Sekarang bulan puasa. Masa Prapaskah di kalangan umat Katolik. Tidak lama lagi Minggu Palem masuk Pekan Suci. Orang Larantuka, Flores Timur, menyebut Semana Santa. Dari bahasa Portugis yang artinya pekan suci.
Berbeda dengan pekan suci di tempat lain, Semana Santa di Larantuka punya tradisi panjaaang. Sudah 500 tahun lebih. Warisan Portugal yang kemudian dilestarikan Kerajaan Larantuka. Raja Larantuka masih ada sampai sekarang. Bapa Raja ini berkepentingan agar tradisi lama tersebut dipertahankan dari generasi.
Sayang, gara-gara covid berkepanjangan, tradisi arak-arakan atau prosesi ribuan jemaat pada Jumat Agung ditiadakan. Prokes jaga jarak, hindari kerumunan, pakai masker dsb. Sudah dua tahun ini Larantuka, dan Flores umumnya, kehilangan tradisi dan kebanggaan itu.
Bagaimana dengan tahun ini?
Pekan Suci bulan April 2022?
Jumat Agung pada 15 April?
Apakah akan diadakan lagi?
Bukankah pandemi sudah melandai?
Vaksinasi sudah massal? Bahkan tiga dosis?
Debat panjang di media-media Flores Timur dan Lembata selalu riuh selama satu bulan terakhir. Intinya bukan Semana Santa jadi atau tidak tapi polemik seputar kata "festival". Rupanya orang-orang di sana ingin mengemas Semana Santa sebagai festival untuk menarik turis sebanyak-banyaknya. Semacam festival pariwisata.
Pro dan kontra sangat keras. Jauh lebih banyak yang kontra. Mereka menegaskan bahwa Semana Santa itu bagian dari liturgi Pekan Suci Paskah yang sakral. Tak baiklah kalau dipoles dengan festival dan nuansa-nuansa profan.
Saya sampai bosan membaca perdebatan khas orang NTT yang kadang terlalu semangat. Dan aku unfollow semua grup yang berbau Flobamora. Bikin pusing kepala saja.
Tiba-tiba Bapa Uskup Larantuka Msgr Frans Kopong Kung mengeluarkan semacam surat gembala. Intinya, Semana Santa tahun 2022 ini kembali ditiadakan. Alasannya kesehatan, pandemi covid belum lewat, capaian vaksinasi di NTT, Flores Timur, Lembata masih rendah dan sebagainya.
Ribut-ribut soal festival pun melandai meski belum hilang sama sekali. Teman-teman di Flores membandingkan dengan di Jawa yang bisa unjuk rasa atau demo ribuan orang. Atau balapan di NTB, Mandalika, yang juga dihadiri ribuan orang.
Kemudian ibadah-ibadah bulan Ramadan nanti pun bakal dinormalkan lagi. Tanpa jaga jarak dsb. Penumpang pesawat pun bebas, tak perlu jarak satu atau dua meter.
Mengapa arak-arakan Semana Santa yang cuma setahun sekali tidak boleh?
Hem... Saya perhatikan kepatuhan para klerus atau pemimpin-pemimpin Gereja Katolik terhadap protokol kesehatan memang sangat tinggi. Bahkan kelewat tinggi ketimbang asesmen satgas covid.
Ketika misa Natal lalu diperbolehkan jemaat hadir kapasitas 50 persen, imam-imam malah menerapkan aturan cuma 25 persen. Ketika tempat-tempat ibadah agama lain sudah lama beribadah langsung, gereja-gereja masih banyak misa daring.
Misa tatap muka sangat dibatasi. Harus daftar di aplikasi, sepengetahuan ketua lingkungan dsb. Cukup ribet. Karena itu, kita orang masih setia sembahyang misa daring yang tidak pakai syarat apa-apa.
Akar segala kekisruhan ini ada virus corona. Selama masih ada covid, PPKM, swab test dan tetek bengek lain maka kerumunan manusia dianggap memicu persebaran virus.. dan bikin orang sakit dan mati. Sementara di Ukraina sana ratusan atau ribuan mati tiap hari meski bukan karena covid.
"Ada atau tidak ada covid toh semua orang akan mati kalau sudah waktunya," kata teman di Sidoarjo. Dulu ia tidak percaya covid. Belakangan percaya setelah beberapa temannya jadi ahli kubur gegara covid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar