Sudah lama saya tidak dengar dan baca kata "kuli". Padahal, dulu saya selalu ngaku "kuli" kalau ditanya kerja di mana, kerja apa, kok pulang tengah malam terus.
Kuli tinta, kerennya. Tapi "tinta" dibuang tinggal kuli tok.
"Kuli apa?" tanya Mbah Tandur tukang soto di Rungkut.
"Kuli, masak gak ngerti!"
Sejak itu Mbah Tandur menganggap saya kerja sebagai kuli pelabuhan. Di Kalimas, Jamrud, kawasan Tanjung Perak. Kuli angkut, tukang pikul barang-barang berat.
Gara-gara dianggap kuli pelabuhan, bukan kuli tinta, porsi makan saya selalu dilebihkan Bu Tandur. Nasinya banyaaak. Soto ayam juga begitu -- kuahnya. Isinya sih sama saja.
Kuli harus makan banyak supaya kuat mikul barang di Kalimas. Mungkin begitu fikiran Mbah Tandur. Asyik juga dianggap kuli beneran!
Pagi ini saya lihat spanduk di dekat jalan raya kawasan Rungkut Menanggal. Isinya: "Dibuka lowongan pekerjaan kuli toko..."
Hahaha... kata "kuli" yang sudah lama hilang muncul lagi di Surabaya. Mungkin baba Tionghoa itu wong lawas. Biasa pakai kata "kuli" warisan kolonial Belanda. Mungkin baba itu belum biasa basa-basi gaya eufemisme: karyawan, pekerja, staf.. atau kata-kata lain yang dianggap lebih halus.
Kata "kuli" memang ada di dalam kamus bahasa Indonesia. Mulai kamus awal kemerdekaan hingga Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Owe periksa kata "kuli" di kamus.
KBBI: kuli n orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya (seperti membongkar muatan kapal, mengangkut barang dari stasiun satu tempat ke tempat lain) pekerja kasar: aku minta dicarikan -- pengangkut barang"
Kamus St Moh Zain, 1952:
pekerja atau buruh yg bukan tukang. buruh yg tidak ada kepandaian khusus. pemikul barang².
Bung Karno mengatakan:
"Di antara benua Asia dan benua Australia, antara lautan Teduh dan Lautan Indonesia, hidup suatu bangsa yang mula-mula mencoba untuk hidup kembali sebagai bangsa. Tapi akhirnya kembali menjadi kuli diantara bangsa-bangsa, kembali menjadi een natie van koelies, en een kolie onder de naties. Bangsa koeli dan koeli di antara bangsa-bangsa"
(Soekarno–Tahun Vivere Pericoloso – 1964).
Naga-naganya omongan Bung Karno ada benarnya. Hidup kuli!
Orang Tionghoa yang bekerja untuk orang lain dan tidak jadi pengusaha atau laoban sendiri, akan merendah: gua ini hanya hweki, kerja sama orang.
BalasHapus活计 bhs Hokkian hweki, dalam bahasa Mandarin huoji, artinya manual labor alias kuli.
Kuli adalah manusia yang punya harga diri. Belum pernah ada Kuli yang sudi mencium kaki dan tangan taoke nya.
BalasHapusKuli kalau tidak puas dengan pekerjaannya, maka dia bebas mencari pekerjaan lainnya.
Kuli berani memaki dan memlototi taoke nya, sampai si taoke mlengas mlengos.
Kuli umumnya jujur, tidak pernah korupsi.
Kuli sangat setia, jika taoke-nya berlaku adil dan sopan.
Kalau ada orang2 yang suka cium kaki dromedar, maka orang2 itu jauh lebih hina daripada Kuli.
Hidup Kuli ! Tanpa Kuli tidak ada taoke.
Tanpa Kuli tidak ada pabrik. Bahkan tidak ada Kuli, tidak ada presiden kepala negara, yang ada cuma presiden paguyuban andukan doro.
Bung Karno itu manusia jenius dan pandangannya jauh melebihi jamannya. Pintar merangkai kata2 yang puitis dan berirama. Suatu bangsa kuli dan kuli di antara bangsa2. Maksudnya jangan sampai Indonesia menjadi seperti itu. Kenyataannya sekarang TKI tersebar bekerja kasar di Malaysia, Taiwan, Hongkong, Singapura, Korea, Jepang, dll kapar pesiar. Ber-sama2 kuli2 dari Filipina. Indonesia dan Filipina adalah bangsa2 kuli di Asia Tenggara. Entah apa yang terjadi di Filipina. Yang pasti di Indonesia, rakyatnya masih terbius agama dan kekolotan tradisi. Tidak mau / bisa mengikuti nasehat Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang dimoderasi oleh Adinegoro dan Ki Hajar Dewantoro pada masa Polemik Kebudayaan untuk mengutamakan rasionalitas agar bisa mengejar ketinggalan. Selama masyarakat Indonesia tidak mampu berpikir kritis dan rasional (seperti ditulis Pak DI di kolomnya baru2 ini), selama itulah akan terus menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa2.
BalasHapus