Tahun Baru Islam kemarin cukup meriah. Ada pawai di berbagai kampung di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan kota-kota lain di Jawa Timur. Juga pengajian yang ramai.
Tahun Baru Islam bersamaan dengan Tahun Baru Jawa. Tanggal 1 Suro. Ada acara tumpengan bagi masyarakat Jawa yang kental kejawaannya. Apalagi para penghayat alias kejawen.
Setiap 1 Suro atau 1 Muharram saya selalu ingat Ibu Juliani Pudjiastuti. Orang Tionghoa ini ketua Kelenteng Hong San Ko Tee di Jalan Cokroaminoto, Surabaya. Biasa disebut Kelenteng Cokro.
Meskipun Tionghoa, jemaat Kelenteng Cokro selalu bikin acara suroan. Ada ratusan tumpeng yang disiapkan. Tumpeng-tumpeng itu didoakan oleh Pak Modin, kiai muslim, di depan altar Dewi Sri. Lalu bancakan dan dibawa pulang ke rumah masing-masing.
"Kami ini meskipun orang Tionghoa, tapi lahir dan hidup di tanah Jawa. Kalau mati pun dikubur di Jawa. Bukan di Tiongkok sana," kata Juliani yang murah senyum itu.
Bu Juliani sudah dipanggil Sang Pencipta untuk ke alam nirwana dua tahun lalu. Saya pun kehilangan suasana suroan yang kental kejawen justru di lingkungan kelenteng Tionghoa.
Saya juga lupa kalau pengurus Kelenteng Cokro masih melanjutkan tradisi tumpengan dan doa bersama untuk Indonesia setiap 1 Suro itu. Maklum, libur nasional 1 Muharram tahun ini jatuh pada hari Minggu. Dus, tidak terasa tanggal merahnya.
Minggu malam, 1 September 2019, baru saya ingat 1 Suro. Ingat Kelenteng Cokro. Ingat Ibu Juliani. "Tadi siang ada acara tumpengan di Kelenteng Cokro?" saya bertanya ke Erwina Tedjakusuma, putri mendiang Ibu Juliani. "Semoga lancar dan sukses!"
"Ada, Pak Hurek.. acaranya lancar, sukses. Kamsia," Erwina membalas.
Oh, rupanya Erwina dan pengurus Kelenteng Cokro lupa memberi tahu para wartawan di Surabaya. Karena itu, pagi ini tidak ada foto dan berita tumpengan di Kelenteng Cokro. Padahal biasa foto ratusan tumpeng di halaman TITD Hong San Koo Tee selalu menghiasi koran-koran di Surabaya keesokan harinya.
Selamat Tahun Baru Islam!
Selamat Tahun Baru Jawa!
Rahayu... Rahayu... Rahayu!
Tahun Baru Islam bersamaan dengan Tahun Baru Jawa. Tanggal 1 Suro. Ada acara tumpengan bagi masyarakat Jawa yang kental kejawaannya. Apalagi para penghayat alias kejawen.
Setiap 1 Suro atau 1 Muharram saya selalu ingat Ibu Juliani Pudjiastuti. Orang Tionghoa ini ketua Kelenteng Hong San Ko Tee di Jalan Cokroaminoto, Surabaya. Biasa disebut Kelenteng Cokro.
Meskipun Tionghoa, jemaat Kelenteng Cokro selalu bikin acara suroan. Ada ratusan tumpeng yang disiapkan. Tumpeng-tumpeng itu didoakan oleh Pak Modin, kiai muslim, di depan altar Dewi Sri. Lalu bancakan dan dibawa pulang ke rumah masing-masing.
"Kami ini meskipun orang Tionghoa, tapi lahir dan hidup di tanah Jawa. Kalau mati pun dikubur di Jawa. Bukan di Tiongkok sana," kata Juliani yang murah senyum itu.
Bu Juliani sudah dipanggil Sang Pencipta untuk ke alam nirwana dua tahun lalu. Saya pun kehilangan suasana suroan yang kental kejawen justru di lingkungan kelenteng Tionghoa.
Saya juga lupa kalau pengurus Kelenteng Cokro masih melanjutkan tradisi tumpengan dan doa bersama untuk Indonesia setiap 1 Suro itu. Maklum, libur nasional 1 Muharram tahun ini jatuh pada hari Minggu. Dus, tidak terasa tanggal merahnya.
Minggu malam, 1 September 2019, baru saya ingat 1 Suro. Ingat Kelenteng Cokro. Ingat Ibu Juliani. "Tadi siang ada acara tumpengan di Kelenteng Cokro?" saya bertanya ke Erwina Tedjakusuma, putri mendiang Ibu Juliani. "Semoga lancar dan sukses!"
"Ada, Pak Hurek.. acaranya lancar, sukses. Kamsia," Erwina membalas.
Oh, rupanya Erwina dan pengurus Kelenteng Cokro lupa memberi tahu para wartawan di Surabaya. Karena itu, pagi ini tidak ada foto dan berita tumpengan di Kelenteng Cokro. Padahal biasa foto ratusan tumpeng di halaman TITD Hong San Koo Tee selalu menghiasi koran-koran di Surabaya keesokan harinya.
Selamat Tahun Baru Islam!
Selamat Tahun Baru Jawa!
Rahayu... Rahayu... Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar