Sabtu, 12 Maret 2022

Mbok Siti wis wayahe

Tiga pekan lalu Mbok Siti masih terlihat sehat dan ceria. Masak nasi lodeh, rebung, telur cepok untuk rombongan dari Sidoarjo. Lalu ngobrol ngalor ngidul di samping petilasan atau semacam cagar budaya Majapahit di kawasan Jolotundo, Trawas, Mojokerto.

Beberapa kawan bertanya apa kabar Mbah Diyat, pengurus Situs Narotama. "Mbah Yat sudah nggak ada. Sudah lama," kata Mbok Siti.

Sabtu, akhir pekan lalu saya mampir ke situ. Di mana Mbok Siti? "Sudah gak ada," kata Koh Jang. 

Orang Tionghoa Surabaya yang sudah  lama minggat ke kawasan sejuk itu. Ia punya tempat tidur khusus yang disediakan Mbok Siti. "Sakit berat sekitar tiga hari lalu meninggal."

Emmm... apa karena covid? "Itu kuasa Tuhan. Sang Pencipta punya kehendak," kata Koh Jang yang sudah lama menekuni kejawen itu. 

Tionghoa yang satu ini sering pidato tentang Majapahit dan pentingnya menghormati para leluhur Nusantara. "Mbok Siti sudah tenang di alam sana. Kita orang yang masih harus berjuang di alam ini."

Koh Jang seperti biasa bicara panjang lebar tentang sangkan paraning dumadi. Saya jadi ingat banyak kenangan bersama Mbok Siti. Tempat makan utama di kawasan hutan perhutani itu.

Saya juga ingat orang-orang kampung di kawasan petirtaan suci Prabu Airlangga itu kurang percaya yang namanya wabah covid. Sejak awal corona, puncak pandemi, tidak ada yang pakai masker. Cenderung meremehkan covid.

"Alhamdulillah, di sini nggak ada yang mati karena covid," kata warga setempat.

Menghadapi orang-orang kampung seperti itu kita tak bisa mendebat. Percuma. Toh, manusia bisa mati kapan saja kalau sudah waktunya. Mbok Siti wis wayahe!

5 komentar:

  1. Wis wayahe ! Wis wayahe kuwi yuswane pinten ? Mulai usia 80 keatas, yo wis wayahe. Habis, mau minta sampai umur berapa ?
    Teman2-ku waktu masih muda ziarahnya ke Gunung Kawi, minta dadi sugih.
    Setelah sugih tenanan, lalu berubah dadi mualaf atau dadi haleluya.
    Sekarang usia kita sudah merangkak ke kepala delapan, mendadak aku dikuliahi supaya ikut latihan nafas Fa Lun Gong. Podo wedhi mati, tidak berani makan daging berlemak, tidak mau makan makanan yang manis atau asin. Takut kencing manis atau darah tinggi. Anti rokok, semua sopir dan pegawai yang perokok diancam, berhenti merokok atau dipecat.
    Mereka takut kena bau rokok, Passivraucher kata orang Jerman. Alhasil seisi rumah, babu, sopir, tukang kebon, satpam, semuanya ikut dadi Fa-lun-gong. Padahal ada dari mereka yang kaya karena punya pabrik rokok.
    Gara2 pandemi covid aku jarang keluar rumah, oleh istri-ku aku dibelikan sebuah sepedaan-hometrainer seharga 790,-Euro, ya seharga sebuah motor suzuki-bebek yang termurah. Jadi terpaksa harus ben dino ngengkol sepeda-sepedaan itu. Tiap hari mancal sejauh 4 Km.
    Satu setengah tahun aku training memejamkan mata sambil mendengarkan mantra-buddha, Namo Amituofo, Namo amituofo......, terus2-an. Sialan mendengarkan mantra yang diulang-ulang itu rasanya sangat lama, se-olah2 jam di monitor alat training itu sangat lambat jalannya, sangat membosankan.
    Sejak seminggu aku ubah, training sambil mendengarkan lagu2 nostalgia-indonesia. Jadi tidak bosan, hanya perlu mendengarkan 6 lagu saja, maka jarak tempuh 4 Km. sudah tercapai.
    Lacurnya lagu2 itu kebanyakan dikarang oleh Rinto yang dilantunkan oleh berbagai biduan wanita, Diana, Christina, Maya, Hetty, Rita, Iis,
    Meriam, dll. Sambil memejamkan mata, aku dengarkan kalimat2 lirik lagu-lagu itu secara seksama. Isinya adalah keluhan, kekecewaan, cacian, ratapan, harapan, kemarahan, tuntutan, pokoknya semua unek2 isi hati seorang wanita yang telah di-sia2-kan, diperdaya oleh seorang lelaki. "Buaya timbul disangkanya mati, jangan percaya mulut orang laki, berani sumpah tapi takut mati."
    Lagu2-nya Rinto, membongkar semua borok2 yang pernah aku perbuat. Setiap kali mendengar lagu2 semacam itu, aku pikir apakah Rinto juga merasa bersalah sehingga ingin Beichten, Confessio atau Mengaku dosa.
    Mendengarkan Namo Amituofo ber-ulang2 bikin bosan, tetapi hati lega.
    Mendengar keluhan, tuntutan para Mbak2-penyanyi bikin batin tertekan, ingin berteriak minta ampun, namun sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. Hanya bisa menyesal, meng-ingat2 dosa2 masa lampau, menerima hukuman Karma. Dasar wong lanang ora iso dipercoyo, janjine suloyo.

    BalasHapus
  2. Menarik sekali Siansen punya refleksi. Sangat mengena dengan kita orang. Kita punya laoban juga sangat ketat soal rokok. Kalau ketahuan merokok maka uang kesehatannya hangus.

    Makin tua makin banyak refleksi. Menikmati lagu2 lawas Rinto Harahap.

    Seandainya aku punya sayap.. terbang terbanglah aku.
    Kucari dunia yang lain.. untuk apa aku di sini.

    Lagu Terang Bulan itu kesukaan alm Bambang Thelo pelukis senior di Surabaya dan Sidoarjo. Setiap kali saya ketemu dia selalu bersenandung dan main harmonika.

    Terang bulan terangnya di pinggir kali
    Buaya timbul disangkanya mati
    Jangan percaya mulut laki-laki
    Berani sumpah tapi takut mati

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hook...tiadakah mata hati mu
      Hook...tak pernahpun aku berdusta
      Kau yang serong, aku yang salah
      Untuk apa ku disini
      Begini salah begitu salah
      Lebih baik kita cerai

      Hapus
    2. Kamsia untuk cermin nya !
      Aku jadi begini, karena engkau begitukan. Itulah dulu alasan yang aku pakai, untuk mengelabui diri sendiri, me-make up bopeng di muka-ku. Selalu menyalahkan orang lain.

      Hapus