Pagi ini mampir ke makam WR Soepratman di Jalan Rangkah, Surabaya. Pahlawan nasional, komponis, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Soepratman juga wartawan terkenal pada masa Hindia Belanda.
Terlambat memang nyekar dalam rangka Hari Musik Nasional. Tapi paling tidak buat mengenang seniman yang hari lahirnya dijadikan hari musik Indonesia. Bahwa musik punya peran dalam perjuangan bangsa kita.
Namanya nyekar tapi tidak pakai kembang setaman. Cuma sembahyang pendek di dalam hati saja.
Lalu mampir ke warkop dekat makam itu. Alhamdulillah, ada seorang bapak yang antusias baca surat kabar. Serius sekali. Tidak bisa diajak basa-basa atau wawancara.
Alhamdulillah, koran cetak masih diminati. Jadi rebutan bapa-bapa lansia atawa lao ren. Yang muda-muda fokus ke telepon seluler. Main media sosial, game, order online, kenalan dsb.
Saking asyiknya, mereka tidak peduli dengan orang yang mampir di makam Soepratman.
Indonesia, tanah yang mulia
Tanah kita yang kaya
Nation Building yang diidamkan oleh Soekarno melalui Pancasila, sudah 76 tahun berlalu, belum juga 100% terwujut. Mungkinkah WR Soepratman dengan Indonesia Raya nya bisa menyatukan rakyat dari Sabang sampai Merauke menjadi Satu Nation yang kompak. 你们还没有 " 万众一心 "! Maksudnya: Badan nya sudah bangun, namun JIWA NYA BELUM BANGUN.
BalasHapusMasih bingung terus2-an dengan kalimat: Si Belang agamanya apa ?
Si Pawang hujan agamanya apa ? Si Kadroen aliran apa, mazhab apa ?
Kebanyakan takbir dan halleluya.
Memang berat membuat Indonesia ini satu hati satu rasa, senasib sepenanggungan. Ratusan kerajaan2 kecil sudah bubar dan menyatu di NKRI.
BalasHapusYang paling berat itu masalah SARA, khususnya denominasi atau sekte2 agama. Ada kadrun vs cebong, mainstream vs khilafah dan sejenisnya. Sama2 Jawa bisa baku bunuh, sama2 Sumatera baku hantam, sama2 Kalimantan baku sikat karena perbedaan doktrin agama.