Kamis, 31 Maret 2022

Gedung Tua Cagar Budaya di Kembang Jepun yang Wingit

Mama tua asal Madura jualan kopi di emperan Kembang Jepun. Dekat Bank Mega d/h Bank Karman. Gedung-gedung tua di kawasan kota lama Surabaya itu memang banyak yang tutup. Ada tukang becak dan pengelana istirahat.

Saya pesan kopi tubruk. Pisang rebus dua biji. Mama asal Madura, tinggal di Pesapen, bicara dalam bahasa Madura. Selalu semangat dan bersyukur atas rezeki saban hari meski tidak banyak. Alhamdulillah, katanya.

Di depan mata ada Kya Kya. Gapura Kembang Jepun. Kawasan pecinan yang pernah jaya di masa lalu. Pernah dihidupkan jadi semacam pasar malam tapi kini lengang setelah magrib.

Di sebelah selatan jalan raya ada beberapa gedung tua. Kembang Jepun 165 ditempeli tanda bangunan cagar budaya. Bangunan kolonial yang masih lestari dan dianggap jadi penanda kawasan. Tidak boleh diubah, kata aturan undang-undang.

Dulunya gedung apa? Tak oneng, kata mama tua Pesapen itu. Meskipun sudah puluhan tahun jualan di situ, dia tak oneng (tahu) gedung apa di depannya. Dari dulu tutup terus, katanya.

Di Google pun tak ada keterangan. Cuma ditulis bangunan cagar budaya di Surabaya. "Pintu depan tutup terus sejak dulu. Biasanya ada pegawai masuk dari belakang," kata Suryadi yang bekerja di Kembang Jepun sejak pertengahan 1980-an.

Lumayan, Cak Sur tahu sedikit. Kembang Jepun 165 itu semacam kantor administrasi bangunan di kawasan Oud Soerabaia. "Orangnya selalu ngetik pakai mesin ketik lawas. Manual," kata lelaki asli Kaliasin itu.

Sembari nyeruput kopi tubruk, saya iseng periksa buku daftar telepon Surabaya tahun 1954. Perusahaan-perusahaan Tionghoa, Belanda, Arab, India, hingga pribumi masih eksis di Surabaya. Kembang Djepun, Kalimati, Petjinan Kulon, Tepekong, Kalimas, Bakmi.. dan nama-nama jalan gaya lawas lainnya.

Wow... akhirnya ketemu di buku telepon lawas koleksi orang Belanda itu. Bond van Huiseigenaren Jalan Kembang Jepun 165. Direkturnya Poeh Toeng Chan.

Kalau diartikan secara bebas: asosiasi para pemilik rumah. Mungkin itu yang dimaksud Suryadi sebagai kantor urusan administrasi untuk Surabaya Utara.

Gedung di sebelahnya, Kembang Jepun 163, juga sudah lama tutup. Puluhan tahun. Tapi banyak orang lama yang pernah tahu. Dulunya pabrik es balok. Pabrik es Kalimalang. Jalan pendek di selatan Kembang Jepun itu memang bernama Jalan Kalimalang.

Suasana kawasan itu memang jauh berbeda dengan di foto-foto Kembang Djepoen tempo doeloe yang meriah. Kini sudah meredup dimakan waktu. The glory is over! 

Mama tua pun berkemas-kemas. Mau kembali ke Pesapen.

Jangan mandi Kali Pesapen
Kali Pesapen banyak lintahnya
Jangan kawin noni Pesapen
Noni Pesapen banyak tingkahnya

Ayun ayun ayun in die hoge klapperboom...

Rabu, 30 Maret 2022

Libur Tsing Bing, HUT Khonghucu, HUT Sun Yat Sen

Minggu ini banyak sekali orang yang nyekar di makam. Bawa kembang kirim doa ke ahli-ahli kubur. Maklum, bulan Ramadan segera tiba.

Orang Tionghoa juga ramai-ramai nyekar. Bukan dalam rangka bulan puasa tapi Ceng Beng. Acara nyekar khas Tionghoa itu tempo doeloe disebut Tsing Bing. Setiap 5 April.

Yang menarik, dulu Tsing Bing jadi hari libur nasional hingga 1949. Setelah Belanda kembali ke negaranya, Tsing Bing pun tenggelam. Orang pribumi bahkan tak pernah tahu yang namanya Ceng Beng atawa Tsing Bing itu.

Daftar hari libur tahun 1949 sangat menarik. Kita jadi tahu bahwa dulu, era Hindia Belanda, ada empat hari Tionghoa yang dijadikan tanggal merah atawa libur nasional. Yakni Tahun Baru Tionghoa, Tsing Bing 5 April, Hari Lahir Khonghucu, dan Hari Lahir Sun Yat Sen.

Hari lahir raja, ratu, dan pangeran Belanda juga libur nasional.

Dari daftar hari libur nasional itu terlihat sekali betapa masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda doeloe punya tempat khusus. Meski statusnya oosterlingen, warga negara asing, orang Tionghoa dapat tempat khusus di mata pejabat-pejabat Belanda.

Saya tidak punya daftar hari libur pada tahun 1960-an atawa Orde Lama. Yang pasti, di masa Orde Baru semua yang berbau Tionghoa dihapus. Jangankan libur Tsing Bing, tahun baru Tionghoa alias Imlek pun dihapus. Apalagi Hari Lahir Confucius dan Hari Lahir Sun Yat Sen.

Libur tahun baru Imlek baru muncul lagi setelah Gus Dur jadi presiden. Libur Tsing Bing cuma ada di Tiongkok sana.

Puisi Pater Fritz Menyentuh Hati Gubernur NTT

Manusia tak hanya hidup dari roti tapi juga puisi. Mazmur adalah salah satu antologi 150 puisi. Belum Amsal, Kidung Agung, hingga Lamentasi atau Ratapan.

Karena itu, pater-pater senang puisi. Banyak sekali pastor asal NTT yang jadi penyair. Salah satunya Pater Fritz Meko SVD. Di sela kesibukannya sebagai imam katolik, Pater Fritz rajin menulis puisi. Juga main musik dan menulis lagu-lagu melankolis. 

Bahkan pater asal Timor ini juga bikin rekaman musik. Saya punya beberapa CD pater yang tinggal di Biara Soverdi Surabaya itu. Enak juga menikmati sajak dan lagu-lagunya. Mengajak manusia untuk metanoia. Kembali kepada Beliau.

Selama pandemi Pater Fritz kelihatannya sibuk berkarya. Dan kemarin meluncurkan buku puisi. Launching dilakukan di Kupang bersama Gubernur NTT Victor Laiskodat.

"Rencananya, waktu audiensi 30 menit, tetapi ternyata molor menjadi satu jam karena keasyikan bicara bersama beliau yang juga seorang Intelektualis. Beliau sungguh "Broad minded. Gayung pun bersambut. Kami hanyut dalam diskusi panjang," tulis pater yang lama bertugas di Kalimantan itu.

Menarik. Saya baru tahu Gubernur Laiskodat antusias dengan puisi. Selama ini ia dikenal sangat keras (dan kasar) saat pidato di depan rakyat. Blak-blakan dan kurang bijaksana ala pejabat.

"Dengar baik-baik, saya ini profesor penjahat. Jangan coba-coba lawan saya," begitu kira-kira ucapan Gubernur Laiskodat di Sumba.

Laiskodat sangat marah karena terlalu banyak pencuri sapi di Pulau Sumba. Sudah berkali-kali operasi tapi rupanya maling-maling lebih pintar. Polisi kelabakan. Laiskodat turun tangan.

Bukalah YouTube. Gaya bicara Laiskodat memang meledak-ledak. Tidak ada kalimat diplomasi, bahasa isyarat, apalagi puisi. Marah-marah melulu di NTT. Apakah NTT bisa maju dengan marah-marah?

 "Orang itu politisi keras yang kepala batu," kata seorang NTT di Jawa Timur. 

Karena itu, saya kaget gubernur yang juga kader Partai Nasdem itu ternyata senang puisi. Sajak-sajak Pater Fritz rupanya menyentuh hati sang pejabat. Haleluyaaaa!!!

Selasa, 29 Maret 2022

Kangen sarapan bentoel rebus di Malang

Kisruh minyak goreng sudah hampir empat bulan. Sudah banyak upaya pemerintah. Operasi pasar. HET nasional. Sidak pabrik. Buru mafia dan kartel.

Tapi hasilnya belum juga cespleng. Situasi makin rawan karena mau masuk bulan puasa. Goreng-gorengan laris manis. Permintaan migor, nama populer minyak goreng, naik drastis.

Presiden Megawati punya cara sederhana untuk mengatasi masalah migor. Cara khas ibu-ibu di dapur. Bikin lomba memasak aneka menu tanpa minyak goreng. Boleh masak apa saja asal enak rasanya.

"Telur kan tidak harus digoreng. Bisa direbus atau dikukus," kata Bu Mega di koran pagi ini.

Bukan hanya telur. Nasi pun tidak perlu digoreng. Ikan bakar, ikan panggang, daging bakar atawa sate juga enak.

Sebagai politisi, pimpinan partai berkuasa, omongan dan tindakan Megawati tentu menimbulkan pro kontra. Dianggap tidak menyelesaikan masalah pokok. Akar masalah migor langka apa?

Terlepas dari politik, tata niaga dsb, saya sudah lama menyoroti kebiasaan goreng-menggoreng yang berlebihan. Begitu sulit cari pisang rebus atau singkong rebus di warung-warung di Jawa Timur saat ini. 

Apalagi bentoel rebus atawa kukus. Padahal dulu di Malang di mana-mana ada bentoel yang bukan rokok. Ada semua di warkop-warkop Klojen, Kota Lama, Gadang, Blimbing, Lawang dsb.

Saya sering nostalgia ke warkop-warkop yang tempo doeloe punya andalan bentoel rebus. Tidak ada. Bahkan pemilik warung rupanya tidak kenal umbi yang jadi merek rokok buatan Malang itu.

Yang ada di warkopnya ya gorengan macam-macam. Ote-ote paling laris. Pisang goreng jarang karena mahal. "Saiki gak ono bentoel. Ada tapi kukus sendiri di rumah," kata Hadi arek Malang di kawasan belakang rumah sakit.

Bentoel ini enak sekali. Dulu biasa dijual di lapak PKL Barata Jaya bersama duren, alpukat, mangga dsb. Tidak banyak tapi biasanya tersedia. Saya biasa beli saat tinggal di Ngagel Jaya Selatan. 

Setelah lapak-lapak PKL dibongkar, normalisasi sungai, hilanglah bentoel itu. Para PKL itu entah ke mana. Apalagi di musim pageblug ini.

Bu Mega yang makin tua ingatkan kita, yang juga makin tua, untuk memasak tanpa minyak. Kurangi gorengan. Bikin menu sehat seperti pasien kencing manis.

Hidup bentoel (bukan rokok)!

Senin, 28 Maret 2022

Blog mati karena inersia

Blognya kok tidak aktif? 
Sudah mati ya?
Kok gak ada tulisan baru?

Banyak sekali pertanyaan seperti itu. Memang cukup lama saya tak bikin catatan ringan di laman ini. Catatan berat yang panjang barang laka di era media sosial yang padat, singkat, menarik.

Selama pandemi, dua tahun jalan, minat menulis catatan harian di blog memang sangat rendah. Pagebluk itu terlalu ngeri. Begitu banyak kenalan, teman, hingga keluarga dekat jadi korban keganasan virus corona.

Saya sendiri pernah kena dua kali atau tiga kali. Tidak tes swab tapi gejala-gejalanya sudah jelas covid. Gairah menulis untuk guyon, refleksi, jadi sangat berkurang. Lebih banyak ikut misa online lewat HP.

Karena itu, kadang sebulan cuma dua naskah, tiga, empat paling banyak. Blog yang baik minimal seminggu sekali ada update. Lebih bagus dua naskah seminggu.

Kita orang jadi malu dengan Mr Yu yang tiap hari menulis catatan menarik dan panjaaang.. dan viral. Padahal bos 70-an tahun itu sangat sibuk. Kita orang cuma sibuk nonton video di YouTube, nostalgia tempo doeloe di media sosial, atau piknik ke hutan.

Kebiasaan untuk menulis catatan harian jadi hilang. Inersia, istilah lawas di pelajaran fisika kelas A1 dulu. Kalau sudah inersia, kakaknya malas, maka sangat sangat sulit memulai lagi kebiasaan lama itu.

Inersia harus dilawan meski sulit. Bertahun-tahun tidak jalan kaki pasti tidak akan mau jalan kaki meski hanya satu dua kilometer. Padahal dulu tiap hari jalan kaki ke mana-mana di kampung halaman. Belum ada motor, mobil, sepeda pancal pun tak sampai 10 biji.

Bulan Maret ini saya coba lawan inersia itu. Lumayan, naskahnya sudah bisa di atas 20 biji. Tidak lagi dua atau tiga biji. 

Hapus Perang, Hapus Putin

Tsar Putin ingin hapus Ukraina. Lewat perang. Entah sampai kapan invasi sejak 24 Februari 2022 itu berakhir. Hanya Tuhan dan Putin yang tahu.

Paus Frans pun tak tahu. Pausnya Rusia, Patriarkh Kirill, mungkin tahu karena jadi penasihat spiritual sang tsar.

Paus Frans pekan lalu bikin upacara khusus. Penyucian dan penyerahan Ukraina dan Rusia kepada Bunda Maria, sang ratu damai. Semoga ada intervensi dari Mater Dei agar warga Ukraina kembali hidup dalam damai. Bersama tetangganya, Rusia.

Paus Frans kemarin kembali menyerukan agar perang segera dihentikan. Berita dari Vatikan berjudul:

Pope: Abolish war now, before war erases humanity from history

Hapuslah perang sekarang!
Sebelum perang menghapus manusia!

Hapus perang? Mungkinkah itu?

 Invasi Rusia ke Ukraina kembali menunjukkan betapa tidak mudahnya menghapus perang. Apalagi ada tsar haus kuasa dan darah macam Putin. Satu Putin saja sudah bikin NATO dan Amerika Serikat kalang kabut.

Bagaimana kalau ada tiga atau lima Putin? Bisa jadi manusia terhapus oleh perang di mana-mana.

Paus Frans:

"Before the danger of self-destruction, may humanity understand that the moment has come to abolish war, to erase it from human history before it erases human history!"

"Enough! Stop it! May the weapons be silenced. let us be serious about peace!"

Tsar Putin, Anda sudah tahu, tidak akan baca dan dengar seruan Paus di Vatikan. Ia punya paus sendiri di Moskwa yang selalu senada seirama. Paus Kirill malah pernah bilang Putin merupakan berkat Allah untuk Rusia.

Maka, tidak mudah menghapus perang dan menghapus Putin. Tapi tidak ada yang mustahil bagi Allah.

Minggu, 27 Maret 2022

Ngaji roso pawang hujan di Jolotundo

Semalam ada acara Ngaji Roso di Seloliman, Trawas. Dekat petirtaan Prabu Airlangga, Jolotundo, yang terkenal itu. Ngaji rasa di padepokan Mbah Gatot diikuti beberapa penghayat kepercayaan. Kejawen dan semacamnya.

Rumah panggung Mbah Gatot memang selalu jadi jujukan kawan-kawan dari Sidoarjo, Surabaya, dan sekitarnya. Ngobrol di situ biasanya ngalor ngidul tak ada habisnya. Mbah Gatot kelihatannya tidak terganggu meski fisiknya rentan karena usia.

Topik bahasan kali ini soal pawang hujan. Masih ada kaitan dengan Rara pawang hujan di Pulau Lombok. Yang action saat balapan MotoGP di Mandalika. Yang bikin heboh media sosial. Pro kontra luar biasa.

Mbah Gatot ternyata sudah bicara panjang lebar di YouTube. Di channel Ngaji Roso. Tentang kearifan lokal hingga ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pawang hujan janganlah dilihat sebagai klenik atawa spiritual kejawen. 

"Itu bisa dikaji secara ilmiah," kata Mbah Gatot, pensiunan panitera PN Sidoarjo, penulis beberapa buku sejarah lokal.

Alumnus FH Universitas Brawijaya ini tidak tertarik menanggapi serangan gencar terhadap Rara si pawang hujan. Khususnya dari kalangan agamawan yang menganggap sirik, takhayul, klenik, dsb. Sebab sudut pandangnya berbeda. 

Wong itu ritual kejawen. Di mana-mana ada pawang hujan di Nusantara ini. Mana ada hajatan besar yang tidak pakai pawang hujan? Bedanya, Mbak Rara ini beraksi ala pertunjukan teater atau kesenian tradisional. 

Padahal lazimnya pawang hujan bekerja di balik layar. Antara ada dan tiada. Kalau pamer atau show malah kesaktiannya bisa berkurang. "Pawang hujan biasanya tidak menonjolkan diri," komentar saya sekenanya saja.

Rupanya ada penghayat kejawen dari Sidoarjo yang tidak terima. Ia justru sangat bangga dengan Rara yang mau tampil secara terbuka. Diliput luas di media massa. "Inilah saatnya kejawen tampil di depan umum," katanya.

Bapak itu bilang selama ini kejawen dan aliran-aliran kepercayaan malah dilecehkan di negerinya sendiri. Orang kejawen jadi minder. Ruang geraknya dibatasi. Urus KTP pun susah karena agama lokal tidak diakui oleh negara.

Obrolan pun berlanjut ke aliran kepercayaan, kejawen, sapta darma, pangestu, dsb. Juga nostalgia akan kejayaan Majapahit. Kemudian kalah secara politik dan budaya oleh kerajaan-kerajaan baru.

Saya tak kuat lagi mengikuti pengajian rasa budaya tempo doeloe. Ngantuk.

Mas Amak ternyata pulang bersama delta

Pandemi selama dua tahun ini membuat kita orang kehilangan banyak kontak. Tidak tahu kondisi terakhir beberapa kawan lama. Eh, ternyata wis rampung. Selesai tugasnya di alam fana ini.

Kemarin saya lewat di depan eks Pabrik Gula Toelangan. PG terkenal yang diangkat Pramoedya Ananta Tour di novel Bumi Manusia. Saya ingat Amak Junaedi, kawan lama. Rumahnya tak jauh dari PG. Bapaknya dulu sinder di situ.

Apa kabar Mas Amak? 
Masih sering pimpin unjuk rasa
Bongkar kasus korupsi lokal?
Tidak takut dijadikan tersangka pencemaran nama baik?

"Mas Amak sudah gak ada. Sudah lama berpulang," kata seorang aktivis di Tulangan yang kenal Amak Junaedi.

Oh, Tuhan!

Rupanya Mas Amak sudah menghadap Beliau saat gelombang badai Delta tahun 2021 lalu. 

Cukup banyak kenangan bersama Amak. Dulu dia sering bikin lomba mancing di kolam dekat rumahnya. Pesertanya dari seluruh Sidoarjo. Ramai sekali.

Komunitas budayawan dan seniman juga sering cangkrukan di rumahnya. Sarasehan budaya Jenggala, Anggara Kasih, dan sebagainya. Rumah tua nan megah khas elite desa jadi tempat paling nyaman untuk ngobrol ngalor ngidul.

Amak lalu menghilang lama sekali. Lalu muncul lagi dengan sapaan Abah. Dari abangan jadi putihan. Sering pakai baju takwa di foto-fotonya. Tapi acara demo jalan terus. Bersama LSM Gempur Sidoarjo.

"Kita gempur terus. Pejabat-pejabat perlu dikontrol karena dewan kurang kritis," katanya. 

Amak selalu semangat dalam urusan gempur menggembur pejabat. Saking kerasnya wartawan-wartawan sering takut mengutip omongannya. Takut salah data yang berujung delik hukum.

Sebelum pandemi saya sempat ngobrol soal PG Toelangan. Nostalgia kejayaan pabrik gula di Sidoarjo masa lalu. Amak banyak tahu karena ayahnya karyawan pabrik gula dan punya kebun tebu yang luas.

"Kalau Sampean bahas pabrik gula di Sidoarjo gak usah jauh-jauh cari narasumber. Aku siap beri masukan," ujar pentolan LSM itu.

Setelah pandemi tidak ada lagi komunikasi. Nomor WA tidak aktif. Media sosialnya juga macet. Tentu Amak sedang sibuk cari data dan informasi untuk gempur koruptor lokal, pikir saya.

Umurnya belum 50 tahun. Badannya yang gempal tentu kuat menghadapi gempuran korona, pikir saya.

Ternyata Tuhan punya kehendak lain. Mas Amak dipanggil pulang ke alam baka. Sekitar tujuh bulan lalu. Saya baru tahu kemarin.

 Selamat jalan, Mas! 

Sabtu, 26 Maret 2022

Baba Alim ajak kita olang coba semua

Alim Markus sudah lama jadi bintang iklan. Sering nongol di televisi. ''Cintailah ploduk-ploduk Indonesia!''

Bos Maspion Group ini, Anda sudah tahu, agak pelat. Sulit mengucapkan huruf r. Kita olang seneng pake ploduk-ploduk Indonesia! Maksudnya ya, produk-produk Maspion.

Mengapa tidak pakai artis muda jelita sebagai bintang iklan? Yang lagi naik daun? Yang punya banyak pengikut di media sosial?

Tuan Liem punya prinsip sendiri. Ia pasang badan untuk mempromosikan produk-produknya. Agar lebih meyakinkan masyarakat sebagai konsumen. 

Beda dengan artis atau bintang iklan bayaran. Mereka cuma acting atawa main sandiwara saja di kamera. Belum tentu menggunakan produk yang dipromosikan itu.

Selain di televisi, Alim Markus juga jadi bintang iklan di surat kabar. YOU MUST TRY ALL. Begitu tulisan besar di iklan restoran di Jalan Pregolan 1 Surabaya. Resto milik Maspion juga yang diklaim makanannya enak semua. ''Paling enak,'' katanya.

Menunya gurami goreng, gurami bakar, gurami pesmol, sate gurami, mi kluntung, soto lamongan, tahu telor, mi ayam pangsit, dan beberapa lagi. 

''Kamu olang musti coba semua,'' begitu ajakan konglomerat yang bermarkas di Kembang Jepun itu.

Hemm... kapan-kapan kita orang pigi coba gurami bakar dan soto lamongan. Semoga cocok dan enak.

Sedekah recehan dan roti untuk Mas Kaipang

Pagi ini aku ngopi di depan minimarket di Krian. Ditemani roti tawar gandum mencontoh meneer en mevrow tempo doeloe. Roti gandum lebih sehat ketimbang roti biasa yang enteng. Pencernaan lebih bagus, kata dokter.

Lalu datanglah seorang ahli kaipang, anggota partai pengemis. "Minta duit," katanya sambil senyum.

Ada seribu perak. Uang kembalian itu diberikan ke Mas Kaipang. Bukannya bilang terima kasih, tapi agak protes. "Kurang, Pak!

Waduh... pengemis di zaman milenial ini memang beda. Tidak lagi nrimo dan matur nuwun meski dikasih uang recehan. Apa boleh buat, aku tambah 2.000. Diambil tapi lupa bilang terima kasih.

Mas Kaipang belum juga beranak. Rupanya dia ngiler melihat roti tawar gandung. Aku kasih satu iris. "Kurang, Pak!" 

Maka dikasihlah satu iris lagi. Diambil lalu ngalih ke meja lain. Minta sedekah di sebelah. Matur nuwune wis lali. Sudah lupa bilang terima kasih.

Tiba-tiba ada bisikan halus menyapa. Saat ini masa puasa. Saatnya memperbanyak sedekah. Tangan kiri memberi, tangan kanan tidak boleh tahu. Tidak boleh cerita siapa-siapa. Apalagi cuma sedekah recehan untuk Mas Kaipang yang lusuh itu.

Matius 6 : 2 :

"Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya."

Jumat, 25 Maret 2022

Jonas Pareira menikmati bukit berbunga di surga

Orangnya kelihatan sangar khas Flores. Tapi hatinya lembut. Selembut bunga-bunga indah di hamparan bukit berbunga. Bukit berbunga tempat yang indah.

Bung Yonas Pareira, seniman komposer asal Maumere, Flores, semalam berpulang ke pangkuan Bapa di surga. Usianya 85 tahun. Dapat bonus lima tahun merujuk ayat Mazmur.

Yonas Pareira pernah bikin heboh Nusantara pada 1980-an dan 1990-an. Gara-gara lagu melankolis Bukit Berbunga. Dipopulerkan Uci Bing Slamet. Lalu jadi sangat terkenal di mana-mana. Orang kota hingga pelosok NTT yang tak ada listrik punya menyanyi Bukit Berbunga.

Itu hikmah Natal, kata Yonas. "Karena lagu Bukit Berbunga ditayangkan di TVRI tanggal 25 Desember 1981. Aneka Ria Safari," kata Bung Yonas suatu ketika.

Sebelum Bukit Berbunga, Yonas sudah bikin banyak lagu anak-anak. Dibawakan Ira Maya Sopha, Tanamal, Dina Mariana dan banyak lagi artis cilik masa lalu. Tapi tidak ada yang heboh macam Bukit Berbunga.

Sejak itu nama Yonas Pareira yang tamatan SMEA di Ende itu melejit di pusaran industri pop nasional. Dia bikin lagu-lagu romantis dan puitis. Ada nuansa bunga-bunga indah.

Bukit Berbunga 2, Senyum di Musim Bunga, Bunga untuk Pahlawan, Bunga-Bunga Tersenyum Riang, Senja di Musim Bunga... dan entah bunga apa lagi.

"Saya bikin lagu sesuai karakter suara artis. Uci Bing Slamet sangat cocok dengan Bukit Berbunga," katanya.

Berkarya di Jakarta sejak 1970-an, Jonas Pareira boleh dikata tercatat sebagai komposer asal NTT yang jadi pembuka jalan bagi artis-artis asal NTT lain. Salah satunya Ingrid Fernandez. 

Ia bersama Bartje van Houten berusaha mengangkat nama Ingrid. Namun kurang sukses di belantika pop. "Kurang promosi," katanya.

Sekitar 400 lagu ditulis Yonas Pareira selama hidupnya. Sebagian besar dibawakan penyanyi-penyanyi wanita yang melankolis. Tapi ada juga lagu-lagu perjuangan macam Bersatu Kita Pemuda dibawakan Leo Waldy. Jamal Mirdad bawakan lagu Bunga untuk Pahlawan.

Di usia senja, 80 tahun, Bung Yonas tetap sibuk. Sesekali bikin lagu, main musik bersama musisi-musisi senior, senda gurau di media sosial. 

Dua pekan lalu saya sempat menggoda Bung Yonas soal Bukit Berbunga. Syair yang tiba-tiba muncul setelah melihat gadis cantik berbaju ketat nan wangi melintas di hadapannya.

 "Saya lihat ada dua bukit yang berbunga," kata kakek tujuh cucu yang suka humor lelaki itu.

Bung Yonas, selamat menikmati bukit berbunga di surga!

Tahi ayam gowes sepeda angin

Hangat-hangat tahi ayam. Hangatnya cuma sebentar. Itulah yang terjadi dengan nggowes sepeda pancal dan caring pagi hari. 

Sudah lama sekali saya tak melihat orang-orang berjemur pagi hari. Melahap vitamin D dari sinar matahari pagi. Malah orang makin menghindari matahari karena bikin kulit gelap. Tidak glowing.

Sudah lama pula saya jarang jumpai orang naik sepeda pancal ramai-ramai. Pun tak lagi terlihat di Tunjungan, Surabaya. Orang-orang masih ramai jalan-jalan menikmati Romansa, wisata heritage yang digaungkan Pemkot Surabaya.

Tapi tidak ada lagi rombongan sepeda pancal yang menguasai jalan raya. Yang ramai malah sepeda motor. Ada sepeda pancal tapi tidak banyak. Bisa dihitung dengan jari.

Membudayakan sepeda angin memang tidak gampang. Di negara jajahan Honda, Yamaha, Toyota, Suzuki, Daihatsu ini. Terlalu nyaman memang naik motor atau mobil pribadi. Bisa ke mana-mana kapan saja. Apalagi sepeda motor bisa blusukan ke gang-gang sempit.

Dulu, sekitar 15 tahun lalu, juga ada gerakan BTW. Bike to work. Sempat heboh di kota-kota besar di Jawa. Beberapa karyawan yang biasa ke kantor pakai motor atau mobil pun ikut BTW. Nggowes ke kantor.

Bahkan ada kawan lama yang bersepeda dari Sidoarjo ke Surabaya. Mandi keringat pasti. Tapi ada kamar mandi di kantor. Ganti pakaian kerja. "Capek tapi asyik," kata kawan itu.

Sayang, kebiasaan BTW itu tidak bertahan lama. Tidak sampai tiga bulan menyerah. Back to motor. "Selain capek, penggowes itu tidak aman di jalan. Bisa diserempet sewaktu-waktu," katanya.

Komunitas BTW pun sepertinya mati suri. Masih ada akunnya di media sosial tapi tidak aktif. Cerita-cerita tentang asyiknya gowes bareng ke situs-situs sejarah, tempat wisata, tak ada lagi.

Syukurlah, tadi pagi saya masih bertemu Djagat pelukis yang asyik bersepeda di kawasan tambak dekat Bandara Juanda. Mas Djagat ini memang onthelis sejati. Sebelum bersepeda jadi trending topic di masa pandemi, Djagat selalu nggowes sepeda tua atau sepeda muda ke mana-mana.

"Cari inspirasi sekaligus menurunkan berat badan," katanya. 

Kamis, 24 Maret 2022

Semana Santa di Larantuka, Festival, Putusan Uskup

Sekarang bulan puasa. Masa Prapaskah di kalangan umat  Katolik. Tidak lama lagi Minggu Palem masuk Pekan Suci. Orang Larantuka, Flores Timur, menyebut Semana Santa. Dari bahasa Portugis yang artinya pekan suci.

Berbeda dengan pekan suci di tempat lain, Semana Santa di Larantuka punya tradisi panjaaang. Sudah 500 tahun lebih. Warisan Portugal yang kemudian dilestarikan Kerajaan Larantuka. Raja Larantuka masih ada sampai sekarang. Bapa Raja ini berkepentingan agar tradisi lama tersebut dipertahankan dari generasi.

Sayang, gara-gara covid berkepanjangan, tradisi arak-arakan atau prosesi ribuan jemaat pada Jumat Agung ditiadakan. Prokes jaga jarak, hindari kerumunan, pakai masker dsb. Sudah dua tahun ini Larantuka, dan Flores umumnya, kehilangan tradisi dan kebanggaan itu.

Bagaimana dengan tahun ini? 
Pekan Suci bulan April 2022?
 Jumat Agung pada 15 April? 
Apakah akan diadakan lagi?
Bukankah pandemi sudah melandai?
Vaksinasi sudah massal? Bahkan tiga dosis?

Debat panjang di media-media Flores Timur dan Lembata selalu riuh selama satu bulan terakhir. Intinya bukan Semana Santa jadi atau tidak tapi polemik seputar kata "festival". Rupanya orang-orang di sana ingin mengemas Semana Santa sebagai festival untuk menarik turis sebanyak-banyaknya. Semacam festival pariwisata.

Pro dan kontra sangat keras. Jauh lebih banyak yang kontra. Mereka menegaskan bahwa Semana Santa itu bagian dari liturgi Pekan Suci Paskah yang sakral. Tak baiklah kalau dipoles dengan festival dan nuansa-nuansa profan.

Saya sampai bosan membaca perdebatan khas orang NTT yang kadang terlalu semangat. Dan aku unfollow semua grup yang berbau Flobamora. Bikin pusing kepala saja.

Tiba-tiba Bapa Uskup Larantuka Msgr Frans Kopong Kung mengeluarkan semacam surat gembala. Intinya, Semana Santa tahun 2022 ini kembali ditiadakan. Alasannya kesehatan, pandemi covid belum lewat, capaian vaksinasi di NTT, Flores Timur, Lembata masih rendah dan sebagainya.

Ribut-ribut soal festival pun melandai meski belum hilang sama sekali. Teman-teman di Flores membandingkan dengan di Jawa yang bisa unjuk rasa atau demo ribuan orang. Atau balapan di NTB, Mandalika, yang juga dihadiri ribuan orang. 

Kemudian ibadah-ibadah bulan Ramadan nanti pun bakal dinormalkan lagi. Tanpa jaga jarak dsb. Penumpang pesawat pun bebas, tak perlu jarak satu atau dua meter.

Mengapa arak-arakan Semana Santa yang cuma setahun sekali tidak boleh?

Hem... Saya perhatikan kepatuhan para klerus atau pemimpin-pemimpin Gereja Katolik terhadap protokol kesehatan memang sangat tinggi. Bahkan kelewat tinggi ketimbang asesmen satgas covid.

Ketika misa Natal lalu diperbolehkan jemaat hadir kapasitas 50 persen, imam-imam malah menerapkan aturan cuma 25 persen. Ketika tempat-tempat ibadah agama lain sudah lama beribadah langsung, gereja-gereja masih banyak misa daring.

 Misa tatap muka sangat dibatasi. Harus daftar di aplikasi, sepengetahuan ketua lingkungan dsb. Cukup ribet. Karena itu, kita orang masih setia sembahyang misa daring yang tidak pakai syarat apa-apa.

Akar segala kekisruhan ini ada virus corona. Selama masih ada covid, PPKM, swab test dan tetek bengek lain maka kerumunan manusia dianggap memicu persebaran virus.. dan bikin orang sakit dan mati. Sementara di Ukraina sana ratusan atau ribuan mati tiap hari meski bukan karena covid.

"Ada atau tidak ada covid toh semua orang akan mati kalau sudah waktunya," kata teman di Sidoarjo. Dulu ia tidak percaya covid. Belakangan percaya setelah beberapa temannya jadi ahli kubur gegara covid.

Paus Frans ajak sembahyang untuk Ukraina

Invasi Rusia ke Ukraina dimulai pada 24 Februari 2022. Saya pasti ingat karena bertepatan dengan open house acara ulang tahun di kantor. Kamis 24 Maret ini pertempuran antara pasukan Rusia dan Ukraina genap satu bulan.

Entah kapan perang yang tak jelas juntrungannya ini berakhir. Gempuran sanksi-sanksi dari USA, NATO, dan sebagainya tidak mempan. PBB juga mandul. Sebab Rusia punya hak veto. Begitu juga Tiongkok yang condong ke Rusia sebagai sesama komunis.

Rusia negara kaya raya. Ia bisa swasembada pangan, energi, dsb. Tidak perlu pasokan atawa uluran tangan Amerika dan sekutunya. 

Rusia juga mandiri untuk urusan agama. Ia punya semacam Paus sendiri. Patriark Kirill namanya. Gereja-gereja ortodoks sejak dulu menganggap Katolik Roma dengan Paus di Vatikan sebagai gereja yang perlu diluruskan.

"Hanya ada satu gereja yang benar. Gereja kita," kata Patriark Kirill alias Sirilus di YouTube.

Bapa Kirill jenggotnya sangat lebat, anda sudah tahu, ada kewajiban untuk memelihara janggut di kalangan pimpinan gereja ortodoks. Bapa ini keras betul kalau menyerang Barat, khususnya Katolik, Protestan, dan gereja-gereja aliran  Barat. 

Pekan ini Vatikan membagikan seruan Paus Fransiskus kepada umat Katolik di seluruh dunia. Seruan untuk sembahyang bersama untuk Ukraina dan Rusia. Berserah diri kepada Bunda Maria.

Ave Maria, ora pronobis. Bantulah anak-anakmu yang tengah menderita di Ukraina. Bunda Maria dimintai tolong agar perang di Ukraina segera berakhir.

Saya belum sempat googling apakah pimpinan tertinggi Gereja Ortodoks di Rusia juga mendukung seruan Paus Fransiskus itu. Yang pasti, dia anggap seruan Uskup Roma, sebutan orang ortodoks untuk Sri Paus, tidak berlaku untuk gereja-gereja timur.

Yang pasti, Patriark Kirill dan jemaatnya juga sembahyang tiap hari. Berdoa agar perang segera berakhir. Terlalu lama perang selama dua bulan, tiga bulan, satu tahun, dua tahun.. tentu membawa korban nyawa dan harta lebih banyak lagi. Lama-lama semua laki-laki di Ukraina gugur demi membela negaranya.

Kaget melihat motor plat EB di MERR Surabaya

Sudah lama sekali saya tidak melihat mobil, truk, apalagi motor dengan plat nomor EB melintas di jalan raya Surabaya. Ada satu dua truk di kawasan Kenjeran, Kalimas, hingga Tanjung Perak. Tapi sangat sedikit. Setahun tidak sampai 10.

Sepeda motor plat EB yang sangat langka. Bisa jadi 10 tahun baru kepergok satu motor. Bisa jadi 15 tahun atau 20 tahun. Itu pun nasib atau kebetulan saja.

Orang NTT di perantauan di Jawa, Kalimantan dsb memang jarang bawa sepeda motor dari kampung. Sebab ongkos kapal cukup mahal. Kadang malah lebih mahal ketimbang harga motor lawas itu. Lebih baik uangnya dipakai untuk panjar motor baru.

Bagaimana dengan KTP lokal untuk syarat beli motor baru? 

Bisa diatur. Yang paling aman ya pinjam KTP kerabat atau kenalan yang punya KTP Surabaya, Sidoarjo, atau Gresik. Urusan balik nama belakangan saja. Yang penting motor bisa dipakai secepatnya. Sebab sepeda motor adalah kendaraan terbaik dan efisien untuk mobilitas.. meskipun risiko kecelakaan juga tinggi.

Dulu, anda sudah tahu, sebelum ada NIK nasional dan KTP elektronik, ada istilah tembak KTP di Jawa. Semua bisa diatur asal tahu jalannya dan orangnya. Asal punya sedikit modal. Ono rego ono rupo. Ada uang ada barang.

Karena itu, sekali lagi dulu, anda sudah tahu, satu orang bisa pegang beberapa KTP. Ada KTP Flores Timur misalnya, KTP Jember, KTP Malang Kota, KTP Malang Kabupaten, KTP Sidoarjo. KTP Surabaya lebih sulit ditembak sejak dulu. 

Surabaya yang memang sudah sesak memang cenderung mempersulit pendatang baru jadi penduduk alias pegang KTP resmi. Surabaya hanya kasih Kipem: kartu induk penduduk musiman. Kita orang bertahun-tahun pegang Kipem. Tapi tetap berhak dapat pelayanan di puskesmas dsb.

Nah, karena KTP elektronik sangat tertib, canggih, terhubung nasional, tentu saja mafia KTP tembakan tidak lagi leluasa. Sudah dikunci. Karena itu, kemungkinan orang-orang luar pulau terpaksa membawa motornya ke Surabaya atau Jawa umumnya.

 Mungkin sungkan atau takut pinjam KTP rekan atau kerabat. Apalagi pendatang baru. "Saya bawa motor dari Manggarai," kata Kraeng asal Manggarai yang saya pergoki di Jalan Soekarno-Hatta, MERR, Surabaya.

Nama asli pria 30-an tahun itu tidak sempat nanya karena jalanan macet. Tapi semua laki-laki asal Manggarai biasa kami sapa Kraeng. Semua lelaki Ende dipanggil Eja. Semua lelaki Flores Timur dan Lembata dipanggil Ama. Semua lelaki Larantuka dipanggil No.

Kraeng itu bilang dia sudah lima tahun kerja di Surabaya. Ke mana-mana ya naik motor berplat nomor EB... itu. "Lebih enak bawa motor sendiri daripada beli seken," katanya.

Inilah pertama kali saya melihat motor plat EB lalu lalang di Surabaya. Kali terakhir sekitar 15 atau 20 tahun lalu. Begitu lihat tulisan EB, wuih.. terkejut sekali karena sangat langka. Binatang komodo yang juga asal Manggarai mudah dilihat kapan saja di kebun binatang Wonokromo. Tapi motor plat EB? 

Oh ya, di NTT ada tiga plat nomor kendaraan. EB untuk semua kabupaten di Pulau Flores dan Pulau Lembata. ED untuk Pulau Sumba. DH untuk Pulau Timor, Pulau Rote, Pulau Sabu dan sekitarnya. 

Sama dengan EB, motor-motor plat DH dan ED pun hampir tidak pernah terlihat di jalan-jalan Surabaya dan sekitarnya.

Selasa, 22 Maret 2022

Pisang goreng diganti pisang rebus

Minyak goreng langka dan mahal. Sejak akhir tahun 2021. Katanya bahan baku sawit. Katanya ulah mafia. Katanya katanya katanya...

Yang pasti, Cak Mat belakangan ini lebih sering menyediakan pisang rebus di warkopnya. Pisang goreng, telo goreng, singkong rebus dikurangi. Pisang goreng malah tak ada lagi. Sebab harga pisang kepok yang bagus memang mahal. Jauh sebelum harga migor naik.

Aku malah senang dengan kehadiran pisang rebus. Ini yang saya cari sejak lama. Lebih sehat kata dokter. Tidak bagus makan gorengan. Sebaiknya makan makanan yang tidak digoreng. Macam mendiang bapaku sejak divonis sakit gula atawa diabetes.

Nasihat dokter memang penting. Tapi aku sendiri suka pisang rebus, telo rebus, singkong rebus.. polo pendhem karena kebiasaan di kampung dulu. Di pelosok yang tidak ada listriknya.

Minyak kelapa -- istilah minyak goreng di desa -- memang mahal. Lebih tepatnya: ribet memanaskan santan hingga jadi minyak kelapa. Bisa sehari penuh duduk di tungku hingga panen minyak yang volumenya tidak seberapa. 

Masa itu orang kampung belum biasa beli minyak goreng buatan pabrik di toko. Kalau bisa buat sendiri, mengapa harus beli? Apalagi uang di tangan pun pas-pasan.

Karena itu, memasak makanan pakai rebus memang jadi kebiasaan. Bahkan semacam budaya. Tidak ada yang namanya nasi goreng di pelosok itu. Nasi sudah matang kok digoreng lagi? Begitu pertanyaanku saat sekolah dasar.

Karena itu, meski sudah lebih lama di Jawa ketimbang NTT, saya masih heran dengan kebiasaan orang di sini. Singkong sudah direbus atau dikukus, matang, lalu digoreng lagi. Pakai minyak curah atau kemasan pabrik migor di Rungkut Industri, Tambak Sawah, dsb.

"Kalau digodhok thok gak payu," kata Anang, temanku yang punya warung gorengan di Prambon, Sidoarjo.

Yo wis... selera dan kebiasaan orang memang beda-beda. Tapi ada  baiknya di era mafia minyak goreng ini kita kembali ke kebiasaan nenek moyang. Memasak makanan tanpa minyak goreng.

Sabtu, 19 Maret 2022

Menikmati Kapal Rindu di Suramadu Bangkalan

Sudah setahun lebih saya tidak menyeberang ke Madura. Pulau yang hanya terpisah 5,4 kilometer dari Surabaya. Protokol kesehatan 5M, salah satunya mengurangi bepergian, membuat kita orang tidak bisa piknik di masa pandemi.

Syukurlah, kasus aktif makin melandai. Prokes masih ada tapi makin longgar. Tidak perlu lagi tes covid yang ribet, dan mahal, kalau mau naik pesawat atau kereta api. Juga tak ada larangan ke Pulau Madura.

Maka saya blusukan ke kawasan Jembatan Suramadu sisi Labang, Bangkalan. Ngopi dan ngobrol sama pemilik warung asli desa itu. Ibu itu curhat soal warung-warung yang sepi sejak pandemi. Pengunjung atawa wisatawan hampir tidak ada.

"Apalagi sekarang dibuka tempat isolasi OTG di sebelah itu. Tambah takut orang datang ke sini," kata ibu yang ramah itu.

Pemprov Jawa Timur memang membuka tempat isolasi di gedung BPWS sejak awal tahun. Antisipasi Omicron yang disebut-sebut ganas dan lebih mudah menular. Lokasinya di dekat warung-warung dan lapak pedagang di pinggir jalan itu.

Setelah ngopi saya geser ke pantai wisata dekat Jembatan Suramadu. Pantai Rindu kata warga setempat. Ada resto di atas laut yang bangunannya mirip kapal. Kapal Rindu. Kata "rindu" memang sedang inflasi di pantai dekat basis TNI AL di Batuporon itu.

Kapal Rindu rupanya lagi sepi. Tak ada penjaga satu pun. Turisnya ya cuma saya sendiri. "Sudah lama tidak buka. Gak ada pengunjungnya," kata ibu pemilik warkop persis di samping Kapal Rindu.

Warkop itu justru ramai. Ada lima atau tujuh bapak-bapak ngobrol ngalor ngidul. Topiknya soal minyak goreng. Kemudian perubahan karakter anak muda asli Bangkalan yang merantau di Surabaya.

"Mereka jadi berubah banyak. Sudah tidak seperti orang sini," kata seorang bapak yang mengaku pernah merantau empat tahun di Sumba Barat, NTT.

Suasana Pantai Rindu dengan resto kapal dan restoran lain di sebelahnya sebenarnya sangat menarik. Lebih bagus ketimbang di Suramadu sisi Surabaya yang masih polos.

Sayang, kawasan wisata itu belum banyak dikenal masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Belum lagi kondisi jalan dari Suramadu ke pantai itu yang sangat jelek. Belum lagi faktor X dan sebagainya. 

Memeng-memeng telanjang dada di Lembata

Iseng-iseng saya coba ketik kata "Lembata" di arsip foto-foto tempo doeloe Universitas Leiden, Belanda. Wow, langsung muncul foto-foto eksotis sekitar tahun 1928 atau 1929.

Sangat menarik, unik, dan khas. Tapi bisa dianggap primitif atau melanggar norma susila dan agama, kata orang sekarang.

Perempuan-perempuan muda, tua, anak hampir semuanya telanjang dada. Tidak pakai kutang, bra, BH, atau apa pun namanya. Pun tidak tutup payudara dengan sarung.

Mereka pun tampak bersikap wajar saat difoto oleh orang bule Belanda. Tidak malu atau sungkan karena susunya terbuka. Padahal foto dari jarak dekat, closed up.

Ada keterangan di teks foto Belanda itu. Mulai dari Lamalera, Lerek, Atawatung, dan beberapa tempat lain. Itulah wajah polos apa adanya orang-orang kampung di Pulau Lembata tahun 1920-an.

Orang-orang Lembata, NTT umumnya, sudah pandai membuat tenun ikat. Kainnya dijadikan sarung. Tapi atasannya belum ada. Makanya wanita-wanita telanjang dada. Bapak-bapak juga tidak pakai baju.

Tahun 80-an saya masih lihat beberapa "memeng" (bahasa Lamaholot: nenek-nenek) di kampung di Pulau Lembata yang gayanya persis di foto Belanda itu. Telanjang dada. Tidak ada yang merasa ganjil karena memang sudah biasa. Tapi jumlahnya tidak banyak. Satu desa mungkin tak sampai lima memeng.

Wanita-wanita muda sudah lama meninggalkan kebiasaan memeng-memeng itu. Tapi kebiasaan pakai sarung sangat umum. 

Bahkan sampai sekarang pun sebagian besar wanita di kampung-kampung Lembata pakai sarung ke gereja. Dianggap lebih sopan dan anggun ketimbang pakai kaos oblong atawa t-shirt.

Ukuran kesopanan di tanah air memang terus berubah dari masa ke masa. Kalau dulu wanita telanjang dada dianggap biasa, sekarang diminta tutup seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Cuma kelihatan matanya doang!

Kalau kelihatan rambutnya malah dianggap berdosa. Melanggar perintah Tuhan.

Mea culpa, mea maxima culpa!

Jumat, 18 Maret 2022

Pater Kurt Bart SVD setia sampai akhir

Satu lagi pater tua berbahagia di Rumah Bapa. Pater Kurt Bart SVD, pengurus Rumah Retret Kemah Tabor di Mataloko Flores. Pastor asal Jerman ini meninggal pada usia 87 tahun.

Akhir pekan lalu Pater Alex Beding SVD asal Lembata, NTT, berpulang dalam usia 98 tahun. Kedua pater ini sangat terkenal di NTT, khususnya Flores. Keduanya jadi bapa rohani pater-pater yang jauh lebih muda.

Kitab Mazmur bilang usia manusia itu 70 tahun. Kalau ada bonus ya 80 tahun. Kalau manusia bisa hidup di atas 80 tahun berarti bonusnya banyak. Terpujilah Kristus!

Berdasar catatan teman-teman di Flores, setidaknya ada 5 pater SVD lansia yang masih kerasan di Flores. Meskipun resminya sudah pensiun karena faktor usia. Tapi tidak mau pulang ke negara asalnya di Belanda, Jerman, dsb.

Pater Kurt Bart SVD ini salah satu dari 5 misionaris Eropa itu. Setelah kematian Pater Kurt maka tinggal 4 pater londo di Flores. 

Pater Kurt Bart SVD menjadi pater misionaris ke-520 yang bermisi sampai meninggal di tanah misi. Terlalu sulit meninggalkan Flores yang sering disebut pulau bunga - meski tak banyak bunga segar di sana.

Kita orang dari NTT, khususnya Flores dan pulau-pulau sekitarnya, tentu sangat kehilangan Pater Kurt. Tapi kita percaya beliau sudah bahagia di surga.

Pater Kurt telah mengakhiri pertandingan dan setia sampai akhir.

Setetes Air dari Lembata untuk Nusantara

Beberapa hari ini beredar video yang viral di kalangan warga NTT. Khususnya di perantauan. Ritual penyerahan air dan tanah dari bumi Flobamorata (Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata) untuk dibawa Gubernur NTT Viktor Laiskodat ke ibu kota Nusantara di Kalimantan.

Tentu tidak semua 22 kabupaten di NTT ikut serta. Diambil 7 atau 9 daerah sebagai perwakilan. Ada yang dari Flores, Sumba, Timor, Sabu Raijua, Lembata. Ada yang dapat jatah air, ada daerah yang sumbang tanah. Demi  Nusantara jaya.

Yang paling menarik bagi saya tentu prosesi penyerahan air dari Pulau Lembata. Sepertinya mewakili kawasan etnis Lamaholot yang meliputi Adonara, Solor, Lembata, Flores Timur daratan.

"Kame mete wai!" kata tokoh Lembata dalam bahasa dan logat yang sangat saya kenal.

Artinya, kami membawa air. Lalu ia merinci nama-nama tempat pengambilan air tanah itu. Meliputi seluruh Lomblen, nama lama Pulau Lembata, dari utara, selatan, timur, barat, tengah, dsb.

Saya dan beberapa orang Lamaholot di Surabaya dan Sidoarjo pun sempat diskusi ringan soal ritual ambil air untuk IKN itu. Tidak menyangka Presiden Jokowi punya ide unik seperti itu. Benar-benar kejutan yang menggembirakan.

"Nae punya pembisik2 itu org hebat yg lewo tana anaka kereen.. jadi selalu berasaskan temutu dan adat ama. Hullen  aja nae punya gaya bicara. Org desa yg mengkota... ☺️☺️☺️," komentar Ama Paul, tokoh Adonara di Sidoarjo.

Lihat saja Jokowi punya gaya bicara. Orang desa yang mengkota. Orang hebat dari kampung yang selalu berasaskan adat nenek moyang. Begitu kira-kira arti bahasa Lamaholot itu.

Masih dari Ama Paul: "Nae sendiri (Jokowi)  belajar paham tentang adat dan koda puken ama. Selalu pehen koda kirin. Beberapa kali hut RI nae pake pakaian adat..pe salah satu buktinya ama."

"Mantap e ama," kata Gabriel Hokon, orang Tanjung Bunga, Pulau Flores, yang sudah karatan di Surabaya. 

Bung ini lebih sering berbahasa Nagi alias Melayu Larantuka ketimbang Lamaholot. "Torang iko senang le," katanya. (Kita orang juga ikut senang).

Seremoni tanah dan air dari 34 provinsi di IKN sudah selesai. Sebuah langkah besar, revolusi mental, sudah dilakukan Jokowi. Relokasi ibu kota NKRI ternyata tetap dilakukan meski pandemi covid masih merebak.

Kamis, 17 Maret 2022

Sopir Truk di Kalimas

Kawasan kota lama di Surabaya Utara memang menarik. Khususnya Kalimas dan sekitarnya. Begitu banyak gedung tua yang pernah jaya pada masa Hindia Belanda. Bekas-bekasnya masih bisa kita nikmati meski sebagian besar mangkrak dan hancur.

"The glory is over!" begitu judul salah satu cerpen Misbach Yusa Biran yang paling aku sukai.

Petang kemarin, seperti biasa, aku cangkrukan di warkop dekat Kalimas. Tepatnya di kawasan Nyamplungan. Hiruk pikuk dan sibuk. Rupanya pandemi is over.

"Sampean sopir truk di Kalimas, ya?" tanya seorang pria 40-an tahun. Orang itu mengaku asli Surabaya. Dari kampung Sidodadi.

"Iya.. di kawasan sekitar sini lah," jawab saya sekenanya.

 Membenarkan bahwa saya memang sopir truk di Kalimas. Bongkar muat di dermaga lawas dekat situ.

Ia bertanya macam-macam soal truk, derita jadi sopir, hingga perkembangan di NTT. Termasuk balapan di Mandalika, NTB. "Maaf, saya kurang paham perkembangan di Flores atau NTT. Sebagian besar umur saya habis di Jawa Timur," kataku.

Lalu saya mengalihkan pembicaraan soal minyak goreng. Mafia migor, mafia sawit, dsb. Tapi rupanya ia malas membahas minyak goreng. Lebih fokus ke truk. 

Makanya saya segera menghabiskan kopi tubruk. Menyingkir dari situ. Lah, wong aku gak iso nyetir truk! Malah sering maki-maki sopir truk yang ugal-ugalan di jalan raya.

Sopir truk. 

Hehehe.. menarik sekali profesi yang butuh skill dan keberanian tingkat tinggi. Berani nyalib, wani ugal-ugalan, wani sembarang. Nek koen gak wani nyetir yo mancing ae nak tambak darjo!

Sebelum sopir truk, saya dikira satpam. Kemudian Pak Satpam beneran di daerah Rungkut Menanggal selama ini mengira saya sebagai tukang ojek online. Maklum, saya selalu pakai jaket Persebaya warna hijau ke mana-mana. Mirip jaket hijau Gojek atau Grab.

Di kawasan Jembatan Merah, dekat Taman Sejarah atau Taman Jayengrono, saya disangka tukang kebun. Petugas kebersihan yang merawat taman dari Pemkot Surabaya. Bukan potongan juragan atau pedagang. Juga bukan potongan wartawan.

Saya tidak pernah membantah atau klarifikasi. Satpam, sopir, tukang ojek, petugas kebersihan, tukang sampah... punya manfaat. Bayangkan kalau para tukang sampah di Surabaya mogok massal.

Selasa, 15 Maret 2022

Indonesia tanah yang mulia



Pagi ini mampir ke makam WR Soepratman di Jalan Rangkah, Surabaya. Pahlawan nasional, komponis, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Soepratman juga wartawan terkenal pada masa Hindia Belanda.

Terlambat memang nyekar dalam rangka Hari Musik Nasional. Tapi paling tidak buat mengenang seniman yang hari lahirnya dijadikan hari musik Indonesia. Bahwa musik punya peran dalam perjuangan bangsa kita.

Namanya nyekar tapi tidak pakai kembang setaman. Cuma sembahyang pendek di dalam hati saja.

Lalu mampir ke warkop dekat makam itu. Alhamdulillah, ada seorang bapak yang antusias baca surat kabar. Serius sekali. Tidak bisa diajak basa-basa atau wawancara.

Alhamdulillah, koran cetak masih diminati. Jadi rebutan bapa-bapa lansia atawa lao ren. Yang muda-muda fokus ke telepon seluler. Main media sosial, game, order online, kenalan dsb.

Saking asyiknya, mereka tidak peduli dengan orang yang mampir di makam Soepratman.

Indonesia, tanah yang mulia

Tanah kita yang kaya

Senin, 14 Maret 2022

Matur Nuwun, Dr Urip Murtedjo! Selamat Jalan

Malaikat maut bisa ambil nyawa kapan saja. Siapa saja, di mana saja. Karena itu, kita sering terkejut dapat kabar kenalan atau keluarga kita meninggal dunia.

Mengapa meninggal? Sakit apa? Apa.. hemm kena covid? Pertanyaan macam ini cenderung basa-basi saja. Yang pasti, sudah takdir ilahi.

Dokter Urip Murtedjo pun berpulang. Selamat jalan, Dok! Semoga bahagia di surga.

Setelah membaca berita baru saya tahu kalau dr Urip, spesialis bedah kepala dan leher, punya komorbid. Cukup banyak ternyata, kata dr Wahjuni sang istri.

Ada diabetes, hipertensi, ginjal. Karena itu, ia belum bisa divaksin. ''Papa rentan sekali terpapar covid,'' kata dr Bramantyo putra almarhum dr Urip.

Nah, banyak orang awam seakan tidak percaya seorang dokter juga punya komorbid yang banyak. Apalagi level pimpinan rumah sakit terbesar. Yang punya anak buah sekian ratus dokter yang hebat.

Yang pasti, dr Urip Murtedjo ini sangat terkenal di Surabaya. Foto dan pernyataan selalu muncul di koran-koran, televisi, radio, serta media online. Ia sangat piawai menjelaskan masalah medis yang ruwet dalam bahasa awam sehingga mudah dimengerti.

Apa saja yang ada kaitan dengan RSUD dr Soetomo selalu menarik kalau disampaikan dr Urip. Almarhum juga selalu siap melayani pertanyaan-pertanyaan awak media. Termasuk pertanyaan yang terlalu polos atawa kurang mutu.

Para pekerja media di Surabaya berutang jasa pada dr Urip. 

Terima kasih, Dok!

Sabtu, 12 Maret 2022

Terima Kasih, Pater Alex Beding SVD, Perintis Pers di NTT

Minggu lalu saya iseng-iseng membaca buku lama tulisan Pater Alex Beding SVD. Semacam memoar, refleksi, sekaligus kegundahannya tentang Pulau Lembata. Pastor pertama dari Pulau Lembata, NTT, ini prihatin dengan sikap pejabat-pejabat daerah yang dianggap mengabaikan aspirasi rakyat.

Sabtu petang ini, 12 Maret 2022, di bawah pepohonan kawasan Jolotundo, Trawas, yang sejuk muncul berita duka di media sosial. Pater Alex Beding SVD meninggal dunia. Resquescat in pace!

Pastor Aleksander Koker Beding SVD, nama lengkapnya, mengakhiri tugasnya di dunia pada usia 98 tahun. Tercatat sebagai pater tertua di NTT. 

Di usia jelang satu abad, Pater Alex tetap berkarya. Membaca, menulis, membaca, menulis... Usia boleh tua tapi tidak pikun. Dan tetap bisa jalan kaki ke mana-mana.

PA Beding, nama populer Pater Alex di media massa, tetap kasih wejangan untuk pater-pater muda yang sudah masuk generasi cucu dan cicitnya. Pastor asal Desa Lamalera, kampung ikan paus itu, tak henti-hentinya bikin refleksi lewat tulisan-tulisan di media massa.

Tahun 2021 lalu Pater Alex Beding merayakan ulang tahun ke-70 imamatnya. Yah.. 70 tahun lalu pertama kali ada orang Lembata yang ditahbiskan jadi pastor. Anak nelayan jadi seorang penjala manusia.

Betapa banyak karya Pater Alex di Flores, NTT, dan Indonesia. Ialah yang mendirikan Penerbit Nusa Indah di Ende, Flores. Penerbit yang paling banyak menerbitkan buku-buku rohani Katolik di Indonesia. Juga buku-buku humaniora, bahasa, pertanian, dsb. Yang best seller tentu buku-buku bahasa Indonesia karangan Prof Gorys Keraf, akademisi yang kebetulan satu kampung dengan Pater Alex Beding di Lamalera.

Ketika media komunikasi belum sehebat sekarang, media sosial belum ada, Pater Alex Beding sudah meyakini pentingnya media massa. Pers yang isinya sejalan dengan kebutuhan masyarakat NTT. Bukan media yang Jakarta sentris atau Jawa sentris.

Maka, Pater Alex Beding SVD menerbitkan surat kabar Dian pada 1973. Awalnya dua mingguan, kemudian jadi mingguan. Sebelum Dian, Pater Alex dan tim di Nusa Indah menerbitkan majalah atau buletin Bentara kalau tidak salah.

Surat kabar Dian sukses besar. Jadi bacaan utama hingga ke pelosok desa yang tidak punya listrik. Masih pakai pelita. "Membangun manusia pembangun," begitu konsep Pater Alex dengan Dian itu.

Setelah Dian, Pater Alex bikin majalah anak-anak. Namanya Kunang-Kunang. Ini juga sangat sukses di masanya. Sayang, Dian kemudian tergusur harian Flores Pos yang tidak sesukses Dian. Ini juga karena Pater Alex tak lagi aktif lantaran usia yang sepuh.

Saya beberapa kali bertemu Pater Alex Beding SVD di Biara Soverdi, Jalan Polisi Istimewa Surabaya. Sempat ngobrol panjang lebar seputar media massa, perkembangan pers di NTT, hingga memudarnya Dian dan Kunang-Kunang.

Obrolan ringan ini saya unggah ke blog. Ternyata jadi salah satu rujukan profesor di Belanda untuk menulis buku besar tentang Sejarah Gereja Katolik di Indonesia. Prof Karel Steenbrink yang terkenal itu pun minta izin saya agar foto Pater Alex Beding dimuat di bukunya. Prof Steenbrink meninggal dunia tahun 2021 lalu.

Tak ayal lagi, Pater Alex Beding SVD tercatat sebagai tokoh perintis pers di NTT. Beliau mendapat penghargaan khusus pada peringatan Hari Pers Nasional beberapa tahun lalu.

Kini, Pater Alex, sang pelopor, sang pembangun, nelayan penjala manusia itu sudah tenang bersama Sang Pencipta. Terima kasih banyak, Pater!

Mbok Siti wis wayahe

Tiga pekan lalu Mbok Siti masih terlihat sehat dan ceria. Masak nasi lodeh, rebung, telur cepok untuk rombongan dari Sidoarjo. Lalu ngobrol ngalor ngidul di samping petilasan atau semacam cagar budaya Majapahit di kawasan Jolotundo, Trawas, Mojokerto.

Beberapa kawan bertanya apa kabar Mbah Diyat, pengurus Situs Narotama. "Mbah Yat sudah nggak ada. Sudah lama," kata Mbok Siti.

Sabtu, akhir pekan lalu saya mampir ke situ. Di mana Mbok Siti? "Sudah gak ada," kata Koh Jang. 

Orang Tionghoa Surabaya yang sudah  lama minggat ke kawasan sejuk itu. Ia punya tempat tidur khusus yang disediakan Mbok Siti. "Sakit berat sekitar tiga hari lalu meninggal."

Emmm... apa karena covid? "Itu kuasa Tuhan. Sang Pencipta punya kehendak," kata Koh Jang yang sudah lama menekuni kejawen itu. 

Tionghoa yang satu ini sering pidato tentang Majapahit dan pentingnya menghormati para leluhur Nusantara. "Mbok Siti sudah tenang di alam sana. Kita orang yang masih harus berjuang di alam ini."

Koh Jang seperti biasa bicara panjang lebar tentang sangkan paraning dumadi. Saya jadi ingat banyak kenangan bersama Mbok Siti. Tempat makan utama di kawasan hutan perhutani itu.

Saya juga ingat orang-orang kampung di kawasan petirtaan suci Prabu Airlangga itu kurang percaya yang namanya wabah covid. Sejak awal corona, puncak pandemi, tidak ada yang pakai masker. Cenderung meremehkan covid.

"Alhamdulillah, di sini nggak ada yang mati karena covid," kata warga setempat.

Menghadapi orang-orang kampung seperti itu kita tak bisa mendebat. Percuma. Toh, manusia bisa mati kapan saja kalau sudah waktunya. Mbok Siti wis wayahe!

Jumat, 11 Maret 2022

Berdoa agar Tuan Putin Bertobat

Berdoa untuk Ukraina. 
Berdoa untuk korban perang di Ukraina.

Begitu ajakan di media sosial sejak invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Ajakan untuk berdoa itu sering sekali disuarakan di laman-laman Katolik.

Mengapa tidak ada ajakan berdoa untuk Tuan Putin? Bukankah perang ini inisiatif Putin? Mengapa kita tidak minta kepada Tuhan agar Putin segera menghentikan perang?

Kira-kira begitulah doa singkat saya beberapa hari terakhir. Mendoakan Putin. Mudah-mudahan perang ini segera distop. Terlalu banyak uang yang dibuang untuk senjata, logistik, dan berbagai kebutuhan perang.

Padahal, masih banyak warga dunia ini yang kelaparan. Banyak negara yang belum bisa vaksinasi rakyatnya karena tidak punya uang untuk beli vaksin Sinovac, AstraZeneca dsb.

Syukurlah, kemarin saya baca berita di laman Katolik. Seorang uskup mengajak umat berdoa untuk Putin. Agar segera bertobat. Mumpung lagi masa puasa, persiapan Paskah.

Mengapa tidak menahan diri untuk berperang habis-habisan di Ukraina? Berapa ribu nyawa lagi yang harus melayang?


"We pray for the defenders of Ukraine," Archbishop Borys Gudziak of the Ukrainian Archeparchy of Philadelphia said.

"We pray for the people, for the refugees. 

"We pray for the conversion of Vladimir Putin. We pray that as we begin Lent and go through it to your resurrection, we realize that every crucifixion is lived in you."

Bapa Uskup asal Ukraina itu ketar-ketir karena tahu rekam jejak Putin. Sejak di KGB hingga jadi penguasa tunggal Rusia.

Putin memang komunis tulen tapi tidak anti-Tuhan. Tapi dia dikabarkan tidak senang Gereja Katolik di Rusia dan negara-negara Eropa Timur, khususnya eks Sovyet. 

Vladimir Putin ingin gereja ortodoks di Rusia yang pegang supremasi. Katolik Roma dianggap membawa agenda-agenda Barat. Karena itu, dia bisa melakukan apa saja untuk menghancurkan gereja-gereja Barat, khususnya Katolik.

Ini juga yang membuat Putin tidak pernah menggubris seruan Paus Fransiskus agar menghentikan perang dan mengedepankan perdamaian. Apalagi seruan para kepala negara/pemerintahan yang didominasi blok Barat.

Sebagai umat beriman, kita percaya kuasa Tuhan mahabesar. Tiada yang mustahil bagi Tuhan. Meskipun hati Putin sekeras baja, kalau disentuh Tuhan bakal jadi lembut dan penuh kasih sayang. Insya Allah!

Sabtu, 05 Maret 2022

Menyepi di RSJ Sumber Porong Lawang

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr Radjiman Wediodiningrat di Sumber Porong, Lawang, cukup terkenal di Indonesia. Kalau ada orang sakit jiwa biasanya dirujuk ke sini. Termasuk pasien-pasien dari luar Jawa.

Dulu saya beberapa kali berkunjung ke Sumber Porong ini. Bukan sakit ingatan tapi mampir ke rumah mertua seorang Lembata, NTT. Tentu saja lewat kawasan RSJ Sumber Porong itu.

Entah sudah berapa tahun saya tidak mampir ke rumah sakit ingatan (istilah lama) yang dibuka tahun 1902 itu. Pembangunannya sendiri tahun 1884. RS tentu bukan tempat wisata atau mejeng. Apalagi mejeng di RSJ. Bisa ramai.

Namun, setelah membaca narasi dan foto di grup media sosial tentang tempo doeloe, saya jadi tertarik mampir ke RSJ Radjiman. Apalagi sedang santai di Lawang.

Suasana kawasan itu masih relatif sama dengan tahun 1990-an. Hijau, sejuk, nyaman, indah. Tak banyak orang melintas selain warga setempat. Paviliun-paviliun sedang tutup rapat. Tak ada pasien yang jalan-jalan cari angin di halaman.

Saya coba minta izin satpam untuk melihat sejenak salah satu paviliun tapi tidak diizinkan. Sebab dianggap tidak berkepentingan. "Kecuali keluarga pasien," katanya.

Apa boleh buat, saya hanya bisa mampir ke salah satu depot di ujung kompleks RSJ. Menikmati kopi pahit sambil mendengarkan lagu lawas di depot itu. Seger waras!

Kamis, 03 Maret 2022

Menikmati James Ingram di tengah covid

Salah satu kesibukanku di masa pandemi ini adalah nonton YouTube. Kadang dengar khotbah-khotbah lawas Billy Graham, pidato-pidato presiden Amerika Serikat, dan nonton rekaman konser musik. Terutama musik-musik lawas.

Dulu saya terlalu asyik dengar musik instrumental. Orkes simfoni, resital piano, aksi para instrumentalis jazz Amerika hingga Bubi Chen dari Surabaya. Kemudian musik-musik kontemporer yang aneh dari Slamet Abdul Sjukur dan sejenisnya. Ajaran almarhum Mas Slamet memang sangat mempengaruhi selera dan pilihan dengar saya.

Belakangan saya sadar bahwa terlalu banyak mendengar musik tanpa kata ternyata punya sisi negatif. Telinga saya jadi kurang terbiasa mendengarkan lirik-lirik dalam bahasa Inggris. Itu juga membuat lemah di listening. Sulit menangkap kata-kata bahasa Inggris dari penyanyi asli USA.

Maka, sejak pandemi saya biasakan dengar lagu-lagu Barat yang syairnya jelas. Bukan rap atau speed metal yang kata-katanya tidak jelas itu. Tempo moderato atau sedang-sedang saja.

Lagu-lagu pop lawas jadi pilihan terbaik untuk menikmati musik sambil belajar listening. Makin tua lagunya makin gampang ditangkap kata-katanya. Macam My Way, Love Me Tender, Baby Blue, I Don't Like to Sleep Alone etc etc.

Namun, dari sekian banyak itu saya menganggap James Ingram yang paling enak. Baik lirik maupun musikalitasnya. Lagu-lagu James Ingram bukan pop biasa tiga jurus ala country atau Rinto Harahap dan Pance di Indonesia. Musiknya awalnya sederhana tapi makin lama makin complicated alias ruwet.

Tidak mudah membawakan komposisi seperti itu kalau tidak didukung vokal hebat sekelas James Ingram atau Whitney Houston. Lagu-lagu dahsyat ala festival internasional. James Ingram, seperti juga Whitney, sudah tak ada tapi lagu-lagunya akan abadi.

I did my best
But I guess my best wasn't good enough
Cause here we are
Back where we were before

Seems nothin' ever changes
We're back to being strangers
Wondering if we ought to stay
Or head on out the door

Just once
Can we figure out what we keep doin' wrong
Why we never last for very long
What are we doin' wrong?

Rabu, 02 Maret 2022

Memento homo, quia pulvis es

Masih ada satu dua spanduk ucapan selamat tahun baru yang belum dicopot. Eh, kini sudah masuk masa puasa. Dimulai dengan Rabu Abu, 2 Maret 2022.

Sudah dua tahun tidak terima abu di gereja karena pandemi covid. Hanya bisa dapat berkat dan abu virtual saja. Daun palma yang usang pun tidak bisa diganti karena belum bisa leluasa misa langsung di gereja.

Apa boleh buat. Wabah corona ini ujian Tuhan yang harus kita lalui. Sebagai manusia lemah tak berdaya. Kita makin disadarkan betapa rapuhnya manusia ketika diserang virus corona yang super mikron itu.

Wahai manusia, engkau itu debu dan akan kembali jadi debu!

Memento homo, quia pulvis es, et in pulverem reverteris!

Rabu Abu membuat kita sadar bahwa manusia itu cuma noktah abu. Debu. Masa Paskah ini jadi momentum pertobatan sebelum... kita jadi debu.