Jumat, 01 November 2024

Satu Abad Gedung Soverdi di Surabaya, Tinggalan Bruder CSA, Sekarang Milik Pater SVD

Gedung Soverdi di Jalan Polisi Istimewa 9, Surabaya, akan menjalani proses renovasi untuk menyambut usianya yang ke-100 pada 2025. Bangunan bersejarah ini, yang berdiri sejak 1925 dan dirancang oleh arsitek terkenal Hulswit, Fermont & Ad. Cuypers, telah menjadi jujukan mahasiswa dan komunitas pencinta sejarah di Surabaya yang mengagumi arsitekturnya yang klasik dan kokoh.

Gedung Soverdi awalnya milik Bruder CSA (Congregatio Sancti Aloysii), kongregasi yang mengelola SMAK St. Louis, sekolah menengah yang cukup terkenal di Surabaya.

Pada 1975, gedung ini diserahkan Bruder CSA kepada imam-imam SVD, yang sebagian besar berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak itu, gedung ini menjadi tempat tinggal bagi para pastor kongregasi SVD hingga kini.

Pater-pater Soverdi yang kini menempati gedung ini, di bawah koordinasi Pater Fritz Edomeko SVD sebagai ketua panitia, tengah berupaya mengumpulkan dana renovasi, yang diperkirakan memerlukan biaya besar. 

"Karena gedung Soverdi telah masuk dalam kategori cagar budaya, kami hanya bisa melakukan perbaikan di bagian dalam bangunan tanpa mengubah bentuk asli, terutama di sisi luar," ujar Pater Fritz.

Renovasi ini ditujukan untuk memperbaiki bagian dalam gedung yang kondisinya sudah banyak yang rusak. Panitia mengajak masyarakat luas untuk ikut serta memberikan donasi guna mendukung proses renovasi ini. 

Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 258-5080975 atas nama Kongregasi Serikat Sabda Allah.

Salah satu pengunjung, Ratri Saraswati, mengungkapkan kesan saat mengunjungi Soverdi. Anggota komunitas tempo doeloe itu menulis:

"Bangunannya kokoh dan memiliki suasana tenang. Saya merasa betah, cocok untuk healing. Kami disambut ramah oleh Romo Soni Keraf yang mengantar kami berkeliling melihat sudut-sudut gedung, hingga ke dapur tempat para suster sedang memasak," ujarnya.

Rencananya, renovasi gedung Soverdi ini akan diselesaikan dalam beberapa tahun mendatang, seiring dengan upaya penghimpunan dana yang tengah berlangsung.

11 komentar:

  1. Selamat malam, pak Hurek. Apa bapak mengetahui keberadaan Partai Katolik yang pernah ada di Surabaya dan wilayah Jawa Timur sekitarnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Partai Katolik dan Parkindo otomatis hilang setelah fusi ke PDI tahun 71. Dulu eks fungsionaris Partai Katolik jadi pengurus teras di PDI hingga Nico Daryanto jadi sekjen. Setelah itu wassalam.

      Di era reformasi ada beberapa aktivis coba bikin PartainKatolik Demokrat tapi tidak berterima di pasar politik. selesai.

      Hapus
    2. Apa Nico Daryanto masih hidup sampai sekarang, pak Hurek?

      Hapus
    3. Pak Nico Daryanto sudah gak ada 2020. Sakit lama cuci darah. RIP

      Hapus
  2. Ngapain bahas Partai Katolik, Bung Johnny? Itu cuma nostalgia aja. Kenangan masa lalu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena Partai Katolik sendiri kajiannya sangat sedikit bahkan di Unair hanya ada satu skripsi membahas begitu sayangnya lingkupnya terbatas pada DKI Jakarta bukan Surabaya atau Jawa Timur. Pemikiran politikus Partai Katolik itu menarik dipelajari demi bisa membangkitkan awam Katolik agar bisa mau berpolitik dengan identitas sebenarnya tanpa harus melebur dan membaur ke parpol lain, jika begitu rentan tergusur oleh dominasi entitas ideologi sendiri. Jadi bukan sekadar nostalgia saja, pak Hurek.

      Hapus
    2. Maksudnya berpolitik dengan identitas sebenarnya adalah memiliki wadahnya dan benar-benar bisa mewakili kepentingan golongan Katolik sendiri tanpa harus melebur dan membaur ke parpol berbeda haluan.

      Hapus
    3. Kudu melebur di era demokrasi liberal pemilu langsung karena jumlah suara tak sampai 2%. Umat mayoritas macam NU dan Muhammadiyah baru bisa bikin partai karena ada segmen pasar. Itu pun tidak mudah juga.

      Jadilah uyah.. jarene rama.

      Hapus
    4. Kalau berdasarkan pengalaman mendiang Lambertus Gaina Dara, seorang fungsionaris Partai Katolik tahun 60-an pernah berkata sebaliknya, bahwa kepentingan Kristen terutama Katolik hanya bisa diperjuangkan oleh Katolik sendiri. Sebab, memakai contoh kasus selama beliau bergabung ke PDI atau PDIP, merasakan benar apa adanya kepentingan Kristiani tidak tersalurkan dalam partai nasionalis, misalnya SKB izin mendirikan rumah ibadah tidak diperjuangkan sampai tahap dihapuskan (Majalah Reformata Desember tahun 2004)

      Sejatinya, kalau umat Katolik melebur ke partai lain, maka ditakutkan nilai-nilai yang dianut oleh Katolik sungguh bertentangan dengan partai yang bukan Kristiani, malahan tergusur oleh nilai-nilai yang tidak sesuai politik Katolik. Contohnya, ketika Partai Katolik dipaksa lebur ke PDI, akibat kebijakan Orde Baru. Beberapa tahun kemudian, I.J Kasimo selaku pendiri Partai Katolik kecewa berat, sebab kepentingan Katolik tidak diperjuangkan sepenuhnya (Biografi I.J Kasimo Hidup dan Perjuangannya, 1980)

      Jadi, saya masih meyakini bahwa Partai berlandaskan Kristiani, masih dibutuhkan saat ini, pak Hurek.

      Hapus
    5. Dibutuhkan tapi tidak akan tembus Senayan. Jangankan partai katolik atau protestan, partai Islam sekaliber PPP saja tidak lolos ke Senayan. Partai Islam gagal semua kecuali PKS.

      Hapus