Upaya untuk melestarikan memori Kota Surabaya terhadap sejarah pendidikan di kalangan komunitas Tionghoa kini sedang diinisiasi oleh Osa Kurniawan Ilham, dosen Universitas Ciputra (UC) Surabaya.
Bersama para mahasiswa, Osa sedang mengerjakan proyek penyusunan memorial book, yang akan mengabadikan kisah serta memori bangunan sekolah-sekolah Tionghoa yang pernah berdiri di kota ini.
Sebagian besar bangunan sekolah Tionghoa tempo dulu kini beralih fungsi menjadi bangunan milik pemerintah. Menurutnya, proyek ini diharapkan dapat menghidupkan kembali ingatan tentang peran penting komunitas Tionghoa dalam dunia pendidikan Surabaya pada masa lampau.
Meski para alumni sekolah tersebut kini sudah lanjut usia dan jarang aktif di media sosial, masih ada banyak informasi yang bisa digali dari mereka. Foto-foto di media sosial juga ada meski tidak lengkap.
"Tidak sulit karena alumninya banyak. Masalahnya, para alumni sudah sangat tua dan tidak main medsos, kecuali Bapak Dr. Anthony Tjio, yang sekolahnya LHHS ditutup tahun 1958 kalau tidak salah," ujarnya.
Dr. Anthony Tjio, alumnus Lian Huo High School (LHHS) Surabaya, saat ini berdomisili di Tiongkok. Ia berbagi cerita mengenai pengalaman alumninya dan sejarah sekolah-sekolah Tionghoa di Surabaya.
"Sebelum 1960, di Surabaya ada tiga SMA Tionghoa, masing-masing dengan aliran ideologi yang berbeda. Pertama, Lian Huo High School (Lian Chung) yang konservatif dan berafiliasi dengan Kuomintang di Taiwan, beruniform putih-biru.
Kedua, Chung Hua High School (Chung Chung) yang netral, beruniform putih-putih. Ketiga, Sin Hua High School (Sin Chong) yang progresif dan berafiliasi dengan Republik Rakyat Tiongkok, beruniform putih-kopi susu, yang identik dengan kaum buruh Tionghoa," jelasnya.
Anthony melanjutkan, "Saya alumnus Lian Chung dan setelah sekolah, saya hijrah ke Amerika. Setelah semua sekolah Tionghoa ditutup oleh Orde Baru, banyak alumni Sin Chung dan Chung Chung yang pergi ke Mainland China untuk melanjutkan pendidikan mereka.
Mereka berangkat ke Tiongkok pada masa Revolusi Budaya, yang menggulingkan feodalisme dan kasta masyarakat ciptaan Konghucu. Dampaknya, para terpelajar yang berpredikat kasta tertinggi KHC diharuskan turun ke sawah dan pabrik untuk berkontribusi dalam produksi sandang dan pangan."
Setelah Revolusi Budaya di tahun 1970-an, alumni tersebut diperbolehkan meninggalkan Tiongkok, yang memicu terjadinya eksodus ke Hong Kong Inggris dengan persyaratan yang ketat. Mereka keluar dengan kantong kosong.
"Sebagai keturunan dengan jiwa resilience, kami belajar untuk bertahan dan sukses di mana pun berada," tambahnya.
Beberapa anggota grup Peranakan Tionghoa menyebut, dari 16 sekolah yang tercantum dalam daftar prioritas versi Osa, kemungkinan hanya 8 sekolah yang memiliki dokumentasi foto yang cukup lengkap di internet.
Berikut daftar sekolah Tionghoa di Surabaya yang menjadi fokus dokumentasi dalam proyek memorial book ini:
1. Sekolah Chiao Kuang – Jl. Kranggan
2. Sekolah Khay Ming – Jl. Kalianyar
3. Sekolah Shin Hwa – Jl. Ngaglik
4. Sekolah Min Chiang – Jl. Kaliasin
5. Sekolah Sin Kiaw – Jl. Kapasan
6. Sekolah Chiao Chung – Jl. Pecindilan
7. Sekolah Ching Hua Kuo Min – Jl. Gentengkali
8. Sekolah Fu Wu – Jl. Kawung
9. Sekolah Hua Kiaw – Jl. Waspada
10. Sekolah Kuang Hua – Jl. Bunguran
11. Sekolah Hua Kiaw – Jl. Bunguran
12. Sekolah Chiao Tong – Jl. Darmokali
13. Sekolah Tiong Sian – Jl. Gembong Cantikan
14. Sekolah Tiongkok Lie Hak – Jl. Sidodadi
15. Sekolah Nan Chiang – Jl. Belakang Penjara
16. Sekolah Hok Kian Kong Tik Soe – Jl. Bibis (perkumpulan Hokkian)
Papa saya awalnya masuk sekolah SMP dan SMA kelas 1 di Lianzhong (Lien Chung), yg mendukung nasionalis Kuomintang, krn kakek saya pendukung KMT dan teman baik konsul Republik Nasionalis Tiongkok / Taiwan utk Surabaya, yaitu Mr Yap Liep Keng. Kemudian kelas 2 SMA beliau pindah ke Qiaozhong (C’hiao Chung), krn sekolah tsb baru didirikan oleh Giok Yong Kung Hui (perkumpulan perantau Hokchia, drmn kakek saya berasal). Akong menyuruh papa saya masuk sana, utk mendukung usaha paguyuban , walaupun aliran politiknya tidak sejalan.
BalasHapusJadilah papa saya dicap pembelot dari pro nasionalis menjadi pro partai komunis. Tapi semua akhirnya bubar.
Luar biasa sekolah2 Tionghoa tempo doeloe. Semuanya mutu tinggi dan sangat moderen. Namun satu per satu tutup gegara perubahan cuaca politik di sini.
HapusAliran dan warna sekolah2 Tionghoa baru saya pahami belakangan setelah ikut diskusi di grup Tionghoa. Ternyata di internal Tionghoa pun ada gesekan dan perbedaan ideologi yang tajam. Tionghoa Katolik atau Nasrani dianggap jadi think tank Orde Baru yang kemudian menghabisi Tionghoa lain yang dianggap kiri.
BalasHapusAsimilasi vs integrasi - jadi tema panjang diskusi selama ini membahas persoalan Tionghoa. Tionghoa Muslim di PITI maunya asimilasi total sampai ke agama. Tionghoa Baperki ngotot integrasi dan ditolak Tionghoa Orba.
Sekarang setelah Orba jatuh kayaknya pandangan Baperki lebih cocok ketimbang faham Bakom PKB.