Sabtu, 06 November 2021

Teman lama jadi romo, sungkan ngaku dosa

Ada pater di Banyuwangi yang viral di media sosial dan media online karena toleransinya yang tinggi. Romo Tiburtius Catur Wibawa, O.Carm bikin musala di Griya Ekologi Kelir, Desa Kelir, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Griya itu tempat pelatihan milik SMA Katolik Hikmah Mandala Banyuwangi. Romo Catur rupanya ditugasi Yayasan Karmel Keuskupan Malang untuk berkarya di sekolahan itu. Sang pater mendirikan musala itu pada 2019. Bisa menampung 12 sampai 15 jamaah.

"Ketimbang pengunjung-pengunjung yang muslim kesulitan tempat salat," kata pater asli Banyuwangi itu.

Banyak sekali komentar-komentar yang mengapresiasi gebrakan Catur Wibawa. Di tengah arus intoleransi yang makin deras, seorang pastor Katolik justru bikin musala. Malah ia mempersilakan kalau ada orang Hindu yang bikin pura kecil. Orang Buddha bikin wihara mungil.

"Asal konsepnya pakai rumah Osing. Griya Maria pun pakai Osing," kata sang pater karmelit itu.

Saya ikut kagum dengan Romo Catur. Sekaligus kaget karena dia sudah jadi pastor yang punya warna sendiri. Agak beda dengan klerus-klerus kebanyakan di tanah air.

Dulu saya dekat banget dengan Catur sewaktu di Jember. Sama-sama kos di Jalan Kalimantan, kawasan Tegalboto. Saya di Gang 14, Catur di Gang 20-an. Jalan kaki tidak terlalu jauh.

Catur punya tape compo yang besar. Punya kaset-kaset cukup banyak. Saya hanya punya tape sederhana. Kaset-kasetku tak sampai 10 biji. Itu pun kurang bagus. Cuma Whitney dan "Bad" Jackson yang oke. Saat itu harga kaset terlalu mahal.

Maka, saya sering mampir ke kamarnya Mas Catur untuk nyetel kaset. Kebanyakan lagu-lagu Barat lawas nostalgia. Kayak Imagine, Welcome to My Word, Dream Dream Dream, Send Me the Pillow.. kayak gitu lah.

Catur juga punya banyak buku filsafat, teologi Katolik, pendalaman kitab suci, tulisan romo-romo. Kuliah di Universitas Jember tapi kok banyak buku kayak anak seminari? Saya penasaran memang.

Tapi Catur memang sudah kelihatan punya bakat jadi romo saat di Jember. Rajin misa bukan hanya hari Minggu. Sering mengajak saya dan teman-teman doa rosario dan baca kitab suci, ikut kor, dan sebagainya.

Suatu saat saya diajak ke kampung halaman Catur di Tegaldelimo, Banyuwangi. Kampung yang indah dengan sawah yang luas menghijau. Orang Katolik tidak banyak di situ. Orang tua Catur jadi pimpinan stasi.

Hari Minggu ada ibadat sabda tanpa imam. Sebab pastor-pastor kurang dan biasanya tugas di kota. Maka, seperti di NTT, umat awam yang pimpin sembahyang tanpa imam. Di situlah saya lihat peranan keluarga Catur Wibawa.

Lama tak ada kabar, sekian tahun berlalu, saya tak lagi ingat Catur. Kita orang sibuk sendiri-sendiri dengan segala persoalan dan rutinitas. Hingga saya dengar kabar ada romo di Banyuwangi yang bangun musala yang viral di media sosial itu.

Romo Tiburtius Catur Wibowo, O.Carm.

Saya belum sempat mampir ke griya musala itu sekaligus kangen-kangenan. Tapi saya menduga Catur masih senang menikmati lagu-lagu nostalgia Barat yang tidak meledak-ledak. Kayak Welcome to My World dan bukan Welcome to The Jungle yang sangat populer di kos-kosanku.

"Knock and the door will open
Seek and you will find
Ask and you'll be given
The key to this world of mine"

Dan, yang pasti, saya sungkan mengaku dosa pada teman lama yang sudah jadi pater terkenal.

Berkah Dalem, Romo Catur!
Nyuwun berkat suci!

5 komentar:

  1. Kalau yang anda anggap dosa adalah sesuatu yang bersifat sunnatullah, maka lebih baik tidak beichten. Toh Pak Romo akan tersenyum dibalik kelambu. Seperti teman2-ku di asrama dulu. Beichten hanya alasan, supaya bisa dapat ijin istimewa, keluar dari penjara asrama untuk beberapa jam.
    Paling2 yang diakui sebagai dosa, Pastor saya ngerpek. Pastor saya grayang2 selangkangan sendiri. Setelah disuruh beberapa kali Ave Maria, tidak langsung pulang ke asrama, tetapi bikin dosa baru lagi, keloyongan nonton bioskop ke Alun-alun, atau matanya pecicilan lihat nonik-nonik Cor Jesu di Celaket, ke Pasar Klojen ngandok makan nasi rawon plus kerupuk rambak.
    Bung Hurek, orang hidup harus punya teman baik di tempat yang tepat, perlu untuk katebelece, koneksi, kongkalikong ke Surga pun. Dulu kami mahasiswa Indonesia punya teman pastor bule yang ditugaskan di Flores dan Timor.
    Setelah Missa bersama dia, langsung si Pastor bilang sambil ketawa : Kalian para mahasiswa Indonesia pasti dosa kalian seambrek, aku tidak mau mendengarkan satu persatu, berlututlah kalian, mari aku beri kalian Absolution. Amin.
    Opo maneh dhuwe kanca wong Osing, bereslah !
    Sekolah rakyat kelas 2 dan kelas 3, saya sekolah di Srono. Kelas 4 di Rogojampi. Jadi tiap pagi jam 4 bangun, jam 5 sudah di Stasiun kereta api, nunggu spoor dari Bentjuluk. Saya masih ingat nama stasiun yang disinggahi oleh itu spoor kluthuk. Bentjuluk-Srono-Sukonatar-Wonosobo-Gladag-Rogojampi. Daerah Banyuwangi bagian selatan, termasuk Tegaldelimo, Tjluring, Djadjag, Temoegoeruh, Gambiran, Genteng, Muntjar, dll., adalah wilayah usaha engkong-saya sejak achir abad ke-19.
    Kakek, paman, engkoh dan banyak keluarga saya yang dimakam di Blambangan.
    Tahun 1955 di Blambangan, apalagi Tegaldelimo, ora ono listrik. Pakai lampu templek atau oplik. Tetapi padi, gabah, palawija berlimpah-limpah. Kita negara agraria yang sangat subur, Mbah Buyut-saya orang Tiongkok totok tahu hal itu, sebab itu dia menyuruh putra sulungnya, yaitu engkong-saya untuk menetap sampai mati di Blambangan.
    Lebih baik tanam palawija daripada bikin pesawat. Sekolah jauh2 ke luar negeri, koq jadi tambah goblok bin besar kepala.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nanam palawija vs bikin kapal terbang. Jual kapal terbang buat beli palawija di Muangthai atawa Burma atawa Vietnam. Sawah² di sini mulai berkurang.

      Hapus
  2. Kamsia banban atas siansheng punya cerita nostalgia di tanah Blambangan. Luar biasa.. masih ingat betul jalur sepur kluthuk dari Benculuk sampai Rogojampi, kemudian desa2 di selatan Tegaldelimo, Cluring, Jajak, Muncar sing iwake gedhe² dsb.
    Itulah kawasan tempat kita orang sering jalan² kalau ada pekansi. Warga Katolik di Jember juga biasanya wisata rohani atawa ziarah ke Curahjati. Itu kampung sederhana yang orang katoliknya cukup banyak. Ada Gua Maria yang bagus.

    Pastor Paroki Jember Romo Pandojoputro OCarm, kemudian jadi Uskup Malang, sekarang almarhum, biasa ajak umat pigi ziarah ke Curahjati. Makanya kita orang yang di Jember tidak asing dengan Banyuwangi.

    Kampung halaman Kang Catur (sekarang Romo Catur) di Tegaldelimo dan sekitarnya memang subur makmur lumbung padi. Hasil sawah mereka berlimpah-limpah. Ayem tentrem, makan kenyang gak habis-habis, kerja di sawah juga tidak terlalu ngoyo. Asyik menikmati berkat dari Gusti Allah.

    Oh ya, warga Tegaldelimo tidak pernah sapa laki² dengan Mas tapi Kang. Kang Joko, Kang Bambang, Kang Budi, Kang Catur. Kang Hurek ora ana hehe.
    Siansheng mungkin disapa Kang Udayana.
    Salam sehat selalu Kang!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, inilah Lambertus yang kumaksud. Orang Indonesia itu diberkahi tanah yang subur, dan bisa hidup tenang dengan agraris. Begitulah kehidupan nenek moyang sejak dahulu, hingga penjajah dan sistem kapitalisme penghisap datang.

      Skrg rakyat mau dibohongi lagi oleh kapitalisme berkedok pemerintah pribumi: ayo, kita harus bisa ini bisa itu. Lha opo? Orang hidup bisa tenang kok, mau cem macem.

      Hapus
    2. Dui dui.. kampung halaman Romo Catur di Tegaldelimo dan sekitarnya di Banyuwangi itu memang subur makmur. Mirip lukisan² sawah yang padinya hijau atau menguning.
      Seperti syair lagu Koes Plus: tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Uripe wong kono ayem tentrem.

      Hapus