Rabu, 25 Agustus 2021

Tak Ada Lagi Umi di Jalan Karet dan Kembang Jepun

Dia lebih suka disapa Umi. Bukan Ibu atau Mak atau Bu.

Kalau disapa Umi, lekas banget dia menyahut. Sebaliknya, kalau dipanggil Mak atau Ibu, dia pura-pura tuli. Kurang suka sapaan Mak atau Ibu.

Maklumlah, Umi ini sudah lama pigi haji ke tanah suci. Hajah Umi.

Dan.. tidak gampang bagi wanita yang sehari-hati bekerja sebagai juru parkir (jukir) di pojokan Jalan Karet, Surabaya. Persimpangan Jalan Karet, Kembang Jepun, Jalan Panggung, Jembatan Merah, Kalimas Timur.

Ke mana Umi? Kok gak kelihatan mengatur kendaraan-kendaraan yang sering semrawut di dekat gedung perusahaan perkapalan dan gedung tua Jawa Pos?

Seorang kerabat Umi, sesama orang Bangkalan, Madura, mendekat kepada saya. Lalu bicara setengah berbisik, "Umi sudah gak ada. Sudah hampir dua minggu ini," katanya.

Innalilahi...
Selamat jalan, Umi!

"Apakah beliau meninggal karena sakit? Covid atau apa?" gantian saya yang bisik-bisik karena covid itu sensitif.

Umi ini tergolong orang yang kurang percaya covid. Mbak Kholifah, pemilik warkop di pojok Jalan Karet juga sama. Kholifah meninggal sekitar tiga bulan lalu. "Bukan covid lho. Pencernaannya terganggu," kata Umi kepada saya.

"Sampean itu jangan kaitan dengan covid," kata Umi dalam logat Madura yang kental. Meskipun Umi sudah puluhan tahun tinggal di Surabaya Utara.

Umi berpulang karena kecelakaan lalu lintas. Dibonceng suaminya, Abah, mudik ke Madura. Saat melintas di Jembatan Suramadu, entah mengapa, motor ambruk. Tubuh Umi terlempar membentur aspal jembatan.

Sempat dibawa ke rumah sakit tapi Tuhan berkehendak lain. Abah selamat meski kakinya cedera. "Sudah takdir Allah. Kita ikhlaskan kepergian Umi," kata putra Umi yang meneruskan usaha warkop almarhumah Umi dan Kholifah.

Cukup lama saya mengenal Umi dan Kholifah. Persisnya sejak pindah kantor dari Ahmad Yani ke Kembang Jepun. Saya selalu mampir ngopi sambil melancarkan bahasa Madura saya. Maklum, sebagian besar pelanggan Umi dan Kholifah berbahasa Madura.

Umi itu narasumber yang akurat untuk jalan-jalan di Surabaya Utara. Khususnya kawasan Pecinan macam Jalan Karet, Gula, Kopi, Cokelat, Kembang Jepun, Samudera, Pasar Bong, Bibis, hingga Ampel, Nyamplungan, sampai ke laut di kawasan Kalimas.

Tukang-tukang ojek sering kesasar karena Google Maps tidak selalu akurat. Biasanya mereka turun dan bertanya ke Umi. Dan.. Umi pun bisa memberi tahu posisi jalan tersebut. "Gimana gak tau, wong sejak masih perawan saya sudah di sini," katanya.

Sejak belum menjadi suami pria sesama Madura yang kemudian jadi Abah (haji), Umi bekerja di kantor Jawa Pos. Kerja serabutan, bersih-bersih, seksi repot dsb. Saat itu koran Jawa Pos masih dikelola pendirinya The Tjoeng Sen.

Karena itu, Umi ingat betul nama-nama wartawan dan karyawan Jawa Pos tempo doeloe. Ketika Jawa Pos diambil alih majalah Tempo pada 5 April 1982, Umi pun masih bekerja di surat kabar terkenal tapi nyaris bangkrut itu.

Jawa Pos kemudian membesar dan membesar. Lalu pindah kantor dan percetakan di Karah Agung 45, dekat hamparan sawah yang luas tahun 1989. Bu Umi tidak ikut boyongan ke Karah. "Saya kerja serabutan di sini saja. Rezeki itu ada di mana-mana," katanya.

Maka, jadilah Umi tukang parkir perempuan pertama di kawasan Surabaya Utara. Bahkan, sampai sekarang pun saya tidak melihat jukir-jukir lain di kawasan Pecinan, Jembatan Merah, Kapasan, dan sekitarnya yang perempuan.

Profesi sebagai jukir dijalani dengan tekun. Abah juga usaha serabutan. Sedikit demi sedikit menabung, akhirnya pasangan suami istri itu bisa pigi naik haji. Pulangnya jadi Abah dan Umi.

Umi ini benar-benar hajah yang mabrur. Ibadahnya kuat betul. Di sela-sela jaga parkir dan atur lalu lintas di pojokan Jalan Karet, Umi selalu ngaji, ngaji, ngaji. Juga sembahyang dengan duduk. Umi menyediakan tempat khusus untuk salat dan ngaji di areal parkiran dekat depot terkenal.

Kemarin saya mampir ngopi di tempat yang biasa dipakai ngaji Umi. Sepi. Tidak ada lagi suara Umi yang keras mengatur lalu lintas dan pengendara mobil atau motor yang hendak memarkir kendaraannya.

Jalan Karet dan Kembang Jepun terasa sepi tanpa Umi yang biasanya cerewet.

4 komentar:

  1. Pembagian Wilayah Surabaya Utara dan Surabaya Selatan, dulu kita tahunya dari nomor telefon. Kalau mau nelpon harus bilang kepada Mbakyu di sentral, tolong disambungkan ke Utara nomor 123, atau ke Selatan nomor 369, dst.
    Garis pembatasnya kalau tidak salah, dari timur ke barat mulai jalan Ngaglik-Kalianyar-Jagalan-Pasar Besar-Tembaan.
    Sebenarnya saya sangat mengagumi orang-orang seperti Hajah Umi, yang terang-terangan kukuh kepada kepercayaan nya. Saya pribadi kepingin sekali seperti Umi, tetapi belum punya pilihan yang cocok. Padahal waktunya sudah hampir habis, mungkin suatu saat akan seperti "layang-layang yang putus benang", ditiup angin kemana pun, ya terserah lah.
    Seperti halnya orang-orang Yahudi yang dibunuh oleh orang Jerman zaman Hitler. Mereka itu tidak harus mati, jika seandainya mereka mau jadi Konvertiten (Konversi agama jadi Katolik atau Evangelist). Tapi mereka keras kepala, lebih memilih mati. Aku akan pilih Taqiyyah, biarlah Tuhan yang menjadi hakim. Pakai cara diplomasi, cari selamat kata orang Kupang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alm ini tipe wong tjilik yg setia dan istikamah. Setia dalam perkara yg kelihatan kecil, sepele, sebagai ibadah hingga akhir hayatnya.

      Kita orang punya pater tempo doeloe biasa bilang begini:

      "Kamu orang harus cari lebih dulu Kerajaan Allah dan kebenerannya.. nanti yang laen2 Dia kasih tambah."

      Hapus
    2. Pater tempo doeloe bilang : Kamu orang harus masuk Kerajaan Allah terlebih doeloe, nanti setelahnya, kebenaran dan yang laen2 Dia yang kasih.
      Pater itu penganut filosofi-teologi kuno, Credo ut intelligam. Ketika itu domba-domba yang sesat belum punya GPS, disuruh ngalor ya nurut, disuruh ngidul ya pasrah.
      Zaman sekarang Pater2 muda di Vatikan mulai bandel, apalagi setelah Joseph Ratzinger pension dan diganti oleh Franziskus yang kelahiran Flores-Buenos Aires.
      Filosofi nya dibalik, Intelligo ut credam. Jadi domba-domba yang sesat diajak diskusi terlebih dulu, tidak dilarang pakai GPS, kalau sudah yakin 100%, barulah dituntun masuk Rumah Tuhan. Kalau sudah masuk-pun, kamu tidak boleh selalu mengucapkan Kebenaran, sebab orang yang sok jujur selalu bilang sebenarnya, akan menjadi orang yang sangat kesepian, sebab dijauhi oleh teman2-nya. Lebih baik diam, kalau mau selamat.
      Tadi pagi bangun tidur, bojo-ku diatas ranjang merintih; Dadi wong urip kok abot tenan. Apakah karena berat badan ku naik 6 Kilogram timbangannya ? Padahal aku iki urip selibatan sejak lama lho ! Mungkinkah bojoku ditindihi jin kapir.

      Hapus
  2. Inalillahi wainailaihi rajiun. Semoga ybs tenang beristirahat.

    BalasHapus