Selasa, 29 Oktober 2024

Pater Ben Udjan SVD: Berkebun di Usia Senja dengan Semangat yang Tak Pernah Padam


Pater Ben Udjan SVD, seorang imam yang dikenal aktif berkebun di usia senjanya, tetap menunjukkan semangat hidup yang menginspirasi meski sudah berusia 86 tahun.

 Beliau adalah pastor yang merintis berdirinya Paroki Ksatrian Malang, satu-satunya paroki yang digembalakan oleh imam-imam SVD di Keuskupan Malang.

Baru-baru ini, Pater Fritz Meko SVD, junior Pater Ben, mengunjungi beliau di Kalimantan. Dalam catatannya, Pater Fritz menggambarkan momen ketika Pater Ben tengah menyiram tanaman-tanaman seperti pohon jeruk dan berbagai sayuran.

 "Bekerja adalah merawat semangat kemanusiaan yang secara natural, tidak akan kendor hanya karena kerapuhan fisik," ungkap Pater Ben saat ditanya tentang semangat kerjanya yang tak kunjung pudar.

Lahir di Lembata NTT pada 1 Agustus 1938, Pater Ben ditahbiskan sebagai imam pada 9 Juli 1970. Kariernya mencakup pelayanan di Larantuka (1970-1974), Sorong (1974-1982).

Setelah itu bertugas di Malang (1982-1990), Bekasi-Jakarta (1990-1994), dan Katingan-Kalimantan Tengah (1994-2023). Kini, beliau tinggal di Pangkaraya dan menikmati masa senja hidupnya.

Pater Ben bukan hanya seorang imam, tetapi juga seorang seniman yang berbakat dalam seni lukis dan pematung. Gaya komunikasinya yang indah dan menarik membuat setiap percakapan menjadi bermakna. 

Pater Fritz mencatat, "Saya tersentak oleh jawaban filosofis Pater Ben yang mendalam. Semua orang akan menjadi tua, namun pemaknaan akan usia tua menentukan disposisi batin dalam menerima masa tua: sebagai rahmat atau petaka."

Dengan semangat dan dedikasi yang tinggi, Pater Ben Udjan SVD membuktikan bahwa usia bukanlah penghalang untuk terus berkarya dan memberi inspirasi bagi orang lain.

Minggu, 27 Oktober 2024

Pedagang Sembako Madura Sepakat Atur Jarak Toko untuk Kurangi Persaingan Tidak Sehat

Para pedagang sembako Madura di wilayah Mojokerto Raya kini menerapkan aturan jarak antara toko untuk menghindari persaingan tidak sehat. 

Dalam kesepakatan yang dikoordinasikan oleh Paguyuban Pedagang Sembako Madura Mojokerto, setiap toko atau warung sembako Madura yang berada di wilayah kota harus berjarak minimal 400 meter, sedangkan untuk area kabupaten, jarak minimalnya ditetapkan 500 meter.

Kesepakatan ini juga mewajibkan semua pedagang sembako Madura yang beroperasi di Mojokerto untuk bergabung dengan paguyuban tersebut. 

"Kalau jaraknya diatur, persaingan bisa lebih sehat. Bayangkan kalau jarak toko cuma 100 meter atau 50 meter, pasti akan saling berebut pelanggan," ujar Ahmad, warga Madura di Mojosari. 

Ahmad menambahkan bahwa peraturan ini dibuat demi kebaikan bersama agar pedagang dapat saling mendukung.

Warung-warung sembako Madura terkenal di Mojokerto karena biasanya buka 24 jam, sehingga menjadi jujukan masyarakat untuk kebutuhan sembako mendesak kapan saja. Kesepakatan jarak ini diharapkan bisa menjaga ikatan solidaritas dan mencegah konflik antar sesama pedagang.

Ketua Paguyuban Pedagang Sembako Madura Mojokerto menyebutkan bahwa aturan ini sudah berlaku sejak 19 Mei 2024 dan akan diawasi secara ketat. Warung yang melanggar ketentuan jarak akan diberikan teguran dan, jika tidak mengindahkan, dapat dikenai sanksi hingga diminta menutup usahanya.

Transformasi Bangunan Gereja Mangkrak Menjadi SMA Katolik Untung Suropati Krian


Pada tahun 1993, sebuah rencana ambisius dimulai di Krian, Sidoarjo. Sebuah gereja direncanakan dibangun untuk melayani sekitar 1.000 jiwa umat Katolik di wilayah Krian, Kedamaian, Tarik, dan Mojosari. 

Namun, apa yang dimulai dengan harapan, berubah menjadi sebuah cerita yang panjang dan penuh tantangan.

Setelah semua prosedur perizinan dilalui, pembangunan gereja ini terhenti pada 7 Juni 1994, ketika sekelompok orang menghentikan proses tersebut. Berbagai upaya sudah dilakukan tapi kandas. 

Uskup Surabaya Msgr. Johanes Hadiwikarta (saat itu) memutuskan agar proses pembangunan gereja dihentikan. Suasana tidak kondusif. Kalau dipaksakan bakal berdampak buruk dan merugikan umat Katolik di Stasi Krian.

 Sejak saat itu, bangunan tersebut dikenal sebagai "Gereja Santo Mangkraksius" di kalangan umat Katolik di Krian dan Sidoarjo.

Selama 27 tahun, bangunan ini mangkrak dan menjadi simbol kegagalan, bahkan menjadi objek uji nyali dan konten hantu-hantuan di media sosial, seperti yang diungkapkan oleh Anton, seorang warga Krian.

Banyak warga Sidoarjo, bahkan umat Katolik, tidak mengetahui alasan di balik mangkraknya gedung ini. Khususnya generasi muda yang lahir setelah peristiwa unjuk rasa dan perusakan di tahun 90-an, banyak yang tidak memiliki pemahaman tentang sejarah pahit ini.

Keuskupan Surabaya pun akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pembangunan gereja di lokasi tersebut. Sebab tidak ada jaminan bahwa gangguan dari oknum seperti di masa lalu tidak akan terulang. 

Dalam kondisi ini, Uskup Surabaya, Msgr. Vincentius Sutikno Wisaksono (RIP), mengambil langkah berani dengan mengubah peruntukan lahan tersebut menjadi sekolah. Ini disampaikan Bapa Uskup saat meresmikan Stasi Krian menjadi Paroki Krian.

Pada 15 November 2021, proses pembongkaran bangunan mangkrak dimulai dan ditargetkan selesai pada 30 November 2021. Lahan yang sebelumnya menjadi tempat kekhawatiran kini akan dialihfungsikan menjadi gedung SMA Katolik Untung Suropati Krian. 

Sekolah ini telah lama menumpang di gedung SMP, dan akhirnya mendapatkan kesempatan untuk memiliki gedung sendiri. Transformasi ini bukan hanya sekadar pengalihan fungsi bangunan, tetapi juga simbol harapan baru bagi umat Katolik di Krian dan sekitarnya. 

SMA Katolik Untung Suropati Krian diharapkan dapat menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas dan mendukung pengembangan karakter generasi muda, menjadikan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat.

Gedung SMA Katolik Untung Suropati Krian akhirnya diresmikan pada Sabtu, 6 Mei 2023. Suasana haru dan syukur kepada Allah terpancar dari wajah pengurus yayasan, para guru, serta siswa SMA Katolik Untung Suropati Krian yang kini memiliki gedung sendiri.

Seorang guru yang sudah mengabdi selama lebih dari satu dekade di SMA Katolik Untung Suropati Krian mengungkapkan rasa syukurnya. "Puji Tuhan, akhirnya kami bisa memiliki gedung sekolah sendiri setelah nebeng di SMPK selama puluhan tahun," ujarnya dengan penuh haru.

 Para siswa pun tampak antusias menyambut fasilitas baru yang jauh lebih memadai dibandingkan gedung sebelumnya.

Dengan fasilitas yang lebih lengkap, SMA Katolik Untung Suropati kini dapat mewujudkan visi pendidikan yang lebih optimal. Sekolah ini berkomitmen untuk menyediakan pendidikan berkualitas yang tidak hanya fokus pada akademik, tetapi juga membina karakter serta nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. 

Penyanyi Tunanetra Martin Kurman: Suara dari Lamaholot yang Menginspirasi


Martin Kurman, penyanyi tunanetra yang berasal dari Adonara, Flores Timur, telah menjadi suara ikonik yang menggugah masyarakat, baik di dalam maupun di luar Nusa Tenggara Timur. 

Dengan kemampuan vokalnya yang luar biasa, Martin mempopulerkan lagu-lagu berbahasa Lamaholot yang sarat makna. Salah satunya "Koda Kenirin," ciptaan Vinsen Ileratu. Lagu ini mengisahkan tentang kekuatan Alam Semesta yang ada sejak sebelum banjir besar melanda bumi.

Martin menyampaikan pesan mendalam tentang penciptaan surga dan bumi, serta pentingnya merawat nilai-nilai yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Lagu ini menjadi inspirasi bagi masyarakat Lamaholot untuk menjaga sistem nilai dan tradisi mereka. Seperti yang terungkap dalam syairnya:

"Buta bete, walan mara hala wati  
Ama… mo molo tawan kae  
Tana tawan ekan gere di wa ulin  
Bapa.. mo wahrin gere kae"

Lirik ini menyiratkan hubungan spiritual antara manusia dan pencipta, menggugah rasa syukur kepada Tuhan atas ciptaan-Nya. Martin menambahkan nuansa emosional yang kuat, membuat pendengarnya merasakan kedalaman makna dari setiap kata.

Lagu Ina Maria, devosi kepada Bunda Maria dalam bahasa Lamaholot, terasa syahdu saat dibawakan oleh Martin Kurman. Suasana terasa sedih bak ratapan orang tak berdaya yang meminta bantuan Sang Bunda.

"Louke loranga denga lagu-lagu Ade Martin," kata Tuto Goe, warga Lembata yang sangat menggemari lagu-lagu Martin Kurman di YouTube.

Selain lagu-lagu rohani, Martin juga dikenal dengan lagu-lagu ceria untuk menghibur penonton. Biasanya lagu-lagu dangdut lawas dimodifikasi dan dibawakan dengan gaya khas Martin.

 Di konser-konsernya, Martin tidak hanya menyuguhkan suara yang menyentuh, tetapi juga membawa kebahagiaan. Ia mampu membangkitkan tawa dan kegembiraan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.

Salah satu lagu yang paling terkenal, "Gampang Hala," mengadopsi irama tarian Sole Oha yang menjadi tradisi di kalangan etnis Lamaholot. Lagu ini sering dinyanyikan dalam tarian massal yang dilakukan oleh warga Lamaholot, baik di Indonesia maupun di luar negeri. 

"Talenta yang Tuhan berikan untuk Martin Kurman benar-benar luar biasa," kata Bunga Muda, seorang penggemar yang tinggal di Surabaya. "Dia adalah salah satu seniman Lamaholot paling berbakat yang pernah saya lihat."

Dengan setiap penampilannya, Martin Kurman tidak hanya membawa musik, tetapi juga kebanggaan akan identitas Lamaholot. Suaranya terus menginspirasi banyak orang, mengajak kita semua untuk merayakan dan menjaga warisan budaya yang kaya ini. 

Sabtu, 26 Oktober 2024

Hotel Irian Surabaya: Hotel Bersejarah Era Kolonial di Dekat Pasar Atom

Hotel Irian Surabaya, yang dahulu dikenal sebagai Hotel Insulinde, adalah salah satu hotel tua peninggalan Hindia Belanda yang masih bertahan di tengah pesatnya modernitas Kota Surabaya. 

Berlokasi strategis di Jalan Samudera 16, hotel ini hanya berjarak sekitar 50 meter dari Pasar Atom, pusat perbelanjaan legendaris di Surabaya.

Chrisyandi Tri Kartika, pustakawan Universitas Ciputra Surabaya sekaligus koordinator komunitas pecinta sejarah PSL, menjadikan Hotel Irian sebagai salah satu destinasi blusukan sejarah. Hotel Irian, dengan desain interior bergaya kolonial yang khas, menyajikan nuansa nostalgia. 

Mulai dari lantai ubin, cermin, lemari kayu antik, hingga ranjang tua, semuanya memiliki daya tarik unik bagi pengunjung yang ingin merasakan pengalaman masa lalu.

Selain keunikan arsitektur Hotel Irian, kawasan Jalan Samudera sendiri juga menyimpan nilai historis yang menarik. Dahulu, kawasan ini dikenal sebagai Jalan Bakmi. Ada Gereja Tionghoa pertama yang melayani jemaat dalam tiga dialek bahasa Tionghoa. Ini menambah kekayaan sejarah yang jarang ditemui di tengah kota metropolitan.

Hotel Irian menawarkan berbagai jenis kamar dengan tarif terjangkau. Cocok bagi pedagang maupun wisatawan yang mencari pengalaman menginap bernuansa kolonial. 

Salah satu pelanggan setia hotel ini, Wibawa Teja, mengisahkan pengalamannya menginap bersama keluarga. 

"Hotel paling nyaman di Surabaya adalah Hotel Irian. Ubin, cermin, lemari, ranjangnya semua antik. Terakhir nginap di sana waktu belanja barang antaran untuk melamar istri," ungkapnya.

Hotel Irian bukan sekadar penginapan, melainkan potongan sejarah yang masih hidup di Surabaya. Bagi pengunjung yang ingin merasakan suasana kota masa lalu, Hotel Irian Surabaya adalah pilihan yang tak tergantikan.

 Di tengah modernitas, hotel ini tetap mempertahankan pesona klasiknya, mengajak pengunjung menikmati atmosfer Surabaya tempo dulu. 

(NB: Naskah ini ditulis dengan bantuan AI).

Kamis, 10 Oktober 2024

Mengenang Sekolah-Sekolah Tionghoa di Surabaya sebelum Masa Orde Baru (1966)

Upaya untuk melestarikan memori Kota Surabaya terhadap sejarah pendidikan di kalangan komunitas Tionghoa kini sedang diinisiasi oleh Osa Kurniawan Ilham, dosen Universitas Ciputra (UC) Surabaya. 

Bersama para mahasiswa, Osa sedang mengerjakan proyek penyusunan memorial book, yang akan mengabadikan kisah serta memori bangunan sekolah-sekolah Tionghoa yang pernah berdiri di kota ini.

Sebagian besar bangunan sekolah Tionghoa tempo dulu kini beralih fungsi menjadi bangunan milik pemerintah. Menurutnya, proyek ini diharapkan dapat menghidupkan kembali ingatan tentang peran penting komunitas Tionghoa dalam dunia pendidikan Surabaya pada masa lampau.

Meski para alumni sekolah tersebut kini sudah lanjut usia dan jarang aktif di media sosial, masih ada banyak informasi yang bisa digali dari mereka. Foto-foto di media sosial juga ada meski tidak lengkap.

"Tidak sulit karena alumninya banyak. Masalahnya, para alumni sudah sangat tua dan tidak main medsos, kecuali Bapak Dr. Anthony Tjio, yang sekolahnya LHHS ditutup tahun 1958 kalau tidak salah," ujarnya.

Dr. Anthony Tjio, alumnus Lian Huo High School (LHHS) Surabaya, saat ini berdomisili di Tiongkok. Ia berbagi cerita mengenai pengalaman alumninya dan sejarah sekolah-sekolah Tionghoa di Surabaya. 

"Sebelum 1960, di Surabaya ada tiga SMA Tionghoa, masing-masing dengan aliran ideologi yang berbeda. Pertama, Lian Huo High School (Lian Chung) yang konservatif dan berafiliasi dengan Kuomintang di Taiwan, beruniform putih-biru. 

Kedua, Chung Hua High School (Chung Chung) yang netral, beruniform putih-putih. Ketiga, Sin Hua High School (Sin Chong) yang progresif dan berafiliasi dengan Republik Rakyat Tiongkok, beruniform putih-kopi susu, yang identik dengan kaum buruh Tionghoa," jelasnya.

Anthony melanjutkan, "Saya alumnus Lian Chung dan setelah sekolah, saya hijrah ke Amerika. Setelah semua sekolah Tionghoa ditutup oleh Orde Baru, banyak alumni Sin Chung dan Chung Chung yang pergi ke Mainland China untuk melanjutkan pendidikan mereka. 

Mereka berangkat ke Tiongkok pada masa Revolusi Budaya, yang menggulingkan feodalisme dan kasta masyarakat ciptaan Konghucu. Dampaknya, para terpelajar yang berpredikat kasta tertinggi KHC diharuskan turun ke sawah dan pabrik untuk berkontribusi dalam produksi sandang dan pangan."

Setelah Revolusi Budaya di tahun 1970-an, alumni tersebut diperbolehkan meninggalkan Tiongkok, yang memicu terjadinya eksodus ke Hong Kong Inggris dengan persyaratan yang ketat. Mereka keluar dengan kantong kosong.

 "Sebagai keturunan dengan jiwa resilience, kami belajar untuk bertahan dan sukses di mana pun berada," tambahnya.

Beberapa anggota grup Peranakan Tionghoa menyebut, dari 16 sekolah yang tercantum dalam daftar prioritas versi Osa, kemungkinan hanya 8 sekolah yang memiliki dokumentasi foto yang cukup lengkap di internet. 

Berikut daftar sekolah Tionghoa di Surabaya yang menjadi fokus dokumentasi dalam proyek memorial book ini:

1. Sekolah Chiao Kuang – Jl. Kranggan
2. Sekolah Khay Ming – Jl. Kalianyar
3. Sekolah Shin Hwa – Jl. Ngaglik
4. Sekolah Min Chiang – Jl. Kaliasin
5. Sekolah Sin Kiaw – Jl. Kapasan

6. Sekolah Chiao Chung – Jl. Pecindilan
7. Sekolah Ching Hua Kuo Min – Jl. Gentengkali
8. Sekolah Fu Wu – Jl. Kawung
9. Sekolah Hua Kiaw – Jl. Waspada
10. Sekolah Kuang Hua – Jl. Bunguran


11. Sekolah Hua Kiaw – Jl. Bunguran
12. Sekolah Chiao Tong – Jl. Darmokali
13. Sekolah Tiong Sian – Jl. Gembong Cantikan
14. Sekolah Tiongkok Lie Hak – Jl. Sidodadi
15. Sekolah Nan Chiang – Jl. Belakang Penjara
16. Sekolah Hok Kian Kong Tik Soe – Jl. Bibis (perkumpulan Hokkian)

Sabtu, 05 Oktober 2024

Mengenang Romo Antonius Benny Susetyo: Pastor Humanis yang Penuh Kontroversi

Romo Antonius Benny Susetyo, staf khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), meninggal dunia pada Sabtu, 5 Oktober 2024. Pastor yang dikenal dengan gagasan dan komunikasinya yang luwes ini berpulang hanya lima hari sebelum ulang tahunnya yang ke-56. 

Romo Benny meninggal di RS Mitra Medika Pontianak pada pukul 00.15 WIB. Jenazahnya dibawa ke Rumah Duka Gotong Royong, Blimbing, Malang, untuk disemayamkan.

Romo Benny, yang berasal dari Malang, terakhir menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan BPIP di Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, pada 3 Oktober 2024. Seminar tersebut mengangkat tema "Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dalam Berbangsa dan Bernegara: Kedaulatan Sumber Daya Alam," yang mencerminkan salah satu perhatian besar Romo Benny terhadap peran moral dalam tata kelola negara.

Bernie Making, seorang teman yang mengenal Romo Benny sejak Oktober 1996, merasa kehilangan besar atas kepergian Romo Benny. Ia mengenang masa awal mereka berkenalan di Situbondo ketika Romo Benny baru saja ditahbiskan sebagai imam praja Keuskupan Malang.

 Pada 10 Oktober 1996, ketika terjadi pembakaran 12 gereja di Situbondo, termasuk Gereja Katolik Bintang Samudera, Romo Benny menjadi figur penting dalam menjalin komunikasi lintas agama.

Salah satu momen penting dalam perjalanan hidup Romo Benny adalah ketika ia, setelah berkonsultasi dengan salah satu idolanya, Romo Mangunwijaya, mulai membangun hubungan dekat dengan Gus Dur, yang saat itu menjabat sebagai Ketua PBNU.

 Keduanya menjalin persahabatan erat yang berbuah pada kunjungan Gus Dur ke Situbondo. Bersama-sama, mereka menyusuri sejumlah pondok pesantren, mengadakan dialog antaragama, dan menyelenggarakan pasar murah di halaman gereja yang terbakar.

Kedekatan Romo Benny dengan Gus Dur tidak berhenti di situ. Saat Gus Dur menjadi Presiden RI, Romo Benny sering mengunjungi Istana Negara untuk berdiskusi dan menikmati guyonan khas Gus Dur. 

"Guyonan Gus Dur seakan tidak pernah habis," kenang Romo Benny dalam salah satu kesempatan. "Gaya Gus Dur tidak pernah berubah meskipun sudah jadi presiden."

Namun, di tengah kiprahnya yang luas di bidang sosial dan politik, Romo Benny juga menjadi figur yang kontroversial. Pernyataan-pernyataan tajamnya di berbagai media massa membuatnya lebih mirip seorang politikus atau aktivis dibandingkan pastor, sesuatu yang mengejutkan banyak umat Katolik.

 Isu bahkan sempat merebak bahwa Romo Benny telah melepaskan jubah imamatnya. Namun Keuskupan Malang kemudian mengklarifikasi bahwa Romo Benny tetap seorang pastor hingga akhir hayatnya.

Meskipun demikian, polemik tetap menghiasi perjalanan hidup Romo Benny. Ia tidak lagi terinkardasi pada Keuskupan Malang sejak 2023, yang berarti tidak dapat memimpin misa atau sakramen hingga ia mendapatkan inkardasi dari keuskupan lain. Namun, hal ini tidak mengurangi semangatnya dalam berkontribusi pada masyarakat luas melalui berbagai aktivitasnya.

Kini, Romo Benny telah pulang ke rumah Bapa. Sosoknya sebagai pastor yang humanis, komunikatif, dan penuh dedikasi dalam membangun persaudaraan antarumat akan selalu dikenang. 

Selamat jalan, Romo Benny!