Rabu, 06 Maret 2024

Spiritualitas Jawa vs Agama Samawi (Abrahamik)

Sulit tidur pagi ini meski badan dan jiwa lelah. Ayas iseng-iseng nonton siaran langsung sepak bola. Bayern Muenchen vs Lazio. Sudah sangat terlambat.

Skor sudah 3-0. Agregat 3-1. Berarti Bayern Muenchen yang lolos ke 8 besar Liga Juara. Kane borong dua gol. Hebaat!

Tak lama kemudian pelawak Djadi Galajapo alias HM Cheng Hoo membagi artikel pendek. Seperti biasa, tentang spiritualitas Jawa. Rajin sekali Galajapo kampanye melawan kaum fundamentalis, fanatis, ekstremis agama di negeri ini.

"ISLAM PANCASILA menolak konsep Tuhan Anthropomorfis. Rahayu," tulis Djadi yang di dokumennya tertulis kelahiran Kabupaten Surabaya - sekarang jadi Kabupaten Gresik.

Ayas pun membaca tulisan Kamerad Kanjeng yang dibagikan Cak Djadi itu. Ayas renungkan kok mirip ajaran leluhur di bumi Lamaholot NTT sana.

Leluhur Nusantara memang sangat doyan kerukunan dan keserasian sesama makhluk. Semua ajaran bahkan dianggap sama. Menuju ke Dewa Lera Wulan - Penguasa Matahari dan Bulan.

Berikut artikel Spiritualitas Jawa yang ditulis Kamerad Kanjeng: 

Konsep Tuhan dalam spiritualitas Jawa adalah unik..., khas..., dan berbeda dengan konsep tentang Tuhan versi agama Samawi/Abrahamik.

Agama Samawi yang berasal dari  bangsa-bangsa yang ada di Timur Tengah..., memiliki konsep Tuhan yang cenderung anthropomorfis.

Anthropomirfis..., yaitu  bersifat dan berperilaku seperti manusia...;  seperti  senang..., marah..., cemburu..., menyuruh/memerintah..., menghukum dan sebagainya.

Spiritualitas Jawa..., tidak pernah menggambarkan Tuhan dengan konsep sebagai personal atau sosok raksasa di atas langit..., yang bebas melakukan apa saja terhadap manusia...;  seperti menguji..., memerintah..., melarang..., menghukum..., atau memberi hadiah...,  dan bsebagainya layaknya perilaku manusia yang lain.

Dalam spiritualitas Jawa..., Tuhan lebih sering disebut dengan istilah Hurip (Hidup)..., atau Sang Hyang Hurip/Sang Maha Hidup. 

Konsep ini lebih bersifat abstrak dan universal..., daripada konsep tentang Tuhan sebagai sosok yang bersifat anthropomorfis tadi.

Itulah sebabnya..., dalam spiritualitas Jawa tidak ada istilah menyenangkan Tuhan..., memperjuangkan Tuhan..., membela Tuhan..., ataupun berperang atas nama Tuhan...; karena Tuhan dipahami sebagai Sumber, Dasar dan Tujuan dari segala sesuatu..., the power of LIFE itself (Sangkan Paraning Dumadi).

Dengan demikian...,  spiritual Jawa bisa menghargai dan hidup harmonis selaras dengan kepercayaan dan keyakinan lain..., karena menganggap semua itu berasal dari Tuhan..., sehingga tidak perlu ada persaingan untuk menunjukkan atau berebut mengenai Tuhan milik siapa yang lebih benar.

Semuanya adalah berasal dan akan kembali kepada Tuhan juga..., tanpa ada pembedaan dan diskriminasi sedikitpun.

Itu juga sebabnya..., dulu orang Jawa bisa menerima dan mempersilahkan semua agama dari bangsa-bangsa asing  untuk bisa masuk..., hidup..., dan berkembang di negeri ini.

Walaupun pada saat ini...; tidak sedikit dari mereka yang kemudian berkembang menjadi arogan..., ekspansif..., dan bahkan ingin menghilangkan atau  mengusir tradisi/budaya sang tuan rumah.

Spiritualitas Jawa..., juga tidak pernah mengenal misionari...; yaitu upaya ekspansi ataupun perekrutan massa. 

Spiritualitas Jawa...,  juga tidak pernah bicara tentang dominasi untuk menguasai dan mengatur seluruh dunia ke dalam satu sistem dan seragam yang sama.

Spiritualitas Jawa menghargai keragaman dan perbedaan secara sebenarnya..., bukan sekedar basa-basi di mulut saja.

Dan karena sifatnya yang demikian..., maka spiritualitas Jawa juga tidak sibuk mengatur tentang perilaku manusia..., melainkan sekedar berusaha membangkitkan kesadaran manusia.

Spiritual Jawa menyakini..., bahwa  dengan kesadaran itu manusia akan bisa mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik.

Spiritualitas Jawa juga tidak menciptakan doktrin yang kaku dan tidak boleh dirubah...,  karena menyadari bahwa pengertian manusia akan terus berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan tingkat kesadarannya seiring dengan waktu. 

Spiritualitas Jawa...,  juga tidak menciptakan sistem dan lembaga yang cenderung akan menciptakan penjara baru bagi umat manusia. 

Spiritualitas Jawa juga tidak menciptakan dokumentasi yang mati dan kaku..., karena menyadari bahwa kitab yang sejati letaknya ada di hati nurani dan sanubari manusia yang terdalam..., karena di situlah manusia akan bisa memahami "Tuhan" yang sejati..., dan bukan Tuhan yang sekedar sebagai "berhala mental" saja.

Spiritualitas Jawa juga tidak menciptakan teror..., ketakutan..., dan ancaman...; serta tidak ingin menciptakan perbudakan terhadap manusia berdasar ancaman dan rasa takut. 

Yang ada dalam Spiritual Jawa hanya  welas asih..., karena welas asih terhadap semua ciptaanNya  itulah sifat dan hakikat dari Tuhan yang sejati. 

1 komentar:

  1. Tulisan di atas sangat menarik dan berkesan.
    Wong Jowo kuwi pancene unik, khas, dan lain daripada yang lain. Wong Jowo tahu betul mana yang bener dan mana yang salah. Tetapi wong jowo tidak mau memilih, sebab kuatir pihak seberang tersinggung. Yo ngono iku, atine pegel, terus ngerasan-ngerasani, tidak berani mengambil risiko dan konsekwensi. Apakah sifat yang demikian yang dimaksud dengan welas asih ?
    Kalau dicela, lantas berdalih dengan ayat2 suci, Matius 26:41. Wong Cino menggambarkan sifat seperti diatas dengan huruf 忍 ( artinya: sabar, iso nerimo, sanggup menelan hinaan, penderitaan, dienyek yo ngguyu wae, tidak cepat naik pitam, koyok Jokowi lah ).

    BalasHapus