Semalam ada dua pertandingan sepak bola kelas kakap. Big game. Barcelona vs Real Madrid dan MU vs Liverpool. Kedua laga tidak terlalu larut. El Clasico kali ini tidak lagi di atas pukul 01.00 WIB.
Saya nikmati kedua laga itu. Anggap saja hiburan penambah imunitas badan di masa pandemi covid. Sayang, Manchester United meski sudah diperkuat Ronaldo tetap saja melempem. Dipermalukan 0-5 di depan pendukungnya.
Mo Salah jadi protagonista dengan borong tiga gol. Ronaldo dan Pogba jadi antagonista. Pogma kena kartu merah. Mestinya Ronaldo juga begitu. Masih untung cuma dapat kartu kuning.
El Clasico kali ini hambar. Ibarat sayur tanpa garam. Tanpa superstar sekelas Messi dan Ronaldo, maka Barcelona vs Real Madrid tidak jauh berbeda dengan pertandingan-pertandingan lainnya di Eropa.
Saya tidak terlalu sedih meski Barca kalah 1-2. Tim asuhan Koeman itu memang masih jauh dari era keemasan Tika Taka. Atau era Ronaldinho dulu yang bagaikan tukang sihir di lapangan hijau.
Nonton dua pertandingan sekaligus ujung-ujungnya membuat badan lelah. Mata ngantuk berat. Aku pun ketiduran di dalam gedung tua di kawasan Oud Soerabaia. Dekat medan pertempuran Arek-Arek Suroboyo di kawasan Jembatan Merah yang terkenal itu.
Syukurlah, tidak sempat mimpi ketemu nonik- onik atawa mevrouw Belanda yang galak-galak. Ada tasbih kecil 33 biji dari kawasan Ampel yang saya beli saat mampir wisata ke sana. Tasbih itu dipakai untuk mendaraskan Ave Maria Gratia Plena....
Senin pagi, 25 Oktober 2021. Aku balik lewat Kembang Jepun, berhenti sejenak di pinggir Jalan Kapasan. Ada dua lapak surat kabar. Satunya ibu-ibu, satunya bapak-bapak. Jualan koran jauh sebelum ada internet.
Aku pun membeli koran Jawa Pos dan Kompas. Lalu ngobrol sejenak, pura-pura wawancara khas pegawai pemasaran yang menyamar. "Korannya laku, Bu? Beritanya menarik gak?"
"Alhamdulillah, ada saja rezekinya. Masih banyak yang beli koran kok," kata mama yang logatnya agak berbau telo lema.
Wawancara atawa survei pasar enteng-entengan seperti ini memang tidak boleh gratisan. Harus membeli korannya dulu. Bila perlu uang kembalian dijadikan tips.
Ibu itu bilang penjualan koran merosot sejak ada internet, media sosial, dan sebagainya. Ditambah PSBB yang kemudian ganti nama berkali-kali, PPKM darurat, level 3, level 3 dst, hasil jualan korannya turun banyak.
"Tapi pembeli-pembeli tetap masih banyak. Ini paling dua jam lagi habis," kata mama itu.
Alhamdulillah.
Kata-kata pedagang koran di Kapasan ini bikin senang orang-orang yang masih bekerja di pabrik media cetak, khususnya surat kabar alias koran. Sudah lama koran-koran diramalkan lekas mati gara-gara dirupsi digital, revolusi internet, dsb. Namun, fakta di lapangan tidak sepenuhnya benar.
Memang benar sudah banyak koran yang gulung tikar dalam 10 tahun terakhir. Majalah-majalah juga begitu. Tapi yang namanya bisnis ya seperti itu. Airlines juga banyak yang bangkrut. Perusahaan taksi lama pun kolaps karena ojek dan taksi online.
Warung, restoran, depot, bahkan gereja sekalipun banyak yang kehilangan pelanggan. Kita orang harus optimistis. Sebab, kitab suci bilang bahwa burung-burung di udara pun Dia kasih makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar