Ada foto menarik tentang perjalanan di Brunei Darussalam yang dimuat Jawa Pos. Lapak semacam pujasera penjual jajan pasar. Tulisannya: KUIH MALAYA BABU CANTIK.
Hem... babu cantik!
Rupanya kata BABU di Brunei sifatnya netral. Tidak terkesan merendahkan orang yang bekerja sebagai pelayan atau pembantu. Malah dijadikan tagline untuk usaha kuliner jajan pasar.
Beda dengan di Indonesia. Kata BABU atau BATUR sangat dihindari di Indonesia. Cuma dipakai sang majikan untuk memaki-maki pembantu rumah tangga yang jahat. Misalnya pembantu curi uang, perhiasan, atau barang-barang di rumah lalu melarikan diri.
Babu memang kata asli bahasa Melayu yang kita angkat jadi bahasa Indonesia. Sebagian orang Indonesia paham artinya. Kecuali orang-orang kampung di pelosok NTT yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Kayak saya dulu di daerah Lembata. Sampai SMP pun susah berbahasa Indonesia karena tiap hari hanya berbahasa Lamaholot.
Nah, rupanya dalam perjalanan waktu kata BABU itu berubah nilai rasanya. Dari netral menjadi kasar atau tidak sopan. Istilah anak sekolahnya: mengalami peyorasi. Karena itu, kata babu selalu dihindari dalam percakapan dan tulisan sehari-hari di Indonesia.
Di media massa, khususnya koran, biasa dipakai PRT: pembantu rumah tangga. Tapi itu pun dianggap kurang halus. Makanya diganti lagi menjadi ART: asisten rumah tangga. Padahal pembantu itu ya sama dengan asisten.
Kalangan aktivis perempuan malah tidak suka istilah PRT atau ART. Apalagi babu atau batur. Mereka menyebut pekerja sektor domestik. Domestic worker.
Dengan begitu, para ART alias pekerja domestik ini mendapat perlindungan dan hak-hak seperti pekerja di pabrik-pabrik. (Kata buruh juga dianggap kasar dan tidak sopan. Dipakailah pekerja atau karyawan/karyawati atau naker alias tenaga kerja.)
"Mereka harus punya standar upah minimum, jam kerja, dsb. Pekerja domestik itu berat lho," kata seorang aktivis perempuan di Surabaya.
Melihat spanduk kuliner di Brunei ini (juga Malaysia) kelihatan sekali betapa kata-kata Melayu yang semula netral kini sudah berubah rasa dan nuansa. Kata-kata pribumi malah sering dianggap kasar. Sedangkan kata-kata asing dianggap keren dan terhormat.
Orang lebih suka disebut driver taksi atau ojol ketimbang sopir taksi atau tukang ojek. Satpam-satpam lebih suka disebut sekuriti.
Hem... babu cantik!
Rupanya kata BABU di Brunei sifatnya netral. Tidak terkesan merendahkan orang yang bekerja sebagai pelayan atau pembantu. Malah dijadikan tagline untuk usaha kuliner jajan pasar.
Beda dengan di Indonesia. Kata BABU atau BATUR sangat dihindari di Indonesia. Cuma dipakai sang majikan untuk memaki-maki pembantu rumah tangga yang jahat. Misalnya pembantu curi uang, perhiasan, atau barang-barang di rumah lalu melarikan diri.
Babu memang kata asli bahasa Melayu yang kita angkat jadi bahasa Indonesia. Sebagian orang Indonesia paham artinya. Kecuali orang-orang kampung di pelosok NTT yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Kayak saya dulu di daerah Lembata. Sampai SMP pun susah berbahasa Indonesia karena tiap hari hanya berbahasa Lamaholot.
Nah, rupanya dalam perjalanan waktu kata BABU itu berubah nilai rasanya. Dari netral menjadi kasar atau tidak sopan. Istilah anak sekolahnya: mengalami peyorasi. Karena itu, kata babu selalu dihindari dalam percakapan dan tulisan sehari-hari di Indonesia.
Di media massa, khususnya koran, biasa dipakai PRT: pembantu rumah tangga. Tapi itu pun dianggap kurang halus. Makanya diganti lagi menjadi ART: asisten rumah tangga. Padahal pembantu itu ya sama dengan asisten.
Kalangan aktivis perempuan malah tidak suka istilah PRT atau ART. Apalagi babu atau batur. Mereka menyebut pekerja sektor domestik. Domestic worker.
Dengan begitu, para ART alias pekerja domestik ini mendapat perlindungan dan hak-hak seperti pekerja di pabrik-pabrik. (Kata buruh juga dianggap kasar dan tidak sopan. Dipakailah pekerja atau karyawan/karyawati atau naker alias tenaga kerja.)
"Mereka harus punya standar upah minimum, jam kerja, dsb. Pekerja domestik itu berat lho," kata seorang aktivis perempuan di Surabaya.
Melihat spanduk kuliner di Brunei ini (juga Malaysia) kelihatan sekali betapa kata-kata Melayu yang semula netral kini sudah berubah rasa dan nuansa. Kata-kata pribumi malah sering dianggap kasar. Sedangkan kata-kata asing dianggap keren dan terhormat.
Orang lebih suka disebut driver taksi atau ojol ketimbang sopir taksi atau tukang ojek. Satpam-satpam lebih suka disebut sekuriti.
Babu, jongos, supir, dokter, direktor, bupati, panglima, manager, perawat, pilot, menteri....dll adalah sebutan untuk ber-macam2 pekerjaan. Wong-wong sing nyambut gawe.
BalasHapusSeandainya gaji netto bulanan seorang babu atau jongos 10 ribu US$, sedangkan gaji bulanan bupati (tanpa korupsi), General Manager, Pilot dll. hanya 1700,-US$, pastilah setiap manusia lebih bangga jadi anak seorang Babu atau Jongos, daripada jadi anak bupati atau menteri.
Ibu kerja apa ? Saya tidak kerja, suami saya jongos.
Bapak kerja apa ? Dulu jadi GM Hotel, sekarang jadi jongos.
Mbakyu kok kepingin jadi babu ? Habis bagaimana ya, jadi dokter bayarannya sedikit, jadi babu bayaran 5X lipat.
Jika kata babu dan jongos dikait-kaitkan dengan masalah pribumi Indonesia, maka saya bersyukur tidak pernah punya pelayan orang Indonesia. Yang punya, dulu orang-tua saya, dan saudara-saya yang di Jakarta.
Pelayan2-saya di Eropa, mbakyu-mbakyu kulit putih, suku jerman. Di Tiongkok saya punya babu, jongos, supir, orang2 etnis cina asli, bukannya tionghoa. Jadi saya seumur hidup belum pernah membabukan atau menjongoskan orang Indonesia.
Kalau saya pulang ke Indonesia, saudara2 atau teman2 bertanya, rumah-mu di eropa, siapa yang jaga ? Tidak ada, pintu dikunci, rumah kosong .
Kalau saya ke Jakarta, adik perempuan-saya bertanya, siapa yang jaga rumah-mu di Tiongkok ? Babu dan Jongos gua, Xiao-mei dan A-hua !
Muka adik dan ipar saya cemberut; tidak boleh bilang babu, kasar kata itu, harus bilang Maid and Driver.
Lha wong Maid and Driver kalian cuma dibayar 1,5 juta Rupiah per bulan, coba kasih mereka 10 ribu US$ per bulan, jadikan mereka babu dan supir, pasti mereka senang.
dui dui dui.. kuncinya ya $$$$ cuan itu. babu2 disuruh jaga rumah di sini. babu disuruh masak dsb karena tugasnya itu. demikian kata para majikan yang mulia.
HapusDi Indonesia sejak 1970an ada merk dagang dari Nestle, Susu Cap Nona. Aslinya dalam bahasa Inggris, gambarnya ialah gambar seorang "milkmaid", atau babu pemerah susu, yang kemudian juga bertugas mengolah susu tsb menjadi mentega, keju, dan krim. Rupanya sudah sejak 1970an pun, terjemahan babu dianggap kurang mengena. Babu hanya digunakan dalam konteks menghina. Misalnya, seorang pembantu kami pernah marah karena dimarahi bodoh akibat sesuatu perbuatannya, dan menyahuti: "Kalau ndak bodoh ya ndak mbabu". Hingga kami terdiam karena menyadari kekasaran bahasa kami.
BalasHapusNjeh... kata babu memang rasanya gak enak. Begitu juga batur.
BalasHapusTapi bagi orang2 kampung yg baru belajar bahasa Indonesia, kosa katanya masih sedikit, kata seperti babu dianggap biasa atau netral.
Kata MATI juga jarang dipakai di Jawa untuk manusia. Biasanya dipakai meninggal, meninggal dunia, wafat, berpulang, atau enggak ada.
Di NTT kata MATI malah dianggap biasa atau netral. Saya yg asli NTT tapi menghabiskan lebih banyak umur di Jawa sering risi mendengar kata2 macam itu.
Adanya tingkatan bahasa di Jawa seperti ngoko, kromo madya, hingga kromo inggil membuat orang Jawa punya rasa bahasa yg tinggi. Lebih cermat memilih kata2 yg tepat.
Sebagai seorang lelaki, kalau cantik walaupun babu yo gelem, asal keleke gak mambu.
BalasHapusKalo soal itu ada jamu penghilang bau badan dsb dari negeri tiongkok. Bisa diatasi lah.
HapusGak iso ilang Lambertus. Saya pernah masuk ke klub dewasa, di mana bisa masuk ke ruang private (tetapi pintu tidak boleh dikunci). Penarinya bule tapi kelek2 mambu.... jadi gak menikmati suasana, wis kadung bayar hahaha.
HapusDoa Bapa Kami dulu: jauhkanlah kami dari segala cobaan. Perintah Allah: Jangan ingin berbuat mesum.
Saya yakin Xian Sheng di Jerman punya resep yg jitu untuk urusan ketiak dan bau badan. Wong operasi ganti hati, kembar siam dsb aja bisa. Kalau soal bau badan ya bisa diminum itu jampi2 dari negaranya paman mao.... haiya.. kamsia
BalasHapusBahasa Melayu yang kita angkat jadi Bahasa Indonesia.
BalasHapusKalimat diatas, saya hanya mengutip tulisan Bung Hurek,lho !
Bagi orang yang berotak picik, sangat mungkin Bung Hurek dicap antinasionalis, antek nekolim, dll.
Bahkan bisa2 dihujat, disuruh pindah ke Pulau Penang.
Saya waktu kanak2 di Bali, memang mengatakan, orang2 yang berbahasa Indonesia, mereka berbahasa Melayu.
Bahasa Melayu diganti nama jadi Bahasa Indonesia.
Idem, bolehkah: Bahasa Inggris di USA diberi nama Bahasa Amerikanis, di Kanada Barat disebut Bahasa Canada, Idem, bahasa australis, selandia, bahasa irland, dll. ?
Saya di Bavaria-Jerman punya dua orang teman China-Taiwan. Saya sangat cocok berteman dengan mereka. Yang seorang mantan Professor di Universitas Tehnik Darmstadt Jerman. Yang lainnya pengusaha sukses, pemilik pabrik elektronik di Taiwan, Tiongkok, Thailand.
Kami ngobrol dengan Bahasa Min-nan, atau bahasa Hok-kien.
Leluhur mereka berasal dari kabupaten Zhang-zhou/Hokkien, yang beremigrasi ke pulau Taiwan.
Yang pengusaha otaknya flexible, berposisi sesuai situasi & kondisi.
Tetapi si Professor otaknya atos seperti beton.
Saya bilang, kami berbahasa Min-nan. Si Professor membantah, kami bicara bahasa Taiwan.
Saya bilang, Taiwan milik Tiongkok. Si Otak-beton membantah, Taiwan negara berdiri sendiri. Dia suruh, agar saya belajar sejarah.
Itu Cino jancukan, tentu saja saya belajar sejarah pulau Taiwan. Kami orang Quanzhou sejak ribuan tahun berlayar pergi/pulang Taiwan.
Nenek-saya penduduk asli Taiwan, yang disebut Gao-shan-zu, suku gunung. Saya yakin banyak leluhur saya, yang ikut Tee Seng-kong, atau Zheng Cheng-gong, alias Koxinga, berperang mengusir penjajah Belanda dari Pulau Taiwan.
Kakek2-nya Encek-pasar-pabean berhasil mengusir penjajah Belanda (VOC) dari Fort Zeelandia Formosa hanya dalam waktu kurang dari satu tahun, tepatnya 30.3.1661 sampai 1.2.1662. Londo-londo bertekuk lutut, minta ampun dan minggat ke Batavia. Peristiwa itu pertama kalinya dalam sejarah, encek-cemot mampu menaklukkan orang bule.
Mengapa kita bangsa Nusantara membutuhkan waktu selama 350 tahun ??
Warum Bung ?
Kamsia kamsia. Saya sangat setuju pendapat siangshen soal bahasa. Itu juga sudah sering saya singgung di tulisan² terdahulu. Mau saya ulas lagi di bulan bahasa kemarin, Oktober, tapi kelewatan.
HapusYang pasti, bahasa Indonesia itu ya bahasa Melayu. Kalau mau lebih lengkap ya Melayu Indonesia. Kita orang cuma ganti nama saja karena saat itu lagi proses pembentukan nation state Indonesia.
Bahasa Melayu dikasih merek baru: bahasa Indonesia. Orang² Malaysia sudah lama ketawa² karena banyak orang Indonesia tidak sadar bahwa bahasa Indonesia yang digunakan tiap hari itu pada hakikatnya atau esensinya bahasa Melayu.
Yah.. mirip rokok Djarum dimasukkan dalam bungkus Gudang Garam. Lalu dibilang rokoknya Gudang Garam. Para perokok Djarum tentu bingung dan ketawa² aja hehehe.
Kalau penjajahan 350 tahun ya nggak bener lah. Itu kan dihitung sejak kapalnya de Houtman sandar di Banten. Masak sih begitu turun si belanda² itu langsung menjajah atau memerintah?
HapusNusantara itu baru diperintah Kerajaan Belanda setelah VOC bubar 1799 kalau gak salah. Artinya Indonesia dijajah sekitar 142 tahun. Itu pun masih banyak kerajaan yg belum ditaklukkan Belanda.
Lha, wong Belanda ke sini tempo doeloe itu Nusantara punya 200an kerajaan atau negara² kecil.
Maaf, saya hanya ingat keluhan Bapak BJ Habibie, di TV Jerman: " Saya tidak bisa habis berpikir, mengapa Belanda, negara kecil begitu, bisa menjajah kami orang Indonesia selama 350 tahun ".
HapusEngkoh saya yang sama2 nonton TV nyeletuk; Salah kalian sendiri lah, gampang dibombongi dan diadudomba.
Biyen dalang e wong londo, saiki dalang e wong yaman.
Habibie waktu itu : China ketinggalan 30 tahun daripada Indonesia di bidang tehnologi, terutama dalam bidang dirgantara.
Saya setuju dengan ucapan beliau, wong cino cuma bisa ngitung pakai jari dan sempoa.
Kita Bangsa Indonesia harus kembali kepada Budaya Lokal, pakai Sapu Lidi, Bersatu teguh, bercerai runtuh.
Jangan mau lagi dibombongi dan diadudomba oleh bangsa asing.
Kemarin dulu istri-saya ngomel, dia berkata dengan nada yang sinis kepada saya : Kawin sama lu, dapetnya cuma kesel !
BalasHapusPadahal sejak mengawini doi, sudah hampir setengah abad, selalu saya serahkan semua uang penghasilan saya kepada nya. Pastilah tidak sedikit, karena doi bisa beli 6 unit rumah, dan uang tabungan nya di Bank berlimpah.
Dulu pasti saya akan marah mendengar kalimat yang kasar begitu.
Karena sudah tuek, ya cuek aja, anggaplah kentut berlalu.
Saya jadi teringat percakapan saya dengan seorang bule Jerman yang istrinya seorang Indonesia dari Surabaya, 45 tahun silam.
Si laki Jerman itu sering ke Surabaya dengan istrinya dan nginap di rumah mertuanya. Dia bilang begini : Enak hidup di Indonesia !
Saya jawab : Ya, kalau lu jadi Taoke, bayangkan kalau lu jadi babu, jongos atau sopir !
Si Bule, namanya Christian, mendebat : Enak jadi babu di Indonesia, tugas nya cuma satu. Babu momong, ya cuma momong satu anak. Babu cuci, ya cuma nyuci dan seterika. Babu masak ya cuma belanja ke pasar dan masak. Dan demikianlah seterusnya !
Christian cerita : Ayah ku petani kecil, dengan 30 hektar ladang dan 15 ekor sapi perah. Kasihan hidup mama-ku. Ngurusi suami, 4 orang anak, 15 ekor sapi, plus semua pekerjaan yang harus dikerjakan oleh para babu di Indonesia. Tiap hari, tanpa liburan, seumur hidup membanting tulang. Dapetnya cuma kesel !
Hidup istri-ku sejak kawin dengan aku : Pagi jam 6 bangun, bikin makanan pagi untuk suami dan 4 orang anak, cuci piring, bikin bersih ranjang, nyapu, ngepel, cuci pakaian, belanja, jemur pakaian, masak untuk makan siang anak2, cuci piring, periksa tugas pekerjaan rumah anak2 dari sekolah, ngajari aljabar, inggris, ngantar anak2 les piano, seterika, kerja di kebun, potong pohon dan rumput, mandiin anak2, masak lagi untuk makan malam, cuci piring, malam sudah kesel, mau nonton TV sialnya punya suami yang ceriwis grayang2 dst. Besoknya mulai jam 6, siksaan dimulai lagi dari awal.
Sayang si Rinto sudah wafat, seandainya dia masih hidup, gua akan menemuinya dan bertanya : Rinto, Seandainya lu dulu punya sayap, lu mau terbang kemana ?
Wis ta'llah, ojo macem-macem lu Rinto, urip ning Indonesia iku, wis sing paling penak ! Usir saja Kadroen tukang demo dan tukang bikin onar, semuanya ke Eropa, Amerika, Australia, atau kembalikan ke habitatnya ke Padang Pasir.
Pada suatu musim panas, saya pernah pulang dan nginap di rumah engkoh-saya di Jakarta. Saya lihat kran ledeng nya di kamar mandi netes. Saya bilang : Koh, kran ledeng lu bocor. Ya, kata engkoh, nanti gua suruh tukang bikin betul.
Lihat, dua orang sopir lu ngobrol baca koran, suruhlah mereka bikin betul, itu kan kerjaan cuma 5 menit, ganti klep-karet nya.
Engkoh: Gua bayar mereka untuk jadi sopir, bukan untuk jadi tukang. Mana mereka mau kalau disuruh yang bukan tugas utama nya.
Jadi: Sopir ya cuma sopir tok. Jongos, yo cuma jongos tok.
Mesake bojo-ku, yo babu, yo jongos, yo sopir, yo gendakan.
Salah mu dhewe lah adinda sayang, kowe sok2-an pingin dadi londo gosong. Pokoke lek wabah corona wis tuntas, aku arep balik nyang Tiongkok. Kowe melok maneh nyang Cungkuok, yo syukur alhamdulillah, atau lebih seneng menderita di Eropa, yo sakarep mu.
Aha.. Rinto punya lagu halus melankolis mendayu-dayu. Seandainya aku punya sayap.. terbanglah aku mencari dunia yg lain.. untuk apa di sini.
HapusBule itu punya cerita ada interesan betul. Dia orang bandingken dengen babu2 di kita punya negara. Apel kudu bandingken dengen apel. Mangga dengen mangga. Duren sama duren.