Dua hari ini gapura Kya Kya Kembang Jepun dicat ulang oleh pekerja dari Pemkot Surabaya. Dalam rangka revitalisasi kota tua Surabaya. Program pemkot ini sudah berjalan tiga bulan.
Bangunan-bangunan tua era kolonial di kawasan Kembang Jepun, Karet, Panggung, Pabean dicat. Perlahan-lahan wajah kota lama, pecinan, mulai kelihatan lebih segar. Tidak kusam lagi seperti biasanya.
Wali Kota Risma memang ingin menjadikan kawasan kota tua hingga Ampel dan seterusnya sebagai destinasi wisata Surabaya. Agak telat memang karena masa jabatan Ning Risma berakhir tahun 2020.
Selama hampir 10 tahun menjabat wali kota, Ning Risma lebih fokus bangun taman-taman di berbagai kawasan. Juga bikin jalan pendamping alias frontage road yang terkenal itu. Penataan kota tua baru belakangan saja.
Hampir tiap sore saya ngopi di warkop dekat Kya Kya Kembang Jepun. Sambil ngobrol sama bu warung asli Madura yang tinggal di Bulak Banteng. Belajar bercakap bahasa Madura dengan penutur asli. "Kelihatan lebih indah," kata ibu penjual rujak manis asli Pulau Garam itu.
Kya Kya Kembang Jepun. Tahun 2003 jalan raya yang dulu bernama Handelstraat itu pernah dijadikan pusat kuliner. Makan-makan sambil menikmati tradisi budaya Tionghoa. Manajemen Kya Kya berkantor di Kembang Jepun 167. Persis di sebelahnya gapura khas pecinan itu.
Kya Kya cuma sukses menyedot pengunjung pada dua tahun awal. Tahun ketiga makin sepi. Tahun keempat apalagi. "Tahun 2007 itu tenant yang ada tinggal 30 persen. Sudah senen kemis," kata Freddy Handoko Istanto, pengurus Kya Kya Kembang Jepun, yang sekarang dosen Universitas Ciputra.
Tak lama kemudian pujasera Kya Kya bubar. Kontrak kerja sama Jawa Pos dengan Pemkot Surabaya memang habis. Belum lagi banyak persoalan lain. "Terlalu banyak pedagang makanan yang cuma coba-coba. Makanya sebagian besar pengunjung tidak puas. Harganya mahal tapi makanannya gak enak," kata Freddy.
Begitulah. Kya Kya Kembang Jepun yang pujasera itu sudah jadi nostalgia. Jadi catatan penelitian arek-arek mahasiswa anyar. Freddy Istanto pun jadi narasumber utama.
"Gara-gara proyek Kya Kya itu, saya jatuh cinta sama gedung-gedung tua," kata Freddy yang sering mampir ke Kembang Jepun untuk menikmati nasi rawon khas peranakan itu.
Lantas, bagaimana wajah kota tua setelah revitalisasi nanti?
Sudah pasti beda dengan gebrakan Dahlan Iskan dengan Kya Kya Kembang Jepun pada 31 Mei 2003 yang lalu. Ning Risma dan pemkot tentu sudah punya desain tentang wajah destinasi wisata di kota tua.
Saat ini Jalan Kembang Jepun sangat sepi pada malam hari. Hanya ada beberapa warung tenda di sebelah barat. Sama sekali tak ada sisa-sisa kejayaan ketika artis-artis top, politisi, menteri-menteri, hingga SBY (saat itu calon presiden) mampir dan makan minum di Kya Kya sambil menikmati alunan musik khas Tionghoa dan tembang kenangan.
Bangunan-bangunan tua era kolonial di kawasan Kembang Jepun, Karet, Panggung, Pabean dicat. Perlahan-lahan wajah kota lama, pecinan, mulai kelihatan lebih segar. Tidak kusam lagi seperti biasanya.
Wali Kota Risma memang ingin menjadikan kawasan kota tua hingga Ampel dan seterusnya sebagai destinasi wisata Surabaya. Agak telat memang karena masa jabatan Ning Risma berakhir tahun 2020.
Selama hampir 10 tahun menjabat wali kota, Ning Risma lebih fokus bangun taman-taman di berbagai kawasan. Juga bikin jalan pendamping alias frontage road yang terkenal itu. Penataan kota tua baru belakangan saja.
Hampir tiap sore saya ngopi di warkop dekat Kya Kya Kembang Jepun. Sambil ngobrol sama bu warung asli Madura yang tinggal di Bulak Banteng. Belajar bercakap bahasa Madura dengan penutur asli. "Kelihatan lebih indah," kata ibu penjual rujak manis asli Pulau Garam itu.
Kya Kya Kembang Jepun. Tahun 2003 jalan raya yang dulu bernama Handelstraat itu pernah dijadikan pusat kuliner. Makan-makan sambil menikmati tradisi budaya Tionghoa. Manajemen Kya Kya berkantor di Kembang Jepun 167. Persis di sebelahnya gapura khas pecinan itu.
Kya Kya cuma sukses menyedot pengunjung pada dua tahun awal. Tahun ketiga makin sepi. Tahun keempat apalagi. "Tahun 2007 itu tenant yang ada tinggal 30 persen. Sudah senen kemis," kata Freddy Handoko Istanto, pengurus Kya Kya Kembang Jepun, yang sekarang dosen Universitas Ciputra.
Tak lama kemudian pujasera Kya Kya bubar. Kontrak kerja sama Jawa Pos dengan Pemkot Surabaya memang habis. Belum lagi banyak persoalan lain. "Terlalu banyak pedagang makanan yang cuma coba-coba. Makanya sebagian besar pengunjung tidak puas. Harganya mahal tapi makanannya gak enak," kata Freddy.
Begitulah. Kya Kya Kembang Jepun yang pujasera itu sudah jadi nostalgia. Jadi catatan penelitian arek-arek mahasiswa anyar. Freddy Istanto pun jadi narasumber utama.
"Gara-gara proyek Kya Kya itu, saya jatuh cinta sama gedung-gedung tua," kata Freddy yang sering mampir ke Kembang Jepun untuk menikmati nasi rawon khas peranakan itu.
Lantas, bagaimana wajah kota tua setelah revitalisasi nanti?
Sudah pasti beda dengan gebrakan Dahlan Iskan dengan Kya Kya Kembang Jepun pada 31 Mei 2003 yang lalu. Ning Risma dan pemkot tentu sudah punya desain tentang wajah destinasi wisata di kota tua.
Saat ini Jalan Kembang Jepun sangat sepi pada malam hari. Hanya ada beberapa warung tenda di sebelah barat. Sama sekali tak ada sisa-sisa kejayaan ketika artis-artis top, politisi, menteri-menteri, hingga SBY (saat itu calon presiden) mampir dan makan minum di Kya Kya sambil menikmati alunan musik khas Tionghoa dan tembang kenangan.
Berarti konsepnya Bos Dahlan gagal dan tidak mengakar. Dulu rumah saya di belakang Pasar Pabean. Kalau mau makan masakan Cina malam hari, entah itu Lo Mie, Sa Ho Hun, Nasi Goreng, dll, ya di emperan di Kembang Jepun, di depan Kantor Jawa Pos. Bikin konsep itu harusnya dimulai dengan yang sudah ada, lalu dikembangkan. Saya malah tidak mengalami Kya Kya itu, krn sudah keluar Surabaya.
BalasHapusSempat sangat sukses tapi tidak bisa bertahan lama. Banyak faktor yg membuat Kya Kya gagal. Tapi setidaknya bos Dis pernah bikin gebrakan luar biasa di kembang jepun.
BalasHapusBagaimana membuat kawasan kota lama kayak pecinan ini bisa hidup? Inilah tugas wali kota dan elemen2 terkait.
Kawasan Ampel atau kampung arab sangat hidup karena ada makam dan masjid sunan ampel yg jadi tempat ziarah. Kembang Jepun cuman rame siang hari untuk perdagangan grosir.
Ini juga karena kebijakan rezim orde baru yg mengharamkan seni budaya dan tradisi tionghoa selama 32 tahun. Makanya orang Tionghoa tidak mau menunjukkan ketionghoaannya macam di Malaysia atau Singapura. Takut ditangkap, dimusuhi etnis lain dsb.
Orang Tionghoa juga sudah lama lari dari kawasan pecinan. Pindah ke perumahan2 lain yg jauh dari china town.
Makanya sulit membuat arena kuliner atau pasar malam yg permanen macam di Singapura atau Malaysia. Justru dulu banyak orang Tionghoa sendiri yg keberatan jalan kembang jepun ditutup tiap malam untuk wisata kuliner dan hiburan di surabaya utara.
Bernie mbelani Bos Dahlan, yo, wkwkwkwk. Menurut saya meluncurkan sesuatu dengan gebrakan2 itu bo cai. Saya lebih suka suatu inisiatif yang sistemik, diluncurkan secara skala kecil, lalu berkembang secara organik.
BalasHapusTetapi fenomena cross-town migration yang dibilang Bernie itu memang betul. Keluarga saya dan teman2 Tionghoa saya yang dulu tinggal di daerah Pecinan (kecamatan Pabean Canti'an) sudah pindah ke perumahan2 di barat, timur, dan selatan. Saya kira ini penyebab utamanya.
Kalau mau dijadikan obyek turisme, ya rumah2 lama harus dipugar, bukan sekedar dicat. Seperti di Singapura dan di Malaka. Rumah2 di jalan Panggung itu unik, mengingatkan saya kepada rumah2 di jalan Bourbon di New Orleans, Lousiana. Di New Orleans, setiap hari Fat Tuesday (Mardi Gras dalam bahasa Perancis), yaitu hari terakhir sebelum Rabu Abu / Bulan Puasa Katolik Roma, diadakan parade / festival. Orang2 pada menonton dari panggung / balkon rumah2 di sepanjang jalan.
Orang2 keberatan kalau jalannya ditutup, pasti ada alasannya. Sulit parkir mobil, sampah berserakan, dll. Itu harus dipikirkan solusinya dulu. Harus ada designernya yg memimpin atau pemimpin yang berlandaskan "design thinking".
Setuju. Rumah2 lama yg sangat banyak di kawasan Kalimas, Karet, dsb itu harus dipugar. Dan harus hidup karena ada penghuninya yg mau merawat tradisi Tionghoa. Kalau cuman dicat doang ya gak ngefek.
BalasHapusBos Dahlan dulu pernah ngamuk di Kya Kya karena melihat sampah2 tisu berserakan di atas dan bawah meja pedagang2 itu. Bos cari sapu untuk membersihkan sendiri tapi tidak ketemu sapu. Para pedagang alias tenant juga cuek saja. Mereka tidak kenal Bos yg notabene pemilik PT Kya Kya itu.
Maka Bos ngamuk kayak dewa mabok. Beliau menjungkirbalikkan kursi2 plastik dan meja2 di sekitarnya. Sejak itu Bos kecewa berat karena beliau ini orang yg sangat gila kebersihan. Harus bersih standar singapura atau eropa atau amerika.
Banyaklah faktor yg membuat Kya Kya macet. Belum lagi masalah utama adalah parkir mobil dan motor. Lahannya di mana?
Sejak orang Indonesia ke mana2 pake kendaraan pribadi, masalah paling serius adalah parkir. Butuh lahan yg sangat luas untuk menampung ribuan kendaraan.
Bikin gereja yg bisa menampung seribu jemaat tidak butuh lahan yg sangat luas. Yang bikin pusing adalah lahan parkir untuk menampung kendaraan2 pribadi seribu jemaat itu.
Saya baru baca postingan ini,sedikit bahagia mengingat banyak kenangan manis saat kya-kya masih beroprasi dulu. Tapi sedikit pesimis mengingat beberapa masalah yanh dulu menyebabkan kya-kya mati suri hingga mati betulan. Semoga pemkot benar2 melakukan pengelolaan dengan baik,agar nasib buruk kya-kya tidak terulang lagi.
BalasHapusSaya baru baca postingan ini,sedikit bahagia mengingat banyak kenangan manis saat kya-kya masih beroprasi dulu. Tapi sedikit pesimis mengingat beberapa masalah yanh dulu menyebabkan kya-kya mati suri hingga mati betulan. Semoga pemkot benar2 melakukan pengelolaan dengan baik,agar nasib buruk kya-kya tidak terulang lagi.
BalasHapusKayaknya sangat tipis kemungkinan kya kya ala pujasera atau pasar malam yg digagas dahlan iskan dihidupkan lagi. Terlalu banyak masalah dulu yg sulit diselesaikan. Lagi pula dulu itu masih ada euforia budaya tionghoa yg muncul di awal reformasi setelah dilarang rezim orde baru selama 32 tahun. Sekarang situasinya normal kembali.
BalasHapusBisa saja dibuat kya kya kayak di malaysia atau singapura, tapi tidak dengan menutup jalan kembang jepun setiap malam. Arus lalu lintas di kawasan utara bakal bermasalah besar kalau kembang jepun sampai ditutup total.
Sejauh ini ya kembang jepun cuma ditutup setengah hari untuk festival rujak uleg yg diadakan radar surabaya bersama pemkot. Itu pun selalu hari minggu. Sehingga tidak menimbulkan masalah yg kompleks.
Masalah terbesar itu parkir. Orang Surabaya ke mana2 pake motor dan mobil. Ribuan pengunjung berarti ribuan motor dan mobil. Parkir di mana? Kembang Jepun sebelah barat (jembatan merah) tidak ada lahan kosong. Di sebelah timur (bongkaran, dukuh, kapasan) juga macet tiap hari. Pasti bingung.