Sudah setahun lebih saya tidak menyeberang ke Madura. Pulau yang hanya terpisah 5,4 kilometer dari Surabaya. Protokol kesehatan 5M, salah satunya mengurangi bepergian, membuat kita orang tidak bisa piknik di masa pandemi.
Syukurlah, kasus aktif makin melandai. Prokes masih ada tapi makin longgar. Tidak perlu lagi tes covid yang ribet, dan mahal, kalau mau naik pesawat atau kereta api. Juga tak ada larangan ke Pulau Madura.
Maka saya blusukan ke kawasan Jembatan Suramadu sisi Labang, Bangkalan. Ngopi dan ngobrol sama pemilik warung asli desa itu. Ibu itu curhat soal warung-warung yang sepi sejak pandemi. Pengunjung atawa wisatawan hampir tidak ada.
"Apalagi sekarang dibuka tempat isolasi OTG di sebelah itu. Tambah takut orang datang ke sini," kata ibu yang ramah itu.
Pemprov Jawa Timur memang membuka tempat isolasi di gedung BPWS sejak awal tahun. Antisipasi Omicron yang disebut-sebut ganas dan lebih mudah menular. Lokasinya di dekat warung-warung dan lapak pedagang di pinggir jalan itu.
Setelah ngopi saya geser ke pantai wisata dekat Jembatan Suramadu. Pantai Rindu kata warga setempat. Ada resto di atas laut yang bangunannya mirip kapal. Kapal Rindu. Kata "rindu" memang sedang inflasi di pantai dekat basis TNI AL di Batuporon itu.
Kapal Rindu rupanya lagi sepi. Tak ada penjaga satu pun. Turisnya ya cuma saya sendiri. "Sudah lama tidak buka. Gak ada pengunjungnya," kata ibu pemilik warkop persis di samping Kapal Rindu.
Warkop itu justru ramai. Ada lima atau tujuh bapak-bapak ngobrol ngalor ngidul. Topiknya soal minyak goreng. Kemudian perubahan karakter anak muda asli Bangkalan yang merantau di Surabaya.
"Mereka jadi berubah banyak. Sudah tidak seperti orang sini," kata seorang bapak yang mengaku pernah merantau empat tahun di Sumba Barat, NTT.
Suasana Pantai Rindu dengan resto kapal dan restoran lain di sebelahnya sebenarnya sangat menarik. Lebih bagus ketimbang di Suramadu sisi Surabaya yang masih polos.
Sayang, kawasan wisata itu belum banyak dikenal masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Belum lagi kondisi jalan dari Suramadu ke pantai itu yang sangat jelek. Belum lagi faktor X dan sebagainya.
If I could turn back time, akan aku putar balik ke tahun 1955.
BalasHapusKala itu rakyat jelata di kampung masih autark. Tidak pusing minyak goreng langka. Minyak goreng bikin sendiri dari kelapa tua yang tinggal petik di kebun sendiri. Minyak kelapa hasil klentik sendiri, dipakai untuk menggoreng makanan, untuk minyak rambut, minyak urut, body lotion, untuk bahan bakar lampu oplik.
Tidak perduli listrik mati, lha wong memang tidak ada listrik, kita tidur dan bangun bersamaan dengan ayam2 jago yang berkeliaran di tegalan. Padi dan beras hasil panen sawah sendiri. Lauk pauk, ikan melimpah di kali dan di laut. Lindung, kodok, kakul, genjer, kangkung, tinggal ambil di sawah. Belum ada pencemaran limbah plastik dan kimia di perairan.
Tiap laki punya satu istri, biar tidak manak terus-terusan. Belum pernah dengar ada istilah kawin kontrak ala Puncak, menyemai money dan mani untuk menuai kadroen mancung.
Tidak pernah dengar istilah BBM langka, kita jalan kaki, naik dokar, cikar, naik becak, sepada, atau naik spoor kluthuk.
Nekolim dengan demokrasi-, moral ganda-, lidah bercabang-nya, hanya ada di Jakarta dan kota2 besar lainnya.
Tentang wong londo hanya dengar dongeng dari wong yang tuwek, yang mungkin dirinya sendiri belum pernah ketemu londo secara pribadi.