Sabtu, 09 Maret 2024

Antara Wanita dan Perempuan - Peyorasi dan Ameliorasi

Sambutan Hari Wanita Antarabangsa.
Wanita Dijulang.

Begitu ucapan PM Malaysia Anwar Ibrahim. Ayas memang pengagum Anwar Ibrahim. Jauh sebelum dia jadi perdana menteri. Saat itu Anwar masih pembangkang. Kemudian dipenjarakan.

Ayas tak sedang membahas perjuangan Anwar Ibrahim hingga jadi PM Malaysia. Ayas tertarik dengan kata "wanita". Di Indonesia lebih populer Hari Perempuan. 

Kawan-kawan aktivis perempuan dari dulu kurang suka kata "wanita". Wanita konotasinya domestik, rumah tangga, pasrah, makhluk yang lemah.

Ada lagunya: Wanita dijajah pria sejak dulu!

Perempuan tidak dijajah? Lebih berdaya dan mandiri, kata teman aktivis wanita, eh perempuan.

Ayas bertanya kepada Bung Sandyawan Sumardi yang sedang bikin riset di Leiden, Belanda. Apakah perempuan = wanita? Kedua kata ini sinonim? Bisa ditukar? atau ada nuansa, rasa, konotasi yang berbeda?

Bung Sandyawan yang mantan pastor ini kemudian menjawab begini:

"Sejauh saya faham kata 'perempuan' memiliki makna konotasi khas. Karena menurut akar bahasanya, 'perempuan' berasal dari kata "empu' yang berarti 'tuan'. Atas arti itulah, perempuan memiliki nilai yang tinggi/dalam. 

Berbeda dengan sebelumnya, kata tersebut seolah mengindikasikan bahwa perempuan bukanlah objek semata yang harus yang harus senantiasa menyenangkan kaum pria.

Sebaliknya, makna kata  'wanita' pun memiliki kata turunan, yakni kewanitaan. Dalam pergeseran maknanya, kewanitaan juga merujuk pada sifat wanita khas keraton.

Wanita cenderung lebih dipandang  dapat memiliki sifat yang lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, serta mendukung pria. Makna tersebut seolah menegaskan bahwa seorang wanita harus senantiasa menyenangkan kaum pria belaka..

Ibu adalah seorang perempuan  yang menikah dan melahirkan anak, dan  menjadi orang yang pertama menjalin ikatan batin dan emosi pada anak dan juga sebagai sentral dalam perkembangan awal anak dengan memiliki sifat-sifat keibuan yaitu memelihara, menjaga dan merawat anak."

Menarik sekali penjelasan bung yang dulu biasa disapa Romo Sandyawan itu. Masuk akal kalau para aktivis perempuan kurang suka kata "wanita".

Ayas buka kamus bahasa Indonesia lama era 1950-an karangan Sutan Moh Zain. Ada penjelasan di lema perempuan.

<< perempuan: asalnya dari empu, bangsa empu², pertuanan, bangsa tuan²... tetapi sekarang perempuan baik² lebih suka dinamai wanita. >>

Begitulah. Bahasa dengan segala nuansa dan konotasinya selalu berubah dari masa ke masa. Tempo doeloe kata "wanita" lebih disukai ketimbang "perempuan", kini di era 2000-an kata "wanita" malah hendak dihapus dari kamus.

Di Malaysia kelihatannya kata "wanita" lebih populer ketimbang "perempuan". PM Anwar Ibrahim mungkin heran mengapa kita masih mempertentangan wanita vs perempuan.

Jumat, 08 Maret 2024

Mau Dibawa ke Mana Hari Musik Nasional? Tak Ada Greget Sama Sekali

Hari Musik Nasional (HMN), 9 Maret 2024, kurang bergaung di Surabaya. Padahal, Makam WR Soepratman dan Museum WR Soepratman ada di Surabaya.

Biasanya ada komunitas atau anak sekolah mengisi HMN dengan berziarah ke Makam WR Soepratman. Ada juga yang mengunjungi Museum Mpu Tantular di Jalan Mangga. Dekat Stadion Tambaksari.

Tapi secara umum saya lihat HMN kurang greget. Bukan hanya di Surabaya. Tidak ada perayaan atau pesta musik yang skalanya kolosal. Di mana masyarakat merayakan musik. 

Saya bayangkan ada festival musik selama seminggu setiap HMN. Segala jenis musik ditampilkan. Anak jalanan, anak sekolah, anak kampus, anak band, siapa saja main musik dan menikmati musik. Musik apa saja.

Saya kirim unek-unek pagi ini ke Musafir Isfanhari, pemusik, dosen musik, dirigen, musisi, arranger kawakan di Surabaya. Satu jam kemudian datang jawaban. Bung Isfanhari sempat menulis artikel pendek.

Kutipannya:

HARI MUSIK NASIONAL, LALU .... ?

Oleh Musafir Isfanhari

Hari Musik Nasional memang selalu dikaitkan dgn WR Soepratman, karena tgl 09 Maret adalah hari kelahiran WR Soepratman.

Tapi Hari Musik Nasional belum terasa dampaknya  secara signifikan di masyarakat, karena tidak ada langkah yang konkrit untuk memeriahkannya.

Teman saya yang pernah ke Perancis disaat Hari Musik Nasional Perancis, maka warga memeriahkan dengan main musik dijalan tempat mereka tinggal. Ada suasana yang khas di Perancis saat Hari Musik.

Hal yang lain, di Olahraga ada KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) yang memikirkan kemajuan olahraga Indonesia.

 Di seni khususnya musik tidak ada lembaga semacam itu.

Berapa kali, PSSI mengirim satu team sepak bola ke Eropa dan negara berprestasi di Amerika Latin ( belajar di sana selama setahun). Berapa beaya mengirim team ke kesana untuk minimal 22 orang pemain selama setahun.

Itu bisa diberangkatkan karena ada KONI) yang menganggarkan Beaya itu semua.

Bandingkan dengan musik. Banyak grup paduan suara Indonesia berprestasi di Eropa (beberapa kali menjadi juara di sana) tapi beayanya ditanggung oleh grup itu sendiri (diambil dari kantong orang tuanya).

Sampai-sampai,  saya pernah dengar sendiri, seorang Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten (maaf, tidak saya sebut nama kabupatennya) melarang grup-grup paduan suara sekolahnya untuk berpartisipasi lomba  paduan suara keluar negeri, karena pak Kepala Dinas diprotes oleh orang tua murid, sebab para orang tua murid "kobol kobol" dompetnya.

Sedih.

Putri Ariani penyanyi tuna netra yang berprestasi di American Got Talent kan juga dompet orang tuanya yang "kobol-kobol". Putri Ariani berhasil mengharumkan nama Indonesia yang selama ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat Amerika dengan beaya sendiri.

Di olahraga setiap cabang ilahraga  dipimpin oleh pejabat (menteri, jenderal, dan pejabat yang lain). Contoh : PSSI dipimpin oleh Erick Tohir Menteri BUMN.

Di seni kan gak ada. Apa ada menteri atau dirjen menjadi ketua Persatuan Keroncong Indonesia,  atau ketua Indonesia Dangdut Asociation..... ?

Usulan untuk Hari Musik.Nasional :

Agar Musik Indonesia makin maju, Pemerintah harus memberi perhatian yang lebih besar demi kemajuan musik tanah air.

Contoh : Walikota Alabama (AS) meliburkan satu hari kerja, untuk memberikan kesempatan kepada warganya menyambut Ruben Studard yang memenangkan Kontes American Idol.

Demikian besar perhatian pemerintah terhadap prestasi warganya.

Hidup Hati Musik Nasional,
Kita tunggu langkah Pemerintah mengawal musik kita.

Salam sehat,
Isfanhari.

Lagu Indonesia Raya Aslinya Gaya Waltz, Birama 6/8 - Nyekar di Makam WR Soepratman

Ayas sering mampir di warkop samping Makam WR Soepratman di Jalan Kenjeran, Surabaya. Nunut baca koran Jawa Pos. Sejak dulu warkop pojokan itu melanggan Jawa Pos. Sebelum ponsel pintar dan media sosial marak boleh dikata semua warkop langganan koran.

Setelah baca koran dan nyeruput kopi, Ayas kadang mampir ke makam sang pahlawan. Komponis besar yang juga wartawan kawakan. Pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Di makam WR Soepratman diukir partitur Indonesia Raya. Lagu kebangsaan kita. Irama mars, birama 4/4, nada dasar G, dan seterusnya.

Hari lahir WR Soepratman, 9 Maret 1903, dijadikan Hari Musik Nasional. Belakangan hari lahir sang komponis dikoreksi ahli warisnya - lewat pengadilan - jadi 19 Maret. Tapi hari musik tetap 9 Maret. Sesuai dengan Keputusan Presiden SBY.

Nah, jelang Hari Musik Nasional 2024, Ayas nyekar ke Makam WR Soepratman. Nyekar tapi tidak bawa kembang. Cuma bawa tasbih saja. Sembahyang pendek dalam hati.

Ayas kembali perhatikan notasi lagu Indonesia Raya. Jadi ingat artikel pendek yang ditulis Musafir Isfanhari sekian tahun lalu. Isfanhari dosen musik di Unesa, pelatih paduan suara, arranger, dirigen, pengamat musik. Dulu Bung Isfan selalu jadi juri bintang radio dan televisi jenis seriosa.

Musafir Isfanhari mengatakan, Indonesia Raya aslinya ditulis oleh WR Soepratman  dalam tanda birama 6/8. Keterangan ini dimuat di buku LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1982.

Tahun 1944 dibentuk Panitia Lagu Kebangsaan untuk penyempurnaan lagu Indonesia Raya. Panitya tersebut terdiri atas Ir Soekarno, Ki Hadjar Dewantoro, Achiar, Bintang Soedibyo (Ibu Sud) Darmajaya, Koesbini,  KH Mansyoer, Mr Mohammad Yamin, Mr Sastromoelyono, Sanusi Pane, Cornel Simanjuntak, Mr A Soebardjo, dan Mr Oetojo.

"Panitya inilah yang akhirnya mengubah Indonesia Raya menjadi berbirama 4/4 seperti sekarang yang kita nyanyikan," kata Bung Isfanhari.

Ayas perhatikan notasi asli Indonesia Raya yang asli itu. Menarik. Iramanya seperti orang menari waltz. Bukan mars, tegas, macam orang berbaris. 

Bung Isfanhari menulis:

"Lagu ciptaan WR Soepratman yang saya tahu banyak yang berbirama 6/8.
Contohnya: Di Timur Matahari. Dulu ketika masih kecil (di SR) saya menyanyi Ibu Kita Kartini  juga dalam birama 6/8."

Lagu Indonesia Raya birama 6/8, menurut Isfanhari, kesan gagahnya kurang. "Setelah diubah menjadi 4/4 terasa gagah dan wibawanya," kata pemusik yang baru saja menerbitkan buku kumpulan partitur paduan suara itu.

Lagu Indonesia Raya (versi sekarang) memang gagah. Apalagi orkestrasinya digarap Addie MS dan dimainkan Twillite Orchestra. Artistiknya lebih terasa ketimbang orkestrasi lama pada masa Orde Baru.

 Namun, dulu Ayas pernah kritik bahwa Indonesia Raya ini lagu kebangsaan yang sulit. Nada rendahnya terlalu rendah dan nada tingginya terlalu tinggi. Kalau dinyanyikan dengan nada dasar G, bisa dipastikan rakyat biasa kesulitan menjangkau nada tinggi di refrein. Kalau diturunkan ke F atau E, nada rendahnya gak nyampe.

Selamat Hari Musik Nasional!
Salam Indonesia Raya!

Rabu, 06 Maret 2024

Bersyukur masih bisa merayakan ulang tahun media cetak di Gresik

Sejak pandemi covid, Ayas jarang ke Gresik. Padahal dulu sering gowes ke kota santri itu. Beli legen, pudak, sego krawu.. banyak makanan enak di Gresik.

Tahun lalu Ayas hanya sekali mampir di Gresik. Tahun 2024 ini juga baru sekali. Kebetulan ada resepsi atau tasyakuran hari jadi ke-12 Radar Gresik di Jalan Pahlawan. 

Cukup ramai acara open house Radar Gresik. Pejabat-pejabat pemkab, pimpinan dan anggota dewan datang. Pengurus ormas Islam banyak yang hadir. Begitu juga relasi dari perusahaan.

Radar Gresik satu-satunya koran cetak yang masih terbit di Kabupaten Gresik. Dulu ada Radar Bawean tapi sudah pamit. Radar Bawean pun sebetulnya anaknya Radar Gresik. Menarik tapi pasar di Pulau Bawean tidak mendukung.

Ayas lihat banyak sekali karangan buka di sepanjang Jalan Pahlawan yang ramai itu. Artinya Radar Gresik punya relasi sangat luas. Merekalah yang selama ini memberi sokongan moral, material, doa-doa agar surat kabar lokal ini bisa tetap eksis di era digital.

Sudah lama media cetak baik koran, majalah, tabloid diramalkan mati. Itu ramalan sejak 90-an. Ramalan itu sepertinya mulai mewujud dengan datangnya gelombang media sosial yang dahsyat.

Syukurlah, Radar Gresik, Radar Sidoarjo, Radar Surabaya dan koran-koran cetak lain masih bisa terbit menemui pembaca. Dan masih bisa bikin tasyakuran potong tumpeng ulang tahun. 

Dirgahayu!

Spiritualitas Jawa vs Agama Samawi (Abrahamik)

Sulit tidur pagi ini meski badan dan jiwa lelah. Ayas iseng-iseng nonton siaran langsung sepak bola. Bayern Muenchen vs Lazio. Sudah sangat terlambat.

Skor sudah 3-0. Agregat 3-1. Berarti Bayern Muenchen yang lolos ke 8 besar Liga Juara. Kane borong dua gol. Hebaat!

Tak lama kemudian pelawak Djadi Galajapo alias HM Cheng Hoo membagi artikel pendek. Seperti biasa, tentang spiritualitas Jawa. Rajin sekali Galajapo kampanye melawan kaum fundamentalis, fanatis, ekstremis agama di negeri ini.

"ISLAM PANCASILA menolak konsep Tuhan Anthropomorfis. Rahayu," tulis Djadi yang di dokumennya tertulis kelahiran Kabupaten Surabaya - sekarang jadi Kabupaten Gresik.

Ayas pun membaca tulisan Kamerad Kanjeng yang dibagikan Cak Djadi itu. Ayas renungkan kok mirip ajaran leluhur di bumi Lamaholot NTT sana.

Leluhur Nusantara memang sangat doyan kerukunan dan keserasian sesama makhluk. Semua ajaran bahkan dianggap sama. Menuju ke Dewa Lera Wulan - Penguasa Matahari dan Bulan.

Berikut artikel Spiritualitas Jawa yang ditulis Kamerad Kanjeng: 

Konsep Tuhan dalam spiritualitas Jawa adalah unik..., khas..., dan berbeda dengan konsep tentang Tuhan versi agama Samawi/Abrahamik.

Agama Samawi yang berasal dari  bangsa-bangsa yang ada di Timur Tengah..., memiliki konsep Tuhan yang cenderung anthropomorfis.

Anthropomirfis..., yaitu  bersifat dan berperilaku seperti manusia...;  seperti  senang..., marah..., cemburu..., menyuruh/memerintah..., menghukum dan sebagainya.

Spiritualitas Jawa..., tidak pernah menggambarkan Tuhan dengan konsep sebagai personal atau sosok raksasa di atas langit..., yang bebas melakukan apa saja terhadap manusia...;  seperti menguji..., memerintah..., melarang..., menghukum..., atau memberi hadiah...,  dan bsebagainya layaknya perilaku manusia yang lain.

Dalam spiritualitas Jawa..., Tuhan lebih sering disebut dengan istilah Hurip (Hidup)..., atau Sang Hyang Hurip/Sang Maha Hidup. 

Konsep ini lebih bersifat abstrak dan universal..., daripada konsep tentang Tuhan sebagai sosok yang bersifat anthropomorfis tadi.

Itulah sebabnya..., dalam spiritualitas Jawa tidak ada istilah menyenangkan Tuhan..., memperjuangkan Tuhan..., membela Tuhan..., ataupun berperang atas nama Tuhan...; karena Tuhan dipahami sebagai Sumber, Dasar dan Tujuan dari segala sesuatu..., the power of LIFE itself (Sangkan Paraning Dumadi).

Dengan demikian...,  spiritual Jawa bisa menghargai dan hidup harmonis selaras dengan kepercayaan dan keyakinan lain..., karena menganggap semua itu berasal dari Tuhan..., sehingga tidak perlu ada persaingan untuk menunjukkan atau berebut mengenai Tuhan milik siapa yang lebih benar.

Semuanya adalah berasal dan akan kembali kepada Tuhan juga..., tanpa ada pembedaan dan diskriminasi sedikitpun.

Itu juga sebabnya..., dulu orang Jawa bisa menerima dan mempersilahkan semua agama dari bangsa-bangsa asing  untuk bisa masuk..., hidup..., dan berkembang di negeri ini.

Walaupun pada saat ini...; tidak sedikit dari mereka yang kemudian berkembang menjadi arogan..., ekspansif..., dan bahkan ingin menghilangkan atau  mengusir tradisi/budaya sang tuan rumah.

Spiritualitas Jawa..., juga tidak pernah mengenal misionari...; yaitu upaya ekspansi ataupun perekrutan massa. 

Spiritualitas Jawa...,  juga tidak pernah bicara tentang dominasi untuk menguasai dan mengatur seluruh dunia ke dalam satu sistem dan seragam yang sama.

Spiritualitas Jawa menghargai keragaman dan perbedaan secara sebenarnya..., bukan sekedar basa-basi di mulut saja.

Dan karena sifatnya yang demikian..., maka spiritualitas Jawa juga tidak sibuk mengatur tentang perilaku manusia..., melainkan sekedar berusaha membangkitkan kesadaran manusia.

Spiritual Jawa menyakini..., bahwa  dengan kesadaran itu manusia akan bisa mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik.

Spiritualitas Jawa juga tidak menciptakan doktrin yang kaku dan tidak boleh dirubah...,  karena menyadari bahwa pengertian manusia akan terus berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan tingkat kesadarannya seiring dengan waktu. 

Spiritualitas Jawa...,  juga tidak menciptakan sistem dan lembaga yang cenderung akan menciptakan penjara baru bagi umat manusia. 

Spiritualitas Jawa juga tidak menciptakan dokumentasi yang mati dan kaku..., karena menyadari bahwa kitab yang sejati letaknya ada di hati nurani dan sanubari manusia yang terdalam..., karena di situlah manusia akan bisa memahami "Tuhan" yang sejati..., dan bukan Tuhan yang sekedar sebagai "berhala mental" saja.

Spiritualitas Jawa juga tidak menciptakan teror..., ketakutan..., dan ancaman...; serta tidak ingin menciptakan perbudakan terhadap manusia berdasar ancaman dan rasa takut. 

Yang ada dalam Spiritual Jawa hanya  welas asih..., karena welas asih terhadap semua ciptaanNya  itulah sifat dan hakikat dari Tuhan yang sejati. 

Jumat, 09 Februari 2024

Joko Widodo dulu nampak sederhana peduli wong cilik

Oleh Sandyawan Sumardi
Relawan kemanusiaan, mantan pastor

Ini foto ketika aku bersama tokoh yang akhir-akhir ini kembali jadi bahan pembicaraan publik, karena sikap dan pernyataannya yang selalu berubah-ubah,  kontroversial, padahal beliau adalah  pemimpin negara bangsa kita.. 

Foto ini diambil di tengah masa kampanye calon gubernur dalam Pilgub DKI 2012 di kampung kami, Bukit Duri, Jakarta Selatan..

Kami seluruh warga Bukit Duri dan sebagian besar kaum miskin urban Jabodetabek  jaringan kemanusiaan kami ketika itu,  mendukungnya terus, bahkan  hingga beliau jadi Presiden RI dalam Pemilu 2017.

Di luar dugaan, tanggal 28 September 2016 kampung Bukit Duri, justru digusur paksa oleh Pemda DKI, (bersama kampung-kampung kaum miskin urban lain ketika itu, termasuk Kampung Akuarium, Kampung Pulo, Kalijodo, dll.), baru beberapa  bulan setelah beliau jadi Presiden RI (ironis, karena kami seluruh warga Bukit Duri terlibat aktif dalam  kampanyenya sebagai calon presiden pada Pilpres 2017).

Penggusuran yang dilakukan secara semena-mena,  meski gugatan kami di PTUN dan di PN Jakarta Pusat sudah dan sedang berjalan sekalipun..

Kami melakukan Gugatan "Class Action" (gugatan perwakilan kelompok), ada 4 orang perwakilan warga, aku salah seorang wakil kelas.

Waktu itu, kami mengaduh dan protes keras, namun suara kami seperti teriakan yang gemanya hilang dalam kegelapan di padang gurun..

Betapa sedikit, nyaris tak ada orang/pihak  yang bisa memahami, apalagi mendukung perjuangan  kami, salah satu komunitas warga yang digusur paksa..

Ya selanjutnya selama 6 tahun, kami terus bergerak berjuang, begitu banyak pengorbanan (setidaknya 17 warga keluarga penggugat yang meninggal selama kurun itu).. 
Ya warga Bukit Duri melakukan gugatan hukum di pengadilan.!

Kami sebagai warga negara sama sekali tidak minta diistimewakan.
Kami merindukan kemanusiaan yang adil dan beradab..!

Kamis, 08 Februari 2024

Mengenang Mas Jos - Wartawan Senior Pakar Bahasa Indonesia Jawa Pos Group

Kawan senior sekaligus guru telah kembali ke pangkuan-Nya. Tak ada lagi guyonan khas Mas Jos. Tak ada lagi atraksi sulap, ngemsi yang kocak, dan gaya nyanyi lagu-lagu lawas yang nyeleneh.

Mas Jos - nama aslinya Yuli Setyo Budi - bukan wartawan biasa. Dia salah satu dari sedikit wartawan yang sangat ahli bahasa Indonesia. Tempat bertanya bagi reporter-reporter atau wartawan muda.

"Kata-kata dasar yang pakai k, p, t, s diluluhkan. Termasuk kata-kata serapan asing," begitu salah satu nasihatnya.

Karena itu, mempesona jadi memesona, mengkonsumsi jadi mengonsumsi, mensosialisasikan jadi menyosialisasikan... 

Mas Jos lulusan IKIP Surabaya, Jurusan Bahasa Indonesia. Tidak semua sarjana bahasa Indonesia jadi pakar bahasa Indonesia. Betapa banyak sarjana bahasa Indonesia yang sangat lemah pemahaman sintaksis, morfologi, gramatika dsb.

Jos alias Yuli ini salah satu dari yang sedikit itu. Tidak heran, dia diminta Bos Dahlan Iskan, saat itu pemimpin redaksi Jawa Pos, untuk merapikan bahasa dan kalimat-kalimat wartawan. 

Jos dan temannya anak copy editor kemudian menyusun buku Satu Kata. Buku ini berisi kata-kata yang ambigu atau bersaing. Kata mana yang harus dipakai di koran.

 Sandarisasi atau standardisasi? Shalat atau salat? Sholawat atau selawat? Istigasah atau istighotsah? Itikad atau iktikad? 

Masih banyak kata-kata lain yang harus dirapikan. Harus "satu kata". Tidak boleh ada dua kata dalam satu media. Misalnya, hektare vs hektar, sepakbola vs sepak bola, bulu tangkis vs bulutangkis.

Saya sangat sering bertanya kepada Mas Jos ketika menemukan kata-kata bersaing. Kita tidak harus selalu ikut KBBI, katanya. Karena itu, JP Group biasa menggunakan "jamaah" meskipun KBBI menghendaki "jemaah".

Sayang, kesehatan Jos menurun sejak kena stroke sekitar 13 tahun lalu. Saya dulu sering besuk di rumah sakit di Sepanjang, Sidoarjo. Saat itu Jos melakukan latihan atau fisioterapi saban hari.

Kesehatannya pulih tapi tidak bisa joss seperti sebelum terserang stroke. Sejak itu acara karaoke bersama saban minggu selepas deadline tak ada lagi. Dulu Jos punya semacam bandar yang membiayai acara karaoke kapan saja.

Jos akhirnya pindah ke media lain. Masih menulis cerita-cerita misteri, masalah rumah tangga, features. Bahan-bahan sederhana diolah Jos jadi ramuan yang enak dibaca. Bahasa Indonesianya baik dan benar tapi tidak kaku.

Sepuluh tahun lebih Jos bertarung melawan penyakitnya. "Sakitnya gonta-ganti," kata Bu Jos. "Itu obatnya menumpuk di kardus."

Kali terakhir (bukan terakhir kali, kata Jos di newsroom dulu) Mas Jos cuci darah rutin. Lalu dibawa ke RSUD Sidoarjo. Akhirnya dipanggil Tuhan. "Saya sudah ikhlas. Sudah jadi kehendak-Nya," kata Bu Joss.

Saya kemudian ziarah ke kuburan Mas Jos di pinggir perumahan di Balas Klumprik, Surabaya. Ada Dipta putranya di sana. Dipta ini dulu sangat senang binatang-binatang aneh macam hamster, kelinci, dsb.

Dia masih ingat saya - om yang membelikan kelinci di Alun-Alun Sidoarjo. Tak ada kata-kata di pusara baru itu. Hanya doa tulus untuk Mas Jos, sang guru bahasa yang telaten dan cerdas.

Semoga Mas Jos bahagia di surga!