Dahlan Iskan baru menulis tentang jalan-jalan di Eropa. Yang bikin saya terkesan ada dua: jalan kaki dan parkir.
"Di Belfast saya mendapat hotel di pusat kota. Di depan gereja tua. Hotel ini tidak punya tempat parkir. Ada gedung parkir. Tiga blok dari sini, ujar petugas hotel.
Saya pun parkir di situ. Ongkos parkirnya: 20 pound. Sekitar Rp 300 ribu. Ya sudah. Masih lebih murah dari parkir di Washington DC tiga bulan lalu. Yang Rp 700 ribu itu," tulis Bos Dahlan, Sabtu 14 September 2019.
Kita di Surabaya atau Jakarta pasti heran. Hotel kok tidak punya tempat parkir? Tamu-tamu harus parkir cukup jauh. Terpaut tiga blok.
Bisa dipastikan hotel itu akan mati kalau di Indonesia. Mana ada tamu yang mau parkir jauh dari hotel? Orang Indonesia maunya parkir sangat dekat dengan hotel, gedung, pertemuan, kantor, toko, pusat kuliner, atau tempat ibadah.
Sudah banyak hotel atau penginapan yang tutup gara-gara tidak punya tempat parkir. Gereja-gereja lama pun banyak yang kehilangan jemaat. Pindah ke gereja-gereja baru yang kebaktiannya di hotel atau convention hall. Salah satu sebabnya ya lahan parkir itu tadi.
Pekan lalu kami mengikuti gathering di Trawas, Mojokerto. Saya bertemu beberapa pengelola vila di pegunungan yang sejuk itu. "Parkirnya langsung di dalam, Mas," katanya.
Parkir motor dan mobil di dalam kamar? Begitulah salah satu nilai plus vila atau hotel di pegunungan. Dus, tidak perlu jalan kaki 50 meter atau 100 meter ke kamar tidur.
Sepeda motor bahkan bisa dimasukkan ke dalam kamar. Nyaman banget... ala Indonesia. Juga tidak perlu bayar parkir sampai Rp 300 ribu atau Rp 700 ribu kayak di Eropa atau Amerika.
Akar masalahnya tidak lain hilangnya kebiasaan jalan kaki. Beli sabun atau minyak goreng pun harus naik motor. Padahal jaraknya tidak sampai 20 meter. Seperti parodi-parodi Sascha dari Kanada di YouTube itu.
Sascha sendiri bikin gebrakanyr dengan jalan kaki dari Jakarta ke Denpasar. Lebih tepatnya jalan kaki dengan sepatu roda. Ternyata kaki manusia yang kelihatan lemah itu bisa dipakai untuk berjalan sangat jauh.
Gara-gara orang Indonesia malas jalan kaki, banyak pengusaha yang bikin layanan drive thru. Orang tidak perlu turun dari mobil. Membeli ayam tepung cukup buka kaca mobil... beres.
Ngurus perpanjangan SIM juga ada layanan drive thru di Jalan Ahmad Yani Surabaya. Luar biasa memang orang Indonesia!
"Di Belfast saya mendapat hotel di pusat kota. Di depan gereja tua. Hotel ini tidak punya tempat parkir. Ada gedung parkir. Tiga blok dari sini, ujar petugas hotel.
Saya pun parkir di situ. Ongkos parkirnya: 20 pound. Sekitar Rp 300 ribu. Ya sudah. Masih lebih murah dari parkir di Washington DC tiga bulan lalu. Yang Rp 700 ribu itu," tulis Bos Dahlan, Sabtu 14 September 2019.
Kita di Surabaya atau Jakarta pasti heran. Hotel kok tidak punya tempat parkir? Tamu-tamu harus parkir cukup jauh. Terpaut tiga blok.
Bisa dipastikan hotel itu akan mati kalau di Indonesia. Mana ada tamu yang mau parkir jauh dari hotel? Orang Indonesia maunya parkir sangat dekat dengan hotel, gedung, pertemuan, kantor, toko, pusat kuliner, atau tempat ibadah.
Sudah banyak hotel atau penginapan yang tutup gara-gara tidak punya tempat parkir. Gereja-gereja lama pun banyak yang kehilangan jemaat. Pindah ke gereja-gereja baru yang kebaktiannya di hotel atau convention hall. Salah satu sebabnya ya lahan parkir itu tadi.
Pekan lalu kami mengikuti gathering di Trawas, Mojokerto. Saya bertemu beberapa pengelola vila di pegunungan yang sejuk itu. "Parkirnya langsung di dalam, Mas," katanya.
Parkir motor dan mobil di dalam kamar? Begitulah salah satu nilai plus vila atau hotel di pegunungan. Dus, tidak perlu jalan kaki 50 meter atau 100 meter ke kamar tidur.
Sepeda motor bahkan bisa dimasukkan ke dalam kamar. Nyaman banget... ala Indonesia. Juga tidak perlu bayar parkir sampai Rp 300 ribu atau Rp 700 ribu kayak di Eropa atau Amerika.
Akar masalahnya tidak lain hilangnya kebiasaan jalan kaki. Beli sabun atau minyak goreng pun harus naik motor. Padahal jaraknya tidak sampai 20 meter. Seperti parodi-parodi Sascha dari Kanada di YouTube itu.
Sascha sendiri bikin gebrakanyr dengan jalan kaki dari Jakarta ke Denpasar. Lebih tepatnya jalan kaki dengan sepatu roda. Ternyata kaki manusia yang kelihatan lemah itu bisa dipakai untuk berjalan sangat jauh.
Gara-gara orang Indonesia malas jalan kaki, banyak pengusaha yang bikin layanan drive thru. Orang tidak perlu turun dari mobil. Membeli ayam tepung cukup buka kaca mobil... beres.
Ngurus perpanjangan SIM juga ada layanan drive thru di Jalan Ahmad Yani Surabaya. Luar biasa memang orang Indonesia!
Ongkos parkir pinggir jalan di Vienna ( maximal boleh parkir selama 1,5 jam ). 15 menit gratis, 30 menit 1,05 Euro, 60 menit 2,10 Euro, 90 menit 3,15 Euro. Harus beli tiket-nya di- toko rokok. Mau bayar-pun, belum tentu ada tempat parkir yang kosong. Di rumah parkir ongkos-nya jauh lebih mahal. Sebab itu anak-saya tidak mau membeli mobil. Dia milih jalan kaki, naik sepeda, naik trem, bus umum, atau kereta bawah tanah. Jika se-waktu2 harus bepergian jarak jauh, dia naik taxi.
BalasHapusPerihal orang Indonesia malas jalan kaki, susah ditanggapi, apakah mereka sok2-an (snob), ataukah demi keselamatan nyawa. Jalan kaki disamber motor atau angkot. Ada kala dirampok atau dijambret penjahat.
Takut disambar motor dan angkot? Takut dirampok?
HapusAlasan yg masuk akal orang NKRI tidak mau lagi jalan kaki. Tapi virusnya sudah sampai ke gang2 dan kampung2 di mana2. Orang malas jalan kaki meskipun jaraknya tidak sampai 100 meter.
Orang NKRI juga kebanyak kurang piknik. Apalagi piknik agak jauh ke Malaysia Singapura Thailand atau Eropa.
Biasanya kalau piknik jauh baru matanya melek. Awalnya saya heran mengapa tempat parkir di Singapura kok jauh banget dengan tempat hiburan atau objek wisatanya. Gedung atau tempat konser musik juga jauuuh dari tempat parkir. Mau tidak mau semua orang kudu mlaku2 agar bisa sampai ke tempat wisata atau konser.
Tempat parkir di stadion2 di Indonesia juga nempel dengan stadionnya. Gak perlu jalan kaki terlalu jauh. Tapi suasananya jadi ruwet dan gak karuan kalau pertandingan sudah buyar. Ini yg jarang dipikirkan.
Jika saya ke Surabaya, tinggal di Kusuma Bangsa dekat mal THR, saya kadang mengunjungi teman lama di Kalisari, saya jalan kaki ga sampai 10 menit. Orang-orang pada tanya kok jalan jauh. Wkwkwk.
HapusSaya beruntung, pernah pergi ke San Francisco, New York, Paris, Roma, Berlin, Vienna, Amsterdam, Sydney, Tokyo, Hongkong, Singapura, Seoul, Taipei. Semua kota2 besar di negara2 tersebut mengutamakan kenyamanan pejalan kaki dan penempuh kendaraan umum.
Sebagai perbandingan, jalan kaki di Surabaya itu gak nyaman. Kaki limanya dibajak oleh PKL. Tutup got banyak yang terbuka. Ada lubang2 di mana2. Debu dan asap kendaraan yang tidak diregulasi. Dan hawa yang panas dan lembab. Jalan kaki di Jakarta di CBD saja yang lumayan oke. Hanya, keamanan di Jakarta yang gak nyaman. Saya pernah mau dipalak preman pas makan ayam goreng di Kuningan. Untung ada Oom2 dari NTT yang membeking saya, tanpa diberi apa pun.
Intinya, budaya orang2 kota di Indonesia itu memang malas. Ada hubungannya dengan ketidaknyamanan juga. Jika ketidaknyamanan itu dihilangkan, seperti di Singapura yang sama panasnya, orang2 pun pada mau jalan kaki walaupun nggobyos.
Haiaya... ciamik. Masalahnya memang itu. Sudah lama masyarakat Indonesia tidak mau jalan kaki meskipun jaraknya di bawah 200 meter. Makanya seruan untuk salat berjamaah 5 waktu di masjid kurang berhasil meskipun rumahnya di dekat masjid. Jumatan baru saya lihat banyak yg jalan kaki.
HapusSaya juga sering baca dan mendengar langsung omongan orang barat tentang walking habit yg sangat minimal di Indonesia. Orang Tiongkok kayak dr Xie Fang yg juga ahli TCM di Masjid Cheng Hoo dekat Kusuma Bangsa juga pernah bilang hal yg sama. Bu Xie Fang ini malah jalan kaki tiap hari dari rumahnya ke klinik di Cheng Hoo. Jaraknya 6 km. Kebiasaan jalan kaki di Beijing dibawa ke Surabaya. Termasuk tidak makan gorengan. Sayurnya pakai rebus.
Di Jakarta saya perhatikan jauh lebih banyak pejalan kaki. Trotoarnya juga bagus dan lebar. Ada bus transjakarta yg bagus.
Kita yg tinggal di karet belakang harus jalan kaki cukup jauh ke sudirman untuk naik bus transjakarta atau kendaraan umum lainnya. Tiap hari ramai orang jalan kaki. Termasuk mbak2 karyawan yg cakep2 dengan pakaian ala orang hotel berbintang itu jalan kaki cukup jauh.
Makanya kalau di Jakarta berat badan kita bisa cepat turun satu dua kilogram.
Terlepas dari kemacetan lalu lintas yg parah, Jakarta sudah mulai mengikuti kebiasaan di negara2 maju. Apalagi ada kebijakan nomor ganjil genap kendaraan. Lama2 ada pembatasan usia kendaraan yg ketat. Ini membuat warga Jakarta dipaksa untuk naik kendaraan umum karena tarif parkir akan sangat mahal.
Parkir mobil di bulan yg tepat di bawah atau sebelah kamar itu maksudnya agar kalau selingkuhan gak ketok wong akeh, Lambertus. Itu asalnya dari hotel2 cinta di Jakarta.
BalasHapusDui dui.. maksudku yg gitu tapi gak enak ngomong terbuka. Di surabaya biasa disebut hotel jam-jaman. Parkir langsung masuk kamar. Privasi benar2 dijaga.
BalasHapus