Selasa, 03 September 2019

Selamat untuk Kardinal Suharyo



Akhirnya masuk koran utama. Bapa Uskup Agung Jakarta Monsinyur Ignatius Suharyo diangkat Paus Fransiskus sebagai kardinal pada 1 September 2019. Beritanya dimuat Jawa Pos pagi ini dan Kompas kemarin. Biasanya informasi macam ini jarang masuk media arus utama di NKRI.

Ada 12 kardinal baru yang diumumkan Sri Paus asal Argentina itu. Dua di antaranya dari negara muslim. Salah satunya Mgr Suharyo.

Pengangkatan kardinal jelas peristiwa luar biasa. Di lingkungan umat Katolik di seluruh dunia. Apalagi di Indonesia yang mayoritas 90an persen muslim. Orang Katoliknya pun tidak sampai 5 persen. Orang Protestan, apalagi aliran Pentakosta dan Karismatik, jauh lebih banyak.

Kok bisa bapa uskup asal Indonesia yang dipilih jadi kardinal?

Inilah menariknya. Meskipun minoritas absolut, ternyata Gereja Katolik di Indonesia sudah lama diperhitungkan di tataran global. Katolik Indonesia dianggap sudah dewasa. Bukan lagi penerima pater-pater misionaris dari luar negeri, khususnya Eropa, tapi justru bertugas di berbagai negara.

Pater-pater SVD asal Flores NTT kini lebih banyak melanglang ke paroki-paroki di luar negeri. Di Kabupaten Lembata, daerah asal saya, misalnya saat ini hanya SATU paroki yang digembalakan pater-pater SVD. Yakni Paroki Waikomo di dekat RS Bukit yang terkenal itu. Paroki-paroki lain dipegang para reverendus dominus (RD) alias romo diosesan alias projo.

Padahal, hingga akhir 1990an paroki-paroki di Lembata, Adonara, Solor, Larantuka sepenuhnya alias 100 persen dipegang pater-pater SVD. Kiprah para pater asal Indonesia ini tentu saja mendapat perhatian dari Vatikan. Panggilan ternyata sangat subur di Indonesia.

Kembali ke Ignatius Kardinal Suharyo SJ yang baru diangkat Paus Fransiskus. Beliau merupakan kardinal ketiga asal Indonesia. Diawali Justinus Kardinal Darmojuwono SJ (+) pada 1967, kemudian Julius Kardinal Darmaatmadja SJ pada 1994.

Artinya, umat Katolik di Indonesia harus menunggu 25 tahun untuk dapat satu kardinal. Sebelumnya 27 tahun. Memang sangat tidak gampang jadi seorang kardinal. Terlalu banyak syarat dan kualitas yang dituntut Vatikan.

Berbeda dengan dua kardinal pendahulunya yang Yesuit, Kardinal Suharyo ini berlatar imam projo (RD) dari Keuskupan Agung Semarang. Beliau seorang teolog, pemikir, penulis, aktivis, yang ditahbiskan menjadi imam oleh Justinus Kardinal Darmoyuwono SJ.

Monsinyur Suharyo ini menarik. Sejak diangkat jadi Uskup Agung Semarang, beliau menolak hal-hal yang berbau feodalisme. Panggilan kehormatan seorang uskup, Monsinyur, pun beliau kurang suka. Kalau menulis artikel opini di koran dan majalah, penulisnya cukup ditulis I. SUHARYO. Tidak pakai Mgr. I. Suharyo.

Bahkan, beliau lebih suka dipanggil Bapak Suharyo atau Pak Haryo. Ini juga sesuai dengan motonya: Serviens Domino Cum Omni Humilitate (Aku Melayani Tuhan dengan Segala Rendah Hati).

Selamat untuk Kardinal Suharyo!
Selamat untuk Pak Haryo!
Berkah Dalem!

2 komentar:

  1. Bagus, patutlah Bung Hurek merasa bangga, bahwa ada orang Indonesia dinobatkan menjadi Kardinal, yang kedudukan-nya langsung dibawah Paus. Dan memiliki harapan suatu ketika bisa dinobatkan sebagai Paus.
    Kualifikasi dan persyaratan2 untuk bisa menjadi seorang Kardinal, jauh lebih sulit daripada menjadi seorang presiden atau perdana menteri, bahkan dibandingkan menjadi presiden Amerika Serikat sekali pun.
    Jika suatu hari Bung Hurek berkesempatan bertemu dengan Kardinal Suharyo, Anda tidak boleh lagi menyebut dengan panggilan Monsignore, tetapi sebutannya sekarang adalah Eminenz, yang artinya, Yang Dipertuan-agungkan.. Betapa pun bersahaja-nya seseorang, pastilah senang hatinya jika dipanggil dengan sebutan kehormatan.
    Jokowi, Pak Jokowi atau Bapak Presiden Joko Widodo, tanyalah kepada orang-nya, sebutan yang mana lebih Beliau sukai dalam hati-nya.
    Ada satu Trick untuk orang-biasa, jika ingin bisa sejajar dan setingkat dengan seorang Kardinal, yaitu :
    Buanglah semua kaos-kaki mu, belilah dan pakailah kaos-kaki baru berwarna merah.
    Kalau kedudukan, kehormatan dan fasilitas tidak bisa sejajar dengan seorang Kardinal, se-tidak2-nya Kaki-nya si-Simon atau si-Petrus dari Larantuka, bisa sejajar-setingkat dengan Kaki-nya seorang Kardinal. Alasannya, sesuai dengan Tata Busana yang diatur oleh Vatikan, seorang Kardinal harus memakai kaos-kaki berwarna merah. Mari Bung ramai2 ke pasar Atom beli kaos-kaki warna merah.

    BalasHapus
  2. Aha.. menarik banget komentar xiansheng dari eropa ini. Kita orang kudu tuku kaos kaki merah... bagi yg biasa pake kaos kaki lah.

    Sudah mau 5 bulan ini kita orang lewat hampir tiap hari di depan Pasar Atom yg terkenal itu. Gedungnya sudah tua banget dan kuran terawat. Macam pasar tradisional di luar Jawa. Kalah sama pasar2 di Sidoarjo. Tapi yo pancet rame iku Pasar Atoom alias Atum itu. Buat ngopi juga bagus kayak warkop di pinggir embong.

    Haiya... kualifikasi jadi seorang kardinal memang sangat sangat sulit. Makanya kita ucapkan Deo Gratias karena Bapa Suci sudah angkat Mgr Suharyo jadi salah satu kardinal.

    kamsia

    BalasHapus