Mengapa harus mereka yang terpilih menghadap?
Pasti ada hikmah yang dapat kita petik
(Ebiet G Ade)
Musibah di Jolotundo, Trawas, Mojokerto, ini bikin aku ikut terguncang. Pohon besaaar tumbang menimpa warung. Delapan orang jadi korban.
Tiga korban di antaranya meninggal dunia. Para korban berasal dari kawasan Jolotundo, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas. Mereka sedang istirahat di warung tak jauh dari cagar budaya petirtaan Jolotundo yang terkenal itu.
Saya kenal Riyan Amim, salah satu korban yang meninggal dunia. Masih muda di bawah 20 tahun. Putranya Mbak Ningsih, pemilik warung. Mbak Ningsih putrinya Bu Saning. Bu Saning putrinya Mbah Jono.
Saya kenal betul empat generasi pemilik warung di depan bumi perkemahan milik Perhutani itu. Mulai Mbak Jono (alm) hingga cicitnya Riyan. Saya begitu dekat dengan mereka.
Mbak Jono berumur panjang. Baru meninggal tahun lalu. Usianya di atas 120 tahun meski doyan merokok. Sebaliknya Riyan hanya dapat kesempatan hidup selama 20 tahun. Malaikan menjemputnya bersama pohon besar yang tumbang itu.
Ngeri.. amat ngeri membayangkan kejadian tersebut. Rekaman video dan gambar di internet bikin saya bergidik. Delapan korban sekaligus di warungnya Mbak Ningsih itu. Tiga orang meregang nyawa. Semuanya 20-an tahun.
Betapa tidak. Saya sering mampir, nongkrong, baca buku, bahkan bermalam di warung itu. Mbah Jono (alm) menyiapkan tempat di pojok depan untuk saya tidur malam. Lengkap dengan selimut tebal warna merah.
"Kemulan ben gak adhem," kata Mbah Jono yang tidak pernah ngomong kromo inggil itu. "Kopine pait yo?" Begitu kata-kata nenek yang pertama kali buka warung di kawasan Jolotundo itu.
Setelah tahlilan 40 hari Mbah Jono, saya mulai jarang mampir ke warung itu. Apalagi Bu Saning pun mewariskan warung itu ke Ningsih. Bu Saning sendiri turun buka warung lagi bersama suami barunya (siri).
Maka, ada semacam gap komunikasi dengan generasi ketiga dan keempat. Saya lebih nyaman ngobrol panjang bersama Mbah Jono dan Bu Saning. Dengan Riyan yang Gen Z sulit karena generasi ini lebih fokus main media sosial atawa gadget. Karena itu, saya tidak pernah ngobrol lama dengan Riyan dan kawan-kawannya.
Rencananya, akhir pekan saya naik lagi ke Jolotundo. Bermalam di warung itu. Menikmati suasana hutan yang sejuk dan aroma dupa dari petilasan Jolotundo dan Narotama. Tapi batal karena hujan lebat. Tidak nyaman kalau hujan deras di Jolotundo. Gazebo-gazebo sederhana sudah pasti basah kuyup.
Lalu datanglah berita duka itu. "Warungnya Mak Saning ketiban pohon. Riyan gak ada," kata Mas Sembada lewat rekaman suara di WA.
Tak lupa ia menyebut nama-nama korban. Tiga orang meninggal. Lima lainnya dirawat di rumah sakit. "Saya barusan ngubur Mas Riyan," ujar Sembada yang juga masih kerabat dekat almarhum Riyan.
Tak ada yang bisa kita lakukan saat mendengar berita dukacita selain kirim doa. Semoga Riyan dan kawan-kawan yang berpulang itu diterima di sisi-Nya. Dan semoga Mbak Ningsih, ibunya, Bu Saning, kakeknya, diberi kekuatan untuk menghadapi ujian ini.
Mengapa harus Riyan dkk yang terpilih menghadap?
Mengapa harus warung yang sudah lama jadi jujukan itu yang ketiban pohon?
Kasihan keluarganya.
BalasHapusLambertus, saya mau nanya. Mengapa orang masih kawin siri seperti Bu Saning ini (walaupun saya anggap tidak ada halangan dari istri pertama)?
Nikah siri memang sangat umum di kawasan itu. Bahkan sudah jadi semacam budaya masyarakat. Nikah siri itu memang perkawinan yang sah sesuai dengan hukum agama Islam. Tapi tidak punya kekuatan hukum negara. Legalitasnya tidak ada.
HapusKawin siri ini jadinya easy come, easy go. Makanya ada wanita di kawasan Jolotundo sana yang menikah siri sampai 9 kali. Cerai dengan suami pertama, nikah lagi dengan laki-laki lain. Begitu seterusnya.
Memang sangat menarik (dan aneh) kebiasaan sejumlah warga di sana. Tapi ya mau bagaimana lagi?
Oh ya, anak hasil kawin siri itu dibesarkan ibunya. Ada juga ibu muda yang lebih suka menitipkan anak di ibunya (nenek si anak) kemudian dia kawin siri lagi.
Kawin siri itu kalau di kota-kota macam Surabaya artinya kawin sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui istri yang sah.
Nah, di kawasan Jolotundo ini bukan nikah rahasia karena semua orang desa tahu itu. Dan biasanya kawin sama janda.
Setelah membaca penjelasan Rika tentang kawin siri, isun tambah yakin, bahwa agama römisch-katholisch yang Rika peluk adalah agama yang paling tolerant, tidak munafik.
Hapus54 tahun saya hidup di tengah masyarakat römisch-katholisch, memang begitulah pandangan mereka tentang kawin siri, kawin easy come easy go, sowhat ! sharing rondo, apa urusan nya dengan lu.
Untuk perempuan bule, siri-siri-an 9 kali, masih tergolong kelas menengah, rata-rata. Tetapi ada juga nenek-nenek eropa yang usianya sudah lewat dari 80 tahun, tetapi attest kedokterannya virgo intacta. Dunia memang sinting.