Minggu lalu ada Jazz Traffic Festival di Pantai Ria Kenjeran, Surabaya. Minggu ini Jazz Gunung Ijen kawasan Licin, Banyuwangi. Seperti di Surabaya, penonton konser jazz aneka artis gado-gado itu ramai banget.
Saya sampai tidak dapat tiket Jazz Traffic 2019. Padahal saya pesan lima hari sebelum festival dua hari itu. "Tiketnya sudah sold out. Maaf," kata Aris, panitia dari Radio Suara Surabaya.
Alhamdulillah, tidak dapat tiket nonton jazz! Saya justru senang karena antusiasme masyarakat untuk menonton jazz makin bagus di Surabaya dan sekitarnya. Jazz bukan lagi musik yang sepi penonton.
Beberapa tahun lalu saya pernah nonton pertunjukan jazz di luar Gelora Delta Sidoarjo. Pianis kawakan dari Belanda Rene Helsdingen kolaborasi dengan musisi jazz papan atas Indonesia. Ada juga penyanyi jazz beneran macam Yura Yunita.
Sayang, penonton aslinya tidak sampai 20 orang. Lainnya panitia, gadis-gadis cantik penjual rokok MLD, hingga tukang sound dan pekerja panggung. Sejak itulah tak ada lagi konser jazz di Sidoarjo. Kapok!
Benarkah jazz sekarang sudah dicintai masyarakat Jatim? Hem.. perlu survei atau riset kecil-kecilan. Tapi dari amatan sepintas, panitia jazz di tanah air dalam 10 tahun belakangan ini makin pintar jualan. Pintar bikin kemasan yang menarik.
Bungkusnya memang festival jazz, tapi isinya macam-macam. Ada koplo, dangdut, campursari, pop anyar, pop agak lawas dsb. Bintang jazz traffic tahun lalu Via Vallen, ratu musik koplo asal Tanggulangin Sidoarjo. Bintang jazz traffic tahun ini Didi Kempot. Raja campursari dari Solo.
"Aku bela-belain ke sini untuk nonton Didi Kempot," kata seorang pria 40an tahun dari Malang. "Aku senang banget sama Raisa. Keren banget pokoke," kata seorang mahasiswi di Surabaya.
Lima atau enam orang yang saya tanyai secara acak ini mengaku tidak punya urusan dengan jazz. Juga tidak tahu artis atau band apa yang masuk genre jazz, blues, atau sejenis itu.
"Kalau penyanyi jazz itu kayak Andien," kata seorang ibu rumah tangga 40an tahun. Dia juga kenal Indra Lesmana, Trie Utami, atau Vina Panduwinata yang jazzy.
"Sekarang ini yang benar-benar jazz memang sangat sedikit," kata wanita yang saat kuliah senang mutar kaset itu.
Dari daftar artis penampil selama dua hari, boleh dikata tak sampai 20 persen yang benar-benar jazzer. Bahkan mungkin hanya 10 persen. Sebagian besar justru artis atau band yang tidak punya rekam jejak bermain jazz.
Tapi begitulah tuntutan zaman. Selera anak muda sekarang di era digital tentu beda dengan remaja-remaja di era analog. Yang penting festival jazz sukses, sold out, panitia untung. Agar tahun depan bikin festival jazz lagi. Bukan begitu?
kalo jazz murni ya gak laku cak. makanya dijual artis2 pop yg lagi naik daun.
BalasHapus