Dr. Tjio Hock Tong, seorang dokter yang kini menetap di Guangzhou, belum lama ini berkunjung ke Surabaya. Selain untuk berlibur, ia juga mengadakan reuni bersama teman-temannya dari SMA Lian Huo, Undaan Wetan, Surabaya.
Dalam kesempatan tersebut, Tjio mengenang masa kecilnya di kawasan Pabean, dekat Sungai Kalimas, serta perjuangan panjang leluhurnya dari Tiongkok hingga meraih kesuksesan di tanah Surabaya.
"Saya ini generasi keenam dari eyang buyut, seorang tukang potong rambut jalanan bernama Tjio Tjie-Siok, yang juga dikenal sebagai pendekar dari Shaolin Temple Selatan di Cuanciu, Hokkian," kenangnya.
Menurut Tjio, leluhurnya datang ke Nusantara sekitar tahun 1850-an, agak belakangan dibandingkan beberapa perantau lain. Mereka menetap di sekitar Sungai Kalimas, di kawasan Pabean dan Jalan Panggung, Surabaya. Kala itu, kehidupan tidaklah mudah, dan leluhurnya harus berjuang keras untuk bertahan hidup.
"Enam generasi sebelum saya, leluhur kami bekerja sebagai tukang potong rambut jalanan, berteduh di bawah pohon rindang," ujar dokter yang akrab disapa Dr Anthony Tjio itu.
Penghasilan dari jasa potong rambut yang kecil itu perlahan diinvestasikan untuk memulai usaha dagang. Mereka menjual korek kuping, kacang goreng yang dibungkus seperti lontong kecil, dan berkeliling kampung.
Dari pengalaman berdagang kecil-kecilan itu, Tjio dan keluarga leluhurnya mulai mengembangkan usaha palawija, berkeliling hingga ke pedesaan untuk kulakan. Usaha mereka perlahan berkembang dan cukup berhasil hingga mampu membeli tiket kapal untuk mudik ke Hokkian.
"Dari perjalanan mudik itu, leluhur saya membawa dua keponakan untuk kembali ke Surabaya dan mendirikan kongsi dagang Hap Thai di Jalan Panggung, Pabean," ujarnya.
Hap Thai Kongsie yang bergerak di bidang perdagangan palawija terus berkembang pesat. Persaingan bisnis saat itu belum begitu ketat, sehingga keluarga Tjio bisa meraih kesuksesan dan dikenal sebagai orang kaya pada masa kolonial Belanda.
"Salah satu keponakan yang dia bawa, Tjio Pie-Boen, menjadi pendiri Boen Bio di Kapasan, sedangkan keponakan lainnya mendirikan Kelenteng Hong Tek Hian di Kampung Dukuh," tambahnya.
Di masa kecil, Dr. Tjio sendiri tinggal di sebuah gedung megah yang dikenal sebagai Bioskop Nanking di dekat Pasar Pabean. Kini, gedung tersebut telah beralih fungsi sebagai kantor Bank BCA.
"Dulu, di kanan depan Pasar Pabean ada Bioskop Nanking, sekarang jadi Bank BCA di Jalan Kalimati Kulon. Di sanalah saya tumbuh besar," kenang Tjio sambil menutup perbincangan.
Pak Hurek, mau tanya. Sebagai orang Lamalohot tulen, bagaimana etos kerja orang Lamalohot dan apa mereka pandai berdagang sekaligus berniaga?
BalasHapusYang pandai dagang hanya Lamaholot watanen alias orang Lamaholot yang beragama Islam di kawasan pesisir macam Lamahala, Terong, Lohayong, Lamakera dsb.
HapusKalau Lamaholot Kiwanen alias Lamaholot Serani tidak pandai dagang karena kulturnya petani dan makan gaji aja. Tapi belakangan sudah mulai banyak UMKM yang coba merintis usaha kecil-kecilan.
Karena tidak pandai dagang maka orang Lamaholot sangat terpukau dengan PNS atau Abri.
Lamaholot Watanen harus pandai cari uang untuk kehidupan yang sempurna, melengkapi Rukun Islam, yaitu Rukun ke-5, Naik Hadji, yang membutuhkan biaya uang banyak.
HapusLamaholot Kiwanen sebaliknya, sebab Jesus Christus berkata: Kalau engkau mau hidup sempurna, pergilah, jual semua harta milikmu, dan berikan uang mu itu kepada orang miskin. Engkau akan mendapat imbalan kekayaan kekal di Surga.
Bung Johnny rupanya punya kenalan orang Lamaholot? Di Surabaya dari dulu cukup banyak pater SVD asal Lamaholot yang bertugas di Surabaya dan Sidoarjo. Perantau2 asal Kabupaten Flores Timur dan Lembata juga lumayan banyak.
BalasHapusPunya malahan pak Hurek, bahkan ada yang pernah mengenyam di seminari Metroyudan sayangnya hanya sampai tahap novisiat saja
HapusThe story of Dr. Tjio’s family highlights the resilience and determination typical of many Chinese immigrants who came to Southeast Asia with little to no resources.
BalasHapusHis ancestors started from the very bottom, as street barbers, taking on physically demanding and often unappreciated work just to make ends meet. Even though their initial earnings were modest, they saved, learned new trades, and gradually expanded their business, showing an impressive ability to adapt and diversify.
Their struggle wasn’t just about financial survival but also cultural perseverance. They carried their heritage with them, as seen in their roles founding Boen Bio and the Hong Tek Hian Temple.
These places became community anchors, helping preserve their cultural identity in a new land. This blend of enterprise and cultural dedication not only lifted them economically but allowed them to create lasting legacies that shaped the local community.
The fact that they eventually succeeded and were able to help relatives back in China speaks to the sacrifices they made and the generational aspirations they carried. This story captures the courage and hard work of people who bridged continents and cultures, ultimately finding belonging and success through persistence and a commitment to both family and community.
Itu adalah tanggapan dari Mr AI. Saya setuju pendapatnya. Luar biasa perjuangan para leluhur orang Tiongkok. Mereka berjuang dari bawah. Jadi tukang cukur di bawah pohon hingga pelan2 jadi pedagang yang kaya raya.
HapusItu family sudah exist sejak lebih dari 3000 tahun di atas bumi, menurut sejarah sejak tahun 1122 BC.
HapusMungkin leluhurnya satu generasi dengan Nabi Musa.
Haleluyaaaa!
Hapus