Sabtu, 30 Oktober 2021

Makan Singkong Rebus, Nostalgia Bioskop Tempo Doeloe di Kawasan Pabean

Saya sering banget mampir di warkop pojok dekat Pasar Pabean, Surabaya.  Ngopi di warungnya ibu asal Madura. Kopi racikan, singkong rebus, tape, pisang rebus... joss.

Tidak banyak warkop atawa warung yang jualan singkong rebus di Surabaya. Yang banyak itu gorengan singkong, singkong goreng keju, dan sejenisnya. Singkong yang sudah direbus digoreng lagi. Badan bisa tambah gembrot.

Menikmati singkong rebus, kopi racikan, ibarat nostalgia. Pikiran melayang ke kampung-kampung di pelosok NTT. Hampir tiap hari orang desa makan singkong rebus, ubi jalar rebus, pisang rebus, aneka ubi rebus. Semuanya serba direbus karena minyak goreng mahal.

Itu dulu... saat saya masih kecil di desa. Sekarang mungkin sudah jarang kebiasaan makan pagi ubi kayu rebus atau pisang rebus.

Sambil membayangkan masa lalu di pelosok NTT yang belum ada listriknya, saya perhatikan gedung-gedung lama di Pabean, Kalimati, dan sekitarnya. Bukan main indahnya. Bangunan-bangunan eks Hindia Belanda itu masih sangat kokoh.

 Sayang, sebagian besar kusam karena kurang perawatan. Ada juga yang hancur. Ada lagi yang berubah fungsi. Salah satunya bangunan yang sekarang jadi kantor BCA Pabean. Lokasinya strategis di pojokan.

Dengar-dengar tempo doeloe gedung bioskop ternama di kawasan Pecinan. Ibu Madura juragan warkop juga bilang begitu. Mbah Google pun sama.  "Saya sering dengar kalau dulunya bioskop. Tapi saya gak ngalami," kata si Madura yang usianya 60-an tahun.

Yousri Rajaagam, wartawan senior, punya catatan paling lengkap seputar bioskop-bioskop di Surabaya. Mulai era penjajahan Belanda, awal NKRI, Orde Lama, Orde Baru, hingga bioskop-bioskop lama gulung tikar diganti sineplex 21.

Namun, Yousri tidak banyak menguraikan bioskop di Kalimati, Pabean, Surabaya. Dia cuma bilang Bioskop Tionghoa. Film-film Mandarin jadi menu sehari-hari di bioskop yang cukup luas tersebut.

"Itu dulu Bioskop Nanking kalau gak salah," kata seorang pedagang buah dan rujak manis di dekat kantor BCA itu.

Film-filmnya Mandarin semua? Atau campuran dengan film Barat dan Indonesia?

"Waduh.. gak menangi aku. Banyak fotografer yang ambil gambar di sini," katanya.

Yah... bioskop-bioskop memang pernah sangat jaya di tanah air. Surabaya sebagai kota terbesar kedua punya puluhan bioskop. Bahkan bisa di atas angka 100. Mulai bioskop paling elite Broadway, yang karcisnya sangat mahaaal, hingga bioskop-bioskop kelas bawah di pinggiran kayak Rungkut Theatre atau bioskop di Wonokromo.

Bioskop  Nanking, Sampoerna Theatre, Capitol, Alhambra, hingga bioskop kelas kaki lima di Kalisosok yang kini tinggal nama. 

Dulu saya sering nonton film di Surabaya Theatre dekat Tugu Pahlawan dan Mitra di Balai Pemuda. Sekarang tinggal kenangan. 

Gedung megah eks Surabaya Theatre bahkan dipasangi spanduk besar: DIJUAL. Padahal, dulu saya sering nonton artis Ervinna membawakan lagu-lagu pop Mandarin saat Sincia.

9 komentar:

  1. Singkong adalah camilan favorit istri-saya. Kalau saya ke pasar di Tiongkok, untuk membeli gabah, jewawut dan ulat untuk pakan burung2 gelatik, selalu si istri pesan, jangan lupa membeli pohong.
    Singkong itu saya serahkan kepada babu-amoy, Siao-mey. Dia langsung tahu caranya memasak singkong. Di-KUKUS bukannya Di-REBUS.
    Pernah sekali Siao-mey saya tegur, karena singkong nya setelah dikupas dan dicuci sebentar, langsung dikukus.
    Saya bilang ke dia, getah singkong mengandung racun, setelah dikupas harus dicuci dan direndam agak lamaan, tidak boleh langsung dikukus.
    Siao-mey adalah seorang anak petani. Ayah-ibu dan leluhurnya semua petani. Saya anak Taoke sok keminter ngajari dia tentang cara memasak pohong, opo tumon !
    Siao-mey mengkuliahi saya; Laoban, Mu-Shu (木薯), alias singkong, ada dua macam, yang kulit dalamnya berwarna merah muda, itu bisa langsung dimasak. Yang kulit dalamnya berwarna putih, itu tidak layak dikonsumsi, hanya untuk diolah menjadi tepung kanji.
    Pernah sekali, saya dan istri boncengan naik bromfit jalan2 ke desa. Di depan kami ada sebuah traktor-gandengan yang muatannya penuh dengan singkong. Singkong nya besar2, sebesar paha orang dewasa. Singkong yang kececeran diatas jalan, saya ambil sambil ketawa gembira, bawa pulang. Sama Siao-mey singkong nya dibuang. Tidak layak dikonsumsi, hanya untuk bikin tepung kanji.
    Di Tiongkok saya berubah, menjelma seperti, jadi Hurek di Indonesia.
    Keloyongan ke pelosok desa2 yang sepi, naik bromfit berdua dengan istri kedalam hutan belukar, kemanapun di Tiongkok, tidak pernah ada rasa takut atau was-was di kepala atau di hati.
    Hidup tanpa rasa takut, itulah freedom sejati.
    Kalau saya memilih: Lieber ROT als TOT. Lebih baik MERAH daripada IJO.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kawasan Kalimati Pabean ini dekat kantor di Kembang Jepun. Tidak sampai 200 meter. Dus, tidak perlu ngeluyur jauh-jauh untuk cari pohong rebus atawa tape singkong. Yang jual ya cuma ibu madura itu.

      Kita orang memang makin lama makin seneng suasana dan makanan masa lampau ala di kampung dulu. Seneng sego jagung, samiler, pohong rebus, jemblem, polo pendhem dan panganan² wong ndeso lainnya. Selain karena makin tua, makanan² tempo doeloe katanya lebih sehat karena indeks glikemiksnya rendah.

      Hapus
  2. Jika Bung Hurek berdiri didepan pintu gerbang bioskop Nanking dan menghadap ke arah wetan, jalan kira2 50 meter, disebelah kiri jalan ada bangunan besar kumuh bercorak tiongkok, sebelah kanan nya ada gang masuk ke dalam pasar, itulah Hap-Tik Kongsie milik Mbah Buyut saya.
    Jalan lagi ke arah wetan 15 meter diseberang jalan, juga ada bangunan besar, kumuh, bercorak tiongkok, itulah Hap-Ing Kongsie, milik thay-cekkong.
    Konon gedung Hap-tik itu sangat besar dan dalam, sampai tembus ke jalan Panggung. Dalamnya banyak gudang2 untuk menyimpan biji kopi.
    Dulu saya sering menemani mama belanja ke Pasar Pabean, sering lewat gang sebelahnya Hap-tik, tetapi tidak pernah masuk ke dalam gedung.
    Tahun 1905 ketika Mbah Buyut meninggalkan Hindia Belanda dan pulang ke kampung halaman-nya di Quanzhou, dia sudah membagikan hartanya kepada anak2-nya. Saya sebagai cicit, tidak boleh asal masuk ke rumah milik sepupu-saya.
    Tahun 2011 saya ketemu paman pemilik Hap-tik, di rumahnya Mbah Buyut di Quanzhou-China. Dia bilang, kalau saya kebetulan di Surabaya, harus mengunjungi nya. Tetapi dia sekarang sudah tiada, anak2-nya saya tidak kenal. " Buat apa cari kenangan baru " ?
    Wang shi zhi neng hui wei.
    Waktu di Quanzhou, di rumah Thay-kong, saya, paman, dan seorang tante, bermusyawarah tentang rumah2, toko2, warisan milik Thay-kong.
    Tante bilang: gua sudah tua dan sakit2-an, tidak sanggup lagi ngurusi harta warisan engkong. Kebetulan kalian berdua ada disini, mari gua tunjukkan semua rumah2 dan ruko2 milik engkong (thay-kong bagi-ku).
    Dia bertanya kepada paman, apakah sanggup mengurus harta waris.
    Paman menolak, beralasan, dia sendiri punya banyak rumah dan urusan dagang di Surabaya.
    Paman berpaling kepada saya dan bertanya dengan bahasa Jawa, apakah saya mau ? Saya jawab: Emoh Cek, omah-ku dewe 6 biji. Nggak gelem golek perkoro liane maneh !
    Ruko2-nya besar2 di pusat kota Quanzhou, tepatnya di Zhong-Shan-Lu, ruas jalan itu adalah seperti Jalan Tunjungan nya Surabaya.
    Karena arsitekturnya kuno, maka oleh pemerintah dijadikan Cagar-Budaya Kota-Tua. Cagar-Budaya ? Tidak boleh diubah, tidak boleh diambrukkan, tidak bisa dijual karena ahli warisnya banyak, Gawe Opo Cek !
    Harta karun tidak bisa dibawa mati, ocehan macam itu ternyata ada benarnya juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamsia kamsia... ini informasi yang sangat menarik tentang siangsen punya keluarga yang hartawan dan punya pengaruh di Oud Soerabaia. Kita orang tambah semangat blusukan ke Pabean lihat² pemandangan tempo doeloe sambil ngopi.

      Hapus
  3. Menarik banget rek soal gedung BCA di Pabean yg ternyata eks bioskop terkenal masa lalu. Kawasan itu sekarang kayaknya semrawut banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bioskop yang terkenal doeloe, Broadway, Capitol, Metropol, Rex.
      Kalau Nanking, milik sepupu-saya, hanyalah setingkat dengan Nusantara, bioskop kelas dua, untuk golongan encek dan encim.
      Yang paling soro ialah bioskop kecil dipojok jalan Jagalan dan Peneleh, saya dan teman2 menyebutnya Bioskop Tinggi, sebab tempat duduknya penuh kutu bangsat. Kalau Nanking dan Nusantara suka memutar Film Mandarin, sedangkan Alhambra dan Bioskop Tinggi suka memutar Film India, dengan Star-nya Raj Kapoor, yang lagu dangdutnya nehik, nehik....

      Hapus
    2. Wah.. bioskop tinggi memang sangat banyak di masa lalu. Pengurusnya malas bersihkan tempat duduk dan sirkulasi udara sangat buruk. Saat sekolah di SMA dan kuliah kita orang sering nonton itu bioskop² tinggi. Memang parah tapi begimana lagi?

      Ada juga bioskop misbar, gerimis bubar, open air theater. Yang paling terkenal Bioskop Kelud di Malang. Saya pernah nulis soal misbar Kelud di blog lawas dan sangat viral. Tempat duduknya di papan. Penonton desak-desakkan kayak nonton bola aja.

      Hapus
  4. Kalau di jaman 70-an dan 80-an, bioskop2 utama tempat filem2 barat pertama kali ditayangkan itu Mitra, Surabaya. Barulah setelah beberapa hari atau minggu (tergantung laku tidaknya) menurun ke bioskop2 lainnya seperti Ria, Indra.

    Bioskop2 yang memutar filem2 kungfu (Cino tukaran, jarene wong Jowo) dr Hongkong dan filem2 roman dari Taiwan (Cino pacaran) ialah International di Pecindilan dan King / Queen di Alun2 Contong. Kemudian ada Pasar Atum juga.

    Bioskop2 tsb mati oleh krn tumbuhnya bioskop2 multiplex di mall yang dimiliki keluarga Sudwikatmono (saudara tiri Suharto) dgn monopoli peredaran filem asingnya. Berbarengan juga dengan merajalelanya video cassette recorder (VCR) dan kaset2 video bajakan Betamax.

    Jaman sekarang orang hanya mau ke bioskop nonton filem2 action atau filem2 musikal yang membutuhkan sound system yang prima. Kalau hanya drama, bisa dinikmati di HP atau TV di rumah. Apalagi sekarang ada streaming.

    BalasHapus
  5. Gak nyangka kalo gedung kantor BCA di Pabean itu dulunya bioskop terkenal di Surabaya. Kelihatan megah memang.

    BalasHapus