Sudah hampir setahun saya tidak ngadem di kawasan Jolotundo, Trawas, Mojokerto. Ternyata banyak perubahan. Warung Bu Ponami di dekat sumber tutup. Muncul warung baru yang lebih modern di sebelahnya.
Pak Tubi sudah berpulang. Mbok Tani, istri Pak Tubi, pun naik ikut keponakannya di atas. Dekat pintu masuk Petirtaan Jolotundo peninggalan Prabu Airlangga yang terkenal itu.
Bagaimana dengan gubuk sekaligus warung di bawah? Ternyata sudah beralih tangan. Sudah dijual Mbok Tani ke Bu Polo, keponakan sendiri.
Warung legendaris itu, salah satu warung tertua di Jolotundo, dibongkar. Dijadikan warung atau kafe modern. Ada perangkat karaoke, WiFi, makanan minuman kelas kafe. Bukan lagi warung ndeso ala Mbok Tani.
Saya pun pangling saat mampir ke Warung Bu Polo (Ibu Kepala Desa). Benar-benar beda dengan yang pernah saya kenal selama 20-an tahun. Kecuali kamar mandinya yang masih sama.
Mbah Bambang Thelo (almarhum), pelukis senior Sidoarjo, yang membawa saya ke Mbok Tani dan Pak Tubi. Pasutri ini hidup seperti orang-orang kampung di pelosok NTT tahun 80-an dan 90-an.
Listrik belum masuk rumah. Mbok Tani pakai lampu minyak tanah atau pelita pada malam hari. Sudah pasti tidak ada televisi. Tapi pasutri old school itu punya radio kecil untuk hiburan. Pakai baterai.
Pasutri ini juga punya pola tidur macam orang kampung tempo doeloe. Saat magrib tiba, pintu rumah sudah ditutup. Hening. Mbok Tani sembahyang layaknya muslimah tapi ada unsur kejawennya. Kadang obong dupa atau kemenyan.
Pukul 19.00 Mbok Tani dan Pak Tubi sudah tidur. Sudah pasti sebelum azan subuh sudah bangun. Pak Tubi langsung berangkat ke ladang, hutan, di kawasan pegunungan kawasan Jolotundo. Panen kemiri, nangka, mangga hutan, kadang duren.
Hasilnya dijual Mbok Tani di pasar. Biasanya Mbok Tani nunut saya saat turun. "Ketimbang bayar ojek," katanya. Ojek di sini walaupun masih keluarga tetap mahal. Gak ada yang gratis."
Semua itu tinggal kenangan. Mbok Tani makin tua dan lemah. Tidak bisa lagi ngamuk dan memarahi Pak Tubi. Tidak bisa lagi membuat sego sambel untuk saya seperti dulu.
Türüt berdukacita atas kehilangan anda. Teman dan juga gaya hidup ndeso yang ngangeni.
BalasHapusBetul Boeng.. ngangeni dan sangat unik gaya hidup ndeso di tengah kepungan modernisasi. Semua akan berlalu.
Hapus