil bikin sesuatu di Malang. Membuat arek-arek Malang makin ketagihan kopi. 

Rahayu wong sing doyan ngopi!

Misa Natal di Surabaya dan Larantuka - Tak Ada Pesta Lagi

Perayaan ekaristi atau misa Natal masih online atau dalam jaringan (daring). Sudah dua tahun. Gara-gara pandemi covid yang tak kunjung sudah. Suasananya berbeda jauh.

Misa hari raya ini sepi sendiri. Cukup duduk di depan laptop atau HP. Tidak perlu pakai baju batik atau kemeja baru. Saya hanya pakai kaos Liverpool dan bawahan sarung. Baik misa Vigili Natal dari Katedral Surabaya, Jumat (24/12), dan misa Fajar Natal, Sabtu (25/12), dari Katedral Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, NTT.

Teknologi komunikasi, era digital, membuat kita bisa sangat fleksibel. Termasuk dalam urusan ibadah atau liturgi. Bisa memilih misa yang singkat, bahkan super padat di bawah 30 menit, atau misa yang super lama ala High Latin Mass di internet.

Misa Malam Natal di Katedral Surabaya dipimpin Uskup Surabaya Mgr Vencentius Sutikno Wisaksono. Beliau ini tipe gembala yang efisien, tidak suka bertele-tele. Dan cenderung ke gregorian. "Kita tidak perlu yang dahsyat-dashyat, pakai band, jingkrak-jingkrak," katanya beberapa kali.

Lagu ordinarium misa malam Natal di Surabaya ini memang pakai Gregorian. Misa VIII atau de Angelis yang terkenal itu. Saya hafal karena pernah jadi misdinar saat remaja. Juga pernah jadi dirigen kor kelas lingkungan dan mudika tempo doeloe. Padahal, saya tidak bisa baca not balok. Hanya bisa not angka.

Yang menarik, sebelum misa, ada penampilan Ervinna, penyanyi senior asal Surabaya. Mbak Ervinna membawakan lagu O, Holy Night dalam bahasa Inggris. Meski sudah senior dan jarang muncul ke publik, suara Ervinna masih oke. Pernapasannya pun masih terjaga.

Bapa Uskup Sutikno dalam homilinya menekankan kesederhaan Natal. Apalagi di tengah pandemi. Kita dipaksa dan terpaksa merayakan ekaristi dengan berbagai prokes, protokol kesehatan, selama dua tahun. Namun, menurut Bapa Uskup, tidak boleh menghilangkan sukacita kedatangan Sang Immanuel.

Sabtu, 25 Desember 2021. Pagi-pagi sudah live streaming misa dari Katedral Larantuka. Beda waktu satu jam dengan Surabaya. Karena itu, gereja-gereja di Surabaya belum mulai misa. Kalau mau nggowes pagi, sebaiknya ikut misa daring dari Papua atau Australia. Sebab, misa Natal di Jawa umumnya di atas 09.00.

Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kur yang pimpin misa di Katedral Larantuka. Ada PPKM juga tapi tidak seketat di Jawa kelihatannya. Anggota paduan suara di Flores kelihatannya lengkap, tidak pakai masker, seperti kondisi normal. Beda dengan di Surabaya yang cuma beberapa penyanyi saja.

Kualitas kor di NTT tidak terlalu istimewa. Tapi semangat menyanyi dan memuji Tuhan sangat tinggi. Volume suara mereka selalu keras. Istilah musiknya: forte dan fortessimo. Jarang ada piano dan pianossimo. Karena itu, sulit menang kalau ikut lomba paduan suara tingkat nasional.

Dinamika dan ekspresi itu penting. Menyanyi itu ada halus kasar, keras lembut, cepat, lambat, largo, accelerando, largato dan sebagainya. Saya paham ini semua ya setelah hijrah ke Jawa dan ikut paduan suara yang baek dan bener.

Ada satu lagu lama Natal yang sudah jarang saya dengar. Transeamus! Paduan suara di Larantuka membawakan dengan semangat dan gembira. Transeamus, usque Bethlehem, et videamus hoq verbum quod factum est!

Lagu ini tingkat kesulitannya cukup tinggi. Ada kejar-kejaran ala kanon. Sopran, alto, tenor, bas punya part sendiri-sendiri. Beda dengan Malam Kudus atau Adeste Videles yang homofoni. Salut untuk saudara-saudari di Larantuka yang tetap semangat merayakan Natal di tengah pandemi.

Bagi warga Keuskupan Larantuka di perantauan macam saya, Gereja Katedral Larantuka ini punya keunikan dan keunggulan tersendiri. Mungkin inilah satu-satunya gereja peninggalan Portugis yang masih ada di Indonesia. Beda dengan gereja-gereja tua di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain yang didirikan kolonial Belanda.

Kerajaan Larantuka juga satu-satunya kerajaan Katolik di Nusantara di masa lalu. Karena itu, Raja Larantuka menjadi pelindung gereja tua di kawasan Postoh, Larantuka, itu. Raja Diaz Viera Godindho (DVG) dan keturunannya juga yang menjaga tradisi prosesi Semana Santa selama Pekan Suci Paskah. Ini tidak ada di tempat-tempat lain di Nusantara.

Suasana di Gereja Katedral Larantuka itu praktis masih sama seperti yang saya lihat 30-40 tahun lalu. Bedanya cuma tidak ada lagi organ pipa. Dulu, ketika saya dapat giliran jadi misdidar saat SMP, masih ada organ atau orgel pipa yang megah di balkon belakang. Organis paling top adalah Ama Anton Kedang.

Sepeninggal Anton Kedang, mulai beralih ke organ elektrik seperti di mana-mana gereja. Dan, memang sangat sulit menemukan pemain organ pipa di kalangan generasi muda. Di Jawa yang hebat sekalipun sangat jarang saya temukan pemain organ pipa.

Apalagi dengan gerakan inkulturasi musik liturgi yang sangat intensif pada tahun 1980-an dan 1990-an, dengan buku Madah Bakti, maka otomatis orgel pipa tidak cocok untuk mengiringi lagu-lagu bercorak etnik seperti Sembahan Sudra, Tenang-Tenang Mendayung, Kenanga Bunga Utusan, Di Relung Gunung-Gunung, Ingin Kami Sesaji Sembah, atau Misa Dolo-Dolo yang notabene berasal dari Flores Timur alias Keuskupan Larantuka itu.

"Selamat Pesta Natal," kata Bapa Uskup Frans Kopong di akhir misa.

Selamat Natal... tanpa pesta... karena masih pandemi.

Semoga tahun depan Natal kembali dipestakan, potong sapi, potong babi, potong kambing, makan bersama seperti tradisi di kampung-kampung di Flores Timur dan Lembata.

Kamis, 23 Desember 2021

Natal super sederhana di tahun kedua pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 sudah berjalan dua tahun. Tak jelas kapan berakhir. Angka korban serangan virus corona memang sudah anjlok di tanah air. Namun, belakangan muncul Omicron, varian baru yang katanya jauh lebih menular.

Maka, pembatasan sosial yang dikenal dengan PPKM, PSBB, atau apa pun namanya tetap berlaku. Masyarakat dilarang bepergian ke mana-mana. Tidak boleh libur ke luar kota. Tidak boleh kumpul-kumpul. Jaga jarak. Pakai masker dsb dsb.

Bagaimana dengan misa Natal? Sama saja. Boleh tapi dibatasi. Jemaat yang boleh ikut misa langsung di gereja cuma 25 persen atau 30 persen. Pakai macam-macam protokol kesehatan yang ketat. Prokes-prokes ini bikin bosan saking seringnya disebut selama dua tahun terakhir.

Kamis Pon, 23 Desember 2021. Saya mampir ke Gereja Roh Kudus di Perumahan Purimas, Gunung Anyar, Surabaya. Mau lihat suasana jelang misa Natal. Dekorasi gereja, kesibukan umat, dan sebagainya.

Sayang sekali, suasananya masih muram. Seakan-akan tidak ada perayaan ekaristi besar atau misa raya Natal. Suasananya mirip hari biasa. Bahkan lebih muram. Tidak ada orang di halaman gereja. Kecuali dua orang satpam.

Syukurlah, saya masih diizinkan masuk ke Taman Doa yang ada Gua Maria. Sekalian doa rosario satu peristiwa saja. Rosario yang normal harus lima peristiwa. Sembahyang lama-lama pun khawatir melanggar protokol kesehatan.

Dari Gua Maria saya cuma melihat dekorasi sederhana di depan pintu gereja yang tertutup rapat. Hanya itu yang menunjukkan bakal ada ekaristi Natal di Gereja Roh Kudus.

Suasana Natal yang meriah, mirip pesta rakyat, khususnya di NTT, tak ada lagi gara-gara serangan Covid-19. Tak terdengar lagu-lagu Natal dari paduan suara atau pengeras suara. Semuanya hening dalam kegelapan pandemi corona.

Suasana yang muram ini malah mirip suasana Natal di kitab suci. Bayi Yesus hanya ditemani Yosef dan Maria di kandang sederhana di Bethlehem. Tak ada dekorasi. Tak ada kemeriahan, apalagi kemewahan, seperti yang biasa kita lihat di pusat belanja, hotel, dan gereja-gereja sebelum pandemi.

Covid-19 ini punya blessing in disguise. Kita jadi kembali sederhana. Simplicity in everything. Misa Natal yang biasanya berlangsung selama dua jam kini dipangkas paling lama satu jam. Bahkan, misa-misa di USA malah tidak sampai 30 menit.

Selamat Natal!
Semua makhluk berbahagia!

Pastoran Baru di Paroki Roh Kudus Surabaya

Sudah lama saya tidak ikut misa langsung di gereja. Selama dua tahun ini tidak sampai lima kali. Itu pun bukan misa biasa, tapi misa requiem. Ekaristi khusus untuk mendoakan orang yang meninggal.

Karena itu, saya agak pangling ketika mampir di Gereja Roh Kudus, kawasan Purimas, Gunung Anyar, Surabaya, Kamis (23/12) pagi. Sambil istirahat setelah nggowes sepeda pancak agak jauh. Melihat-lihat kondisi gereja menjelang Natal.

"Romo-romo mau boyongan," kata petugas keamanan asal Timor.

Ke mana? "Ke pastoran yang baru."

Pastoran baru itu terpisah agak jauh dari bangunan gereja. Tepatnya di pojok parkiran. Cukup megah. Rupanya sudah diberkati bulan lalu. Tapi baru ditempati hari ini, Kamis Pon 23 Desember 2012.

Kapan bancakan? Seorang bapak, aktivis gereja, tertawa kecil. Pemberkatan itu dianggap bancakan. Tinggal ditempati saja.

Saya lihat Pater Yoseph Jaga Dawan SVD sedang membawa tasnya ke pastoran baru. Kelihatannya sibuk. Tak bagus kalau diganggu. Pastor ini berasal dari Flores Timur. Tepatnya Desa Lamawalang, dekat Larantuka.

Pastor parokinya Pater Dominicus Udjan SVD asal Pulau Lembata, NTT. Cocok sudah! Ditambah rama praja dan pater Soverdi dari Jawa.

Paroki Roh Kudus termasuk paroki baru di kawasan Surabaya Timur, dekat perbatasan Kabupaten Sidoarjo. Pastoran lama memang kurang luas. Jadi satu dengan sekretariat paroki, balai paroki, kelihatan sempit. Karena itu, pastoran yang baru ini memang sangat layak untuk paroki yang pater-paternya kebanyakan SVD sejak awal diresmikan itu.

Semoga pater-pater lebih kerasan dan semangat melayani para domba setelah menempati rumah baru.

Rabu, 17 November 2021

Warung Langgananku di Jolotundo Ditimpa Pohon Tumbang, Mas Riyan Meninggal

Mengapa harus mereka yang terpilih menghadap?
Pasti ada hikmah yang dapat kita petik

(Ebiet G Ade)

Musibah di Jolotundo, Trawas, Mojokerto, ini bikin aku ikut terguncang. Pohon besaaar tumbang menimpa warung. Delapan orang jadi korban.

Tiga korban di antaranya meninggal dunia. Para korban berasal dari kawasan Jolotundo, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas. Mereka sedang istirahat di warung tak jauh dari cagar budaya petirtaan Jolotundo yang terkenal itu.

Saya kenal Riyan Amim, salah satu korban yang meninggal dunia. Masih muda di bawah 20 tahun. Putranya Mbak Ningsih, pemilik warung.  Mbak Ningsih putrinya Bu Saning. Bu Saning putrinya Mbah Jono.

Saya kenal betul empat generasi pemilik warung di depan bumi perkemahan milik Perhutani itu. Mulai Mbak Jono (alm) hingga cicitnya Riyan. Saya begitu dekat dengan mereka.

Mbak Jono berumur panjang. Baru meninggal tahun lalu. Usianya di atas 120 tahun meski doyan merokok. Sebaliknya Riyan hanya dapat kesempatan hidup selama 20 tahun. Malaikan menjemputnya bersama pohon besar yang tumbang itu.

Ngeri.. amat ngeri membayangkan kejadian tersebut. Rekaman video dan gambar di internet bikin saya bergidik. Delapan korban sekaligus di warungnya Mbak Ningsih itu. Tiga orang meregang nyawa. Semuanya 20-an tahun.

Betapa tidak. Saya sering mampir, nongkrong, baca buku, bahkan bermalam di warung itu. Mbah Jono (alm) menyiapkan tempat di pojok depan untuk saya tidur malam. Lengkap dengan selimut tebal warna merah.

"Kemulan ben gak adhem," kata Mbah Jono yang tidak pernah ngomong kromo inggil itu. "Kopine pait yo?" Begitu kata-kata nenek yang pertama kali buka warung di kawasan Jolotundo itu.

Setelah tahlilan 40 hari Mbah Jono, saya mulai jarang mampir ke warung itu. Apalagi Bu Saning pun mewariskan warung itu ke Ningsih. Bu Saning sendiri turun buka warung lagi bersama suami barunya (siri).

Maka, ada semacam gap komunikasi dengan generasi ketiga dan keempat. Saya lebih nyaman ngobrol panjang bersama Mbah Jono dan Bu Saning. Dengan Riyan yang Gen Z sulit karena generasi ini lebih fokus main media sosial atawa gadget. Karena itu, saya tidak pernah ngobrol lama dengan Riyan dan kawan-kawannya.

Rencananya, akhir pekan saya naik lagi ke Jolotundo. Bermalam di warung itu. Menikmati suasana hutan yang sejuk dan aroma dupa dari petilasan Jolotundo dan Narotama. Tapi batal karena hujan lebat. Tidak nyaman kalau hujan deras di Jolotundo. Gazebo-gazebo sederhana sudah pasti basah kuyup.

Lalu datanglah berita duka itu. "Warungnya Mak Saning ketiban pohon. Riyan gak ada," kata Mas Sembada lewat rekaman suara di WA.

Tak lupa ia menyebut nama-nama korban. Tiga orang meninggal. Lima lainnya dirawat di rumah sakit. "Saya barusan ngubur Mas Riyan," ujar Sembada yang juga masih kerabat dekat almarhum Riyan.

Tak ada yang bisa kita lakukan saat mendengar berita dukacita selain kirim doa. Semoga Riyan dan kawan-kawan yang berpulang itu diterima di sisi-Nya. Dan semoga Mbak Ningsih, ibunya, Bu Saning, kakeknya, diberi kekuatan untuk menghadapi ujian ini.

Mengapa harus Riyan dkk yang terpilih menghadap?

Mengapa harus warung yang sudah lama jadi jujukan itu yang ketiban pohon?

Selasa, 09 November 2021

Wang Yaping Jalan-Jalan ke Istana Surga

Tiongkok yang komunis dan ateis ternyata punya proyek Istana Surga. Di luar angkasa. Tidak pakai ceramah atau khotbah-khotbah di media sosial atau rumah ibadah.

Berita terbaru: Wang Yaping jadi wanita Tiongkok yang jalan-jalan di luar angkasa. "Wang is one of three astronauts on a six-month mission to build the Tiangong space station," tulis kantor berita asing.

Luar biasa Tiongkok! 

Tanpa banyak cincong negara komunis itu sudah melejit di berbagai bidang. Mulai soal remeh macam bikin mocin, yang kurang laku dan jelek, vaksin Sinovac yang sangat laku di Indonesia, kereta api supercepat, hingga teknologi luar angkasa.

Aku jadi ingat masa lalu. Kalau tidak salah ingat ada calon angkasawati Indonesia yang bakal jadi astronot. Dr Pratiwi kalau tak salah. Jauh sebelum Wan Yaping mengangkasa di Tiongkok sana.

Sayang, Pratiwi tidak jadi terbang. Dan Indonesia tak lagi punya proyek kapal terbang atau ruang angkasa.

Iseng-iseng saya baca komentar-komentar di media sosial di bawah berita Wang Yaping. Waduh.. komen warganet kita tidak ada yang serius. Malah dijadikan guyonan yang tidak lucu. Seperti wanita yang datang bulan dan sejenisnya.

"Bagaimana kalau Wang datang bulan di bulan?" begitu kira-kira salah satu komentar yang rupanya alergi Aseng.

Begitulah. Suka tidak suka, Aseng-Aseng di Tiongkok sudah maju bisa pigi ke bulan. Kita orang hanya bisa  nyinyir dan menertawakan mereka. Padahal, ada kata-kata bijak yang dulu selalu dikutip: "Carilah ilmu sampai ke Negeri China!"

Senin, 08 November 2021

Car Free Day Hil yang Mustahal

Akhirnya Car Free Day (CFD) digelar lagi di Surabaya. Kegiatan olahraga rekreasi saban Ahad pagi itu dihentikan sejak awal pandemi. Sebab CFD, khususnya di Raya Darmo, biasa diikuti ribuan orang.

CFD pertama di masa PPKM diadakan di Kembang Jepun. Kawasan kota lama yang sempat terkenal dengan Kya Kya ala pasar malam yang meriah. Mengapa di Kembang Jepun?

"Untuk menghindari kerumunan massa. CFD di Kembang Jepun biasanya tidak seramai di Raya Darmo," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Surabaya Suharto.

Sebelum ada pandemi aku ikut memantau CFD di Kembang Jepun. Kebetulan kantorku persis di samping Kya Kya itu. Memang sepi. Kawasan Surabaya Utara sudah lama redup. Keramaian berpindah ke kawasan Tunjungan dan Raya Darmo.

Sambil ngopi di warkop meduro di Kembang Jepun, aku jadi penasaran dengan istilah Car Free Day. Mengapa disebut car free? Mengapa tidak pakai bahasa Indonesia?

Kita orang sudah lama keminggris. Senang pakai istilah bahasa Inggris meskipun artinya menyimpang jauh. Yang penting keren, menarik, modern, terkesan gagah. Pemerintah pun ikut-ikutan nginggris. Padahal salah satu tugas pemerintah adalah menjunjung tinggi bahasa nasional.

Anak-anak pun tahu car free artinya bebas mobil. Dus, car free day berarti hari tanpa mobil. Selama satu hari penuh tidak boleh ada mobil (pribadi) di jalan raya. Bukan cuma di Jalan Kembang Jepun atau Jalan Raya Darmo thok selama tiga jam saja.

Apakah bisa ada CFD yang benar-benar car free day di Indonesia, khususnya Surabaya? Itu hil yang mustahal, kata pelawak Asmuni dari Srimulat.

Sulit membayangkan tidak ada mobil pribadi yang melintas di jalan raya kota-kota kita sepanjang hari. Jangankan sehari, satu jam saja hil yang mustahal. Mobil-mobil pribadi sudah begitu melekat dan masih di Indonesia.

 Sekadar belanja di minimarket yang jaraknya tak sampai satu kilometer pun pakai mobil. Bila perlu mobil masuk langsung ke dalam kamar hotel. Layanan drive-thru makin luas di Indonesia.

Maka, sebaiknya CFD diganti saja dengan istilah lain yang lebih pas. Pakai bahasa Indonesia saja. Ketimbang sok keminggris tapi maknanya tidak jelas.

Sabtu, 06 November 2021

Teman lama jadi romo, sungkan ngaku dosa

Ada pater di Banyuwangi yang viral di media sosial dan media online karena toleransinya yang tinggi. Romo Tiburtius Catur Wibawa, O.Carm bikin musala di Griya Ekologi Kelir, Desa Kelir, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Griya itu tempat pelatihan milik SMA Katolik Hikmah Mandala Banyuwangi. Romo Catur rupanya ditugasi Yayasan Karmel Keuskupan Malang untuk berkarya di sekolahan itu. Sang pater mendirikan musala itu pada 2019. Bisa menampung 12 sampai 15 jamaah.

"Ketimbang pengunjung-pengunjung yang muslim kesulitan tempat salat," kata pater asli Banyuwangi itu.

Banyak sekali komentar-komentar yang mengapresiasi gebrakan Catur Wibawa. Di tengah arus intoleransi yang makin deras, seorang pastor Katolik justru bikin musala. Malah ia mempersilakan kalau ada orang Hindu yang bikin pura kecil. Orang Buddha bikin wihara mungil.

"Asal konsepnya pakai rumah Osing. Griya Maria pun pakai Osing," kata sang pater karmelit itu.

Saya ikut kagum dengan Romo Catur. Sekaligus kaget karena dia sudah jadi pastor yang punya warna sendiri. Agak beda dengan klerus-klerus kebanyakan di tanah air.

Dulu saya dekat banget dengan Catur sewaktu di Jember. Sama-sama kos di Jalan Kalimantan, kawasan Tegalboto. Saya di Gang 14, Catur di Gang 20-an. Jalan kaki tidak terlalu jauh.

Catur punya tape compo yang besar. Punya kaset-kaset cukup banyak. Saya hanya punya tape sederhana. Kaset-kasetku tak sampai 10 biji. Itu pun kurang bagus. Cuma Whitney dan "Bad" Jackson yang oke. Saat itu harga kaset terlalu mahal.

Maka, saya sering mampir ke kamarnya Mas Catur untuk nyetel kaset. Kebanyakan lagu-lagu Barat lawas nostalgia. Kayak Imagine, Welcome to My Word, Dream Dream Dream, Send Me the Pillow.. kayak gitu lah.

Catur juga punya banyak buku filsafat, teologi Katolik, pendalaman kitab suci, tulisan romo-romo. Kuliah di Universitas Jember tapi kok banyak buku kayak anak seminari? Saya penasaran memang.

Tapi Catur memang sudah kelihatan punya bakat jadi romo saat di Jember. Rajin misa bukan hanya hari Minggu. Sering mengajak saya dan teman-teman doa rosario dan baca kitab suci, ikut kor, dan sebagainya.

Suatu saat saya diajak ke kampung halaman Catur di Tegaldelimo, Banyuwangi. Kampung yang indah dengan sawah yang luas menghijau. Orang Katolik tidak banyak di situ. Orang tua Catur jadi pimpinan stasi.

Hari Minggu ada ibadat sabda tanpa imam. Sebab pastor-pastor kurang dan biasanya tugas di kota. Maka, seperti di NTT, umat awam yang pimpin sembahyang tanpa imam. Di situlah saya lihat peranan keluarga Catur Wibawa.

Lama tak ada kabar, sekian tahun berlalu, saya tak lagi ingat Catur. Kita orang sibuk sendiri-sendiri dengan segala persoalan dan rutinitas. Hingga saya dengar kabar ada romo di Banyuwangi yang bangun musala yang viral di media sosial itu.

Romo Tiburtius Catur Wibowo, O.Carm.

Saya belum sempat mampir ke griya musala itu sekaligus kangen-kangenan. Tapi saya menduga Catur masih senang menikmati lagu-lagu nostalgia Barat yang tidak meledak-ledak. Kayak Welcome to My World dan bukan Welcome to The Jungle yang sangat populer di kos-kosanku.

"Knock and the door will open
Seek and you will find
Ask and you'll be given
The key to this world of mine"

Dan, yang pasti, saya sungkan mengaku dosa pada teman lama yang sudah jadi pater terkenal.

Berkah Dalem, Romo Catur!
Nyuwun berkat suci!

Kamis, 04 November 2021

Vaksin alon-alon waton kelakon

Apa kabar Merah Putih?

Lama tak ada kabar calon vaksin buatan anak bangsa ini. Saking lamanya, aku pikir proyek vaksin Universitas Airlangga itu mandek. Atau dihentikan.

Toh, Indonesia sejak awal tahun digerojok Sinovac dari Tiongkok. Kemudian AstraZeneca, Pfizer, dan beberapa lagi. Capaian vaksinasi pun sudah di atas target 70 persen - di kota besar macam Jakarta dan Surabaya.

Maka, aku pun lupa dengan Merah Putih yang sempat ramai di awal pandemi korona. Buat apa bikin sendiri kalau bisa membeli dari luar negeri yang punya pengalaman di bidang itu?

Kayak mobil atawa motor. Kita orang lebih suka beli dari Jepang ketimbang produksi sendiri. Kalau ada orang Indonesia yang bikin purwarupa (istilah kerennya: prototipe, prototype) mobil atau motor biasanya diejek habis-habisan. Kita memang sudah ketagihan produk-produk luar negeri meski tiap hari Baba Alim kampanye di televisi: Cintailah Ploduk-Ploduk Indonesia!

Kamis Wage, aku baca di koran saat rehat gowes. Vaksin Merah Putih siap uji klinik di RSUD Soetomo. Awal Desember 2021. Panitia sedang mencari relawan untuk jadi kelinci percobaan. Uji klinis tahap kedua tahun depan.

Lalu, kapan si Merah Putih ini siap disuntikkan?

Belum jelas. Masih panjang perjalanan ke sana. Sementara virus ganas yang namanya korona ini tidak ambil pusing dengan vaksin-vaksin buatan Tiongkok, Inggris, USA, Indonesia, dsb. Covid terus bermutasi dan merajalela seperti yang kita alami hampir dua tahun.

Indonesia sudah jelas kalah telak dalam balapan vaksin covid. Kita masih seperti yang dulu. Vaksin baru siap setelah pandemi lewat puluhan tahun. Padahal teknologi modern sudah bisa melipat waktu. Vaksin ternyata sudah bisa disuntikkan ketika pandemi lagi ganas-ganasnya.

Ibarat olimpiade vaksin, Tiongkok terbukti paling cepat dan masif dalam produksi vaksin korona. Meskipun vaksin-vaksin dari Zhongguo itu sering diejek di sini karena dianggap tidak efektif. Banyak banget temanku yang menolak Sinovac.

"Aku mau vaksin apa saja asal bukan dari Cino," kata beberapa anggota kumpulan di media sosial.

Padahal, saat itu, vaksin yang tersedia ya cuma Sinovac. Mereka yang menolak vaksin Tiongkok itu mengira kualitas farmasi atau vaksin Sinovac dan kawan-kawan mirip mocin (motor cina) yang memang brengsek gak karuan. Mereka lupa bahwa pakar-pakar dan pemerintahan di Beijing sana terus melakukan perbaikan.

Tahun depan bisa diprediksi kasus Covid-19 sudah lebih terkendali. Gerojokan vaksin dari Tiongkok, Amerika, dan sebagainya mungkin tidak sebanyak tahun 2021. Saat itu si Merah Putih mungkin sudah siap disuntikkan sebagai vaksin penguat untuk dosis ketiga.

Akankah vaksin Merah Putih ini berterima di Indonesia? Kembali ke prototipe mobil buatan insinyur atawa anak-anak SMK di sini. Bukannya diapresiasi malah diejek habis-habisan. Sebab rakyat kita memang sudah lama menganggap produk-produk dalam negeri kurang berkualitas.

Vaksin Merah Putih ini, ibarat pepatah Jawa, alon-alon watok kelakon. Ibarat orang tempo doeloe naik sepeda kebo. Nggowes alon-alon sambil bersenandung Sepasang Mata Bola, Kopral Djono, Arjati, Rindoe Loekisan... yang penting sampai ke tujuan. Tidak perlu balapan.

Toh, divaksin atawa tidak divaksin, semua orang akan mati juga.

Selasa, 02 November 2021

Kita perlu menerima dos penggalak


Hannah Yeoh, anggota parlemen Malaysia dari DAP, partai pembangkang (oposisi), menulis:

"Saya baru sahaja menerima dos penggalak Pfizer di Parlimen pagi ini."

Lalu ada versi bahasa Inggris di bawahnya: "Pfizer booster dose received, second dose was taken back in early April."

Saya memang selalu membaca tulisan-tulisan politisi Malaysia di media sosial. Selain Hannah Yeoh, Anthony Locke, Lim Guan Eng, juga Anwar Ibrahim. Kebetulan semuanya dari partai pembangkang. UMNO cuma sekali dua lah.

Yang paling sering, juga favorit, adalah Dato Sri Anwar Ibrahim ketua pembangkang. Juga paling sering dengar perdebatan Anwar yang sangat seru di parlemen Malaysia. Debat politisi di sana sangat ramai mirip ibu-ibu tukaran di pasar.

"Tarik balik... tarik balik.. tarik baliiik!" begitu kata-kata khas ahli parlemen Malaysia menuntut lawannya menarik balik ucapannya yang dianggap menyinggung perasaan.

Kembali ke Hanna Yeoh. "Saya baru sahaja menerima dos penggalak Pfizer di Parlimen pagi ini."

Tanpa terjemahan bahasa Inggris pun saya mengerti kalimatnya. Sebab bahasa Melayu di Malaysia dengan bahasa Indonesia sebenarnya sama saja. Berbeza sikit lah. 

Orang Malaysia macam Anwar Ibrahim pun paham 95 persen ucapan orang Indonesia. Kecuali kata-kata bahasa Jawa atau bahasa daerah yang dimasukkan dalam kalimat.

Yang menarik bagi saya adalah frase "dos penggalak". 

Mudah dimengerti meski istilah ini tidak ada di Indonesia. Dos itu dosis dari dose (Inggris). Penggalak kata dasarnya galak. Penggalak tentu penguat atau menambah kekebalan setelah vaksinasi dosis pertama dan kedua.

Kita di Indonesia yang baru saja merayakan bulan bahasa sepanjang Oktober, ironisnya, belum punya padanan vaksin booster. Booster ya tetap booster di media cetak, televisi, apalagi media sosial. Ada juga yang pakai vaksin penguat tapi kelihatannya belum berterima.

Orang Indonesia yang makin keminggris, meskipun tidak fasih berbahasa Inggris seperti orang Malaysia, kelihatannya terlena dengan booster, rapid test, bed occupancy rate, tracing, testing, treatmen.. dan banjir istilah baru di masa pandemi.

Saya sendiri ingin segera menerima dosis penggalak. Tidak harus Pfizer, Sinovac, AstraZeneca, atau apa saja boleh. Tubuh manusia yang rentan memang perlu penggalak untuk menahan gempuran virus korona.

Apakah vaksinasi menjamin kita tidak kena Covid-19?

Tidak juga. Gubernur Khofifah kena dua kali meski dapat giliran vaksinasi paling awal di Jawa Timur. Wakil Gubernur Emil Dardak juga sempat isolasi gara-gara covid.

 Wakil Wali Kota Surabaya Armudji juga penyintas covid. Masih banyak lagi pejabat di Jawa Timur yang terpapar virus korona. Wakil Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin meninggal dunia gara-gara covid. Saat itu vaksin belum diproduksi.

Saya sendiri ikut rombongan vaksinasi paling awal bersama ratusan orang yang dianggap berisiko tinggi. Disuntik di kantor gubernur Jatim. Disaksikan Gubernur Khofifah.

Hasilnya? Sebagian besar kena covid juga. Saya pun ikut merasakan betapa tidak enaknya sakit covid yang aneh itu. Alhamdulillah, semua kawan dan aku yang sudah vaksinasi lengkap tidak masuk rumah sakit. Cukup minum vitamin, berjemur, senam pagi, makan Lian Hua... minggat sendiri Mbak Corona itu.

Saya dan kawan-kawan risiko tinggi terima vaksin kedua Sinovac di kantor gubernur pada 13 Maret 2021. Sudah tujuh bulan berlalu. Kemampuan vaksin untuk melawan covid pasti sudah sangat rendah. Dan.. terbukti banyak yang tumbang pada akhir Juni hingga Agustus lalu.

Karena itu, ada baiknya pemerintah segera menyiapkan dos-dos penggalak untuk kalangan risiko tinggi. Sambil menuntaskan vaksinasi penuh untuk semua warga negara Indonesia... yang mau disuntik.

Sabtu, 30 Oktober 2021

Makan Singkong Rebus, Nostalgia Bioskop Tempo Doeloe di Kawasan Pabean

Saya sering banget mampir di warkop pojok dekat Pasar Pabean, Surabaya.  Ngopi di warungnya ibu asal Madura. Kopi racikan, singkong rebus, tape, pisang rebus... joss.

Tidak banyak warkop atawa warung yang jualan singkong rebus di Surabaya. Yang banyak itu gorengan singkong, singkong goreng keju, dan sejenisnya. Singkong yang sudah direbus digoreng lagi. Badan bisa tambah gembrot.

Menikmati singkong rebus, kopi racikan, ibarat nostalgia. Pikiran melayang ke kampung-kampung di pelosok NTT. Hampir tiap hari orang desa makan singkong rebus, ubi jalar rebus, pisang rebus, aneka ubi rebus. Semuanya serba direbus karena minyak goreng mahal.

Itu dulu... saat saya masih kecil di desa. Sekarang mungkin sudah jarang kebiasaan makan pagi ubi kayu rebus atau pisang rebus.

Sambil membayangkan masa lalu di pelosok NTT yang belum ada listriknya, saya perhatikan gedung-gedung lama di Pabean, Kalimati, dan sekitarnya. Bukan main indahnya. Bangunan-bangunan eks Hindia Belanda itu masih sangat kokoh.

 Sayang, sebagian besar kusam karena kurang perawatan. Ada juga yang hancur. Ada lagi yang berubah fungsi. Salah satunya bangunan yang sekarang jadi kantor BCA Pabean. Lokasinya strategis di pojokan.

Dengar-dengar tempo doeloe gedung bioskop ternama di kawasan Pecinan. Ibu Madura juragan warkop juga bilang begitu. Mbah Google pun sama.  "Saya sering dengar kalau dulunya bioskop. Tapi saya gak ngalami," kata si Madura yang usianya 60-an tahun.

Yousri Rajaagam, wartawan senior, punya catatan paling lengkap seputar bioskop-bioskop di Surabaya. Mulai era penjajahan Belanda, awal NKRI, Orde Lama, Orde Baru, hingga bioskop-bioskop lama gulung tikar diganti sineplex 21.

Namun, Yousri tidak banyak menguraikan bioskop di Kalimati, Pabean, Surabaya. Dia cuma bilang Bioskop Tionghoa. Film-film Mandarin jadi menu sehari-hari di bioskop yang cukup luas tersebut.

"Itu dulu Bioskop Nanking kalau gak salah," kata seorang pedagang buah dan rujak manis di dekat kantor BCA itu.

Film-filmnya Mandarin semua? Atau campuran dengan film Barat dan Indonesia?

"Waduh.. gak menangi aku. Banyak fotografer yang ambil gambar di sini," katanya.

Yah... bioskop-bioskop memang pernah sangat jaya di tanah air. Surabaya sebagai kota terbesar kedua punya puluhan bioskop. Bahkan bisa di atas angka 100. Mulai bioskop paling elite Broadway, yang karcisnya sangat mahaaal, hingga bioskop-bioskop kelas bawah di pinggiran kayak Rungkut Theatre atau bioskop di Wonokromo.

Bioskop  Nanking, Sampoerna Theatre, Capitol, Alhambra, hingga bioskop kelas kaki lima di Kalisosok yang kini tinggal nama. 

Dulu saya sering nonton film di Surabaya Theatre dekat Tugu Pahlawan dan Mitra di Balai Pemuda. Sekarang tinggal kenangan. 

Gedung megah eks Surabaya Theatre bahkan dipasangi spanduk besar: DIJUAL. Padahal, dulu saya sering nonton artis Ervinna membawakan lagu-lagu pop Mandarin saat Sincia.

Kamis, 28 Oktober 2021

Nostalgia Alumni Graffiti SMAN 1 Malang

Saya suka lagu-lagu tempo doeloe, nostalgia, tapi kurang suka nostalgia sekolah. Karena itu, saya tidak pernah ikut reuni. Mulai SD di pelosok Lembata, SMPK San Pankratio di Larantuka, SMAN 1 Larantuka lalu pindah ke SMAN 1 Malang, hingga kuliah.

Saya pun hampir tidak pernah kontak-kontakan dengan teman sekolah. Hanya satu orang teman sekolah yang sering kontak. Gabriel Hokon, teman satu kelas di SMAN 1 Larantuka (dulu namanya SMAN 468). Kebetulan Gabriel tinggal di Surabaya dan kayaknya ia perlu teman yang bisa berbahasa Lamaholot dan Nagi alias Melayu Larantuka.

Saya cuma satu tahun di SMAN 1 Larantuka. Lalu kabur bareng ke Jawa bersama teman-teman seperjuangan dari berbagai kabupaten di NTT. Ada yang pindah ke Jogja, Semarang, Malang, dan beberapa kota lain. Saya bersama lima kawan ditempatkan di Malang.

Dua orang di SMAN 1 Malang (Lambertus dan Ivon), dua di SMAN 3 (Yohanes dan Yoke), dan dua di SMAN 4 (Paulina dan Ruth Laiskodat). Praktis tidak ada kontak dengan lima kawan ini meski kami pernah senasib dan sependeritaan. Makan bareng di Belakang RSSA, sempat kesulitan adaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda dengan di NTT.

Entah dapat bisikan dari mana, tiba-tiba ada 'orang penting' yang mencari saya. "Katanya teman satu kelas sampean di SMA dulu. Pak Edwin namanya," kata kolega di kantor. Edwin tinggalkan nomor WA-nya. Minta segera dihubungi.

Edwin.. Edwin.. Daya ingat saya sudah tidak sebagus dulu. Edwin kawan sekelas di SMA? Ouw.. Edwin Kurniawan. Orangnya asyik, suka guyon, bikin kerasan anak pindahan seperti saya.

Begitu saya kontak nomornya, Edwin langsung nyambung. Suaranya sudah beda tapi ketawanya masih khas orang sukses.

Singkat cerita, saya diminta segera masuk WA Group bernama Graffiti Smansa Ngalam. "Sampean dicari teman-teman," katanya.

Saya agak bimbang masuk WAG. Sudah banyak grup yang saya tinggalkan (left) karena materi obrolan dan konten-konten tidak menarik. Hanya bikin penuh memori ponsel.

Tapi ini grup satu kelas sesama Mitreka Satata, julukan populer SMAN 1 Malang. Sama-sama Graffiti: julukan Jurusan Fisika, A1-3. Semuanya saling kenal. Umurnya sebaya. Kalaupun ada selisih usia paling banyak cuma setahun. Tidak akan ada pemalsuan umur atau identitas lainnya.

Satu kelas ibarat keluarga besar. Sama-sama saling tahu kelebihan, kekurangan, kenakalan, kekonyolan, dsb.

Pikir punya pikir.. akhirnya saya gabung grup Graffiti. Dan, nama-nama lawas pun bermunculan. Semula samar jadi terang. Teman-teman yang dulu kurus-kurus kini jarang yang kurus. Itu terlihat dari fotonya. Yang dulu gondrong sudah banyak yang tipis.

Masuknya saya membuat grup mendadak jadi ramai. Kangen-kangenan. Nostalgia. Cerita-cerita ringan, kadang konyol, saat saya digembleng sebagai anak pindahan. Juga siswa asal NTT yang sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Yang logatnya aneh sehingga mengundang tawa.

Di kelas Graffiti, saya memang cukup terkenal. Bukan karena pintar atau punya prestasi, tapi aksen Flores Timur yang kental. Saat itu saya pun belum begitu lancar berbahasa Indonesia baik dan benar.

Saya masih sering keceplosan ungkapan lokal seperti "kita orang", "pigi", "su" (sudah). Kata yang mestinya diucapkan pakai e (pepet) saya lafalkan dengan é.

Karena itu juga, saya sering digembleng oleh beberapa guru. Sering sekali disuruh maju di depan kelas. Jadi pusat perhatian teman-teman sekelas yang 40-an orang itu.

Salah satunya Pak Supaat, guru bahasa Indonesia. "Lambertus maju. Coba ceritakan ulang isi bacaan tadi!" perintahnya.

Mati aku! Saya pun maju dan mulai orasi. Menceritakan kembali bacaan dari buku teks bahasa Indonesia itu. Logat NTT sengaja saya tonjolkan, narasinya saya tambahi sendiri agar lebih menarik. Kawan-kawan sekelas pun tertawa ngakak.

Hari lain, Pak Paat menulis kalimat majemuk, panjang, dengan sejumlah kesalahan. "Lambertus maju! Coba Anda jelaskan mengapa kalimat itu salah," katanya.

Tidak mudah memang berdiri di depan kelas di hadapan 40 orang. Apalagi orang desa asal NTT disuruh berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar di depan para pelajar Kota Malang dengan status sosial ekonomi tinggi.

Asal tahu saja, SMAN 1 dan SMAN 3 tergolong sekolah negeri favorit di Malang. Hanya anak-anak yang NEM-nya tinggi yang bisa diterima. NEM saya pun jauh di bawah standar. Saya bisa masuk SMAN 1 Malang karena ada rekomendasi Dikbud NTT.

Kembali ke WAG. Luluk rupanya masih ceria dan telaten mencatat nama-nama teman satu kelas di Graffiti Smansa. Nama saya paling buntut karena anak pindahan. Sama dengan masa sekolah dulu.

Ira yang murah senyum, ramah, tidak banyak bicara, tekun ternyata sudah jadi dokter. Ira sempat share lomba nyanyi dan joget dalam rangka hari jadi rumah sakit tempat kerjanya. Dapat hadiah Rp 500 ribu katanya.

Gak nyangka Ira yang pendiam sudah begitu centil dan heboh begini. Mungkin sejak kuliah di kedokteran. Dokter-dokter memang perlu gembira khususnya di masa pandemi ini. Biar pasien senang dan tahan menghadapi serangan virus.

Bagaimana dengan Sri Astuti? "Sudah nggak ada," tulis seorang kawan di grup.

Oh, Tuhan!
Sri sudah berpulang.

Saya jadi ingat kawan yang satu ini. Periang, ramah, dan sering gojlok saya saat belajar mengenal kata-kata bahasa Jawa. Doaku untukmu Sri.. semoga tenang bersama-Nya.

Selasa, 26 Oktober 2021

Naik kapal terbang harus tas-tes-tos PCR mahal

Pandemi covid ini bikin ngelu. Khususnya tas-tes-tos yang mahal (bagi kebanyakan orang Indonesia). Naik kapal terbang harus tes PCR. Padahal biasanya cuma tes antigen yang relatif murah.

Mau naik kereta api tes covid dulu. Tapi cukup tes sebul ala Genose yang cuma Rp 30 ribu. Sebelumnya Genose Rp 20 ribu. Saya beberapa kali tes Genose saat hendak numpak sepur.

Tes PCR sejak awal panllimkmi memang jadi masalah karena mahaaaal. Pernah Rp 1,3 juta sekali tes. Dan masa berlakunya pun dua hari saja. Bisa mati kelaparan orang Indonesia yang penghasilannya masih di bawah UMK Rp 4 juta sebulan.

Syukurlah, setelah muncul banyak kecaman, pemerintah kemudian menurunkan tarif tes-tes deteksi covid yang selangit itu. Begitu banyak orang Indonesia yang gejala-gejalanya positif covid tidak mau tes PCR karena tidak mampu bayar 1 juta lebih.

Selasa Kliwon ini koran-koran memuat berita tarif PCR diturunkan jadi Rp 300 ribu. Masa berlaku 3x24 jam. Alasan pemerintah: sebagai penyeimbang pelonggaran PPKM.

Tapi mengapa harus PCR? Mengapa tes antigen tidak boleh? Apalagi genose yang dikecam banyak pakar kesehatan atawa dokter itu?

Celakanya lagi, Menteri Luhut Pandjaitan bilang syarat tes PCR ini akan diperluas jelang libur panjang akhir tahun. Bukan cuma kapal terbang, tapi juga kapal laut, dan kapal darat (kereta api). Tes antigen dan genose yang relatif terjangkau tidak akan lagi dipakai.

Lengkap sudah penderitaan ini. Pandemi korona menghancurkan begitu banyak tatanan. Namun, di sisi lain, tas-tes-tos jadi ladang dagang bisnis yang tak ada matinya.

Senin, 25 Oktober 2021

Syukurlah, koran masih laris!

Semalam ada dua pertandingan sepak bola kelas kakap. Big game. Barcelona vs Real Madrid dan MU vs Liverpool. Kedua laga tidak terlalu larut. El Clasico kali ini tidak lagi di atas pukul 01.00 WIB.

Saya nikmati kedua laga itu. Anggap saja hiburan penambah imunitas badan di masa pandemi covid. Sayang, Manchester United meski sudah diperkuat Ronaldo tetap saja melempem. Dipermalukan 0-5 di depan pendukungnya.

Mo Salah jadi protagonista dengan borong tiga gol. Ronaldo dan Pogba jadi antagonista. Pogma kena kartu merah. Mestinya Ronaldo juga begitu. Masih untung cuma dapat kartu kuning.

El Clasico kali ini hambar. Ibarat sayur tanpa garam. Tanpa superstar sekelas Messi dan Ronaldo, maka Barcelona vs Real Madrid tidak jauh berbeda dengan pertandingan-pertandingan lainnya di Eropa.

Saya tidak terlalu sedih meski Barca kalah 1-2. Tim asuhan Koeman itu memang masih jauh dari era keemasan Tika Taka. Atau era Ronaldinho dulu yang bagaikan tukang sihir di lapangan hijau.

Nonton dua pertandingan sekaligus ujung-ujungnya membuat badan lelah. Mata ngantuk berat. Aku pun ketiduran di dalam gedung tua di kawasan Oud Soerabaia. Dekat medan pertempuran Arek-Arek Suroboyo di kawasan Jembatan Merah yang terkenal itu.

Syukurlah, tidak sempat mimpi ketemu nonik- onik atawa mevrouw Belanda yang galak-galak. Ada tasbih kecil 33 biji dari kawasan Ampel yang saya beli saat mampir wisata ke sana. Tasbih itu dipakai untuk mendaraskan Ave Maria Gratia Plena....

Senin pagi, 25 Oktober 2021. Aku balik lewat Kembang Jepun, berhenti sejenak di pinggir Jalan Kapasan. Ada dua lapak surat kabar. Satunya ibu-ibu, satunya bapak-bapak. Jualan koran jauh sebelum ada internet.

Aku pun membeli koran Jawa Pos dan Kompas. Lalu ngobrol sejenak, pura-pura wawancara khas pegawai pemasaran yang menyamar. "Korannya laku, Bu? Beritanya menarik gak?"

"Alhamdulillah, ada saja rezekinya. Masih banyak yang beli koran kok," kata mama yang logatnya agak berbau telo lema.

Wawancara atawa survei pasar enteng-entengan seperti ini memang tidak boleh gratisan. Harus membeli korannya dulu. Bila perlu uang kembalian dijadikan tips.

Ibu itu bilang penjualan koran merosot sejak ada internet, media sosial, dan sebagainya. Ditambah PSBB yang kemudian ganti nama berkali-kali, PPKM darurat, level 3, level 3 dst, hasil jualan korannya turun banyak.

"Tapi pembeli-pembeli tetap masih banyak. Ini paling dua jam lagi habis," kata mama itu.

Alhamdulillah. 

Kata-kata pedagang koran di Kapasan ini bikin senang orang-orang yang masih bekerja di pabrik media cetak, khususnya surat kabar alias koran. Sudah lama koran-koran diramalkan lekas mati gara-gara dirupsi digital, revolusi internet, dsb. Namun, fakta di lapangan tidak sepenuhnya benar.

Memang benar sudah banyak koran yang gulung tikar dalam 10 tahun terakhir. Majalah-majalah juga begitu. Tapi yang namanya bisnis ya seperti itu. Airlines juga banyak yang bangkrut. Perusahaan taksi lama pun kolaps karena ojek dan taksi online.

 Warung, restoran, depot, bahkan gereja sekalipun banyak yang kehilangan pelanggan. Kita orang harus optimistis. Sebab, kitab suci bilang bahwa burung-burung di udara pun Dia kasih makan.

Minggu, 10 Oktober 2021

Gregorius Soeharsojo Goenito berangkat menemui Tuhan sumber gembira



Gara-gara pandemi kita orang dianjurkan untuk mengurangi mobilitas. Mengurangi bepergian. Jaga jarak. Pakai masker (dua lapis). Rajin cuci tangan pakai sabun. Disiplin prokes 5M.

Protokol kesehatan itu memang baik untuk mengatasi wabah korona. Tapi di sisi lain kita kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan teman, kerabat, kenalan, atau orang dekat.

Eh, tiba-tiba muncul kabar dukacita. Mas X sudah nggak ada. Bapak Y sampun kepundut. Innalilahi...

Sudah satu tahun ini saya tidak mampir ke rumah 
 di kawasan Beringinbendo, Taman, Sidoarjo. Pria kelahiran 10 Februari 1936 itu seniman serbabisa yang dulu dibuang di Pulau Buru gara-gara aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Pak Greg dipenjara beberapa kali. Terakhir di Nusa Kambangan. Kemudian dibawa ke Pulau Buru. Banyak sekali cerita-cerita menarik yang disampaikan Pak Greg tentang pengalaman di Buru. "Puji Tuhan, kita orang masih dikasih napas oleh Tuhan. Sementara Pak Harto sudah lebih dulu dipanggil Tuhan," kata Pak Greg lantas tertawa kecil.

Musik, puisi, melukis, deklamasi... tak pernah lepas dari Greg Soeharsojo. Selama di Pulau Buru pun ia tetap berkarya. Bikin sketsa para tahanan politik yang kerja di sawah, babat alas, ngopi sambil diskusi, hingga terpaksa makan tikus untuk menambah protein.

"Tikus itu biasa dimakan mentah," kata Greg.

Seniman yang tempo dooeloe belajar di Balai Pemuda Surabaya itu tak lupa mengabadikan adegan para tahanan Pulau Buru makan tikus itu dalam salah satu karya sketsanya. Jadi guyonan pahit.

 "Yah.. namanya juga tahanan ya rekoso. Yang penting, kita orang masih hidup to. Tuhan Allah masih piara kita," kata kakek yang selalu riang itu.

Pak Greg selalu menirukan gaya bahasa Melayu pasaran ala Pulau Baru, Maluku, setiap kali bertemu saya. Mengenang masa-masa pembuangan yang pahit. Logat Maluku masih bagus meski sudah lama jadi orang bebas di Jawa dengan bonus kode ET di kartu tanda penduduknya.

Akhir September atau awal Oktober biasanya saya mampir ke rumah Greg Soeharsojo. Pancing dia bicara tentang G30S, Pancasila sakti, pembuangan sekitar 15 ribu tahanan politik ke Pulau Buru karena dianggap simpatisan kelompok kiri.

Diskusinya ringan-ringan saja. Lebih banyak guyon. Pak Greg yang juga seniman biola itu kadang saya minta menyanyikan lagu Nasakom Bersatu yang menggelegar itu. Karya Subronto Kusumo Armodjo, komponis hebat yang juga dibuang di Pulau Buru.

"Pak Subronto itu guru musik saya. Beliau komponis yang luar biasa. Juga pakar paduan suara. Beliau yang mengajar kami cara jadi dirigen paduan suara yang benar. Harus tegas, berwibawa, mantap. Jangan lembek tangannya kayak orang usir nyamuk," kata Greg tentang Subronto.

Coba Pak Greg kasih contoh. Maka, Greg pun bernyanyi sambil membirama layaknya dirigen paduan suara besar. "Nasakom bersatu.. singkirkan kepala batu...," begitu antara lain syair Mars Nasakom Bersatu.

Luar biasa, Pak Greg. Masih segar ingatannya tentang seluk beluk remeh temeh di Pulau Buru. Ia juga mencatat syair lagu-lagu lama, khususnya seriosa di buku catatannya. Salah satunya Malam Indah yang memang indah. Orang yang pernah belajar seriosa pasti hafal lagu itu.

Akhir September lalu saya ingin sekali mampir di rumah Pak Greg meski masih ada larangan berkunjung ke rumah lansia. Sebetulnya saya sering melintas di atas jalan layang Trosobo. Rumah Pak Greg kelihatan dari atas flyover itu. Tapi saya tidak berani mampir karena... Mbak Corona itu tadi.

Kali ini saya nekat aja mampir. Pakai masker ganda, jaga prokes. Toh pandemi covid sudah melandai.

Oh, Tuhan... Bapa Gregorius Soeharsojo sudah tak ada lagi di dunia. Pergi menghadap Bapa di surga.

"Bapa meninggal bukan karena covid tapi penyakit yang lain. Sudah lama sakit sih," kata putrinya.

Kelu lidah saya. Saya tidak bisa berkata apa-apa selain memanjatkan doa pendek. Semoga Pak Greg berbahagia bersama-Nya.

Kali terakhir bertemu kondisi Pak Greg memang kurang segar. Tidak sekuat ketika istrinya masih hidup. Setelah sang istri berpulang, sebelum pandemi covid, kesehatan beliau memang menurun. Lebih banyak diam dan merenung.

Namun, Pak Greg saat itu tiba-tiba antusias menyanyikan lagu gereja lama dari buku Madah Bakti: Tuhan Sumber Gembiraku.

"Semua bunga ikut bernyanyi, gembira hatiku
Segala rumput pun riang ria
Tuhan sumber gembiraku."

Saya dan Pak Greg pun bersama-sama menyanyikan lagu yang dulu memang sangat populer di Gereja Katolik itu. Rupanya inilah nyanyian terakhir Pak Greg sebelum berangkat menemui Tuhan, sumber sukacita dan kegembiraan itu.

Selamat jalan, Pak Greg!
Matur sembah nuwun!

 

Rabu, 06 Oktober 2021

Tahlil untuk Mas Andri dan Prof Trijono Ayahnya

Saya jadi ingat Andri Setiawan dan ayahnya, Prof Dr dr Trijono Karmawan Sukana Prija, SpRad (K). Keduanya meninggal hampir bersamaan karena Covid-19.

Pak Tri, sapaan akrab Prof Trijono, meninggal pada 18 Agustus 2021. Sedangkan Mas Andri menyusul papanya pada 26 Agustus 2021. Hanya berselang delapan hari.

Betapa dalamnya kehilangan pihak keluarga. Bu Ani kehilangan suami dan anak sulungnya. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada Bu Ani sekeluarga. Mas Bagus dan Mas Aswin sekeluarga semoga diberi ketabahan menghadapi ujian Tuhan ini.

Saya ikut tahlilan dua kali secara daring lewat Zoom. Pembacaan Surah Yaasiin dan Tahlil untuk mengenang Pak Tri dan Mas Andri Setiawan. Semua peserta larut dalam doa meski tidak bisa tatap muka layaknya tahlilan normal.

Saya ingat betul kebersamaan dengan Mas Andri, Pak Tri, sekeluarga. Sekitar tiga pekan sebelum berpulang, Mas Andri mengajak saya bersih-bersih dan semprot disinfektan di rumah kawasan Rungkut, Surabaya. Bantal, guling, kasur, dsb dikeluarkan. Dijemur.

Cairan disinfektan disiapkan. Kita semua harus jaga prokes. "Kita harus hati-hati karena pandemi ini makin berat," katanya.

Rupanya Tuhan punya rencana lain. Pak Tri masuk rumah sakit. Mas Tri belakangan dijemput dengan ambulans. Dirawat di rumah sakit. Perkembangannya naik turun. Kadang stabil, kadang turun.

Hingga akhirnya dipanggil Tuhan.

Begitu cepat Mas Andri pergi. Di usia 41 tahun. Ulang tahunnya 4 September lalu.

Tak banyak yang bisa kita lakukan selain berdoa dan berdoa. Semoga Andri dan ayahnya mendapat kebahagiaan di surga. Amin!

Senin, 04 Oktober 2021

Terlalu banyak berita kematian, tapi mau bagaimana lagi?

Tidak terasa sudah bulan Oktober. PPKM atau pembatasan sosial masih berlaku. Protokol kesehatan, jaga jarak, pakai masker, cuci tangan pakai sabun.. tetap diserukan pemerintah. 


Pasien-pasien covid masih ada meski tak sebanyak pertengahan Juni, Juli (paling parah), kemudian Agustus, dan September (mulai melandai). 


Terlalu banyak kematian orang-orang dekat membuat aku makin sering merenung. Kabur ke hutan, baca renungan di ponsel, dengar kata-kata bijak yang disimpan di YouTube online.

 

Bahwa sang maut selalu datang kapan saja. Bagaikan pencuri yang sulit ditebak. Maka, berjaga-jagalah, berjaga-jagalah... Kata-kata ini pun makin sering disuarakan para gembala di gereja-gereja yang kosong. Kita orang cukup ikut misa daring via live streaming.

 

Gara-gara terlalu sering merenung, menyingkir ke hutan, khususnya di kawasan Trawas, aku makin jarang menulis untuk blog. Oktober ini sepi catatan. Bukan apa-apa. Kalau ditulis pun yah.. jatuhnya ke obituari juga. Cerita tentang orang-orang dekat yang berpulang.

 

Berita kematian, kematian, kematian.. akibat virus korona jadi tema utama selama pandemi yang jelang dua tahun. Berita yang sifatnya senang-senang, hura-hura, main-main makin jauh. Pahit memang.

 

Tidak menarik kalau setiap hari kita orang menulis tentang orang mati. RIP terus. Bolak-balik muncul frase "Innalilahi wa inna ilahi raji'un". Tapi mau bagaimana lagi?

 

Semoga pandemi ini cepat berlalu agar kehidupan ini bisa kita rayakan lagi!  

Senin, 27 September 2021

Mukjizat Yesti Rambu! PRT Asal Sumba Jadi Sarjana Matematika

Ada berita kecil di media online dan cetak yang sangat menarik. Setidaknya untuk orang NTT baik di bumi Flobamora maupun tanah rantau.

Yesti Rambu Jola Pati diwisuda di Unitomo Surabaya. Lulus S1 FKIP jurusan matematika. IPK 3,49.

Yesti Rambu lulusan terbaik? Tidak juga. Malah hampir DO karena terlalu sibuk kerja di rumah. Yesti bukan siapa-siapa.

Perempuan asal Waibakul, Pulau Sumba, NTT, itu hanyalah seorang pembantu rumah tangga (PRT). Istilah sekarang ART: asisten rumah tangga.

Yesti merantau ke Surabaya tahun 2013. Punya ijazah SMA. Lalu cari kerja ke mana-mana. Akhirnya diterima sebagai pembantu alias ART itu.

Uang hasil kerjanya disimpan sedikit demi sedikit. Lalu Yesti pun punya tekad kuliah. Agar jadi sarjana. Agar tidak terus-terusan jadi pembantu. Agar lebih berguna bagi nusa dan bangsa.

Berbekal uang simpanan Rp 2,7 juta, Yesti Rambu pigi daftar ke Unitomo. Tidak jauh dari rumah majikannya di Nginden. Ouw.. kurang duit. Sebab uang pendaftaran saat itu Rp 4 juta.

Namun, bukan orang Sumba kalau gampang menyerah. Nekatlah dia. Akhirnya bisa kuliah. Banting tulang di rumah sebagai ART dan menyisihkan waktu untuk kuliah, garap tugas, dan sebagainya.

"Saya tidur jam 02.00 dan sudah bangun sebelum pukul 06.00," katanya.

Durasi tidur si Yesti jauh di bawah anjuran dokter yang delapan jam itu. Syukurlah, badannya kuat. Otaknya juga main. Padahal, jurusan matematika atau eksakta tentu tidak sederhana.

Sempat terancam DO karena ada masalah. Lalu tekadnya bulat lagi. Hingga sampai ke garis finis. 

Yesti Rambu menulis:

"Trima Kasih Tuhan Yesus Atas PenyertaanMu, AnugerahMu, Mujizatmu, PertolanganMu Kepdaku Slma Inu Tuhan😭😭.

Trimkasih Engkauh Sudah Membayar Air Mataku, Air KeringatKu Dengan Hasil Yng Memuaskan😭🙏🏻🙏🏻.
Trimksih Kepda BapakKu Umbu Delu D Raba, Mamaku Rambu Dulu Mosa...."

Mukjizat itu nyata!

Begitulah salah satu lagu rohani yang sangat populer di NTT. Yesti sudah merasakan mukjizat itu dalam perjalanan hidupnya sebagai ARTis hingga jatuh bangun pigi kuliah matematika.

Selamat untuk Yesti Rambu!

Sabtu, 25 September 2021

Pelajaran Disiplin Waktu dari Prof Sahetapy

Di masa pandemi ini kita kehilangan banyak tokoh besar. Terakhir Prof JE Sahetapy. Guru besar emeritus FH Univeritas Airlangga itu berpulang dalam usia 88 tahun.

Prof Sahetapy lahir di Saparua, Maluku Tengah pada 6 Juni 1933. Kiprahnya sebagai akademisi hukum berlangsung selama puluhan tahun. Sahetapy juga salah satu dari sedikit pakar hukum kita yang fasih berbahasa Belanda.

Karena itu, Sahetapy yang paling getol menjelaskan latar belakang dan makna pasal dan ayat-ayat di KUHP, KUH Perdata, serta literatur-literatur hukum lain yang memang banyak merujuk ke Negeri Belanda.

Sahetapy bukan saja galak di luar tapi juga dalam gereja. Kritikannya sangat tajam dengan pelesetan yang khas. "Kalian ini selalu teriak Haleluya, Haleluya, Haleluya... tapi keluar dari gereja Hale Lupa," begitu ucapan khas Sahetapy di depan mahasiswa Kristen di mana-mana.

Kisruh HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) pun tak lepas dari sorotan Sahetapy. Ia menyebut Gereja HKBP sebagai Hancur Karena Bapak Pendeta.

Mahasiswa, aktivis GMKI, jemaat biasanya tertawa dan keplak-keplok. Tapi pendeta-pendeta (juga rama-rama) sering kebakaran jenggot karena disikat Sahetapy. Mendiang ini ibarat pendeta yang pintar menemukan ayat-ayat Alkitab untuk membantah argumentasi pendeta-pendeta tertentu yang dianggap keliru menafsirkan ayat suci.

"Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu, aku menjadi musuhmu?"

Galatia 4:16 ini selalu dikutip Prof Sahetapy dalam ceramah-ceramahnya di komunitas kristiani. Kebenaran meski pahit harus disampaikan. Apa pun risikonya.

Saya sendiri senang mendengar kritik-kritik Sahatepy kepada pemerintah dan para pemimpin gereja. Plong karena unek-unek kita diwakili beliau. Tidak banyak orang yang berani menghajar penguasa dengan kata-kata yang keras dan kasar.

Sebagai akademisi Hollands Spreiken, Sahetapy dikenal sangat disiplin. Khususnya disiplin waktu. Janjian jam sekian harus ditaati. Terlambat sedikit saja habislah kau.

Itu yang pernah saya alami di awal reformasi. Saya janjian wawancara one-on-one di rumahnya tanggal sekian jam sekian. Prof Sahetapy sudah menunggu. Sayang, saya terlambat karena ada gangguan kendaraan. Terlambat tidak sampai 10 menit.

Saya pencet bel. Prof Sahetapy keluar. Wajahnya tegang. "Selamat sore, Prof. Maaf, saya terlambat," kataku sambil tersenyum.

Pak Sahetapy langsung nyemprot. "Anda ini paham disiplin atau tidak? Sekarang jam berapa? Anda janjian jam berapa? Silakan Anda pulang saja karena Anda ini sulit dipercaya!"

Apa boleh buat. Saya pun pamit pulang. Tak ada wawancara. Jantungku berdegup kencang. Baru kali ini saya dapat pelajaran mahal tentang disiplin waktu dari seorang profesor sekaliber JE Sahetapy.

Sekitar dua minggu kemudian ada seminar penting di Surabaya. Salah satu pembicaranya Prof Sahetapy. Saat sesi wawancara, para wartawan mengerubuti beliau. Rupanya Sahetapy masih ingat betul keterlambatan saya tempo hari.

"Kalian jangan tiru anak dari Flores itu. Anaknya tidak disiplin. Sudah janjian wawancara jam sekian tapi tidak ditepati," ujar Sahetapy.

Mati aku!
Malu aku!
Kapok aku!

Tapi saya tidak marah, malah senyum. Teman-teman wartawan yang ketawa melihat aku dikerjain Prof Sahetapy.

Sejak korsleiteng dengan Prof Sahetapy itu saya benar-benar belajar disiplin. Kalau janjian dengan siapa saja, saya biasanya datang 30 menit lebih awal. Paling sial 10 menit lah.

Sayang, tidak semua orang Indonesia punya prinsip dan disiplin keras macam Prof Sahetapy. Kita orang sudah disiplin, eh, narasumbernya malah bisa molor satu jam, bahkan dua jam. Mati aku!

Selamat jalan, Prof Sahetapy!

Sabtu, 11 September 2021

Menyambangi Tante Yuyun di Kelenteng Bangkalan

Baru kali ini kita orang pigi jalan-jalan sebentar di Madura. Hampir dua tahun tidak sempat ngeluyur ke pulau garam itu gara-gara pandemi Covid-19. Orang Madura sendiri sebenarnya tidak begitu ketat soal pembatasan sosial, social distancing, pakai masker dsb.


Setelah menikmati es degan di kaki Suramadu, sisi Madura, saya meluncur ke Bangkalan. Mampir ke Kelenteng Eng An Bio di Jalan PB Sudirman yang terkenal itu. Terkenal karena pernah dirusak dan dibakar oleh perusuh jelang lengsernya Pak Harto.

Namun, kejadian itu ibarat berkat tersembunyi. Kelenteng yang tadinya sempit kini jadi makin luas. Mungkin salah satu TITD yang paling luas dan indah interiornya di Jawa Timur. Asap-asap dupa, lilin, dan sebagainya tidak menimbulkan bau khas seperti di kelenteng-kelenteng lain.

Ni hao ma? Ibu Yuyun Kho tersenyum. "Yo, opo kabare? Kita orang bae-bae saja," kata pengurus kelenteng alias biokong asal Salatiga ini.

Meskipun Tionghoa, Yuyun Kho ini mengaku buta bahasa Mandarin. Bahasa Hokkian pun sedikit-sedikit. Dia lebih sering berbahasa Indonesia ala Melayu Tionghoa lawas. Bahasa cakapan yang mirip banget dengan bahasa Nagi alias Melayu Larantuka di Flores Timur.

Yuyun Kho baru saja kasih sajian untuk para dewa penghuni kelenteng. Tuan rumahnya Dewa Bumi atawa Hok Tik Ceng Sing. Ada Kwan Kong, Kwan Im, dan beberapa lagi.

"Hok Tik Ceng Sing itu dewa yang bawa rejeki. Orang Tionghoa biasanya rame-rame dateng ke sini biar rejekine  lancar. Malah bulan lalu ada orang Jawa yang dateng ke sini juga karena sudah dapet rejeki," kata Tante Yuyun.

Tante yang lahir bersamaan dengan tahun kemerdekaan Indonesia itu bilang ada tujuh altar di Eng An Bio. Dia siapkan teh tawar setiap hari untuk para dewa asal Tiongkok itu. Tidak sembarang teh tentu saja. Ada doa-doa dan ritual yang diamalkan biokong seperti Tante Yuyun.

Selepas ritual sesajen, Yuyun Kho menggarap aneka hiasan dari kertas emas untuk sembahyangan. Wanita yang mengurus Kelenteng Bangkalan sejak kerusuhan pada 1996 itu (kalau tidak salah) memang seorang seniwati. 

Tante Yuyun biasa melukis figur-figur khas Tiongkok untuk hiasan dinding kelenteng. Membuat kertas keemasan ini jelas pekerjaan enteng buat dia. "Ini ada yang pesan kertas twa kim," katanya.

Satu bunga kertas biasa dijual Rp 30 ribu. Model yang ruwet dibanderol Rp 50 ribu. Cukup mahal karena harga kertas di Kapasan, Surabaya, naik. Belum lagi skill dan ketelatenan yang tidak dipunyai sembarang orang.

"Pesenan rodo seret karena covid," katanya.

Covid-19 atawa virus corona. Topik ini jadi bahan obrolan sembari menikmati kopi sasetan di aula kelenteng. Ada dua bapak Tionghoa dan satu orang Madura di situ. Ngomong ngalor ngidul soal corona yang berkepanjangan itu.

Gara-gara corona itulah acara-acara di kelenteng stop total selama hampir dua tahun ini. Sembahyang awal dan tengah bulan tidak ada. Kelenteng dinyatakan tertutup... meskipun sebenarnya kita orang bisa masuk pada jam kerja. Tentu saja kulo nuwun dulu sama Tante Yuyun Kho.

Bagaimana dengan acara kue bulan? Covid kan agak turun sekarang?

"Tetep ndak ada. Sembahyang sendiri-sendiri di rumah," kata Tante Yuyun.

Semoga pandemi ini segera berlalu dan kehidupan kembali normal. Termasuk persembahyangan di kelenteng-kelenteng. Kalau tidak ada sembahyangan, rezeki yang diterima Tante Yuyun pun anjlok. Bahkan nihil.

 Jemaat kelenteng itulah yang bagi-bagi rezeki untuk biokong macam Tante Yuyun. Tentu saja tidak mengabaikan perang sang dewa pembawa rezeki yang empunya kelenteng.

Kamis, 02 September 2021

Njamoek Pers, Koeli Tinta, Kuli Kalimas

Tempo doeloe wartawan biasa disebut njamoek pers. Makhluk kecil, terbang ke sana kemari, tidak punya otot tapi bisa bikin orang tidak bisa tidur nyenyak. Si nyamuk bisa ngang-nging-ngung di kuping atau mencokot kaki manusia.

Wartawan juga sering diumpamakan watch dog. Anjing penjaga yang menggonggong keras ketika ada orang tak dikenal atau mencurigakan punya niat jahat. Watch dog ini penting agar orang tidak kebablasan.

Sebelum nyolong, si maling sudah dicokot sama si asoe. Malingnya ketahuan tapi barang-barang tidak sampai hilang dicuri.

Di Surabaya Raya ini sering sekali terjadi pencurian sepeda motor, sepeda pantjal, dan burung kicauan. Malingnya terekam kamera pengawas atau CCTV - bagi yang punya. Tapi kadang maling-maling ini terus berkeliaran. Ditangkap kalau sedang apes saja.

Masalahnya, 99 persen orang Jawa Timur ini tidak punya watch dog. Tidak ada anjing penjaga yang menyalak dan menggigit pencuri atau maling. Andaikan ada watch dog, pelaku-pelaku kejahatan akan lari terbirit-birit. Dan majikannya akan bangun.

Kembali ke pers atau media massa.

Setelah era njamoek pers datanglah era koeli tinta. Lama benar istilah koeli tinta beredar meski para wartawan sudah pakai komputer.

Istilah koeli tinta kemudian diganti kuli disket. Sebab saat itu wartawan ke mana-mana bawa disket untuk simpan data. Maklum, belum ada USB yang bisa menyimpan hingga giga bita.

Lalu datanglah ponsel pintar, smartphone. Data digital bisa disimpan dengan mudah dan banyaaaaak... unlimited.

Istilah kuli tinta, kuli disket, kuli USB, apalagi njamoek pers, otomatis hilang. Tak ada lagi istilah khusus untuk wartawan, reporter, jurnalis, pewarta, pemberita dan sebagainya. Apalagi saat ini semua orang bisa bikin berita di media sosial, blog, dsb.

Tapi saya masih sering pakai istilah "kuli tinta" sekadar guyon. Atau menyamarkan diri biar tidak ketahuan sebagai njamoek pers.

"Sampean kerja di mana?" tanya Ning Sih, pemilik warung di Rungkut Menanggal.

"Di daerah Kalimas sana."

"Tanjung Perak?"

"Yah.. dekat pelabuhan itulah," jawabku enteng.

Kantor saya memang di pinggir Sungai Kalimas. Tidak jauh dari Pelabuhan Kalimas. Dekat Tanjung Perak memang.

"Sampean bagian apa di Kalimas?"

"Bagian kuli tinta aja," kata saya enteng. Kata "tinta" saya rendahkan. Sehingga yang terdengar hanya kuli di Kalimas.

Begitulah. Selama empat atau lima tahun ini Ning Sih mengenal aku sebagai kuli di Kalimas. Tukang angkat barang di pelabuhan tua di muara Sungai Kalimas tersebut.

Karena itu, Ning Sih ini selalu heran melihat saya begitu rajin baca koran di warungnya. Saya baca detail, khususnya berita-berita kota. "Lapo awakmu kok doyan moco koran kayak wong pinter ae," ujar ibu yang senang guyon ini.

"Iku tukang becak yo moco koran ben gak ketinggalan berita. Tukang rombeng iku yo doyan koran," kata saya merujuk beberapa pelanggan warungnya.

Pagi tadi saya mampir lagi di warkopnya Ning Sih sehabis nggowes dari kawasan tambak sekitar Bandara Juanda. Baca koran Jawa Pos, seperti biasa, lalu mulai main HP. Bukan main-main game atau media sosial, tapi unggah konten.

Salah satu tugas saya memang upload berita-berita di laman atau website. Sedikitnya 10-15 naskah sehari. Kelihatannya gampang tapi jelimet. Apalagi upload pakai HP. Beda kalau pakai komputer atau laptop yang lebih cepat dan enak.

Ning Sih melihat saya terlalu sibuk main HP. Tidak ikut nimbrung guyon bersama jemaah warkop lainnya. "Ngapaian sampean itu? Kok senang main medsos kayak arek nom ae," katanya.

"Ini lagi kerja Mbak. Rada ruwet ini."

"Halah... kerja di Kalimas aja kok gayanya serius banget," semprot Ning Sih lagi.

Hehehe... Memang susah jadi kuli pelabuhan, kuli bangunan, kuli tinta, dan kuli apa saja.

Bung Karno tidak mau kita orang jadi bangsa koeli en koeli di antara bangsa-bangsa. o

Sabtu, 28 Agustus 2021

Selamat untuk Paroki Santa Monika, Krian, Sidoarjo

Di tengah pandemi Covid-19 ini, Keuskupan Surabaya mendapat tambahan satu paroki baru. Paroki Santa Monika, Krian, Sidoarjo.

Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono memimpin langsung peresmian Paroki Santa Monika, Krian, Jumat 27 Agustus 2021. Bapa Uskup yang asli Tanjung Perak, Surabaya, itu didampingi sejumlah pastor dari Surabaya, Mojokerto, dan sekitarnya.

Selama puluhan tahun umat Katolik yang ada di Krian dan sekitarnya bergabung dengan Paroki St Yosef, Mojokerto. Meskipun Krian berada di Kabupaten Sidoarjo, lokasinya memang lebih dekat Mojokerto.

Perjuangan umat Stasi Krian untuk memiliki gereja sendiri, sekaligus paroki mandiri, sudah sangat lama. Perjuangan yang melelahkan, penuh cucuran keringat, air mata.. dsb. Mungkin Krian ini yang paling berat di Jawa Timur.

Sampai sekarang masih ada bangunan mangkrak yang jadi saksi bisu perjuangan itu. "Umat di Katolik di Krian ini memang sangat sabar, sabar, tidak putus asa," kata Uskup Sutikno.

Penantian dan kesabaran selama 30 atau 40 tahun itu akhirnya berbuah manis. Stasi Krian resmi melepaskan diri dari Paroki Mojokerto. Jadi paroki sendiri bernama Paroki Santa Monika, Krian, Sidoarjo.

Paroki terbaru di Keuskupan Surabaya ini memiliki 2.440 jiwa umat Katolik yang aktif. Ada lima wilayah, 23 lingkungan, dan dua stasi.

Stasi Mojosari, Mojokerto, sekarang ikut Paroki Krian. Stasi Citra Harmoni, Taman, yang sebelumnya masuk wilayah Paroki Karangpilang, Surabaya, juga resmi gabung ke Paroki Krian. Jauh lebih dekat ketimbang ke Karangpilang.

Sebagai paroki baru, tentu saja dewan pastoral paroki yang baru dilantik Uskup Surabaya perlu melengkapi sejumlah fasilitas standar sebuah paroki. Uskup Sutikno sempat menyebutkan beberapa pekerjaan rumah. Termasuk pastoran atau tempat tinggal pastor.

Profisiat untuk umat Paroki Krian!
Selamat melayani Tuhan dengan iman, harapan, dan cinta!

Rabu, 25 Agustus 2021

Tak Ada Lagi Umi di Jalan Karet dan Kembang Jepun

Dia lebih suka disapa Umi. Bukan Ibu atau Mak atau Bu.

Kalau disapa Umi, lekas banget dia menyahut. Sebaliknya, kalau dipanggil Mak atau Ibu, dia pura-pura tuli. Kurang suka sapaan Mak atau Ibu.

Maklumlah, Umi ini sudah lama pigi haji ke tanah suci. Hajah Umi.

Dan.. tidak gampang bagi wanita yang sehari-hati bekerja sebagai juru parkir (jukir) di pojokan Jalan Karet, Surabaya. Persimpangan Jalan Karet, Kembang Jepun, Jalan Panggung, Jembatan Merah, Kalimas Timur.

Ke mana Umi? Kok gak kelihatan mengatur kendaraan-kendaraan yang sering semrawut di dekat gedung perusahaan perkapalan dan gedung tua Jawa Pos?

Seorang kerabat Umi, sesama orang Bangkalan, Madura, mendekat kepada saya. Lalu bicara setengah berbisik, "Umi sudah gak ada. Sudah hampir dua minggu ini," katanya.

Innalilahi...
Selamat jalan, Umi!

"Apakah beliau meninggal karena sakit? Covid atau apa?" gantian saya yang bisik-bisik karena covid itu sensitif.

Umi ini tergolong orang yang kurang percaya covid. Mbak Kholifah, pemilik warkop di pojok Jalan Karet juga sama. Kholifah meninggal sekitar tiga bulan lalu. "Bukan covid lho. Pencernaannya terganggu," kata Umi kepada saya.

"Sampean itu jangan kaitan dengan covid," kata Umi dalam logat Madura yang kental. Meskipun Umi sudah puluhan tahun tinggal di Surabaya Utara.

Umi berpulang karena kecelakaan lalu lintas. Dibonceng suaminya, Abah, mudik ke Madura. Saat melintas di Jembatan Suramadu, entah mengapa, motor ambruk. Tubuh Umi terlempar membentur aspal jembatan.

Sempat dibawa ke rumah sakit tapi Tuhan berkehendak lain. Abah selamat meski kakinya cedera. "Sudah takdir Allah. Kita ikhlaskan kepergian Umi," kata putra Umi yang meneruskan usaha warkop almarhumah Umi dan Kholifah.

Cukup lama saya mengenal Umi dan Kholifah. Persisnya sejak pindah kantor dari Ahmad Yani ke Kembang Jepun. Saya selalu mampir ngopi sambil melancarkan bahasa Madura saya. Maklum, sebagian besar pelanggan Umi dan Kholifah berbahasa Madura.

Umi itu narasumber yang akurat untuk jalan-jalan di Surabaya Utara. Khususnya kawasan Pecinan macam Jalan Karet, Gula, Kopi, Cokelat, Kembang Jepun, Samudera, Pasar Bong, Bibis, hingga Ampel, Nyamplungan, sampai ke laut di kawasan Kalimas.

Tukang-tukang ojek sering kesasar karena Google Maps tidak selalu akurat. Biasanya mereka turun dan bertanya ke Umi. Dan.. Umi pun bisa memberi tahu posisi jalan tersebut. "Gimana gak tau, wong sejak masih perawan saya sudah di sini," katanya.

Sejak belum menjadi suami pria sesama Madura yang kemudian jadi Abah (haji), Umi bekerja di kantor Jawa Pos. Kerja serabutan, bersih-bersih, seksi repot dsb. Saat itu koran Jawa Pos masih dikelola pendirinya The Tjoeng Sen.

Karena itu, Umi ingat betul nama-nama wartawan dan karyawan Jawa Pos tempo doeloe. Ketika Jawa Pos diambil alih majalah Tempo pada 5 April 1982, Umi pun masih bekerja di surat kabar terkenal tapi nyaris bangkrut itu.

Jawa Pos kemudian membesar dan membesar. Lalu pindah kantor dan percetakan di Karah Agung 45, dekat hamparan sawah yang luas tahun 1989. Bu Umi tidak ikut boyongan ke Karah. "Saya kerja serabutan di sini saja. Rezeki itu ada di mana-mana," katanya.

Maka, jadilah Umi tukang parkir perempuan pertama di kawasan Surabaya Utara. Bahkan, sampai sekarang pun saya tidak melihat jukir-jukir lain di kawasan Pecinan, Jembatan Merah, Kapasan, dan sekitarnya yang perempuan.

Profesi sebagai jukir dijalani dengan tekun. Abah juga usaha serabutan. Sedikit demi sedikit menabung, akhirnya pasangan suami istri itu bisa pigi naik haji. Pulangnya jadi Abah dan Umi.

Umi ini benar-benar hajah yang mabrur. Ibadahnya kuat betul. Di sela-sela jaga parkir dan atur lalu lintas di pojokan Jalan Karet, Umi selalu ngaji, ngaji, ngaji. Juga sembahyang dengan duduk. Umi menyediakan tempat khusus untuk salat dan ngaji di areal parkiran dekat depot terkenal.

Kemarin saya mampir ngopi di tempat yang biasa dipakai ngaji Umi. Sepi. Tidak ada lagi suara Umi yang keras mengatur lalu lintas dan pengendara mobil atau motor yang hendak memarkir kendaraannya.

Jalan Karet dan Kembang Jepun terasa sepi tanpa Umi yang biasanya cerewet.

Sabtu, 21 Agustus 2021

Perjuangan melawan Covid-19 belum usai

Kuenya sudah habis. Tapi kotaknya masih ada. Kue legit untuk Tasyakuran RT 05 RW 03 merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sudah dua tahun ini tak ada acara kumpul-kumpul tasyakuran pada malam 17 Agustus. Surabaya masih PPKM 4 alias level paling tinggi. Lonjakan pasien covid sejak awal Juli lalu masih terasa hingga ulang tahun ke-76 RI.

Karena tidak boleh kumpul-kumpul, jaga jarak, prokes 5M, maka Pak RT mengirim kue tasyakuran ke rumah-rumah penduduk. Lengkap dengan tulisan ini:

"Perjuangan melawan Covid-19 belum usai.
Semoga dengan perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-76 nanti masyarakat bisa semakin kuat dan Indonesia semakin jaya!
MERDEKA!"

Kita orang masih simpan kertas berisi tulisan Pak Eko, ketua RT 05, di kawasan Rungkut Barata, Surabaya. Kata-katanya sangat relevan dengan kondisi yang kita orang rasakan akhir-akhir ini.

Dua pekan sebelum Hari Merdeka Nusa dan Bangsa, ada seorang tetangga meninggal dunia. Positif Covid-19. Dimakamkan di atas pukul 01.00. Paginya baru kita dengar beliau sudah tiada.

Dan... masih dalam suasana "dirgahayu Indonesia", Bapak Prof Dr dr Trijono Karmawan, guru besar FK Unair, meninggal dunia. Jenazah tidak pulang ke rumahnya yang megah di RT 5, RW 3. 

Dari RSUD dr Soetomo geser ke sebelah di kampus FK Unair untuk penghormatan terakhir dari civitas academica. Lalu langsung ke TPU Keputih. Permakaman khusus para korban Covid-19 di Surabaya.

Saya lagi asyik menikmati lagu-lagu perjuangan tempo doeloe di rumah Bapak Prof Trijono. Tidak dapat informasi dokter spesialias radiologi itu berpulang. Asyik-asyik aja nikmati lagu-lagu Ismail Marzuki macam Selendang Sutra, Sepasang Mata Bola, Bandung Selatan di Waktu Malam, Kopral Djono dll.

Eh.. tak lama kemudian datanglah karangan bunga. Susul menyusul. Oh, Tuhan, Pak Prof Trijono berpulang.

Makin lama makin banyak karangan bunga. Dari kampus, kerabat, rumah sakit, organisasi profesi, dsb. Saya pun harus piket hingga jelang pukul 00.00 untuk menerima dan mengatur posisi karangan-karangan bunga dukacita itu.

Malam itu, seperti biasa, saya sulit tidur. Kita orang punya otak melayang ke mana-mana. Betapa rentannya manusia di hadapan virus yang renik itu. Kita orang masih kewalahan mengatasi pandemi yang sudah berlangsung selama dua tahun itu.

"Perjuangan melawan Covid-19 belum usai," kata Ketua RT Pak Eko.

Masih panjaaaaaaang, Pak Eko!