Di tengah hiruk-pikuk Jalan Kapasan, Surabaya, terselip salah satu bangunan bersejarah yang kaya akan nilai arsitektur dan nostalgia, Hotel Ganefo. Bagi mereka yang lahir di era 1980-an atau sebelumnya, hotel ini mungkin masih terdengar akrab, tetapi bagi generasi muda, tempat ini hampir terlupakan.
Maureen Nuradhy, dosen Universitas Ciputra Surabaya, menuturkan kisah menarik tentang hotel bersejarah ini.
"Untuk yang seumuran saya dan lahir di Surabaya, biasanya tahu hotel ini. Namun, generasi anak-anak saya jarang sekali ada yang tahu, apalagi lokasinya yang agak tersembunyi di kawasan urban Jalan Kapasan," ujar Maureen.
Ia mengenang bagaimana di masa kecil, keluarganya beberapa kali mengunjungi hotel ini untuk menemui kerabat atau teman yang menginap di sana, sekitar tahun 1980-an.
Hotel Ganefo adalah salah satu contoh arsitektur bergaya Empire Indische Stijl dengan elemen simetris dan portico besar di bagian depan serta belakang. Fitur ini didesain untuk menanggulangi iklim panas dan lembab khas Surabaya.
Selain itu, bangunan ini dihiasi tiang-tiang besar bergaya klasik Eropa (neoclassic/classic revival) dan fascia kayu khas Eropa di bawah atapnya, memberikan sentuhan artistik yang unik.
Menurut catatan tertua yang ditemukan, seorang penulis Eropa pernah mengunjungi bangunan ini pada tahun 1890-an untuk menemui The Toan Ing, putra Major The Boen Khe, pemilik rumah besar ini. Namun, data pasti tentang kapan rumah tersebut dibangun masih menjadi misteri.
"Dari penelusuran yang saya lakukan, saya belum menemukan data kapan rumah ini dibangun," tambah Maureen.
Bangunan ini kemudian dibeli oleh Tan Siong Chiu, dengan plakat izin operasional hotel yang tertanggal tahun 1957. Interior lobi hotel yang dilengkapi dengan mebel bergaya art deco mengindikasikan bahwa perabotan tersebut kemungkinan dibuat pada era 1930-an.
Namun, tidak semua bagian hotel mempertahankan keaslian dari abad ke-19. "Sisi belakang bangunan sudah tidak orisinil, tampaknya renovasi dilakukan sekitar tahun 1950-an," jelasnya.
Salah satu hal yang paling menonjol dari hotel ini adalah taman bergaya Tionghoa yang dulunya menghiasi bagian belakang bangunan. Maureen mengingat bagaimana saat kecil ia sering menikmati keindahan taman tersebut, lengkap dengan kolam, bonsai, dan miniatur bangunan khas Tionghoa.
"Sayangnya, sekarang hanya sekitar 10 persen dari taman aslinya yang tersisa," kenangnya.
Penulis Eropa yang pernah mengunjungi tempat ini pada 1890-an juga mendeskripsikan taman yang sama, menunjukkan bahwa taman tersebut adalah bagian tak terpisahkan dari bangunan sejak awal.
Maureen menyampaikan harapannya agar Hotel Ganefo, terutama tamannya, dapat direstorasi. "Seandainya ini direstorasi, betapa indahnya. Apalagi mengingat sangat jarang ada peninggalan taman abad ke-19 di Surabaya," ungkapnya.
Sementara itu, Budi, anggota komunitas sejarah Surabaya, menambahkan informasi penting tentang perubahan yang dialami Hotel Ganefo. "Sebelum proyek pelebaran jalan pada era 1970, gerbang hotel Ganefo lebih terlihat kemegahannya. Tapi pemandangan itu sudah terhapus dari memori saya," ujarnya.
Ia juga menyebutkan bahwa di seberang hotel terdapat kantor polisi Seksi 5 yang konon dibangun pada era yang sama dengan hotel ini.
Menariknya, Budi juga mengungkapkan bahwa moyangnya datang dari Tiongkok dan tinggal di perkampungan sekitar Seksi 5 pada tahun 1900-an. "Keluarga saya dulu tinggal di area ini, dan setiap kali saya melintas di depan hotel ini, ada rasa nostalgia yang kuat," tambahnya.
Hotel Ganefo bukan hanya sebuah bangunan tua, tetapi sebuah saksi sejarah yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Keberadaannya di Surabaya bukan hanya menjadi bagian dari nostalgia, tetapi juga potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah yang mengedepankan keindahan arsitektur dan budaya.
Saya juga pernah diajak mama mengunjungi tamu yang tinggal di hotel tab. Dia almarhum suami adiknya. Mereka tinggal di Dompu, Sumbawa.
BalasHapus