Sudah lama owe penasaran dengen Jalan Husin, Surabaya. Persis di pojokan Shin Hua Barbershop yang terkenal di Kembang Jepun. Agak aneh ada jalan bernama Husin di Handelstraat kawasan pecinan.
Owe dulu sempet nanya kiri kanan tapi tidak dapet jawaban. Memang dari dulu namanya Jalan Husin, kata rekan aktivis tempo doeloe yang seneng blusukan di kota lama.
Eureka! Akhirnya, owe gak sengaja nemu berita kecil di koran tempo doeloe pake bahasa Melayu Tionghoa. Sin Tit Po edisi Selasa, 1 Desember 1931.
Isi berita kecil itu sebagai berikut:
Dalam pertemuan Dewan Kota Surabaya tahun 1931, Tuan Hadji Hoesin bin Hadji Tajib Napis, perwakilan dari perusahaan konstruksi Bouw-en Handels Compagnie bin Tajibnapis, mengajukan permintaan agar sebuah jalan baru di Kampung Dukuh diberi nama sesuai jasanya.
Jalan tersebut diusulkan untuk dinamai Hoesinstraat atau Hoesindwarsstraat.
Oalah...
Permintaan ini akhirnya disetujui oleh gemeente atau pemerintah kota saat itu, sehingga Jalan Husin menjadi salah satu cabang Jalan Kembang Jepun di sisi utara.
Jalan ini dikenal sebagai jalan baru sejak tahun 1931, sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi Tuan Hadji Hoesin. Hadji Hoesin, saudagar kaya asal Banjar, dianggap memiliki jasa besar bagi masyarakat Kota Surabaya, terutama di sektor pembangunan dan perdagangan.
"Bisnisnya tidak kalah dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa di kawasan Pabean, Kembang Jepun, Cantian, Slompretan, Pabean, Sambongan, dan kawasan pecinan lainnya," ujar Liman, seorang anggota komunitas tempo doeloe.
Owe periksa di Google dengen ketik nama "Hoesin" dan "Tajibnapis". Tidak banyak informasi. Tidak ada artikel yang membahas perdagangan tuan itu pada masa kolonial di Surabaya. Tapi ada satu tulisan di blog yang menyebut Hoesin Tajibnapis salah satu orang terkaya di NTB.
Artinya, sejak dulu bisnis Haji Tajibnapis, dilanjutkan Hoesin bin Tajibnapis dan saudara-saudaranya menyebar ke beberapa kota. Di Surabaya sendiri Tajibnapis jadi saudagar kaya dan tuan tanah yang disegani pemerintah kolonial Belanda.
Karena itu, Gemeente Soerabaia alias pemkot pada masa Hindia Belanda, tahun 1931, meluluskan pembukaan jalan baru dengen nama Hoesinstraat atawa Jalan Husin.
Owe sendiri sering lewat Jalan Husin ke arah Kampung Dukuh lalu terus Nyamplungan mampir sejenak di Wisata Religi Ampel, Masjid Raden Rahmat, Surabaya. Dulu owe fikir Hadji Hoesin ini orang Hadramaut atau Arab dari Kampung Ampel. Ternyata orang Banjar, Kalimantan Selatan.
Sekian.
Jij fikir Hadji Hoesin orang Hadramaut, sedangkan Ik kira beliau orang Cina-Bandjar, pemeluk agama Islam.
BalasHapusSepengetahuan umum, agama Islam sudah masuk ke Tiongkok sejak dynasti Tang-Song-Yuan-, melalui Jalur Sutra Darat dan Laut.
Karena budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan, kejayaan Tiongkok masa itu nomor wahid di dunia, maka immigran2 Timoer-Tengah yang menetap di Tiongkok memilih menjadi orang cina, istilah modernnya Sinisisasi, sedangkan istilah perutnya "Ubi bene ibi patria".
Seperti halnya kami warga Tionghoa di Indonesia karena perut, mengganti nama, maka orang2 muslim di Tiongkok kala itu sukarela mengganti nama mereka pakai nama cina.
Marga2 kaum muslim di Tiongkok : Hoesin jadi 忽 (hu), Hasan jadi 哈 (ha), Muhammad jadi (马) atau (木), dll.: 沙sha, 赛sai, 安an, 把ba, 速su,...etc.
Kamsiaaaaa... Ada benernya siangsen punya pendapet. Hoesin ini boleh jadi dulunya muslim tenglang lalu jadi mualaf berhasil ia punya kongsi dagang
HapusEngkoh saya yang sekarang di Indonesia, usianya 84 tahun (engkoh nomor 5). Dia bilang, seandainya dia buka usaha di Indonesia, pastilah dia akan jadi mualaf, seperti pak Husin.
HapusKarena nasibnya cuma jadi kulinya konglomerat, maka dia sudah puas tiap hari ketuk2 dia punya bokhi, tok tok tok..., sambil komat kamit namo amituofo.
Ubi bene ibi patria!
BalasHapusPepatah lama yg amat relevan. Naluri manusia memang begitu toch. Dia orang susah makan minum di sana ya merantau cari makan di sini.
Orang Romawi bilang: Ubi bene ibi patria.
HapusOrang Djawa bilang : Hujan emas di negeri orang.
Teman saya Wolfgang, almarhum, bilang : Djangan kau mengagumi atau iri hati, kepada paman2 kaya dari Chicago, sebab hanya orang yang tak becus (Loser) di negeri sendiri, lari ke Amerika. Di era tahun '50- dan '60-an ada ungkapan yang populer di Eropa; Der reicher Onkel von Amerika. ( Si Paman kaya dari USA ). notabene: Dulu di kotanya Wolfgang, lebih banyak penduduknya yang berimigrasi ke Chicago, daripada yang menetap di kota kelahirannya sendiri.
Ike merasa isin tersindir oleh sahabat karib-ku si Wolfgang. Nasibku yang malang, luntang lantung.