Selasa, 19 Desember 2023

Alumni Universitas Jember masih dihinggapi penyakit minder

Makin tua biasanya orang makin senang reuni, temu kangen, silaturahmi cowas (konco lawas) dan sejenisnya. Tak hanya reuni SMA/SMK, reuni universitas pun kian sering diadakan di Jawa Timur.

Pekan lalu saya diajak ikut acara pertemuan Keluarga Alumni Universitas Jember (Kauje) di kantor Gubernur Jawa Timur, Jalan Pahlawan, Surabaya. Megah sekali aula di lantai 7 itu. Tidak kalah dengan ballroom hotel berbintang.

Suasananya tidak segayeng reuni SMA atau Uklam Tahes (jalan sehat) yang pernah saya ikuti. Maklum, teman seangkatanku cuma satu orang. Itu pun jadi salah satu pembicara seminar. 

Di samping saya ada beberapa alumni angkatan lebih lama. Cuma basa-basi sejenak lalu sibuk dengan HP masing-masing. Ada juga alumnus Fakultas Farmasi. Pasti lebih muda karena zamanku belum ada fakultas itu. Saya pun tidak tahu di mana kampus farmasi itu.

Acara selanjutnya seminar kecil. Dialog bertema Majukan Jatim Lima Tahun ke Depan. Bahan masukan untuk Khofifah kalau terpilih lagi. Atau siapa pun yang jadi gubernur.

Imron ternyata pembicara seminar yang bagus. Sebagai mantan wartawan dan redaktur Jawa Pos, dia bisa menyederhanakan materi ekonomi yang rumit. Bahasanya juga sederhana ala wartawan-wartawan di Surabaya. Beda dengan ibu pembicara satunya yang banyak guna kata-kata dan frase bahasa Inggris dengan logat Jawa medhok.

Intinya, Imron bilang kondisi Jawa Timur tidak buruk. Pertumbuhannya justru lebih tinggi daripada nasional. Angka kemiskinan yang masih tinggi. 

Setelah seminar dan makan siang, acara dilanjutkan dengan pengukuhan ketua Kauje. Wartawan senior di Surabaya Lutfil Hakim didapuk jadi ketua. Mas Lutfil juga ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur. Menggantikan Ahmad Munir yang dipromosikan sebagai direktur LKBN Antara.

Mas Munir juga alumni Unej. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu juga alumni Universitas Jember. Lumayan banyak alumni Unej yang jadi petinggi media massa.

"Saya jadi ketua Kauje karena nggak ada yang mau," kata Lutfil dengan gaya khasnya.

Rektor Unej Prof Iwan Taruna meminta para alumni dan mahasiswanya agar tidak rendah diri. Jauhkan mental inferior sebagai alumni Unej. Sudah jadi rahasia umum, banyak alumni yang minder dan malu mengaku lulusan Universitas Jember.

Kalau ditanya alumni kampus apa biasa dijawab alumni UI, Gajah Mada, Airlangga, Padjadjaran dsb. "Karena kebetulan dia ambil S2 atau S3 di UI atau UGM. Kuliah S1-nya di Universitas Jember tidak disebut," kata Iwan.

Imron satu contoh. Lulus S1 di Faperta Universitas Jember, lalu melanjutkan studi S2 dan S3 di Universitas Airlangga. Sekarang jadi wakil dekan. Semua mahasiswa dan orang Unair tahunya Imron ini alumni Airlangga. Hanya sesama alumni Unej yang paham bahwa dulu dia kuliah di kampus kawasan Patrang arah ke Bondowoso.

Di masa lalu perguruan tinggi negeri (PTN) dibagi dalam tiga kelas. Kelas A (favorit, unggulan) macam UI, UGM, ITB. Kelas B sedang. Kelas C masih perjuangan. Universitas Jember masuk kelas C. Uang kuliahnya sangat murah. Satu semester tidak sampai Rp 100 ribu atau Rp 2 juta (kurs sekarang).

Kebanyakan yang masuk lewat UMPTN atau SMPTN pun pilihan kedua. Sebab gagal diterima di pilihan pertama UI, ITB, ITS dsb. Mungkin itu yang membuat perasaan minder atau rendah diri itu masih terasa di kalangan sejumlah alumni. Itu juga yang membuat Mas Lutfil kesulitan menghimpun para alumni di Surabaya Raya atau Jatim umumnya.

Peta perguruan tinggi di Indonesia setelah reformasi sudah berbeda. Tiga kelas PTN mungkin masih ada tapi mulai bergeser. Unej sudah punya Fakultas Kedokteran, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi, dan fakultas-fakultas kelas berat lainnya. Kampus Unej pun makin mewah. Bahkan, lebih mentereng ketimbang beberapa kampus top di Surabaya.

Saya belum cek data resmi. Tapi rasanya sebagian besar mahasiswa sekarang memang pilihan pertamanya di Unej. Bukan pilihan kedua atau ketiga seperti sebelum 2000.

2 komentar:

  1. Ora nyono Jember bisa berkembang sedemikian pesat, bisa ada universitas nasional. Tahun 1955 Djember tidak lebih baik daripada Banyuwangi atau Situbondo, apalagi jika dibandingkan dengan Bondowoso, yang notabene adalah ibukota Keresidenan Besuki. Dulu kalau naik mobil dari Banyuwangi ke Surabaya, para sopir ngandok nya di Tanggul. Kalau naik spoor, barulah spoor nya berhenti di Djember.
    Kehidupan seseorang saya yakin sudah diatur, atau sudah ada suratan nya. Tanpa saya sadari, koq moro-moro saya ini bisa jadi orang katolik, walaupun tanpa permandian. Sebulan sebelum saya akan dipermandikan, oleh pastornya saya dihukum. Katanya beliau: Karena engkau nakal dan tukang bikin onar, maka sebagai hukuman, engkau tidak jadi aku permandikan, kecuali itu engkau harus keluar dari asrama-biara katolik ini.
    Katanya engkoh-saya; Syukur lah engkau wurung dipermandikan.
    Menurut Uskup Agung dari Bamberg, Ludwig Schick, barang siapa, siapa pun dia, jika sudah mengucapkan Credo, dan percaya, maka dia adalah orang katolik.
    Aduh biyung, kula niki jangankan membaca, bahkan hafal, Credo in unum Deum, Patrem omnipotentem, factorem caeli et terrae, ...... Bukan itu saja, bahkan dua tahun tiap hari harus hafal Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus, Agnus Dei.
    Bertahun tahun isun coba menghafal dua kalimat syahadat, namun selalu salah. Gusti tidak mengizinkan isun makan apem jowo. Suratan.

    BalasHapus
  2. PARADOXON HASIL PENDIDIKAN DI NEGERI KU.
    Tahun 1955 sampai 1958 saya hidup di sebuah desa di wilayah Blambangan Selatan, tanpa listrik dan tanpa air ledeng.
    Ketika itu di wilayah selatan Banyuwangi hanya ada Sekolah Rakyat. Tidak ada SMP dan tidak ada SMA.
    Anak2 yang SMP atau SMA harus jam 4 pagi bangun, cepat2 pergi ke Stasiun, naik spoor kluthuk Bentjuluk - Srono - Sukonatar - Wonosobo - Gladag - Rogodjampi.
    Di Stasiun Rogodjampi pindah spoor, dari jurusan Djember ke Banyuwangi. Pulang sekolah sampai rumah jam 17 sore.
    Sekarang di Jember, Situbondo, Banyuwangi, Bondowoso, bahkan di-kota2 Kecamatan pun ada Universitas dan Perguruan Tinggi. Berarti penduduk sekarang seharusnya tambah pintar, punya gelar akademik yang ber-tele2.
    Paradox nya, dulu waktu kita masih hanya lulusan Sekolah Rakyat, tidak pernah ada bangsa Indonesia yang sudi mencium telapak kaki orang arab, lha kok sekarang, rakyat yang sudah pintar, tetapi ngesot antre giliran mau cium kakinya arab. Kok bisa begini ya ?
    Jika seluruh tubuh manusia sama mulia harganya untuk diciumi, maka saya bisa dan mau mengerti.
    Cium apem nonik bule dan cium kaki arab ya sami mawon, yo wis, tidak ada masalah, tergantung selera masing2.

    BalasHapus