Jumat, 05 Januari 2024

Gadis Lamaholot memakai "kwatek" di Gereja Kayutangan

Wanita-wanita suku Lamaholot biasa pakai kwatek saat misa atau ibadat sabda di gereja. Kebiasaan lama ini masih bertahan sampai sekarang meski gadis-gadis remaja agak jarang pakai kwatek.

Kwatek itu sarung dari tenun ikat buatan mama-mama di kampung. Ada kwatek kiwanen: kwatek asli yang 100 persen bahannya diambil dari hasil bumi di kampung. Mulai kapas, pewarna hitam, kuning, biru.. memintal benang, menenun hingga jadi kain semuanya manual.

Kwatek kiwanan ini makin langka di era modern. Tahun 90-an mama-mama jalan kaki sambil "tue lelu" - memintal kapas jadi benang. Saat ini pemandangan masa kecilku itu hampir tak ada lagi. Sudah bisa dihitung dengan jari tangan.

Karena itu, dibuatlah kwatek muringen atawa sarung modern. Kain sarung dibuat pakai ATBM - alat tenun bukan mesin. Kainnya halus, bagus, modern. Tapi nilainya jauh berbeda dengan "kwatek kiwanen" yang asli 100 persen buatan sendiri di kampung itu meski teksturnya agak kasar.

Kwatek alias sarung Lamaholot sudah jadi busana wanita untuk acara-acara resmi. Salah satunya misa di gereja. Begitu besarnya nilai misa atau kebaktian, orang Lamaholot tidak boleh memakai pakai sembarangan.

 Kaos oblong tidak boleh. Baju mahal tapi sporty atau kasual setengah dilarang. Saya sering ditegur gara-gara memakai kaos meski ada kerahnya. 

"Kaos atau t-shirt tidak boleh untuk misa. Lembata ini bukan Jawa," kata Christophora adik saya serius.

Saya pun disuruh pulang ganti baju. Disuruh pakai baju batik. Atau kemeja resmi. Barangsiapa yang pakai kaos oblong ke gereja akan jadi gunjingan. Bahkan dilarang terima komuni.

Nostalgia kwatek di bumi Lamaholot muncul lagi di Malang belum lama ini. Saya lihat ada gadis berwajah Lamaholot memakai sarung atau kwatek ke Gereja Kayutangan, Malang. 

Haleluya! Puji Tuhan!

 Ternyata ada wanita muda Lamaholot yang mengenakan kwatek ke gereja. Persis di Adonara, Solor, Lembata, Flores bagian timur, Alor. Anak muda, generasi Z, yang saban hari main media sosial ternyata masih mempertahankan budaya Lamaholot. Kalau masih di NTT mah biasa, tapi ini di Malang. Di Gereja Kayutangan yang berada di pusat Kota Malang.

Betul dugaan saya. Nona ini berasal dari Adonara Barat. Kuliah di Malang. Dia memang biasa pakai kwatek ke gereja. Ada juga beberapa wanita lain yang pakai kwatek tapi motifnya bukan Lamaholot.

Kami pun ngobrol dalam bahasa Lamaholot. Beda dialek, beda lagu, tapi kata-katanya masih sama dan bisa saling mengerti. Luar biasa "kebarek" (gadis) ini. Di Surabaya dan Sidoarjo saya tidak pernah melihat gadis-gadis NTT mengenakan kwatek atau sarung ke gereja.

Senin, 01 Januari 2024

Malam tahun baru di Gereja Jago, Lawang

Ayas tak asing dengan Lawang. Apalagi Sumber Porong yang ada RSJ terbesar itu. Ada orang Lembata yang menikah dengan wanita asal Sumber Porong pada pertengahan 80-an. Dibawa ke Lembata dan kerasan sampai tua.

Karena itu, dulu ayas sering mampir ke rumah orang tua istrinya Om Ignatius Hurek itu. Sejuk nyaman asri. Daratannya lebih tinggi Kota Malang yang +429 dpl (kalau tak salah ingat).

Ayas juga beberapa kali diajak eksplorasi gedung tua di Lawang. Salah satunya Hotel Niagara. Banyak gosip berbau klenik tentang hotel ini. Tapi ternyata ayas tidak pernah diganggu nonik-nonik Londo atawa Tenglang. Lelap sekali tidur di Hotel Niagara meski tanpa AC.

Tidak jauh dari pasar ada gereja Protestan peninggalan Belanda: GPIB. Pinggir jalan raya. Sudah direnovasi sehingga tidak asli lagi. Tak jauh dari GPIB ada Gereja Jago. Ada juga orang Lawang atau Malang menyebut Gereja Ayam.

 Entah mengapa disebut Gereja Jago atau Gereja Ayam. Mungkin ada kaitan dengan kata-kata peringatan Yesus Kristus kepada Petrus tentang penyangkalan itu. Yang pasti, Gereja Jago ini tidak ada kaitan dengan Jamu Jago.

Meski sudah sering blusukan di Lawang, ayas atau saya belum pernah mampir ke halamannya. Apalagi masuk untuk ikut ekaristi. Sebab bukan hari Minggu. Nawak-nawak justru lebih suka eksplorasi bangunan GPIB.

Karena itu, Minggu, 31 Januari 2023, ayas mampir ke Gereja Jago. Ikut misa tutup tahun dan menyambut tahun baru 2024. Ada pastor tapi tidak ada misa. Hanya ibadat sabda. Dipimpin seorang frater muda (pasti muda lah) yang sedang melaksakan TOP (tahun orientasi pastoral) di Paroki Lawang.

Ibadat sabda di Lawang ini hanya sekitar 30 menit. Beda dengan ibadat sabda tanpa imam di NTT, khususnya Lembata, yang bisa sampai 90 menit. Kadang ngalah-ngalahi misa kudus.

Homili frater di Lawang ini juga pendek saja. Datar-datar tanpa mengeraskan suara. Apalagi berteriak-teriak sampai suara serak. Umat diajak refleksi tentang kehidupan selama tahun 2023. Kemudian membuka lembaran baru di tahun 2024.

Ibadat sabda usai. Hujan yang sempat mengguyur Lawang sejak sore pun berhenti. Selanjutnya acara bebas di halaman gereja yang luas. Bakar jagung, bakar sate, ngopi, ngeteh, acara bebas.

Anak-anak muda OMK menampilkan aneka atraksi untuk menunggu detik-detik pergantian tahun. Gayeng sekali suasananya.

 Ayas lihat cukup banyak jemaat berwajah Flobamora yang jadi aktivis di Gereja Ayam. Orang Flores, Lembata, Timor ada juga di Lawang. "Kalau orang Sumba dan Kupang ada banyak di sebelah, Bung," kata seorang jemaat asal Flores.

Yang dimaksud "di sebelah" itu pasti GPIB. Sebab, orang Kupang dan Sumba hampir bisa dipastikan Protestan ikut GMIT (Gereja Masehi Injili Timor). Mereka rata-rata jemaat GPIB kalau berada di perantauan di Jawa. GMIT dan GPIB sebetulnya gereja yang sama alirannya. Cuma beda nama saja, kata teman senior dari Kupang.

Seperti biasa, perayaan tahun baruan diakhiri dengan acara tiup trompet. 

"We wish you a Merry Christmas and Happy New Year!" 🎶🎶

Senin, 25 Desember 2023

Malam Natal di Kayutangan bersama Pater Karmelit dari Flores

Sejak dulu pater-pater asal Flores, NTT, sudah bertugas di Malang. Khususnya di Gereja HKY Kayutangan yang terkenal itu. Pater yang paling terkenal dulu adalah Romo Dr Berthold Anton Pareira, OCarm.

Romo Pareira kemudian jadi rektor seminari tinggi dan STFT Widya Sasana Malang. Kampus yang menghasilkan sebagian besar pastor di Jawa Timur. Romo Pareira asal Maumere ini punya kemampuan retorika dan homilitika yang m biasa.

Tiga dekade kemudian masih ada pastor asal Flores di Kayutangan Church. Romo Yohanes S Bhaha, OCarm. Pastor asal Ende ini yang pimpin Misa Malam Natal pada 24 Desember 2023. Misa kedua dimulai pukul 21.00.

Sayang, tahun ini rupanya tidak ada homili dari imam. Diganti pembacaan Pesan Natal KWI dan PGI sebagai ganti khotbah. Sebagian umat tentu sudah membaca pesan gembala yang sudah lama dirilis itu.

Misa Natal 2023 ini jauh lebih meriah. Normal. Tak ada lagi prokes pakai masker, jaga jarak, cuci tangan dsb. Tapi masih banyak juga jemaat yang pakai masker. Romo pun pakai masker. Maklum, virus corona masih ada dan akan terus bermutasi.

Sayang, kali ini saya tidak sempat bersalaman dengan Romo Yohanes Bhaha. Salam damai Natal. Semoga semua makhluk bahagia!

Minggu, 24 Desember 2023

Cari kalender yang pakai Ahad, bukan Minggu

Nama hari bisa jadi masalah. Serius. Ada orang yang menolak kalender gratis gara-gara nama hari. Dia tidak mau ada tulisan hari Minggu. Maunya Ahad.


Alasannya sangat prinsipil. Soal akidah. Doktrin yang diyakininya. Sebutan Minggu dianggap berbau Nasrani. Orang kafir. Yang benar itu Ahad, katanya.

Orang ini pemeluk teguh. Kelihatannya dia sudah lama menghapus Minggu dari kamus bahasa Indonesia versi dia. Maka "seminggu" diganti "sepekan". Malam Minggu jadi malam Ahad. Minggu depan jadi pekan depan.

Lama-lama lagu lama Koes Plus: Kisah Sedih di Hari Minggu pun diganti dengan Kisah Sedih di Hari Ahad. 

Lagu Gombloh: Malam Minggu pukul tujuh aku apel... diganti jadi malam Ahad pukul tujuh dst.

Ayas pun mencari kalender di lapak pinggir jalan. Kalender yang pakai Ahad, bukan Minggu. Ternyata sulit. Di Surabaya (hampir) semua kalender pakai Minggu dan Sunday. 

Oh, ada satu kalender di Pasar Kembang yang pakai kata Ahad. Tapi masih ada tulisan Minggu dan Sunday. Ayas pun tidak jadi beli.

Minggu pagi, 24 Desember 2023, Ayas lewat di kawasan Pasar Besar Malang. Petjinanstraat alias Jalan Pecinan. Ada beberapa orang Madura jualan kalender di emperan toko.

 Ayas cek nama-nama hari. Alhamdulillah, ada satu kalender yang gunakan nama hari Ahad. Lengkap dengan jadwal salat. Ayas pun beli meski sempat menggerutu karena harganya tiga kali lipat di Surabaya.

"Kalau gak mau ya beli aja di Surabaya," kata Bu Madas (Madura Asli) itu.

Syukurlah, orang Madas yang jualan kalender itu tidak ambil pusing polemik soal Minggu vs Ahad. Baginya, Minggu ya Ahad dan Ahad ya Minggu. Sama saja.

Sei Babi Flobamora di Kota Malang

Flobamora itu julukan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Akronim dari Flores, Sumba, Timor - tiga pulau utama (besar) di NTT. Lembata, Solor, Adonara, Alor, Pantar, Sabu, Rote dsb tidak disebut karena dianggap pulau-pulau kecil.

Bae sonde bae, Flobamora lebe bae!
Baik (atau) tidak baik, Flobamora lebih baik!

Begitu semboyan orang NTT untuk memotivasi diri. Biar ada sedikit kebanggaan daerah.

Lagu Flobamora juga selalu dinyanyikan setiap ada pertemuan keluarga besar NTT di mana saja. Setelah lagu Indonesia Raya disusul "Flobamora.. tanah airku yang tercinta. Tempat beta dibesarkan ibunda..."

Di Kota Malang kata Flobamora identik dengan babi. Sei babi. Babi asap. Smoked pork. 

Sei Babi Flobamora sangat terkenal di kalangan para perantau NTT. Yang bukan muslim pastinya. Kalau ingin makan B2 biasanya lari ke Sei Flobamora. Masakan B2 khas Tionghoa dirasa kurang cocok dengan lidah orang-orang Flobamora.

Dalam waktu singkat Sei Babi Flobamora sudah punya 4 outlet di Malang. Pusatnya di Jalan Brigjen Slamet Riyadi 45 Oro-Oro Dowo, Pattimura 36 eks terminal, Raya Langsep 17, dan Rampal Lapangan Brawijaya.

"Penggemar sei babi cukup banyak di Malang Raya. Tidak semuanya dari NTT," kata bung asal Kupang yang jaga oulet di Oro-Oro Dowo.

Babinya dapat dari mana? Pasti butuh banyak daging?

"Di pasar kan banyak dijual daging babi. Persediaan selalu ada, Bung," kata bung tadi.

Ayas jadi ingat orang Lamaholot di Pulau Lembata. Mereka rata-rata pelihara babi dan kambing alias wawe + witi. Tapi tidak ada orang kampung makan babi kecap, babi asap, kecuali kalau ada hajatan kematian atau pernikahan atau sambut baru (komuni pertama). 

Di Malang orang bisa makan nasi plus B2 saban hari... kalau duitnya cukup. Haleluyaaaa!!!

Selasa, 19 Desember 2023

Alumni Universitas Jember masih dihinggapi penyakit minder

Makin tua biasanya orang makin senang reuni, temu kangen, silaturahmi cowas (konco lawas) dan sejenisnya. Tak hanya reuni SMA/SMK, reuni universitas pun kian sering diadakan di Jawa Timur.

Pekan lalu saya diajak ikut acara pertemuan Keluarga Alumni Universitas Jember (Kauje) di kantor Gubernur Jawa Timur, Jalan Pahlawan, Surabaya. Megah sekali aula di lantai 7 itu. Tidak kalah dengan ballroom hotel berbintang.

Suasananya tidak segayeng reuni SMA atau Uklam Tahes (jalan sehat) yang pernah saya ikuti. Maklum, teman seangkatanku cuma satu orang. Itu pun jadi salah satu pembicara seminar. 

Di samping saya ada beberapa alumni angkatan lebih lama. Cuma basa-basi sejenak lalu sibuk dengan HP masing-masing. Ada juga alumnus Fakultas Farmasi. Pasti lebih muda karena zamanku belum ada fakultas itu. Saya pun tidak tahu di mana kampus farmasi itu.

Acara selanjutnya seminar kecil. Dialog bertema Majukan Jatim Lima Tahun ke Depan. Bahan masukan untuk Khofifah kalau terpilih lagi. Atau siapa pun yang jadi gubernur.

Imron ternyata pembicara seminar yang bagus. Sebagai mantan wartawan dan redaktur Jawa Pos, dia bisa menyederhanakan materi ekonomi yang rumit. Bahasanya juga sederhana ala wartawan-wartawan di Surabaya. Beda dengan ibu pembicara satunya yang banyak guna kata-kata dan frase bahasa Inggris dengan logat Jawa medhok.

Intinya, Imron bilang kondisi Jawa Timur tidak buruk. Pertumbuhannya justru lebih tinggi daripada nasional. Angka kemiskinan yang masih tinggi. 

Setelah seminar dan makan siang, acara dilanjutkan dengan pengukuhan ketua Kauje. Wartawan senior di Surabaya Lutfil Hakim didapuk jadi ketua. Mas Lutfil juga ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur. Menggantikan Ahmad Munir yang dipromosikan sebagai direktur LKBN Antara.

Mas Munir juga alumni Unej. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu juga alumni Universitas Jember. Lumayan banyak alumni Unej yang jadi petinggi media massa.

"Saya jadi ketua Kauje karena nggak ada yang mau," kata Lutfil dengan gaya khasnya.

Rektor Unej Prof Iwan Taruna meminta para alumni dan mahasiswanya agar tidak rendah diri. Jauhkan mental inferior sebagai alumni Unej. Sudah jadi rahasia umum, banyak alumni yang minder dan malu mengaku lulusan Universitas Jember.

Kalau ditanya alumni kampus apa biasa dijawab alumni UI, Gajah Mada, Airlangga, Padjadjaran dsb. "Karena kebetulan dia ambil S2 atau S3 di UI atau UGM. Kuliah S1-nya di Universitas Jember tidak disebut," kata Iwan.

Imron satu contoh. Lulus S1 di Faperta Universitas Jember, lalu melanjutkan studi S2 dan S3 di Universitas Airlangga. Sekarang jadi wakil dekan. Semua mahasiswa dan orang Unair tahunya Imron ini alumni Airlangga. Hanya sesama alumni Unej yang paham bahwa dulu dia kuliah di kampus kawasan Patrang arah ke Bondowoso.

Di masa lalu perguruan tinggi negeri (PTN) dibagi dalam tiga kelas. Kelas A (favorit, unggulan) macam UI, UGM, ITB. Kelas B sedang. Kelas C masih perjuangan. Universitas Jember masuk kelas C. Uang kuliahnya sangat murah. Satu semester tidak sampai Rp 100 ribu atau Rp 2 juta (kurs sekarang).

Kebanyakan yang masuk lewat UMPTN atau SMPTN pun pilihan kedua. Sebab gagal diterima di pilihan pertama UI, ITB, ITS dsb. Mungkin itu yang membuat perasaan minder atau rendah diri itu masih terasa di kalangan sejumlah alumni. Itu juga yang membuat Mas Lutfil kesulitan menghimpun para alumni di Surabaya Raya atau Jatim umumnya.

Peta perguruan tinggi di Indonesia setelah reformasi sudah berbeda. Tiga kelas PTN mungkin masih ada tapi mulai bergeser. Unej sudah punya Fakultas Kedokteran, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi, dan fakultas-fakultas kelas berat lainnya. Kampus Unej pun makin mewah. Bahkan, lebih mentereng ketimbang beberapa kampus top di Surabaya.

Saya belum cek data resmi. Tapi rasanya sebagian besar mahasiswa sekarang memang pilihan pertamanya di Unej. Bukan pilihan kedua atau ketiga seperti sebelum 2000.

Minggu, 17 Desember 2023

Tergusur di Karang Menjangan, Ludruk Luntas Hijrah ke Sidoarjo

Satu per satu grup ludruk tergusur dari Kota Pahlawan. Ludruk Luntas yang selama ini bermarkas di kawasan Jalan Karang Menjangan (Karmen) 21, Surabaya, akhirnya diminta meninggalkan lahan itu.


Gedung pertunjukan dan rumah budaya pun dibongkar sejak pekan lalu. Robets Bayoned, pimpinan Ludruk Luntas, berencana memindahkan semua properti beserta sejumlah pemain ludruk andalannya ke Sidoarjo.


"Mungkin memang begini Tuhan memberi jalan untuk Luntas agar menebarkan virus ludruk di segala penjuru," kata Robets Bayoned kemarin.


Ludruk Luntas yang diperkuat seniman-seniman muda itu, menurut Cak Robets, sejak dirintis pada 2016 memang tidak pernah mapan bermarkas di suatu tempat. Dimulai Gedung Pringgodani THR selama tiga tahun, 2016-2019, kawasan itu akhirnya digusur oleh Pemkot Surabaya. Para seniman yang biasa mangkal pun terpencar ke mana-mana.


Robets kemudian membuka markas di Panggung Rakyat Warung Mbah Cokro, kemudian Tobong Javadwipa AJBS, Wisata Kuliner Arumdalu Juanda. Sejak 2023 Luntas Indonesia bermarkas di Rumah Budaya Rakyat Karmen (Karang Menjangan).


"Untuk melestarikan ludruk bukan sekadar pentas, tapi harus punya tempat pentas ludruk. Tobong ludruk sangat perlu. Ludruk adalah seni tradisi arek Suroboyo yangg wajib diperjuangkan agar terus tetap ada," kata mantan penyiar sebuah radio swasta itu.


Berdasarkan pengalamannya membina grup ludruk, Cak Robets menegaskan, ludruk harus memiliki tempat pertunjukan yang tetap. Sulit bagi ludruk untuk bertahan jika hanya mengandalkan tanggapan atau undangan untuk mengisi hajatan tertentu. 


"Maka, saya ingin mengajak gotong royong membuat panggung rakyat berbasis ekonomi kerakyatan. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat," katanya.


"
Dulu di tahun 1943 ludruk adalah alat perjuangan untuk mempengaruhi rakyat agar melawan penjajah Jepang. Namun, sekarang ludruk bukan lagi alatnya, justru ludruknya yang harus diperjuangkan," Robets merujuk perjuangan Cak Durasim lewat kesenian ludruk di Surabaya.