Perayaan ekaristi atau misa Natal masih online atau dalam jaringan (daring). Sudah dua tahun. Gara-gara pandemi covid yang tak kunjung sudah. Suasananya berbeda jauh.
Misa hari raya ini sepi sendiri. Cukup duduk di depan laptop atau HP. Tidak perlu pakai baju batik atau kemeja baru. Saya hanya pakai kaos Liverpool dan bawahan sarung. Baik misa Vigili Natal dari Katedral Surabaya, Jumat (24/12), dan misa Fajar Natal, Sabtu (25/12), dari Katedral Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, NTT.
Teknologi komunikasi, era digital, membuat kita bisa sangat fleksibel. Termasuk dalam urusan ibadah atau liturgi. Bisa memilih misa yang singkat, bahkan super padat di bawah 30 menit, atau misa yang super lama ala High Latin Mass di internet.
Misa Malam Natal di Katedral Surabaya dipimpin Uskup Surabaya Mgr Vencentius Sutikno Wisaksono. Beliau ini tipe gembala yang efisien, tidak suka bertele-tele. Dan cenderung ke gregorian. "Kita tidak perlu yang dahsyat-dashyat, pakai band, jingkrak-jingkrak," katanya beberapa kali.
Lagu ordinarium misa malam Natal di Surabaya ini memang pakai Gregorian. Misa VIII atau de Angelis yang terkenal itu. Saya hafal karena pernah jadi misdinar saat remaja. Juga pernah jadi dirigen kor kelas lingkungan dan mudika tempo doeloe. Padahal, saya tidak bisa baca not balok. Hanya bisa not angka.
Yang menarik, sebelum misa, ada penampilan Ervinna, penyanyi senior asal Surabaya. Mbak Ervinna membawakan lagu O, Holy Night dalam bahasa Inggris. Meski sudah senior dan jarang muncul ke publik, suara Ervinna masih oke. Pernapasannya pun masih terjaga.
Bapa Uskup Sutikno dalam homilinya menekankan kesederhaan Natal. Apalagi di tengah pandemi. Kita dipaksa dan terpaksa merayakan ekaristi dengan berbagai prokes, protokol kesehatan, selama dua tahun. Namun, menurut Bapa Uskup, tidak boleh menghilangkan sukacita kedatangan Sang Immanuel.
Sabtu, 25 Desember 2021. Pagi-pagi sudah live streaming misa dari Katedral Larantuka. Beda waktu satu jam dengan Surabaya. Karena itu, gereja-gereja di Surabaya belum mulai misa. Kalau mau nggowes pagi, sebaiknya ikut misa daring dari Papua atau Australia. Sebab, misa Natal di Jawa umumnya di atas 09.00.
Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kur yang pimpin misa di Katedral Larantuka. Ada PPKM juga tapi tidak seketat di Jawa kelihatannya. Anggota paduan suara di Flores kelihatannya lengkap, tidak pakai masker, seperti kondisi normal. Beda dengan di Surabaya yang cuma beberapa penyanyi saja.
Kualitas kor di NTT tidak terlalu istimewa. Tapi semangat menyanyi dan memuji Tuhan sangat tinggi. Volume suara mereka selalu keras. Istilah musiknya: forte dan fortessimo. Jarang ada piano dan pianossimo. Karena itu, sulit menang kalau ikut lomba paduan suara tingkat nasional.
Dinamika dan ekspresi itu penting. Menyanyi itu ada halus kasar, keras lembut, cepat, lambat, largo, accelerando, largato dan sebagainya. Saya paham ini semua ya setelah hijrah ke Jawa dan ikut paduan suara yang baek dan bener.
Ada satu lagu lama Natal yang sudah jarang saya dengar. Transeamus! Paduan suara di Larantuka membawakan dengan semangat dan gembira. Transeamus, usque Bethlehem, et videamus hoq verbum quod factum est!
Lagu ini tingkat kesulitannya cukup tinggi. Ada kejar-kejaran ala kanon. Sopran, alto, tenor, bas punya part sendiri-sendiri. Beda dengan Malam Kudus atau Adeste Videles yang homofoni. Salut untuk saudara-saudari di Larantuka yang tetap semangat merayakan Natal di tengah pandemi.
Bagi warga Keuskupan Larantuka di perantauan macam saya, Gereja Katedral Larantuka ini punya keunikan dan keunggulan tersendiri. Mungkin inilah satu-satunya gereja peninggalan Portugis yang masih ada di Indonesia. Beda dengan gereja-gereja tua di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain yang didirikan kolonial Belanda.
Kerajaan Larantuka juga satu-satunya kerajaan Katolik di Nusantara di masa lalu. Karena itu, Raja Larantuka menjadi pelindung gereja tua di kawasan Postoh, Larantuka, itu. Raja Diaz Viera Godindho (DVG) dan keturunannya juga yang menjaga tradisi prosesi Semana Santa selama Pekan Suci Paskah. Ini tidak ada di tempat-tempat lain di Nusantara.
Suasana di Gereja Katedral Larantuka itu praktis masih sama seperti yang saya lihat 30-40 tahun lalu. Bedanya cuma tidak ada lagi organ pipa. Dulu, ketika saya dapat giliran jadi misdidar saat SMP, masih ada organ atau orgel pipa yang megah di balkon belakang. Organis paling top adalah Ama Anton Kedang.
Sepeninggal Anton Kedang, mulai beralih ke organ elektrik seperti di mana-mana gereja. Dan, memang sangat sulit menemukan pemain organ pipa di kalangan generasi muda. Di Jawa yang hebat sekalipun sangat jarang saya temukan pemain organ pipa.
Apalagi dengan gerakan inkulturasi musik liturgi yang sangat intensif pada tahun 1980-an dan 1990-an, dengan buku Madah Bakti, maka otomatis orgel pipa tidak cocok untuk mengiringi lagu-lagu bercorak etnik seperti Sembahan Sudra, Tenang-Tenang Mendayung, Kenanga Bunga Utusan, Di Relung Gunung-Gunung, Ingin Kami Sesaji Sembah, atau Misa Dolo-Dolo yang notabene berasal dari Flores Timur alias Keuskupan Larantuka itu.
"Selamat Pesta Natal," kata Bapa Uskup Frans Kopong di akhir misa.
Selamat Natal... tanpa pesta... karena masih pandemi.
Semoga tahun depan Natal kembali dipestakan, potong sapi, potong babi, potong kambing, makan bersama seperti tradisi di kampung-kampung di Flores Timur dan Lembata.
Misa hari raya ini sepi sendiri. Cukup duduk di depan laptop atau HP. Tidak perlu pakai baju batik atau kemeja baru. Saya hanya pakai kaos Liverpool dan bawahan sarung. Baik misa Vigili Natal dari Katedral Surabaya, Jumat (24/12), dan misa Fajar Natal, Sabtu (25/12), dari Katedral Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, NTT.
Teknologi komunikasi, era digital, membuat kita bisa sangat fleksibel. Termasuk dalam urusan ibadah atau liturgi. Bisa memilih misa yang singkat, bahkan super padat di bawah 30 menit, atau misa yang super lama ala High Latin Mass di internet.
Misa Malam Natal di Katedral Surabaya dipimpin Uskup Surabaya Mgr Vencentius Sutikno Wisaksono. Beliau ini tipe gembala yang efisien, tidak suka bertele-tele. Dan cenderung ke gregorian. "Kita tidak perlu yang dahsyat-dashyat, pakai band, jingkrak-jingkrak," katanya beberapa kali.
Lagu ordinarium misa malam Natal di Surabaya ini memang pakai Gregorian. Misa VIII atau de Angelis yang terkenal itu. Saya hafal karena pernah jadi misdinar saat remaja. Juga pernah jadi dirigen kor kelas lingkungan dan mudika tempo doeloe. Padahal, saya tidak bisa baca not balok. Hanya bisa not angka.
Yang menarik, sebelum misa, ada penampilan Ervinna, penyanyi senior asal Surabaya. Mbak Ervinna membawakan lagu O, Holy Night dalam bahasa Inggris. Meski sudah senior dan jarang muncul ke publik, suara Ervinna masih oke. Pernapasannya pun masih terjaga.
Bapa Uskup Sutikno dalam homilinya menekankan kesederhaan Natal. Apalagi di tengah pandemi. Kita dipaksa dan terpaksa merayakan ekaristi dengan berbagai prokes, protokol kesehatan, selama dua tahun. Namun, menurut Bapa Uskup, tidak boleh menghilangkan sukacita kedatangan Sang Immanuel.
Sabtu, 25 Desember 2021. Pagi-pagi sudah live streaming misa dari Katedral Larantuka. Beda waktu satu jam dengan Surabaya. Karena itu, gereja-gereja di Surabaya belum mulai misa. Kalau mau nggowes pagi, sebaiknya ikut misa daring dari Papua atau Australia. Sebab, misa Natal di Jawa umumnya di atas 09.00.
Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kur yang pimpin misa di Katedral Larantuka. Ada PPKM juga tapi tidak seketat di Jawa kelihatannya. Anggota paduan suara di Flores kelihatannya lengkap, tidak pakai masker, seperti kondisi normal. Beda dengan di Surabaya yang cuma beberapa penyanyi saja.
Kualitas kor di NTT tidak terlalu istimewa. Tapi semangat menyanyi dan memuji Tuhan sangat tinggi. Volume suara mereka selalu keras. Istilah musiknya: forte dan fortessimo. Jarang ada piano dan pianossimo. Karena itu, sulit menang kalau ikut lomba paduan suara tingkat nasional.
Dinamika dan ekspresi itu penting. Menyanyi itu ada halus kasar, keras lembut, cepat, lambat, largo, accelerando, largato dan sebagainya. Saya paham ini semua ya setelah hijrah ke Jawa dan ikut paduan suara yang baek dan bener.
Ada satu lagu lama Natal yang sudah jarang saya dengar. Transeamus! Paduan suara di Larantuka membawakan dengan semangat dan gembira. Transeamus, usque Bethlehem, et videamus hoq verbum quod factum est!
Lagu ini tingkat kesulitannya cukup tinggi. Ada kejar-kejaran ala kanon. Sopran, alto, tenor, bas punya part sendiri-sendiri. Beda dengan Malam Kudus atau Adeste Videles yang homofoni. Salut untuk saudara-saudari di Larantuka yang tetap semangat merayakan Natal di tengah pandemi.
Bagi warga Keuskupan Larantuka di perantauan macam saya, Gereja Katedral Larantuka ini punya keunikan dan keunggulan tersendiri. Mungkin inilah satu-satunya gereja peninggalan Portugis yang masih ada di Indonesia. Beda dengan gereja-gereja tua di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain yang didirikan kolonial Belanda.
Kerajaan Larantuka juga satu-satunya kerajaan Katolik di Nusantara di masa lalu. Karena itu, Raja Larantuka menjadi pelindung gereja tua di kawasan Postoh, Larantuka, itu. Raja Diaz Viera Godindho (DVG) dan keturunannya juga yang menjaga tradisi prosesi Semana Santa selama Pekan Suci Paskah. Ini tidak ada di tempat-tempat lain di Nusantara.
Suasana di Gereja Katedral Larantuka itu praktis masih sama seperti yang saya lihat 30-40 tahun lalu. Bedanya cuma tidak ada lagi organ pipa. Dulu, ketika saya dapat giliran jadi misdidar saat SMP, masih ada organ atau orgel pipa yang megah di balkon belakang. Organis paling top adalah Ama Anton Kedang.
Sepeninggal Anton Kedang, mulai beralih ke organ elektrik seperti di mana-mana gereja. Dan, memang sangat sulit menemukan pemain organ pipa di kalangan generasi muda. Di Jawa yang hebat sekalipun sangat jarang saya temukan pemain organ pipa.
Apalagi dengan gerakan inkulturasi musik liturgi yang sangat intensif pada tahun 1980-an dan 1990-an, dengan buku Madah Bakti, maka otomatis orgel pipa tidak cocok untuk mengiringi lagu-lagu bercorak etnik seperti Sembahan Sudra, Tenang-Tenang Mendayung, Kenanga Bunga Utusan, Di Relung Gunung-Gunung, Ingin Kami Sesaji Sembah, atau Misa Dolo-Dolo yang notabene berasal dari Flores Timur alias Keuskupan Larantuka itu.
"Selamat Pesta Natal," kata Bapa Uskup Frans Kopong di akhir misa.
Selamat Natal... tanpa pesta... karena masih pandemi.
Semoga tahun depan Natal kembali dipestakan, potong sapi, potong babi, potong kambing, makan bersama seperti tradisi di kampung-kampung di Flores Timur dan Lembata.
Ayas iri kepada Bung Keruh. Bung Keruh sudah tau kepada siapa harus mengadu atau berlindung. Ayas sebenarnya ingin minta maaf, tetapi tidak tau kepada SIAPA kah daku memohon.
BalasHapusAyas punya cucu perempuan, Sunbi namanya, sekarang usia 6 tahun, baru masuk sekolah rakyat kelas 1. Dia tahun lalu bertanya kepada ayas :
Engkong, gibt es Gott ? ( apakah ada Gott ? )
Ayas : Natürlich, sehr viele sogar. (Ada, bahkan sangat banyak).
Sunbi : Ich glaube es nicht. ( Aku tidak percaya.)
Ayas : Später irgendwann kommen wir zusammen nach Indonesien, dann zeige ich dir, dort gibt es sehr viel got. Es gibt welche die sauber sind, aber es gibt auch viele, die voll mit Dreck und Müll sind.
(Kapan-kapan kita bersama ke Indonesia, nanti aku tunjuki engkau, disana ada banyak sekali got, ada yang bersih, tetapi ada juga yang penuh kotoran dan sampah. ).
Mendengar kata2-ku, bojoku marah2 : Lu jangan begitu, anak kecil kok diajari yang tidak nggenah !
Yo wis, aku salah, melakukan blasphemie. Aku tanggung sendiri dosa-ku itu, sesuai ajaran Karmapala. Semua dosa2-ku yang sudah menumpuk, biarlah dihakimi oleh Karma. Lainkali mau dijadikan kadroen atau kodok ijo ongkang-ongkang di Cianjur atau Cipanas, yo sakarepe, Terjadilah Kehendak MU kepada diri-ku !
Kok ada banyak manusia yang secara sadar berbuat dosa, kejahatan, tetapi konsekuensi-nya dilimpahkan kepada Yesus Christus, Sang Penebus, Sang Penyayang. Itu menurut ayas tidak fair, kurang ajar, munafik, amoral tidak beretika.
Lu berbuat dosa, harus lu yang menanggung akibatnya. Kok sak enak udele dewe, Yesus Christus disuruh naggung dan nebus dosa2 lu.
Ceek enake, cuma bondo abab, haleluya, haleluya, terus doso-mu ilang ditanggung wong liane, ngono karep mu ? Karma, Karma, Karma !
Karma tidak bisa kalian apusi !
Ada juga yang berbuat kejahatan, membunuh orang tak bersalah dengan bom bunuh diri, tetapi malah minta pahala berupa 72 gadis kinclong. Opo tumon ? Gara-gara Covid-19 ayas dadi sinting-paranoid.
Tiga Raja, Caspar, Melchior dan Balthasar pun, tahun lalu dan tahun ini tidak memberkati rumah-ku. Semoga tahun ini bukan annus horribilis, semoga tidak ada perang yang berakibat, Wong Jowo kari separo, Cino Londo kari sak jodo, Kodok Ijo Ongkang-ongkang ning Cipanas dan Cianjur. Haleluya.
Kata Presiden Soekarno : Vivere pericoloso di Ibu Pertiwi, sitik-sitik bisa kena sanksi diahokkan ke Mako Brimob.
Di Jerman Uskup Agung dari Bamberg bilang Gott lemah, schwächling, Gott perlu dibantu polisi menghadapi para penista agama. Dia dikecam oleh Guru Besar Teologi, disumpahi, semoga Gott menghukum engkau seumur hidup jadi Uskup Agung terus ! Apakah jadi Uskup hukuman ?
Tiap kali para anak2 muda, pandu kristen Jerman, mengadakan forum diskusi, themanya : Gott menciptakan manusia, ataukah sebaliknya manusia menciptakan Gott.
Para Klerus di Vatikan juga diskusi, Beragama harus percaya buta ataukah boleh memakai logika.
Telor duluan ataukah ayam duluan.
Kenapa manusia harus banyak buang waktu berpikir yang tidak ada juntrungnya ? Kenapa malu bilang mboh aku ora weruh.
Kamsia kamsia.. curhat sekaligus renungan yang sangat menarik.
HapusBoso walikan Ngalaman yo dadi Keruh hehe.