Rabu, 27 November 2024

Hotel Ping An Tjan, Surabaya, Saksi Bisu Kejayaan Masa Kolonial yang Kini Mangkrak

Iseng-iseng baca koran zaman Belanda  ketemu iklan kecil di surat kabar Sin Po edisi 9 Desember 1922. Ada Hotel Tionghoa yang baru dibuka di Surabaya pada 1 November 1922. Itu hotel punya merek: Ping An Tjan.

Lokasinya di Sambongan Gang Tjaijpoo Nomor 8 Soerabaia. Direktur: Lie Tiauw Hwat. Eigenares: Nyonya Pang A Kioe Nio.

Ada keterangan bahwasanya Hotel Ping An Tjan sebelumnya adalah rumah Oeij Kang Jan. Pasti saudagar Tionghoa kaya pada zaman Hindia Belanda.

Akhirnya terjawab sudah owe punya penasaran selama ini. Losmen Samudra, persis di samping Gereja Kristen Tionghoa (GKT), Jalan Samudra (d/h Jalan Bakmie) itu dulunya gedung apa? Riwayatnya seperti apa. 

Hotel yang berlokasi di Sambongan Gang Tjippo No. 8 – sekarang Jalan Kopi – dulunya dikenal akan fasilitasnya yang mewah dan pelayanannya yang prima. Namun, setelah masa kejayaannya, hotel ini berganti nama menjadi Losmen Samudra, lalu perlahan kehilangan pamornya hingga akhirnya tutup.


Suparti, warga sekitar yang telah lama tinggal di kawasan Sambongan, mengungkapkan bahwa lesunya hotel-hotel di kawasan ini dimulai sejak penutupan Stasiun Surabaya Kota (Stasiun Semut). 

"Dulu Ping An Tjan sangat ramai, karena banyak pedagang luar pulau yang jadi pelanggan tetapnya. Tapi sekarang, tinggal bangunannya saja yang mangkrak," ujarnya.

Suparti juga menyebut bahwa beberapa hotel era kolonial di Sambongan yang masih bertahan, seperti Hotel Semut, Hotel Irian, Grand Hotel, dan Hotel Merdeka, juga mengalami kondisi yang sulit. Sepi tamu. Kondisinya juga ibarat lansia yang kurang terawat.





 Cak Boen, arek Kalimas yang kini duduk di Amerika Serikat, punya pengalaman dengan hotel di dekat restoran Tionghoa kelas atas di era kolonial itu. Selain menjadi hotel, Ping An Tjan juga pernah menyediakan layanan ekspedisi antara Surabaya dan Banjarmasin.

 "Dulu saya pernah diajak naik sepeda gandolan bersama pembantu laki-laki untuk mengantar barang ke sana," kenang Cak Boen, yang semasa kecilnya sering menyaksikan kegiatan di Hotel Ping An Tjan.

 Menurut dia, kakaknya yang tertua juga sering diminta untuk mengurus pengiriman barang di sana. Cukup ramai kawasan Sambongan pada masa lalu karena ada banyak hotel di kawasan yang sebenarnya tidak terlalu luas itu.

Lantas, mengapa sekarang jadi bangunan mangkrak? Ada kesan angker malam hari. Apalagi ada pohon beringin di depannya.

Cak Boen menyebut nasib bangunan ini semakin tidak menentu karena masalah warisan. "Menurut teman main tenis saya di Surabaya, keturunan pemiliknya terlalu banyak dan tersebar di mana-mana, jadi sulit untuk mengeksekusi penjualan warisan," katanya.

 Ia juga mengingatkan bahwa jika dibiarkan terlalu lama terlantar, bangunan seperti ini berpotensi diambil alih oleh pihak ketiga, mafia tanah, atau tukang serobot tanahnya Gusti Allah.

Bangunan tua Hotel Ping An Tjan kini menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu kawasan Sambongan, yang dulunya menjadi pusat aktivitas ekonomi. Sayangnya, kawasan ini semakin terpinggirkan di tengah dominasi perkembangan kota modern yang berfokus di Surabaya Pusat dan Selatan. 

"Jejak sejarah Sambongan seperti Ping An Tjan menunggu perhatian serius agar tidak lenyap begitu saja sebagai bagian dari warisan budaya Surabaya," komentar AI.

5 komentar:

  1. Ekspedisi yang ada di hotel lama Ping An Tjan itu bagian dari jaringan perdagangan antar pulau yang dibangun oleh saudagar2 Tionghoa sejak jaman kolonial. Setiap layanan ekspedisi di tiap kota bersifat mandiri, tetapi saling mempercaya satu sama lain sehingga dijamin tidak ada kehilangan dokumen atau barang yang dikirim. Kebetulan, biro ekspedisi mitra yang di Banjarmasin itu dimiliki oleh suami a-yi saya, dan sekarang masih dijalankan oleh sepupu2 saya. Kantor mereka sekarang ada juga di Surabaya dan masih melayani pengiriman Surabaya - Banjarmasin, walaupun Ping An Tjan sudah tutup.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Luar biasa, Cak Boen! Informasi sampean sangat berharga untuk memperkaya tulisan iseng ini.

      Hapus
  2. Pembantu lelaki yang menggandol saya itu kami panggil Tolip (kemungkinan aslinya Thalib). Dulu di rumah engkong kami ada burung beo yang setiap hari selalu teriak "Toliiip" krn saking seringnya mendengar nama Tolip dipanggil oleh orang yang ingin minta layanannya.

    Setelah Tolip keluar, ia digantikan oleh pembantu lain bernama Hari. Hari putus sekolah setelah lulus SD untuk bekerja. Dia beda dengan Tolip krn lebih terpelajar. Saya masih ingat waktu usia 6 tahunan diajari oleh Hari hanacaraka dan cerita dibaliknya, dari buku belajar aksara Jawa:

    Hana caraka - ada duta / utusan
    Data sawala - sedang bantah2an / berantem
    Padha jayanya - sama2 kuat
    Maga batanga - akhirnya sama2 mati
    (mungkin tidak 100%, tapi kira2 begitu yang saya ingat)

    Selain itu Hari yg baru berusai 15 tahunan memperkenalkan saya kepada buku2 karangan Karl May, seorang koboi palsu dari Dresden, Jerman, yang tidak pernah ke Amerika tetapi pintar mengarang cerita2 tentang petualangan khayalannya di Amerika barat nan liar, sebagai Old Shatterhand dengan ketua suku Apache rekaannya Winnetou.

    Akhirnya Hari diambil asuh kembali oleh bibinya yang bersedia membiayainya meneruskan ke SMP. Kudoakan semoga Tolip dan Hari panjang umur dan sehat makmur.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wow.. seru sekali siansen punya tuturan pengalaman tempo doeloe. Hormat untuk Arek Kalimas!

      Hapus
  3. Perkembangan Surabaya sekarang melebar ke Timur dan Barat. Terutama Barat. Krn ke Selatan mentok Darjo. Ke utara dan timur mentok laut. Barat luar biasa.

    BalasHapus