Tak terasa sudah masuk bulan Desember. Tahun 2023 segera berlalu. Pandemi covid juga sudah berlalu meski masih ada virus corona yang terus bermutasi.
Suasana di mana-mana sudah terlihat normal. Sudah tak banyak yang pakai masker. Cuci tangan pun tak lagi sering. Hanya kurang dari 5 kawan di tempat kerja yang masih pakai masker.
Kerja dari rumah, WFH, tak lagi dianjurkan. Tapi para reporter rupanya masih melanjutkan WFH. Cukup kirim naskah dan gambar lewat surel, WA, atau apa saja. Di era digital sistem WFH, kerja dari warkop, kerja dari mana saja rasanya semakin umum.
Karena itu, kantor tak lagi ramai seperti dulu. Tak ada lagi suasana hiruk pikuk, guyonan, nonton bareng Persebaya atau timnas, tebak skor berhadiah, makan-makan bareng seperti dulu. Bangunan kantor yang besar dan luas mungkin hanya 20 persen yang terisi.
Naga-naganya ke depan ruang kerja atau kantor bakal semakin sempit. Mirip hotel-hotel murah jaringan Oyo atau RedDoorz yang sempit tapi kamarnya banyak dan tersebar di mana-mana.
Seharusnya setelah pandemi covid, situasi makin normal dan bahagia. Tapi kelihatannya Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Suasana kampanye jelang pemilihan presiden dan pemilihan presiden pun landai saja meski baliho, banner dsb tersebar di segala sudut kota. Alat peraga kampanye PSI dan Prabowo-Gibran kayaknya paling dominan di kota ini.
Setiap bulan Desember saya selalu teringat Maharani Kahar. Artis lawas asal Surabaya inilah yang dulu mempopulerkan lagu Desember Kelabu. Lagu yang sangat hit tahun 1983 kalau tidak salah.
Saya beberapa kali wawancara, lebih tepat ngobrol, dengan Bu Maharani tentang nostalgianya sebagai artis top masa lalu. Kebetulan dulu satu paroki di daerah Pagesangan. "Dulu saya memang artis. Sekarang orang biasa aja," katanya.
Saya sedang menikmati suara Maharani Kahar semasa muda. Membawakan lagu Desember Kelabu ciptaan A. Riyanto. Asyik juga lagu melankolis nan manis itu.
"Desember kelabu selalu menghantui setiap mimpiku!"
Desember kelabu hanya menyebabkan aku ngeruk salju.
BalasHapusTetapi " Tenda Biru " menyayat-nyayat kalbuku dengan sembilu. Entah siapa gerangannya yang mampu membuat pantun refrain yang sedemikian tajam.
Tanpa Undangan Diriku Kau Lupakan,
Tanpa Putusan Diriku Kau Tinggalkan,
Tanpa Bicara Kau Buatku Kecewa,
Tanpa Berdosa Kau Buatku Merana.
Mea Culpa, Mea Culpa, Mea Maxima Culpa !
Dosaku akan ku bawa mati.
Itu lagu melankolis Tenda Biru yang pernah ngetop banget. Orang Indonesia umumnya doyan lagu2 macam itu. Khususnya di NTT.
HapusLagu2 campursari dan koplo di Jawa pun hampir sama pola syairnya.
Wis nasibe kudu koyo ngene
Nduwe bojo kok ra tau ngepenake
Seneng muring, omongane sengak
Kudu tak trimo, bojoku pancen galak
Saben dino rasane ora karuan
Ngerasake bojoku sing ra tau perhatian
Nanging piye maneh atiku wes kadung tresno
Senajan batinku ngampet ono njero dodo
Yowes ben, nduwe bojo sing galak
Yowes ben, sing omongane sengak
Seneng nggawe aku susah
Nanging aku wegah pisah