Jumat, 06 September 2019

Menang Taruhan tapi Sedih



Dari dulu saya selalu pegang Malaysia kalau taruhan bola. Sebab saya tahu Indonesia sangat sulit menang atas tim nasional negara tetangga itu di level senior. Beda dengan timnas U16 atau U19 kita yang masih gres. Saya masih ingat Dollah Saleh dkk dari Malaysia mempermalukan timnas Indonesia pada akhir 80an.

Karena itu, semalam saya menang taruhan saat nonton bareng di warkop Ngagel dekat sungai di Jagir Wonokromo. Taruhan kecil-kecilan khas wong embongan. Cukup Rp 100 ribu aja.

"Sudahlah.. timnas (Indonesia) gak bakalan menang. Pemain-pemain naturalisasinya sudah tua-tua. Gak iso melayu Cak," kata saya bikin mas dari Sidoarjo makin panas karena kalah taruhan.

Di satu sisi, saya senang karena menang taruhan. Tapi, di sisi lain, saya sedih melihat timnas Indonesia dibuat mainan oleh anak buah pelatih Mr Tan. Pasukan Malaysia dalam pertandingan Pra Piala Dunia (PPD) di Jakarta semalam main lepas, taktis, cerdas, berenergi. Selalu pressing dan mudah merebut bola dari pemain-pemain Indonesia.

Sebaliknya, Indonesia sudah habis sejak babak pertama. Tidak bisa main 90 menit. Bagaimana kalau Indonesia usul ke FIFA agar durasi permainan sepak bola dikurangi? 90 menit + tambahan waktu terlalu lama untuk Indonesia. Cukup 2 x 30 menit saja. Kayak sepak bola anak-anak di bawah 15 tahun itulah.

"Orang Indonesia itu sulit juara sepak bola karena makannya nasi nasi nasi. Dari dulu juara-juara Piala Dunia itu negara-negara yang penduduknya makan roti.

Orang Tiongkok makan mi. Ya.. sulit juara. Orang Somalia makan jagung.. gak iso menangan," kata saya asal bunyi.

"Alah... Wong Malaysia yo mangan sego. Kok iso apik?" tanya arek Darjo itu.

"Beras di Malaysia itu varietasnya beda dengan di Indonesia. Komposisinya agak lain," kata saya.

Yang pasti, pemain-pemain impor yang aslinya makan roti kayak Beto, Lilipaly, Igbonefo, atau Gonzalez jadi rusak setelah dinaturalisasi. Sebab sudah lama makan nasi, melekan sampai jam 1, jam 2, jam 3, jam 4, untuk nonton Liga Inggris dan Liga Spanyol di televisi. Sudah makan nasi yang indeks glikemiknya tinggi, melekan pula. Ada juga yang rokokan.

Sayang, dari dulu dokter-dokter jarang dilibatkan untuk pengembangan olahraga kita. Khususnya sepak bola. Sport science cuma slogan doang. Pengamat-pengamat di televisi lebih banyak bicara skema 4-3-3 atau 4-2-2, counter attack, false nine dsb. Jarang yang menyoroti kelemahan fisik pemain-pemain Indonesia yang tidak bisa bermain stabil selama 90 menit.

Hanya orang komunis dari Uni Sovyet yang sangat jeli membaca kelemahan pemain-pemain bola Indonesia. Namanya Polosin. Maka, ketika melatih timnas Indonesia, Polosin ini paling fokus di fisik fisik fisik. Latihan teknik, strategi dsb bukan porsi utama.

Hasilnya memang joss. Timnas Indonesia jadi juara sepak bola SEA Games. Sejak itu Indonesia tidak pernah juara lagi di tingkat Asia Tenggara.

Gak usah muluk-muluk bicara Piala Asia, apalagi Piala Dunia. Lawan Malaysia saja kalah melulu.

Bagaimana dengab uang hasil menang taruhan itu? Aha, saya pakai untuk beli sate dan pulsa. Lumayan.

3 komentar:

  1. Begitulah orang Flores, ngomong ceplas-ceplos sebenarnya, bukannya seperti banyak orang lain yang chauvinis, tidak mampu menerima Kritik, selalu menanam tebu di bibir.
    Dinasehati malah ngambul, bilangnya dimarahi.
    Dikritik langsung ngamuk, ngajak berkelahi.
    Sahabat karib-ku, orang Flores, pernah bercerita kepada ku, tentang sepak-bola Indonesia.
    Dulu PSSI pernah mempunyai seorang pelatih bangsa Yugoslavia yang namanya Tony Pogacnik. Ketika dia mengamati cara bermain bola nya orang Indonesia, dia hanya bisa geleng-geleng kepala.
    Main tidak sportif, main jegal lalu berkelahi tawuran.
    Karena sudah tidak tahan, maka Pogacnik mengumpulkan semua pemain Indonesia, dan ceramah didepan mereka;
    Saya ini diundang dan dibayar oleh pemerintah kalian, untuk melatih kalian bermain sepak-bola, bukannya dibayar untuk melatih kalian bertinju !

    BalasHapus
  2. Weleh, sepak bola. Bikin saya ingat ikut main bola, waktu dinas militer. Sore hari di tangsi, kalau tidak disuruh lari2 mengelilingi lapangan, ya disuruh main volly atau sepak bola.
    Peleton kami dibagi dua, saling berhadapan. Saya selalu minta jadi penjaga gawang.
    Jika tendangan bola teman2 bule yang sedemikian kerasnya menuju gawang, saya biarkan saja bola-nya masuk, daripada jari2 patah atau hidung pesek terkena bola. Karena kebanyakan gol, teman saya yang jadi Bek kesal, dia suruh saya menggantikannya jadi Bek dan dia yang jadi kiper.
    Sebagai bek saya hanya bondo nekat, ala Indonesia, lu serang gua lawan, ayo adu tulang betis. Kawan2 bule kebanyakan mengalah, mungkin mereka kasihan melihat cina-bali yang kurus-kering ini, bakal patah tulang betisnya jika beradu.
    Teman saya si kiper memuji, wah lu koq lihay dan pemberani.
    Dia tidak tahu sifat kita orang indonesia, hanya bondo bongol, hantam dulu, urusan belakangan.

    BalasHapus
  3. haiya ciamik... pengalaman xiansheng main bola dengan orang bule yg tendangannya buanteer.

    kalo sengaja ngambil tulang betis ya langsung dapat kartu merah. kamsia

    BalasHapus