Kamis, 28 Oktober 2021

Nostalgia Alumni Graffiti SMAN 1 Malang

Saya suka lagu-lagu tempo doeloe, nostalgia, tapi kurang suka nostalgia sekolah. Karena itu, saya tidak pernah ikut reuni. Mulai SD di pelosok Lembata, SMPK San Pankratio di Larantuka, SMAN 1 Larantuka lalu pindah ke SMAN 1 Malang, hingga kuliah.

Saya pun hampir tidak pernah kontak-kontakan dengan teman sekolah. Hanya satu orang teman sekolah yang sering kontak. Gabriel Hokon, teman satu kelas di SMAN 1 Larantuka (dulu namanya SMAN 468). Kebetulan Gabriel tinggal di Surabaya dan kayaknya ia perlu teman yang bisa berbahasa Lamaholot dan Nagi alias Melayu Larantuka.

Saya cuma satu tahun di SMAN 1 Larantuka. Lalu kabur bareng ke Jawa bersama teman-teman seperjuangan dari berbagai kabupaten di NTT. Ada yang pindah ke Jogja, Semarang, Malang, dan beberapa kota lain. Saya bersama lima kawan ditempatkan di Malang.

Dua orang di SMAN 1 Malang (Lambertus dan Ivon), dua di SMAN 3 (Yohanes dan Yoke), dan dua di SMAN 4 (Paulina dan Ruth Laiskodat). Praktis tidak ada kontak dengan lima kawan ini meski kami pernah senasib dan sependeritaan. Makan bareng di Belakang RSSA, sempat kesulitan adaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda dengan di NTT.

Entah dapat bisikan dari mana, tiba-tiba ada 'orang penting' yang mencari saya. "Katanya teman satu kelas sampean di SMA dulu. Pak Edwin namanya," kata kolega di kantor. Edwin tinggalkan nomor WA-nya. Minta segera dihubungi.

Edwin.. Edwin.. Daya ingat saya sudah tidak sebagus dulu. Edwin kawan sekelas di SMA? Ouw.. Edwin Kurniawan. Orangnya asyik, suka guyon, bikin kerasan anak pindahan seperti saya.

Begitu saya kontak nomornya, Edwin langsung nyambung. Suaranya sudah beda tapi ketawanya masih khas orang sukses.

Singkat cerita, saya diminta segera masuk WA Group bernama Graffiti Smansa Ngalam. "Sampean dicari teman-teman," katanya.

Saya agak bimbang masuk WAG. Sudah banyak grup yang saya tinggalkan (left) karena materi obrolan dan konten-konten tidak menarik. Hanya bikin penuh memori ponsel.

Tapi ini grup satu kelas sesama Mitreka Satata, julukan populer SMAN 1 Malang. Sama-sama Graffiti: julukan Jurusan Fisika, A1-3. Semuanya saling kenal. Umurnya sebaya. Kalaupun ada selisih usia paling banyak cuma setahun. Tidak akan ada pemalsuan umur atau identitas lainnya.

Satu kelas ibarat keluarga besar. Sama-sama saling tahu kelebihan, kekurangan, kenakalan, kekonyolan, dsb.

Pikir punya pikir.. akhirnya saya gabung grup Graffiti. Dan, nama-nama lawas pun bermunculan. Semula samar jadi terang. Teman-teman yang dulu kurus-kurus kini jarang yang kurus. Itu terlihat dari fotonya. Yang dulu gondrong sudah banyak yang tipis.

Masuknya saya membuat grup mendadak jadi ramai. Kangen-kangenan. Nostalgia. Cerita-cerita ringan, kadang konyol, saat saya digembleng sebagai anak pindahan. Juga siswa asal NTT yang sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Yang logatnya aneh sehingga mengundang tawa.

Di kelas Graffiti, saya memang cukup terkenal. Bukan karena pintar atau punya prestasi, tapi aksen Flores Timur yang kental. Saat itu saya pun belum begitu lancar berbahasa Indonesia baik dan benar.

Saya masih sering keceplosan ungkapan lokal seperti "kita orang", "pigi", "su" (sudah). Kata yang mestinya diucapkan pakai e (pepet) saya lafalkan dengan é.

Karena itu juga, saya sering digembleng oleh beberapa guru. Sering sekali disuruh maju di depan kelas. Jadi pusat perhatian teman-teman sekelas yang 40-an orang itu.

Salah satunya Pak Supaat, guru bahasa Indonesia. "Lambertus maju. Coba ceritakan ulang isi bacaan tadi!" perintahnya.

Mati aku! Saya pun maju dan mulai orasi. Menceritakan kembali bacaan dari buku teks bahasa Indonesia itu. Logat NTT sengaja saya tonjolkan, narasinya saya tambahi sendiri agar lebih menarik. Kawan-kawan sekelas pun tertawa ngakak.

Hari lain, Pak Paat menulis kalimat majemuk, panjang, dengan sejumlah kesalahan. "Lambertus maju! Coba Anda jelaskan mengapa kalimat itu salah," katanya.

Tidak mudah memang berdiri di depan kelas di hadapan 40 orang. Apalagi orang desa asal NTT disuruh berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar di depan para pelajar Kota Malang dengan status sosial ekonomi tinggi.

Asal tahu saja, SMAN 1 dan SMAN 3 tergolong sekolah negeri favorit di Malang. Hanya anak-anak yang NEM-nya tinggi yang bisa diterima. NEM saya pun jauh di bawah standar. Saya bisa masuk SMAN 1 Malang karena ada rekomendasi Dikbud NTT.

Kembali ke WAG. Luluk rupanya masih ceria dan telaten mencatat nama-nama teman satu kelas di Graffiti Smansa. Nama saya paling buntut karena anak pindahan. Sama dengan masa sekolah dulu.

Ira yang murah senyum, ramah, tidak banyak bicara, tekun ternyata sudah jadi dokter. Ira sempat share lomba nyanyi dan joget dalam rangka hari jadi rumah sakit tempat kerjanya. Dapat hadiah Rp 500 ribu katanya.

Gak nyangka Ira yang pendiam sudah begitu centil dan heboh begini. Mungkin sejak kuliah di kedokteran. Dokter-dokter memang perlu gembira khususnya di masa pandemi ini. Biar pasien senang dan tahan menghadapi serangan virus.

Bagaimana dengan Sri Astuti? "Sudah nggak ada," tulis seorang kawan di grup.

Oh, Tuhan!
Sri sudah berpulang.

Saya jadi ingat kawan yang satu ini. Periang, ramah, dan sering gojlok saya saat belajar mengenal kata-kata bahasa Jawa. Doaku untukmu Sri.. semoga tenang bersama-Nya.

12 komentar:

  1. Lupa teman sekelas di masa sekolah adalah hal yang lumrah. Di Jerman ada ungkapan : "Aus den Augen aus dem Sinn", Jauh di mata jauh di hati.
    Menurut pakar ahli jiwa, fenomena itu disebabkan karena kapasitas daya tampung otak kita tidak cukup untuk menyerap segalanya dan semuanya.
    Salah seorang pegawai saya dulu pernah berkata : Chef, apakah anda kenal dengan nama seseorang, Ludwig Thoma ?
    Saya mengangguk, sebab Ludwig Thoma adalah seorang pengarang buku bangsa Jerman yang terkenal.
    Pegawai ku, si Monika, nyerocos lagi: Tahukah anda, bahwa si Thoma itu saking nakal dan gebleknya, mulai kelas satu sekolah rakyat sampai dia lulus SMA, gonta-ganti sekolahan sampai delapan kali ?
    Saya hanya tersenyum dan mengangguk. Dalam hati saya membantah : Ah, si Thoma gonta-ganti sekolah cuma delapan kali. Aku ini, Chef mu, sejak kelas satu SR sampai lulus SMA, sudah pernah gonta-ganti sekolahan sebanyak sepuluh kali.
    Mangkanya setiap hari raya Ceng-beng, saya diseret oleh mama kedepan meja sembahyangan, dipaksa berlutut sambil memegang dupa, mama minta kepada arwah suami-nya, supaya selalu mengawasi anak nya yang satu ini, supaya tidak mbolosan, supaya rajin belajar, jangan sampai tidak naik kelas lagi,..........
    Yah kejadian yang telah berlalu tak akan datang kembali dan tak mungkin diulang kembali, hanya bisa dikenang rasa pahit-getir nya atau rasa enak-manis nya. Ungkapan cina bilang : Wang shi zhi neng hui wei.
    往事只能回味. Ada lagunya di Youtube dari Teresa Teng.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu lagu pop mandarin yg sangat interesan. Syairnya sangat menyentuh.. dan memang seperti itulah.

      Dui dui dui... kapasitas otak kita sudah tidak mampu untuk mengingat begitu banyak informasi masa lalu. Tapi kalau ada yang cerita, apalagi ada visualnya, kita orang jadi inget lagi. Kamsia siansen sudah masih komentar yang berguna.

      Hapus
    2. Jumpa mantan teman sekelas, setelah 58 tahun berpisah.
      Tiga tahun silam, sebelum ada Corona, saya dengan saudara dan ipar, kami semuanya berenam, pergi ke Pulau Dewata untuk ziarah ke makam orang tua.
      Seperti biasa, sarapan di hotel, siang makan nasi be guling, malamnya sopir langganan merekomendasi untuk ke pantai Sanur makan ikan goreng ke warung Mak Beng.
      Sampai di warung, rombongan langsung pesan makanan, dan saya bertanya kepada seorang pelayan; Mak Beng ada di rumah ?
      Jawab nya : Ada, dia di toko sebelah.
      Saya melangkah kesana. Di dalam toko kecil yang agak gelap saya ketemu dengan seorang nenek tua yang keriput dan agak bongkok.
      Saya menyapa: Selamat sore, Cik Jin-niang !
      Nenek tua : Kamu siapa ?
      Saya : Aku bekas teman sekelas mu, di sekolah rakyat.
      Mak Beng (Jin-niang): Masak sih ! ( Dikira aku ini ngaku2 teman sekolah supaya dapat makan gratis, tentu saja dia skeptis ).
      Saya: Tacik dulu sekolah di SR Negeri Tulang Ampiang. Waktu kelas lima guru kita bernama Pak Johanes Cuba, orang Timor Kupang. Waktu kelas enam guru kita Ibu Anak Agung Pudji, dari Puri Jro Kuta.
      Mak Beng, si nenek tua mengangguk. Tetapi masih berkata; Masak sih !
      Teman2 sekelas kita, Lay King anak Pupuan, Wayan Leter anak Sukawati, Min Sian anak Tabanan, Kacung dari Banjar Grenceng.
      Mak Beng wajahnya mulai agak ramah, tetapi masih bilang; Masak sih !
      Saya nyerocos lagi : Tacik dulu, badan-mu paling tegap, rambut mu panjang dikuncir menjadi dua. Baju kesukaan mu bluse warna putih. Lu selalu duduk di bangku paling belakang, mungkin diantar kita, badan lu yang paling besar.
      Si Nenek : Masak sih ! ( Takut, cino edan didepan nya, mau minta makan gratis ).
      Saya: Cik, lu dulu suka sir-sir-an sama teman kita yang badan nya gempal, dia suka latihan bodybuilding, rumahnya di Banjar Panti, ayahnya punya perusahan kecap asin. Namanya gua lupa.
      Mak Beng mendadak jadi sedih, matanya berkaca, dengan suara yang sendu dia berkata: Nama nya ...(aku lupa lagi), dia jadi paranormal, tapi dia sekarang sudah tiada.
      Saya : Sudah Cik, gua harus segera makan di warung lu, nanti gua diomeli oleh saudara2 gua.
      Mak Beng : Sampaikan, selamat makan !

      Sampai di meja makan, rombongan ku sudah hampir selesai makan, hanya piring makanan ku yang belum tersentuh. Bojo-ku langsung ngomel: Pasti dia habis ngerokok dan ngobrol dengan para sopir di pinggir jalan. Dasar bojo Jatim, cangkeme suka nuduh yang bukan2 ! Engkoh-ku matanya sudah mendelik-delik. Memang aku paling senang jagongan sambil ngerokok dengan para kuli, buruh dan sopir. Habis bagaimana lagi, teman2-ku di Indonesia semuanya multi milliarder, mereka semuanya takut mati, anti rokok.
      Selagi aku makan sendirian, sambil hati merasa bersalah, Mak Beng datang ke meja kami. Aku bilang kepada rombongan; Ini Mak Beng, pemilik warung, teman sekelas ku dulu.
      Rombongan-ku lantas jagongan sama Mak Beng, dan aku bisa makan dengan hati tentram.
      Sebulan sebelum aku ke Bali, ada seorang teman sekelas di SMA yang melancong ke Tiongkok. Dia menelpon ku dan minta bertemu. Aku sambangi dia di Hotel nya. Disana kita ngobrol masa kecil, dan kebetulan cerita tentang Warung Mak Beng yang tersohor diseluruh Nusantara. Dulu tahun-'50an, di Pantai Sanur memang hanya ada satu bangunan gubuk, yaitu warung orang-tua nya Yang Jin-niang, teman sekelas-ku itu. Waktu itu Pantai Sanur dan Pantai Kuta masih kosong melompong, sama sekali tidak ada bangunan. Seluruh pulau Bali penduduknya paling banyak satu juta manusia.
      Setelah aku selesai makan, rombongan langsung pulang ke hotel.
      Yah, setelah 58 tahun berpisah, ketemu dan ngobrol hanya 10 menit, lalu berpisah lagi, mungkin sampai mati tak akan ketemu lagi. "That is life".
      Mak Beng masih sempat bilang ke pelayan-nya, tamu2 ini tidak usah ditarik biaya. Mana kami mau terima kebaikan itu. Lha wong ipar-ku dan aku juga multi milliarder Rupiah.
      Rekening jelas dan beres, barulah bisa jadi teman sejati.

      Hapus
    3. Kamsia banyak untuk Siansen punya cerita nostalgia di Bali yang sangat interesan. Sanur dan Kuta masih kosong melompong. Kenangan lama yang samar setelah setengah abad lebih. Cinta monyet ala anak² dsb.
      Cerita nostalgia memang tidak ada habis-habisnya. Apa yang dulu kita anggap tragedi, derita, disetrap bapa guru, dapat sanksi macam²... sekarang jadi komedi segar setelah waktu berlalu 20 tahun, 30 tahun dst.

      Hapus
    4. Tiyang, anak Bali, merasa heran dan tidak bisa habis pikir, selalu di kepala bertanya, Warum, Mengapa, Wei-shen-me ??????
      Tahun -´50an, belum ada sensus penduduk di Bali, diperkirakan penduduk Bali sekitar 1 juta jiwa.
      Mengapa waktu itu, banyak teman2 bali-saya ditransmigrasi ke pulau Sulawesi, Sumatra dan Kalimantan ??
      Mengapa Cina-bali yang sudah sejak ber-abad2 hidup, berpianak di Bali, disuruh balik ke Tiongkok, mendirikan kampung-kampung Bali di desa Xinglong, di desa Bincunshan, Pulau Hainan, atau Kampung Bali di desa Nanshan, Kabupaten Luojiang-Quanzhou.
      " Menyusui Beruk di Hutan ".

      Hapus
  2. Sama Bung Lambertus. Saya pun tidak suka ikut grup2 alumni sekolah, baik SD, SMP, SMA. Karena isinya yg SD dan SMP tiap hari pasti ada pornografi. Saya tidak suka hanya lihat2 saja, maunya ya langsung gasak. Kalau sudah gasak, tidak perlu cerita2 pamer, dinikmati sendiri saja. Yg SMA, ada saja yang berhaluan politik ekstrem, atau beragama ekstrem. Jd cape dengerinnya.

    Sy ikut grup WA hanya dgn kakak2 saya, demi koordinasi perawatan orangtua. Selain itu, saya ikut sekumpulan teman2 SMP dengan syarat saya ga mau ada pornografi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe.. ikut grup² itu ada plus minusnya. Kadang ada informasi penting yang hanya ada di grup itu saja. Malah lebih detail ketimbang di portal² berita. Tapi di sisi lain ya seperti itulah.
      Grup alumni sebenarnya bagus juga. Tapi karena kita sudah pisahan bertahun-tahun, maka selera, haluan, lagak dan gaya sudah berbeda-beda. Ada yang suka joke konyol Tiktokan tapi ada juga yang tidak suka. Kita sulit menduga isi hati orang.

      Hapus
  3. Sudah menjadi kebiasaan untuk reuni mengenang masa2 lalu ketika masih sekolah. Tapi biasanya tidak semua orang punya waktu untuk ikut reuni karena kesibukan pekerjaan, urus anak cucu dsb. Grup2 WA atau FB di masa sekarang sangat membantu para alumni untuk melakukan reuni secara online tanpa harus kopdar.

    BalasHapus
  4. Bung Hurek, biyen sing sampeyan sir i kuwi, mbak Sri opo mbak Ira ?
    Patah hati yo ? Cinta-nya hanyalah Cinta-Monyet ?
    Aku kenal bojoku waktu doi di SR kelas-5 dan aku di SMA kelas-1.
    Setelah berpisah selama 13 tahun, lalu kebetulan kami ketemu lagi di Heidelberg, langsung areke tak kawin.
    Pokoke I don´t care what her mom says. Mau sesambat; Aduh biyung anak wedhok ku koq dikawin karo cino singkek ! Emangnye gue pikirin !
    Setelah menikah 45 tahun, aku pernah berkata kepada doi;
    Lu itu koq sekarang jual mahal kepada ku !
    Jawah-nya: Ya, salah-ku dulu jual murah kepada lu !
    Asem, dasar cangkeme bojo jatim, pinter kalau cari alasan.
    Yah, begitulah cinta-monyet kalau menjadi nyata.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apik ceritanya siansheng punya cinta monyet jadi cintrong beneran. Biyen ayas rodo kesulitan adaptasi dan agak stres. Sering ketinggalan pelajaran dan selalu dapat R (remedial) pelajaran gambar proyeksi.

      Mangkane gak iso sir-sirian. Ayas lebih sering cari pelarian nonton bioskop misbar Kelud yang paling murah sedunia. Kebanyakan film India dan cino tukaran hehehe.

      Hapus
    2. Sebelum cinta-monyet-ku jadi kenyataan, justru hidup-ku jauh lebih nyaman dan happy, bisa Cintrong-cintrong ngalor ngidul.
      Sekarang aku dibelenggu virtual. Anting-anting-kerbau di hidung ku, tak tampak, tapi terasa. Salah sendiri lah, kalau sudah napsu lantas otak melorot ke celana.
      Ya sami mawon, kita dikotoki terus2-an, disuruh gambar proyeksi, disuruh narik akar, disuruh menggambar ethanol, butanol, ditanyai yang tidak karuan2, dimana letaknya Uruguay. Siapa sih diantara kita, orang Nusa Tenggara, yang mau ke Uruguay, kecuali orang2 yang gila sepak bola.
      Bukannya diajari caranya sir-sir-an yang bener, malah disuruh corat coret aljabar.
      Saya punya 3 orang cucu. Yang terkecil saya tanya: Gehst du gerne zur Schule ?(Kamu senang ke sekolah?) Dia meng-geleng2-kan kepala. Saya tersenyum, dalam hati berpikir, ini anak jujur dan pandai.
      Sekolah terlalu lama, hanya bikin orang jadi sinting.
      Kalau kita orang bodoh melihat hujan, yang kita pikirkan adalah cari payung. Tetapi kalau orang terlalu pandai, otaknya berpikir GRAVITASI. Supaya air hujan tidak masuk kedalam rumah, kita orang bodoh membuat selokan atau gorong2, tetapi orang super pandai ngoceh Sunnatullah.
      Kalau orang normal jadi gubernur, dia akan kerja, kerja, kerja, membuat rumah susun sewa untuk rakyat jelata, membangun pukesmas dengan pengobatan gratis, bikin gorong2 dan tanggul2 biar tidak kebanjiran. Kalau orang jenius asal dan lulusan luar negeri jadi gubernur, dia akan pamer kepandaiannya, pernah membaca literatur bahasa asing, Panem et Circenses, alhasil program pemerintahannya Nasi-Bungkus-Gratis dan Balapan Formula-E.

      Hapus
    3. Hehehe.. pejabat lulusan luar negeri sing kepinteran ya ngono kuwi. Ono sing lulusan eropa, amerika, arab, tiongkok idenya macem² melambung ke awan. Grafitasi itu sunatullah, hujan turun ke bumi, air mengalir sampai jauh ke laut, kata lagu Bengawan Sala.

      Kita orang pindah² sekolah itu tantangannya sangat berat karena harus adaptasi berkali-kali. Bahasa yang sulit karena di Jawa Timur saat itu bahasa Indonesia tidak laku. Cuma untuk bahasa pengantar pelajaran dan acara² formal saja. Bahasa Jawa Malangan benar² dominan.

      Blessing in disguise: Ayas (saya) dipaksa lingkungan untuk belajar bahasa daerah yang baru. Di Jember dipaksa belajar bahasa Madura karena 80 persen rakyatnya ngomong Madura. Akhirnya ayas bisa beberapa bahasa daerah.. dan mudah menirukan aksen macam² hehe.

      Hapus