Iseng-iseng saya coba ketik kata "Lembata" di arsip foto-foto tempo doeloe Universitas Leiden, Belanda. Wow, langsung muncul foto-foto eksotis sekitar tahun 1928 atau 1929.
Sangat menarik, unik, dan khas. Tapi bisa dianggap primitif atau melanggar norma susila dan agama, kata orang sekarang.
Perempuan-perempuan muda, tua, anak hampir semuanya telanjang dada. Tidak pakai kutang, bra, BH, atau apa pun namanya. Pun tidak tutup payudara dengan sarung.
Mereka pun tampak bersikap wajar saat difoto oleh orang bule Belanda. Tidak malu atau sungkan karena susunya terbuka. Padahal foto dari jarak dekat, closed up.
Ada keterangan di teks foto Belanda itu. Mulai dari Lamalera, Lerek, Atawatung, dan beberapa tempat lain. Itulah wajah polos apa adanya orang-orang kampung di Pulau Lembata tahun 1920-an.
Orang-orang Lembata, NTT umumnya, sudah pandai membuat tenun ikat. Kainnya dijadikan sarung. Tapi atasannya belum ada. Makanya wanita-wanita telanjang dada. Bapak-bapak juga tidak pakai baju.
Tahun 80-an saya masih lihat beberapa "memeng" (bahasa Lamaholot: nenek-nenek) di kampung di Pulau Lembata yang gayanya persis di foto Belanda itu. Telanjang dada. Tidak ada yang merasa ganjil karena memang sudah biasa. Tapi jumlahnya tidak banyak. Satu desa mungkin tak sampai lima memeng.
Wanita-wanita muda sudah lama meninggalkan kebiasaan memeng-memeng itu. Tapi kebiasaan pakai sarung sangat umum.
Bahkan sampai sekarang pun sebagian besar wanita di kampung-kampung Lembata pakai sarung ke gereja. Dianggap lebih sopan dan anggun ketimbang pakai kaos oblong atawa t-shirt.
Ukuran kesopanan di tanah air memang terus berubah dari masa ke masa. Kalau dulu wanita telanjang dada dianggap biasa, sekarang diminta tutup seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Cuma kelihatan matanya doang!
Kalau kelihatan rambutnya malah dianggap berdosa. Melanggar perintah Tuhan.
Mea culpa, mea maxima culpa!
Melihat buah terindah di dunia, lha koq Anda menggerutu Mea culpa, mea maxima culpa, seharusnya Anda bergembira sambil berseru Halleluja Halleluja Halleluja.
BalasHapusSaya lahir di pulau Bali dan hidup di Banjar yang terletak di pinggir kota, waktu kecil sudah terbiasa melihat nyonyo. Kami anak-anak ingusan nakal, justru mengabaikan keindahan buah-eva, yang kita intip adalah betis dan tumitnya mbok-mbok. Sesuatu yang terbungkus, itulah yang interessant. Seperti Ken Arok ter-gila2 melirik pahanya Ken Dedes.
Haleluya! Itu kalau masa lalu zaman Hindia Belanda. Masa kini orang jadi risi atawa berdosa melihat wanita telanjang dada di luar kamar macam itu.
BalasHapusItulah roda zaman dan jagat aneh-aneh.
Kalau tidak salah bakal dibuat tempat-tempat wisata syariah agar tidak mengganggu keimanan masyarakat. Alternatif untuk wisata Kuta atau Sanur yang dianggap kurang susila.
Syariah bagi saya sinonim "Kendali", atau Zügel bahasa nekolim nya.
BalasHapusKadroen kuwi jika lihat nyonyo di Kuta atau Sanur, bisa terganggu IMAN-nya, dan jikalau sudah terganggu, lalu berubah jadi onta-kenyang yang lepas kendali, suka jawil-jawil nyonyo mbok-mbok yang berjemur di pantai.
Dasar kadroen, yang harus dikendali bukan nafsunya sendiri, tetapi mbok-mbok nya yang harus dikurung dalam kawasan pakai pagar gedhek.
Susah menghadapi Kadroen, sangat rawan kalau kita menggunakan kata-kata bahasa Arab. Padahal bahasa hanyalah alat komunikasi belaka, namun oleh kadroen disakralkan.
Dalam hal berbangsa dan bermasyarakat, semuanya harus ada batas2-nya, hidup bermasyarakat harus DIKENDALI, DISYARIAHKAN, dipimpin, diatur, diberi batas. Jangan mau dikecohi, digobloki oleh Nekolim dengan kata-kata Demokrasi dan Kebebasan individu.
Undang undang dasar '45.
Sosialisme Gotong Royong ala Indonesia.
Demokrasi Terpimpin sesuai dengan Moral Tatakrama Indonesia.
Ekonomi Terkendali demi Kesejahteraan Rakyat Indonesia Bersama.
Kepribadian Kebudayaan Indonesia.
Mengapa Manipol-Usdek ditentang oleh Nekolim, yang berakibat terbantainya jutaan rakyat Indonesia ?