Semalam ada acara Ngaji Roso di Seloliman, Trawas. Dekat petirtaan Prabu Airlangga, Jolotundo, yang terkenal itu. Ngaji rasa di padepokan Mbah Gatot diikuti beberapa penghayat kepercayaan. Kejawen dan semacamnya.
Rumah panggung Mbah Gatot memang selalu jadi jujukan kawan-kawan dari Sidoarjo, Surabaya, dan sekitarnya. Ngobrol di situ biasanya ngalor ngidul tak ada habisnya. Mbah Gatot kelihatannya tidak terganggu meski fisiknya rentan karena usia.
Topik bahasan kali ini soal pawang hujan. Masih ada kaitan dengan Rara pawang hujan di Pulau Lombok. Yang action saat balapan MotoGP di Mandalika. Yang bikin heboh media sosial. Pro kontra luar biasa.
Mbah Gatot ternyata sudah bicara panjang lebar di YouTube. Di channel Ngaji Roso. Tentang kearifan lokal hingga ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pawang hujan janganlah dilihat sebagai klenik atawa spiritual kejawen.
"Itu bisa dikaji secara ilmiah," kata Mbah Gatot, pensiunan panitera PN Sidoarjo, penulis beberapa buku sejarah lokal.
Alumnus FH Universitas Brawijaya ini tidak tertarik menanggapi serangan gencar terhadap Rara si pawang hujan. Khususnya dari kalangan agamawan yang menganggap sirik, takhayul, klenik, dsb. Sebab sudut pandangnya berbeda.
Wong itu ritual kejawen. Di mana-mana ada pawang hujan di Nusantara ini. Mana ada hajatan besar yang tidak pakai pawang hujan? Bedanya, Mbak Rara ini beraksi ala pertunjukan teater atau kesenian tradisional.
Padahal lazimnya pawang hujan bekerja di balik layar. Antara ada dan tiada. Kalau pamer atau show malah kesaktiannya bisa berkurang. "Pawang hujan biasanya tidak menonjolkan diri," komentar saya sekenanya saja.
Rupanya ada penghayat kejawen dari Sidoarjo yang tidak terima. Ia justru sangat bangga dengan Rara yang mau tampil secara terbuka. Diliput luas di media massa. "Inilah saatnya kejawen tampil di depan umum," katanya.
Bapak itu bilang selama ini kejawen dan aliran-aliran kepercayaan malah dilecehkan di negerinya sendiri. Orang kejawen jadi minder. Ruang geraknya dibatasi. Urus KTP pun susah karena agama lokal tidak diakui oleh negara.
Obrolan pun berlanjut ke aliran kepercayaan, kejawen, sapta darma, pangestu, dsb. Juga nostalgia akan kejayaan Majapahit. Kemudian kalah secara politik dan budaya oleh kerajaan-kerajaan baru.
Saya tak kuat lagi mengikuti pengajian rasa budaya tempo doeloe. Ngantuk.
Conclusio nya bagaimana ? Bolehkah wong Jowo menunjukkan kejawaan-nya secara terang2-an, ataukah harus tetap merasa jowo minder, beribadah secara sembunyi2. Isin Mas lek kethok tonggo, engko jarene sirik.
BalasHapusSaya koq senang jika melihat Pak Jokowi berbicara dengan rakyat jelata pakai bahasa jawa halus. Panjenengan sampun semerep ? tanya Pak presiden kepada rakyatnya.
Ya.. pancet wae ngudo roso, ngaji roso. Masih sebatas curhat di kalangan sesama komunitas penghayat kepercayaan alias kejawen.
BalasHapus