Iseng-iseng baca koran zaman Belanda ketemu iklan kecil di surat kabar Sin Po edisi 9 Desember 1922. Ada Hotel Tionghoa yang baru dibuka di Surabaya pada 1 November 1922. Itu hotel punya merek: Ping An Tjan.
Lokasinya di Sambongan Gang Tjaijpoo Nomor 8 Soerabaia. Direktur: Lie Tiauw Hwat. Eigenares: Nyonya Pang A Kioe Nio.
Ada keterangan bahwasanya Hotel Ping An Tjan sebelumnya adalah rumah Oeij Kang Jan. Pasti saudagar Tionghoa kaya pada zaman Hindia Belanda.
Akhirnya terjawab sudah owe punya penasaran selama ini. Losmen Samudra, persis di samping Gereja Kristen Tionghoa (GKT), Jalan Samudra (d/h Jalan Bakmie) itu dulunya gedung apa? Riwayatnya seperti apa.
Hotel yang berlokasi di Sambongan Gang Tjippo No. 8 – sekarang Jalan Kopi – dulunya dikenal akan fasilitasnya yang mewah dan pelayanannya yang prima. Namun, setelah masa kejayaannya, hotel ini berganti nama menjadi Losmen Samudra, lalu perlahan kehilangan pamornya hingga akhirnya tutup.
Suparti, warga sekitar yang telah lama tinggal di kawasan Sambongan, mengungkapkan bahwa lesunya hotel-hotel di kawasan ini dimulai sejak penutupan Stasiun Surabaya Kota (Stasiun Semut).
"Dulu Ping An Tjan sangat ramai, karena banyak pedagang luar pulau yang jadi pelanggan tetapnya. Tapi sekarang, tinggal bangunannya saja yang mangkrak," ujarnya.
Suparti juga menyebut bahwa beberapa hotel era kolonial di Sambongan yang masih bertahan, seperti Hotel Semut, Hotel Irian, Grand Hotel, dan Hotel Merdeka, juga mengalami kondisi yang sulit. Sepi tamu. Kondisinya juga ibarat lansia yang kurang terawat.
Cak Boen, arek Kalimas yang kini duduk di Amerika Serikat, punya pengalaman dengan hotel di dekat restoran Tionghoa kelas atas di era kolonial itu. Selain menjadi hotel, Ping An Tjan juga pernah menyediakan layanan ekspedisi antara Surabaya dan Banjarmasin.
"Dulu saya pernah diajak naik sepeda gandolan bersama pembantu laki-laki untuk mengantar barang ke sana," kenang Cak Boen, yang semasa kecilnya sering menyaksikan kegiatan di Hotel Ping An Tjan.
Menurut dia, kakaknya yang tertua juga sering diminta untuk mengurus pengiriman barang di sana. Cukup ramai kawasan Sambongan pada masa lalu karena ada banyak hotel di kawasan yang sebenarnya tidak terlalu luas itu.
Lantas, mengapa sekarang jadi bangunan mangkrak? Ada kesan angker malam hari. Apalagi ada pohon beringin di depannya.
Cak Boen menyebut nasib bangunan ini semakin tidak menentu karena masalah warisan. "Menurut teman main tenis saya di Surabaya, keturunan pemiliknya terlalu banyak dan tersebar di mana-mana, jadi sulit untuk mengeksekusi penjualan warisan," katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa jika dibiarkan terlalu lama terlantar, bangunan seperti ini berpotensi diambil alih oleh pihak ketiga, mafia tanah, atau tukang serobot tanahnya Gusti Allah.
Bangunan tua Hotel Ping An Tjan kini menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu kawasan Sambongan, yang dulunya menjadi pusat aktivitas ekonomi. Sayangnya, kawasan ini semakin terpinggirkan di tengah dominasi perkembangan kota modern yang berfokus di Surabaya Pusat dan Selatan.
"Jejak sejarah Sambongan seperti Ping An Tjan menunggu perhatian serius agar tidak lenyap begitu saja sebagai bagian dari warisan budaya Surabaya," komentar AI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar