Sabtu, 28 September 2019

Pater Dominikus Udjan SVD Dampingi Ketua DPRD Surabaya Dominikus Adi Sutarwijono

Empat pimpinan DPRD Kota Surabaya definitif periode 2019-2024 resmi dilantik, Kamis 26 September 2019. Ketua PN Surabaya Sujatmiko memimpin pengucapan sumpah dan janji ketua dan tiga wakil ketua dewan itu.

Ketua DPRD Surabaya kali ini adalah Dominikus Adi Sutarwijono, mantan wartawan Surya dan Tempo, yang dulu aktivis mahasiswa FISIP Universitas Airlangga. Yang menarik, dan tak banyak yang tahu adalah rohaniwan pendamping Mas Awi, sapaan akrab Dominikus Adi Sutarwijono.

Pastor itu tak lain Pater Dominikus Udjan SVD, Pastor Paroki Roh Kudus, Rungkut, Surabaya. Seperti pernah saya tulis, Pater Domi (sapaan akrabnya) satu daerah dengan saya di Lembata, NTT. Bahkan, ayahnya, Bapa Yosef Nuba Udjan (RIP), teman akrab Bapa Niko Hurek (RIP), ayah saya. Pater Dominikus Udjan SVD inilah yang memimpin misa requiem 40 hari meninggalnya Bapa Niko Hurek.

"Ini peristiwa bersejarah", kata saya kepada Pater Domi SVD. Kali pertama seorang pastor asal Lembata atau Flores atau NTT jadi rohaniwan untuk pelantikan ketua DPRD Surabaya. Kalau mendampingi pelantikan anggota dewan yang 50 orang itu sih biasa.

Juga mungkin pertama kali dalam sejarah ada orang Katolik yang jadi ketua DPRD Kota Surabaya. Kalau pada masa Hindia Belanda sih bisa jadi ketua dewan dijabat orang Belanda yang Protestan atau Katolik. Tapi sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945 kayaknya tidak ada. Baik itu Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konfusius, apalagi aliran kepercayaan.

Dominikus Adi alias Mas Awi ini lebih hebat lagi karena lolos dalam pemilihan langsung. Bukan pemilu ala Orde Baru yang tidak pakai dapil dan cukup mencoblos gambar partai. Perolehan suara Mas Awi juga tergolong tertinggi di dapilnya, Rungkut, Gununganyar, dan sekitarnya.

Saya pun iseng-iseng mengirim foto pelantikan 4 pimpinan DPRD Surabaya yang dimuat koran kepada Pater Dominikus Udjan SVD. "Menarik. Pater Dominikus mendampingi Dominikus Adi saat dilantik sebagai ketua DPRD Surabaya. Sama-sama Dominikus," begitu kira-kira teks foto yang saya tulis.

Pater Dominikus pun membalas. Menurut pater yang kakaknya juga pater itu, Mas Awi memang umat Paroki Roh Kudus, Rungkut, Surabaya. Bu Awi atau istrinya Awi juga pengurus harian dewan paroki. Karena itulah, Pater Dominikus sebagai pastor paroki yang mendampingi Awi untuk pengucapan sumpah dan janji.

Tugas dan tanggung jawab yang berat pun diemban Mas Awi dan semua anggota dewan. Harus bisa menjawab kepercayaan rakyat saat pemilu legislatif lalu. Apalagi citra parlemen yang sangat buruk sejak zaman Orde Baru (masih ingat 5D?) belum hilang sepenuhnya di era reformasi. Bahkan, makin banyak saja anggota dewan yang masuk penjara gara-gara korupsi.

Saat pelantikan anggota DPRD Surabaya bulan lalu, ada anggota dewan ditangkap lantaran korupsi jasmas periode lalu. Pimpinan dewan yang lama juga sudah pernah merasakan nikmatnya hidup di penjara. Anggota DPRD Sidoarjo (hampir semuanya) dulu pernah dijebloskan ke penjara gara-gara bancakan uang rakyat.

Semoga kasus-kasus memalukan ini bisa jadi cermin untuk Mas Awi dan semua anggota dewan di Surabaya. Selamat bekerja!

Kamis, 26 September 2019

Mahasiswa Bergerak! Siklus 20 Tahunan

"Apakah saya perlu demo?" tanya seorang mahasiswa di dekat kawasan Bandara Juanda, Sedati, Sidoarjo.

"Terserah lah. Kalian punya banyak informasi di internet, medsos, koran, televisi dsb. Silakan bersikap," kata saya diplomatis. Khas orang tua bijaksana yang memilih bermain aman.

Lalu, obrolan sambil lalu itu membahas nasib KPK, KUHP baru, dan sepak terjang elite politik di Senayan. Plus sikap Jokowi setelah terpilih lagi jadi presiden. Cidiro janji, istilah lagu campursarinya.

Karena itu, wahai para mahasiswa S1 yang masih muda (bukan S2 atau S3 yang tua), inilah momentum emas. Kesempatan untuk turun ke jalan. Sebagai kekuatan moral. Sebab masukan-masukan dan kritik lewat media massa + media sosial tidak lagi mempan.

Tidak banyak momentum bagi mahasiswa untuk kuliah umum di jalan raya, gedung parlemen, dan ruang publik. Setelah aksi fenomenal 1998, para mahasiswa cenderung mati suri. Lebih asyik menikmati revolusi teknologi dengan medsos yang masif. Kemewahan yang tidak pernah dinikmati mahasiswa sebelum tahun 2000.

Momentum penting lainnya sudah lama berlalu. Tahun 1974. Ada peristiwa Malari yang kemudian membuat rezim orde baru makin beku dan kaku. NKK dan BKK diberlakukan tahun 1978. Hingga 1998. Total jenderal 24 tahun.

Sepertinya ada siklus 20 tahunan. Tahun 2019 ini muncul lagi gerakan mahasiswa yang TSM: terstruktur, sistematis, masif. Gaungnya jauh lebih nyaring karena diresonansi media sosial.

Presiden Jokowi dan para politisi di Senayan tidak bisa anggap enteng. Apalagi menganggap jutaan mahasiswa di berbagai kota ini ditunggangi.

"Paling mudah menyalahkan yg bersandal di jalanan: disusupi, ditunggangi, direkayasa. Siapa yg menilai cara komunikasi publik istana? Yang sangat buruk? Ayo Dian Sastro, bantu komunikasi publik orang jalanan," tulis Bre Redana.

Mantan redaktur seni budaya Kompas ini menambahkan:

"Jangan dengarkan pernyataan2 dan pertanyaan2 yg bisa mengikis militansi. Itu theologi orang kalah. Pelihara militansi dan semangat antikemapanan seumur hidup. Terus berjuang mahasiswa."

Selamat berjuang!!!

Ia dan Dia, Nya dan Nyi ala Dahlan Iskan

Apa bedanya DIA dan IA? 
Mengapa berita-berita di koran selalu ditulis MENURUT DIA? Bukan MENURUT IA?

Begitu pertanyaan lama seorang mahasiswa magang di Sidoarjo beberapa tahun lalu. Saya jawab, "Sama saja. Sama-sama kata ganti orang ketiga tunggal. Laki-laki atau perempuan sama saja. Bisa pakai dia atau ia."

Mahasiswa yang doyan lagu pop itu agak kritis. Ia (atau dia) menganggap DIA sebagai kata ganti untuk perempuan. Kalau laki-laki pakai IA. Kok bisa begitu?

Dia, eh ia, memberi contoh lagunya Anji berjudul DIA. "Oh Tuhan.. kucinta DIA, rindu DIA... sayang DIA...."

Maksudnya Anji yang laki-laki tentu sayang kekasih yang berjenis kelamin perempuan. Maka dipakailah dia dan bukan ia.

"Ah, tidak juga. Dulu lagunya Vina Panduwinata juga berjudul DIA. Oh bulan tolonglah aku.. kucinta dia dst," kata saya.

Jadi, tidak ada kaitan syair lagu dengan diksi atau pemilihan kata dia dan ia. Sami mawon!

Koran-koran juga biasa menulis 'menurut dia' atau 'menurutnya' atau 'menurut ia'. Yang terakhir ini dulu khas Surabaya Post yang almarhum itu. Media-media sekarang tidak lagi pakai 'menurut ia' dan lebih suka 'menurut dia'. Tidak membedakan narasumber itu laki-laki atau perempuan.

Obrolan ringan soal bahasa di Sidoarjo beberapa tahun lalu ini muncul kembali saat saya membaca tulisan Dahlan Iskan tentang bulan bahasa. Ternyata sudah setahun ini Dahlan konsisten menggunakan IA untuk laki-laki dan DIA untuk perempuan.

Dahlan Iskan menulis:

"Alhamdulillah... bisa saya lakukan secara konsisten. Sampai hari ini. Yakni soal pembedaan "dia" dan "ia". Saya selalu menulis "dia" untuk perempuan dan "ia" untuk laki-laki. 
Awalnya saya ingin sebaliknya --dia untuk laki-laki. Tapi seorang pembaca DI's Way mengusulkan sebaliknya. Alasannya sangat logis. Saya pun mengikuti usul itu."
Mantan bos Jawa Pos itu bakal bikin terobosan baru. Masih terkait pembedaan IA dan DIA itu. Akhiran -nya yang bisa merujuk pria atau wanita bakal ia bedakan.

"Akan ada "nya" dan akan ada "nyi".  

Mulai tanggal 1 Oktober 2019, kalau saya menulis "katanya", berarti yang mengatakan adalah sosok laki-laki. Kalau saya nanti menulis "katanyi" berarti yang mengatakan adalah sosok wanita. 
Demikian juga dengan "miliknya" (pemiliknya laki-laki) dan "miliknyi" (pemiliknya perempuan).
Tentu langkah itu saya lakukan untuk masa depan. Agar karya-karya tulis Indonesia bisa mendunia. Lewat Google Translate. Dengan terjemahan yang akurat."
Agak nyeleneh memang. Tapi itulah Dahlan Iskan. Dia, eh ia, dari dulu sering membuat terobosan-terobosan kreatif di luar kotak kelaziman. Termasuk menerobos kaidah tata bahasa, tata kalimat, tata niaga, tata letak, tata usaha, dan tata-tata lainnya.

Akankah IA vs DIA, NYA vs NYI bakal berterima? Pasar juga yang menentukan. Tergantung pada pengguna bahasa Indonesia. 

Rabu, 25 September 2019

Semoga Jokowi Eling lan Waspada

Mahasiswa babak belur. Jokowi juga babak belur. DPR RI lebih babak belur lagi.

Persekongkolan antara Jokowi (pemerintah) dan parlemen di ujung masa jabatan membuat runyam segalanya. Memaksakan pengesahan sekian banyak RUU yang sejumlah pasalnya kontroversial.

Yang paling bikin rakyat sakit hati, khususnya mahasiswa-mahasiswa idealis, adalah revisi UU KPK. Komisi antirasuah ini bakal kehilangan gigi. Apalagi Firli dan 4 komisioner baru sepakat untuk memprioritaskan pencegahan.

"OTT itu ultimum premedium," kata Firli, ketua KPK yang baru yang suka pamer istilah asing saat uji kelayakan dan kepatutan.

"Istilahnya juga ngaco. Yang benar itu ultimum remedium. Bukan premedium," kata Rocky Gerung, dosen filsafat yang belakangan ini lebih banyak bicara di televisi.

Bukannya mendengar suara rakyat, Presiden Joko Widodo satu suara dengan parlemen. Tidak sampai seminggu Jokowi setuju revisi UU KPK. Maka KPK nanti tidak bakal sedigdaya sekarang. Apalagi ketuanya, Firli, punya filosofi seperti itu.

Jutaan rakyat kecewa. Jutaan orang yang saat pilpres memilih Jokowi pun sakit hati. Tidak menyangka Jokowi yang gembar-gembor akan memperkuat KPK tega melakukan pelemahan.

"Justru revisi ini untuk memperkuat KPK," kata Menkumham Yasonna Laoly. Logikanya sangat sulit diterima rakyat biasa.

Sukses main slintutan merivisi UU KPK, dewan makin bernafsu kejar tayang. Sebab masa jabatannya habis sebentar lagi. Lalu dipaksakan untuk menggedok 5 atau 7 rancangan undang-undang baru. Dan semuanya ada pasal-pasal kontroversial.

Salah satunya ya KUHP baru itu. Selama ini banyak orang lebih fokus ke pasal kumpul kebo, perzinaan, atau persetubuhan di luar pernikahan. Padahal sejatinya banyak pasal KUHP yang membahayakan kebebasan pers, mengekang kebebasan berpendapat, hingga melemahkan pemberantasan korupsi.

Syukurlah, mahasiswa tidak tinggal diam. Anak-anak muda milenial yang selama ini dianggap cuek dengan isu-isu sosial politik, lebih suka main ponsel dan media sosial ternyata bangkit dan bergerak. Turun ke jalan. Mengepung anggota dewan yang katanya terhormat itu.

Mahasiswa memang babak belur karena dihadapi aparat dengan pentungan dan gas air mata. Tapi sebetulnya Jokowi lebih babak belur lagi. Jokowi kena batunya. DPR tak ada urusan karena akan diganti minggu depan.

Jangan lupa, gerakan mahasiswa yang TSM (terstruktur, sistematis, masif) membuat Soeharto lengser keprabon pada 13 Mei 1998. Padahal Soeharto dan rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun sangat jauh lebih kuat daripada Jokowi yang gak ada apa-apanya.

Semoga Jokowi eling lan waspada!

Minggu, 22 September 2019

Festival Jazz yang Minim Jazz



Minggu lalu ada Jazz Traffic Festival di Pantai Ria Kenjeran, Surabaya. Minggu ini Jazz Gunung Ijen kawasan Licin, Banyuwangi. Seperti di Surabaya, penonton konser jazz aneka artis gado-gado itu ramai banget.

Saya sampai tidak dapat tiket Jazz Traffic 2019. Padahal saya pesan lima hari sebelum festival dua hari itu. "Tiketnya sudah sold out. Maaf," kata Aris, panitia dari Radio Suara Surabaya.

Alhamdulillah, tidak dapat tiket nonton jazz! Saya justru senang karena antusiasme masyarakat untuk menonton jazz makin bagus di Surabaya dan sekitarnya. Jazz bukan lagi musik yang sepi penonton.

Beberapa tahun lalu saya pernah nonton pertunjukan jazz di luar Gelora Delta Sidoarjo. Pianis kawakan dari Belanda Rene Helsdingen kolaborasi dengan musisi jazz papan atas Indonesia. Ada juga penyanyi jazz beneran macam Yura Yunita.

Sayang, penonton aslinya tidak sampai 20 orang. Lainnya panitia, gadis-gadis cantik penjual rokok MLD, hingga tukang sound dan pekerja panggung. Sejak itulah tak ada lagi konser jazz di Sidoarjo. Kapok!

Benarkah jazz sekarang sudah dicintai masyarakat Jatim? Hem.. perlu survei atau riset kecil-kecilan. Tapi dari amatan sepintas, panitia jazz di tanah air dalam 10 tahun belakangan ini makin pintar jualan. Pintar bikin kemasan yang menarik.

Bungkusnya memang festival jazz, tapi isinya macam-macam. Ada koplo, dangdut, campursari, pop anyar, pop agak lawas dsb. Bintang jazz traffic tahun lalu Via Vallen, ratu musik koplo asal Tanggulangin Sidoarjo. Bintang jazz traffic tahun ini Didi Kempot. Raja campursari dari Solo.

"Aku bela-belain ke sini untuk nonton Didi Kempot," kata seorang pria 40an tahun dari Malang. "Aku senang banget sama Raisa. Keren banget pokoke," kata seorang mahasiswi di Surabaya.

Lima atau enam orang yang saya tanyai secara acak ini mengaku tidak punya urusan dengan jazz. Juga tidak tahu artis atau band apa yang masuk genre jazz, blues, atau sejenis itu.

"Kalau penyanyi jazz itu kayak Andien," kata seorang ibu rumah tangga 40an tahun. Dia juga kenal Indra Lesmana, Trie Utami, atau Vina Panduwinata yang jazzy.

"Sekarang ini yang benar-benar jazz memang sangat sedikit," kata wanita yang saat kuliah senang mutar kaset itu.

Dari daftar artis penampil selama dua hari, boleh dikata tak sampai 20 persen yang benar-benar jazzer. Bahkan mungkin hanya 10 persen. Sebagian besar justru artis atau band yang tidak punya rekam jejak bermain jazz.

Tapi begitulah tuntutan zaman. Selera anak muda sekarang di era digital tentu beda dengan remaja-remaja di era analog. Yang penting festival jazz sukses, sold out, panitia untung. Agar tahun depan bikin festival jazz lagi. Bukan begitu?

Jumat, 20 September 2019

Pasal Kumpul Kebo, Selingkuh, Mbalon



Pemerintah dan parlemen rupanya punya komitmen untuk menegakkan moral rakyat Indonesia. Jangan ada (lagi) orang Indonesia yang hidup bersama di luar pernikahan yang sah. Istilah sekarang: kohabitasi. Istilah lawas: kumpul kebo. Lebih lawas lagi: samen leven.

Karena itulah, KUHP yang baru ada pasal khusus untuk kohabitasi. Kepala desa atau kepala kampung bisa melaporkan pasangan yang kumpul kebo di kampungnya. Misalnya, kamar-kamar kos dijadikan tempat gendakan.

Istri atau suami bisa melapor jika mengetahui pasangannya selingkuh. Misalnya ngamar di hotel atau vila. Lalu diproses hukum.

Bagaimana kalau yang diajak ngamar itu purel atau PSK? Kena pasal juga? Kelihatannya kena. Sebab pasal kohabitasi ini rada ngaret.

Bagaimana kalau turis dari Amerika atau Eropa yang belum terikat pernikahan ngamar bareng di hotel? Apakah nanti resepsionis harus tanya surat nikah tamu-tamunya? Agar tidak dibuat ngamar bareng pasangan yang bukan suami istri?

Ini yang rupanya jadi bahan gunjingan seputar RUU KUHP karya anak bangsa pengganti KUHP tinggalan Belanda itu. Kelihatannya pemerintah + dewan sangat concern pada moral bangsa. Tidak ingin anak bangsa mengalami degradasi moral. Bagus lah.

Pasal kohabitasi alias kumpul kebo ini sebetulnya sama dengan perda-perda di sejumlah daerah. Sama pula dengan qanun di Aceh. Sama-sama merujuk pada syariah. Beda dengan KUHP Belanda yang dianggap tidak bisa menjerat para pelaku kumpul kebo, pelacuran, perzinaan dsb.

Tapi bagaimana penerapan di lapangan nanti? Bagaimana dengan pasangan nikah siri? Pasangan kawin kampung yang diakui adat di NTT, misalnya, tapi belum sah sesuai hukum negara? 

Bagaimana dengan para gepeng yang bertahun kumpul kebo karena kesulitan mengurus pernikahan siri + pernikahan resmi?

"Jangan dipelintir ya! Kami sama sekali tidak punya maksud untuk memasukkan jutaan orang ke dalam penjara. Sekarang saja penjara sudah penuh," kata Menkumham Yasonna Laoly di televisi beberapa menit lalu.

Masalahnya, pasal soal kumpul kebo, gelandangan dihukum denda jutaan rupiah (duit dari mana?), ayam masuk halaman orang dsb sudah kadung bikin kita geleng-geleng kepala. Belum lagi masalah KPK, kebakaran hutan yang berulang, hingga menpora jadi tersangka korupsi.

Liem Ou Yen dan Sempoa Tiongkok

Rabu lalu, 18 September 2019, saya menemui Liem Ou Yen di Jalan Kembang Jepun 46 Surabaya. Tokoh Tionghoa ini baru saja pulang dari Tiongkok. Mendampingi beberapa doktor dan profesor pakar Islam untuk konferensi internasional tentang Islam di Tiongkok.

"Biasalah... saya jadi penerjemah bahasa Mandarin. Tapi seminar juga pakai bahasa Inggris," kata pengusaha yang aktif mengurus paguyuban dan organisasi sosial Tionghoa di Surabaya itu.

Liem Ou Yen lantas bercerita banyak tentang sejumlah situs menarik di Tiongkok yang ada kaitan dengan Islam. Maklum, selama ini Liem selalu menemani para kiai atau ulama NU, Muhammadiyah, MUI, PITI dsb untuk studi banding di Tiongkok. "Masjid di Tiongkok itu besar-besar dan bagus-bagus. Sangat modern," katanya.

Tapi saya lebih tertarik pada sempoa. Alat hitung khas Tionghoa ini selalu ada di depan bos UD Gunung Mas itu. Unik dan menarik. Di era digital ini, ternyata pengusaha Tionghoa sekelas Liem Ou Yen masih menggandalkan sempoa ketimbang kalkulator, komputer, atau aplikasi kalkulator di ponsel dalam mengelola bisnisnya.

"Saya punya kalkulator, tapi saya lebih suka pakai sempoa. Menghitung pakai sempoa itu pasti lebih cepat dan akurat," ujar Liem seraya tersenyum.

Liem kemudian meminta seorang tamunya menghitung dengan kalkulator. Liem juga menghitung pakai sempoa kesayangannya. Hasilnya, dalam waktu singkat Liem sudah menyelesaikan hitungannya. Sementara sang tamu baru selesai beberapa menit kemudian.

"Singkatnya, kalau kita sudah tahu cara pemakaiannya, maka menghitung dengan sempoa itu pasti lebih cepat dan hasilnya benar. Kemungkinan salah sangat kecil karena bilangan satuan, puluhan, ratusan, ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan bisa kita lihat di sempoa," ujarnya.

Liem Ouyen sendiri tidak menafikan kecanggihan kalkulator dan alat hitung modern lain, termasuk komputer. Hanya saja, menurut dia, hasil hitungan bisa keliru jika entry datanya salah. Belum lagi kalau terjadi gangguan (error) atau baterai lemah.

"Sempoa tidak pakai baterai atau listrik. Jadi, kemungkinan keliru hampir tidak ada," katanya.

Selain alasan praktis, menurut koordinator Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya ini, alat hitung tradisional sempoa ini bisa membantu meningkatkan kualitas memori seseorang. Orang tidak cepat lupa atau pikun. Dan, itu dirasakan betul oleh pria kelahiran Muara Teweh, Kalimantan Tengah, 31 Juli 1945, itu.

"Saya ini walaupun sudah tidak muda, tapi tidak cepat lupa. Saya bisa mengingat dengan cepat, ya, antara lain karena tiap hari menggunakan sempoa," katanya.

Karena itu, Liem mengusulkan agar para pelajar, khususnya murid sekolah dasar, diberi pelajaran berhitung dengan sempoa. Jangan membiarkan anak-anak termanja dengan kalkulator. Apalagi cuma main copy paste di internet.

"Waktu kami sekolah dulu, sempoa ini menjadi alat peraga dalam pelajaran berhitung. Dan saya masih merasakan manfaatnya sampai sekarang," katanya.

Minggu, 15 September 2019

Acara Kue Bulan di Kenjeran



"Acara kue bulannya kapan?" tanya saya kepada seorang nona Tionghoa di Kelenteng Sanggar Agung, Kenjeran, Surabaya.

"Kue bulan opo? Gak tau," jawab si nona sambil main ponsel.

Ada lagi beberapa pengunjung yang saya tanya. Tionghoa juga. Tapi tidak tahu juga. Hem... mungkin mereka cuma wisatawan biasa. Bukan jemaat kelenteng di pinggir laut itu. Bisa juga agamanya tidak ada hubungan dengan tradisi budaya Tiongkok.

Untung ada Bapak Teguh. Orang Tionghoa yang tinggal di Kalikepiting. Dia pegang kertas-kertas kuning berisi tulisan Tionghoa. Doa untuk keselamatan, katanya. Pak Teguh yang sangat paham acara kue bulan tadi.

"Acaranya Jumat malam (13/9/2019). Pas bulan purnama. Sembahyangan dan bazar kuliner nusantara," kata Teguh yang banyak bicara spiritualitas Tao itu. "Anak-anak Tionghoa sekarang memang banyak yang lupa tradisi leluhurnya. Kebarat-baratan."

Pesta kue bulan atau Mooncake Festival memang selalu dirayakan saat bulan purnama. Bulan kedelapan penanggalan Tionghoa yang berbasis bulan alias Imlek itu. Tanggal 15.

 Karena itu, orang Tionghoa yang biasa pigi sembahyang di kelenteng pasti tahu acara Tiong Chiu Jie yang ada kue bulan alias Tiong Chiu Pia itu. Nona-nona Tionghoa tadi bisa dipastikan tidak pigi sembahyang di kelenteng. Mungkin pigi gereja atau pigi wihara. Mungkin juga tidak pigi-pigi.

Dulu, biasanya Sanggar Agung ini bikin festival bulan purnama. Besar-besaran. Ada panggung gembira, artis dari Tiongkok atau dalam negeri, atraksi barongsai, bazar kuliner dsb. Kemudian ada pelepasan lampion harapan.

"Sekarang ini sembahyangan biasa saja," kata Teguh yang banyak tahu sejarah dewa-dewi Tiongkok itu.

Yang bikin ramai di kawasan Kenjeran Park alias Pantai Ria, dekat kelenteng, justru festival musik jazz. Sabtu dan Minggu. Banyak artis dan band yang tampil meskipun sebagian besar bukan aliran jazz.

Didi Kempot dan Raisa jadi bintang hari pertama. Sayang, tiket sudah ludes sejak pekan lalu. "Maaf, tiketnya sudah sold out. Saya tidak bisa bantu," kata Aris panitia dari Suara Surabaya FM.

Apa boleh buat. Saya hanya bisa duduk dan ngobrol bersama Pak Teguh yang banyak bicara soal kebatinan, surga dan neraka, naga hijau, naga merah dsb.

 "Manusia itu sering lupa sama Yang di Atas," katanya. "Terlalu banyak menghabiskan waktu untuk senang-senang, hura-hura, lupa sembahyang." 

Sabtu, 14 September 2019

Bos Bayar Parkir Rp 700.000

Dahlan Iskan baru menulis tentang jalan-jalan di Eropa. Yang bikin saya terkesan ada dua: jalan kaki dan parkir.

"Di Belfast saya mendapat hotel di pusat kota. Di depan gereja tua. Hotel ini tidak punya tempat parkir. Ada gedung parkir. Tiga blok dari sini, ujar petugas hotel.

Saya pun parkir di situ. Ongkos parkirnya: 20 pound. Sekitar Rp 300 ribu. Ya sudah. Masih lebih murah dari parkir di Washington DC tiga bulan lalu. Yang Rp 700 ribu itu," tulis Bos Dahlan, Sabtu 14 September 2019.

Kita di Surabaya atau Jakarta pasti heran. Hotel kok tidak punya tempat parkir? Tamu-tamu harus parkir cukup jauh. Terpaut tiga blok.

Bisa dipastikan hotel itu akan mati kalau di Indonesia. Mana ada tamu yang mau parkir jauh dari hotel? Orang Indonesia maunya parkir sangat dekat dengan hotel, gedung, pertemuan, kantor, toko, pusat kuliner, atau tempat ibadah.

Sudah banyak hotel atau penginapan yang tutup gara-gara tidak punya tempat parkir. Gereja-gereja lama pun banyak yang kehilangan jemaat. Pindah ke gereja-gereja baru yang kebaktiannya di hotel atau convention hall. Salah satu sebabnya ya lahan parkir itu tadi.

Pekan lalu kami mengikuti gathering di Trawas, Mojokerto. Saya bertemu beberapa pengelola vila di pegunungan yang sejuk itu. "Parkirnya langsung di dalam, Mas," katanya.

Parkir motor dan mobil di dalam kamar? Begitulah salah satu nilai plus vila atau hotel di pegunungan. Dus, tidak perlu jalan kaki 50 meter atau 100 meter ke kamar tidur.

Sepeda motor bahkan bisa dimasukkan ke dalam kamar. Nyaman banget... ala Indonesia. Juga tidak perlu bayar parkir sampai Rp 300 ribu atau Rp 700 ribu kayak di Eropa atau Amerika.

Akar masalahnya tidak lain hilangnya kebiasaan jalan kaki. Beli sabun atau minyak goreng pun harus naik motor. Padahal jaraknya tidak sampai 20 meter. Seperti parodi-parodi Sascha dari Kanada di YouTube itu.

Sascha sendiri bikin gebrakanyr dengan jalan kaki dari Jakarta ke Denpasar. Lebih tepatnya jalan kaki dengan sepatu roda. Ternyata kaki manusia yang kelihatan lemah itu bisa dipakai untuk berjalan sangat jauh.

Gara-gara orang Indonesia malas jalan kaki, banyak pengusaha yang bikin layanan drive thru. Orang tidak perlu turun dari mobil. Membeli ayam tepung cukup buka kaca mobil... beres.

Ngurus perpanjangan SIM juga ada layanan drive thru di Jalan Ahmad Yani Surabaya. Luar biasa memang orang Indonesia!

Jumat, 13 September 2019

Hilang minat nonton sepak bola

Persebaya lagi main lawan Kalteng Putra. Masih imbang. Banyak orang nonton bareng di kafe kawasan Rungkut, Surabaya, Jumat 13 September 2019. Tapi saya kehilangan selera menonton balbalan jowo - istilahnya Mas Arif, mantan wartawan sepak bola.

"Percuma nonton balbalan jowo," katanya. Teman asli Malang ini kemudian menyebut begitu banyak kebobrokan di sepak bola Indonesia.

Sudah lama saya diingatkan Arif soal balbalan jowo ini. Tapi saya masih sering nonton di televisi. Kadang langsung di stadion kalau di Sidoarjo. Ada keasyikan nonton langsung di lapangan. Bisa teriak-teriak dan maki-maki pemain, pelatih, atau suporter lawan. 

Ujaran kebencian atau caci maki tidak berlaku di stadion. Penjara bisa penuh kalau suporter yang misuh-misuh. Negara bisa bangkrut karena harus memberi makan para suporter yang dijerat pasal ujaran kebencian.

Nah, minat nonton balbalan jowo akhirnya hilang setelah menyaksikan laga timnas senior kita lawan Malaysia dan Thailand. Benar-benar hancur. Babak belur. Level permainan kita masih di bawah Malaysia dan Thailand. Jangan-jangan Indonesia sekarang satu tingkat dengan Timor Leste?

Apa gunanya Liga 1 kalau pemain-pemainnya memble di timnas? Pesepak bola yang tidak sanggup bermain selama 90 menit? Tidak bisa berlari mengejar bola karena napasnya habis?

Syukurlah, sekarang internet menawarkan begitu banyak pilihan. Video-video konser musik di Youtube sangat banyak. Saat Persebaya main, saya justru menonton rekaman wawancara Rhoma Irama dengan Alvin Adam. 

Saya jadi tahu artis idola Bang Haji ternyata Broery Marantika dan Tom Jones.

Babu Cantik di Brunei

Ada foto menarik tentang perjalanan di Brunei Darussalam yang dimuat Jawa Pos. Lapak semacam pujasera penjual jajan pasar. Tulisannya: KUIH MALAYA BABU CANTIK.

Hem... babu cantik!

Rupanya kata BABU di Brunei sifatnya netral. Tidak terkesan merendahkan orang yang bekerja sebagai pelayan atau pembantu. Malah dijadikan tagline untuk usaha kuliner jajan pasar.

Beda dengan di Indonesia. Kata BABU atau BATUR sangat dihindari di Indonesia. Cuma dipakai sang majikan untuk memaki-maki pembantu rumah tangga yang jahat. Misalnya pembantu curi uang, perhiasan, atau barang-barang di rumah lalu melarikan diri.

Babu memang kata asli bahasa Melayu yang kita angkat jadi bahasa Indonesia. Sebagian orang Indonesia paham artinya. Kecuali orang-orang kampung di pelosok NTT yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Kayak saya dulu di daerah Lembata. Sampai SMP pun susah berbahasa Indonesia karena tiap hari hanya berbahasa Lamaholot.

Nah, rupanya dalam perjalanan waktu kata BABU itu berubah nilai rasanya. Dari netral menjadi kasar atau tidak sopan. Istilah anak sekolahnya: mengalami peyorasi. Karena itu, kata babu selalu dihindari dalam percakapan dan tulisan sehari-hari di Indonesia.

Di media massa, khususnya koran, biasa dipakai PRT: pembantu rumah tangga. Tapi itu pun dianggap kurang halus. Makanya diganti lagi menjadi ART: asisten rumah tangga. Padahal pembantu itu ya sama dengan asisten.

Kalangan aktivis perempuan malah tidak suka istilah PRT atau ART. Apalagi babu atau batur. Mereka menyebut pekerja sektor domestik. Domestic worker.

Dengan begitu, para ART alias pekerja domestik ini mendapat perlindungan dan hak-hak seperti pekerja di pabrik-pabrik. (Kata buruh juga dianggap kasar dan tidak sopan. Dipakailah pekerja atau karyawan/karyawati atau naker alias tenaga kerja.)

"Mereka harus punya standar upah minimum, jam kerja, dsb. Pekerja domestik itu berat lho," kata seorang aktivis perempuan di Surabaya.

Melihat spanduk kuliner di Brunei ini (juga Malaysia) kelihatan sekali betapa kata-kata Melayu yang semula netral kini sudah berubah rasa dan nuansa. Kata-kata pribumi malah sering dianggap kasar. Sedangkan kata-kata asing dianggap keren dan terhormat.

Orang lebih suka disebut driver taksi atau ojol ketimbang sopir taksi atau tukang ojek. Satpam-satpam lebih suka disebut sekuriti.

Konjen Mr Gu: Hongkong Makin Suram



Ada apa dengan Hongkong?

James Chu, orang Tionghoa asal Banyuwangi, yang sudah lama jadi warga negara itu belum cerita apa-apa. James lebih suka berbagi rekaman sedang main band. Lagu-lagu campursari, keroncong, atau tembang kenangan.

"Kita orang gak usah bahas demonstrasi dan sebagainya. Itu sudah biasa di Hongkong," katanya.

Sejak muda James terlempar ke Tiongkok karena masalah kewarganegaraan. Dampak PP 10. Dia jadi kuli di Wuhan sambil main musik dari kampung ke kampung. Sampai akhirnya buka usaha di Hongkong.

"Tapi jiwa saya tetap Indonesia. Kita orang selalu pulang kalau ada kesempatan," kata pengusaha + pemusik yang biasa menghibur para buruh migran alias TKI itu.

Lantas, apa sebetulnya yang terjadi di Hongkong?
Demo kok berminggu-minggu?
Minta merdeka dari Tiongkok?
Satu negara dua sistem bagaimana?

Berita-berita tentang gejolak di Hongkong muncul tiap hari di koran-koran Indonesia. Apalagi di internet. Bos Dahlan juga bolak-balik membahas di laman pribadinya. Termasuk cerita tentang Joshua Wong yang kendel itu.

"Bosan baca berita soal Hongkong. Gak menarik lagi," kata pembaca setia koran di pinggiran Surabaya.

Jumat pagi ini ada artikel di koran. Yang nulis Pak Kucing sapaan akrabnya. Konjen Tiongkok di Surabaya Gu Jingqi. Mr Gu tentu saja menjelaskan posisi politik Beijing.

"Hongkong yang awalnya makmur saat ini terus tenggelam dalam kekacauan dan kesuraman dalam pemberontakan," tulis Mr Gu.

"Itu membuat setiap orang Tiongkok yang memiliki hati nurani merasa sangat sedih."

Konjen yang berkantor di Jalan Mayjen Sungkono ini juga menengarai ada kekuatan Barat yang anti Tiongkok berkolusi dengan pengacau di Hongkong. Orang asing berkali-kali ditemukan di antara kerumunan pengunjuk rasa.

Sayang, saya tidak bisa bertanya ke Joshua Wong dan kawan-kawan untuk meminta tanggapan mereka atas artikel yang ditulis Pak Kucing ini. Joshua dkk juga pasti tidak membaca tulisan dalam bahasa Indonesia ini.

Tapi kelihatannya warga Hongkong yang berunjuk rasa itu lebih suka hidup dalam tatanan British ketimbang tatanan Zhongguo. Mereka juga lebih suka berbahasa Kanton ketimbang Mandarin.

Semoga "kesuraman dan kekacauan" ini segera berlalu. Dan selamat menikmati kue bulan.

Kamis, 12 September 2019

Mengenang OM Sinar Kemala, A. Kadir, dan Ida Laila

Ida Laila (depan kiri) bersama personel lengkap OM Sinar Kemala, Surabaya.



Saya sering mendengar kisah seputar OM Sinar Kemala dari Bapak A. Malik Buzaid, salah satu personel OM Sinar Kemala yang tinggal di Desa Kureksari, Kecamatan Waru, Sidoarjo.

Kebetulan saya sering mampir ke rumah Abah Malik untuk tanya-tanya seputar kisah di balik lagu Keagungan Tuhan yang legendaris itu.
Pak Malik sangat respek pada almarhum A. Kadir, salah satu dedengkot musik melayu di tanah air. Jasa beliau sangat besar dalam memperkenalkan lagu-lagu berirama melayu [kemudian bermetamorfosa menjadi dangdut] di seluruh Indonesia.  Saya yakin, orang tua kita pernah menikmati lagu-lagu melayu ala OM Sinar Kemala dan orkes-orkes sejenis.

Nah, kaset ‘Mengenang A. Kadir’ ini diterbitkan Lokananta, perusahaan rekaman milik negara di Solo. Ada 18 lagu di sini. Saya duga, lagu-lagu ini ditransfer dari piringan hitam dengan aransemen musik orisinal, khas 1960-an. Sepenuhnya akustik.

SiSI A:
Keagungan Tuhan [karya A. Malik Bz.] penyanyi Ida Laila,
Pengantin Baru [A. Kadir] penyanyi A. Kadir,
Pujaan Hati [Fouzi] Ida Laila,
Pandangan Sekejap [A. Kadir] Ida Laila/A. Kadir,
Ingkar Janji [Fouzi] A. Kadir,
Tertawan [A. Malik Bz.] Nurkumala,
Di Lembah Duka [A. Kadir] Surayah,
Jangan Diragukan [Fouzi] A. Kadir,
Insan dan Seni [A. Malik Bz.] Fadiah.

SISI B:
Kembalilah Kekasihku [A. Kadir] A. Kadir,
Bercerai Kasih [A. Malik Bz.] Ida Laila,
Hanya Padamu [A. Kadir] A. Kadir,
Tiada Harapan [A. Rafiq],
Menanti Kekasih [A. Kadir] A. Kadir,
Berjumpa Kembali [A. Kadir] A. Kadir/Ida Laila,
Kisah Nan Lalu [A. Malik Bz.] A. Kadir,
Suara Jiwaku [Achmad] A. Kadir,
Terimalah [A. Malik Bz.] A. Kadir.

Saya beberapa kali memutar kaset lama ini untuk menangkap roh OM Sinar Kemala sekaligus struktur musik melayu 1960-an. Hmm.. ternyata A. Kadir bersama anggota orkes mempersiapkan album ini dengan sungguh-sungguh. Mulai dari pola melodi, ritme, aransemen, hingga seksi gesek [string section] yang mempermanis lagu.

Ida Laila pada 1960-an jelas masih remaja. Suaranya terdengar cempreng [ceper], agak sulit dengan nada rendah. Kenapa nada dasarnya tidak dinaikkan saja? Barangkala Pak A. Kadir sudah mempertimbangkan berbagai aspek sehingga memilih Ida Laila membawakan ‘Keagungan Tuhan’.

Yang jelas, sejarah sudah tercipta. Ida Laila dan OM Sinar Kemala sudah berhasil mengabadikan lagu ‘Keagungan Tuhan’ yang sangat religius itu. "Lagu itu memang cepat sekali populer ke seluruh Indonesia, bahkan Malaysia, Singapura, dan Brunei. Sampai hari ini pun orang masih menyanyikannya," kata A. Malik Bz., penulis lagu Keagungan Tuhan, yang dikenal sebagai oran dekat A. Kadir.

Kalau disimak baik-baik, musik dan syair OM Sinar Kemala sangat berbeda dengan lagu-lagu dangdut sekarang [tahun 2000-an ke atas]. A. Kadir dan kawan-kawan menampilkan nyanyian yang santun, berpetuah, refleksi, religius. Irama gambus pun kental terasa. Maklum, A. Kadir dan beberapa pemusik memang keturunan Arab yang paham benar tangga nada Timur Tengah.

Lagu melayu mirip kasidah ini terasa di Pengantin Baru, Pujaan Hati, Keagungan Tuhan…. Yah, hampir semuanyalah. Meski begitu, tema lagu sebagian besar tetap berputar-putar di soal asmara muda-mudi.
Menurut Malik Bz., pada 1960-an hingga 1970-an lirik lagu melayu memang sangat memperhatikan rima alias kesamaan vokal di setiap bait. "Nggak kayak sekarang, syair lagu dibuat sebebas-bebasnya asal jadi," kata Malik Bz. kepada saya beberapa tahun lalu. (Abah Malik sudah almarhum.)

Abdul Kadir lahir dan besar di kawasan Ampel, Surabaya Utara. Orangnya santun, berwibawa, dan hebat secara musikal. Suaranya tidak bagus-bagus amat, tapi enak didengar. Nyanyinya tidak ngoyo, bahkan cenderung pakai setengah suara. Mungkin karena disesuaikan dengan irama melayu masa itu yang belum dimasuki unsur rock & beat macam dangdut masa kini.

Karena suka musik, A. Kadir mengajak teman-temannya pada 1950-an untuk mendirikan Orkes Melayu (OM) Sinar Kemala di Surabaya. Saat itu orkes melayu belum banyak di Indonesia. OM lain yang terkenal dan berpengaruh, kata Malik Bz, adalah OM Bukit Siguntang pimpinan A. Chalik di Jakarta.

[Untuk orkes melayu nama pemimpin sangatlah penting. Dia bisa pemusik, penata musik, atau sekadar juragan yang menentukan merah-hitamnya orkes. Nama pemimpin selalu dicantumkan bersama orkesnya. Maka, kita kenal OM Sinar Kemala pimpinan A. Kadir. Kemudian OM Bukit Siguntang pimpinan A. Chalik. Sampai sekarang pun orkes melayu atau dangdut di Jawa Timur mempertahankan tradisi ini.]

Menurut A. Malik Bz, komposer sekaligus pianis dan pemain akordeon OM Sinar Kemala, selama 10 tahun lebih OM Sinar Kemala tidak berkembang meskipun sudah mulai dikenal masyarakat di Surabaya dan sekitarnya. Toh, mereka tetap berkarya, main di RRI Surabaya, atau mengisi tanggapan di berbaga hajatan. Para pemusik yang rata-rata muda, bujang, sangat menikmati hobi sebagai pemusik melayu yang disukai masyarakat pada masa itu.

Barulah pada 1961, OM Sinar Kemala melejit. Album demi album mereka rekam di PT Lokananta, salah satu perusahaan rekaman perintis di Indonesia. OM Sinar Kemala mencapai kejayaan pada 1964 dengan merilis hit Keagungan Tuhan karya A. Malik Bz. Adalah Ida Laila, vokalis remaja asal Surabaya, yang membawakan saat rekaman di Lokananta.

RRI Surabaya, sebagai wadah bermusik OM Sinar Kemala, kemudian menyebarkan lagu-lagu OM Sinar Kemala ke jaringan RRI di seluruh tanah air. Maka, di mana-mana orang menyanyikan lagu itu. Lalu, rekaman demi rekaman diproduksi di Lokananta.

Saat saya temui di Kureksari, Waru, Sidoarjo Abah Malik Bz mengatakan bahwa OM Sinar Kemala berhasil mencetak 80 album lagu-lagu melayu baik yang sukses maupun tak. Separo, 40 album, diproduksi Lokananta, Solo, dan 40 lainnya oleh Remaco, Jakarta.

Waktu terus berjalan, dunia hiburan Indonesia pada 1970-an awal dibanjiri film-film India. Salah satunya berjudul AWARA. Film India, kita tahu, tak hanya berisi cerita, tapi lebih-lebih musik dan goyangannya yang khas. Orang Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan, dan kota-kota besar pun demam artis India.

Mau tak mau, irama India pun terserap ke musik melayu 'klasik' tanah air. Nah, lagu melayu bercampur India ini kemudian menjadi cikal bakal dangdut.



Selamat Jalan Ida Laila Penyanyi Dangdut Legendaris




Penyanyi dangdut legendaris asal Surabaya Ida Laila meninggal dunia pada Kamis 12 September 2019. Pagi-pagi saat hendak nggowes sepeda tua, saya baca informasinya di WA. Dari wartawan Tempo di Surabaya, Mas Kukuh.

Mas Kukuh sekaligus minta sedikit informasi dari saya tentang Ida Laila. Khususnya lagu Keagungan Tuhan yang dinyanyikan Ida Laila bersama OM Sinar Kemala pimpinan A. Kadir pada tahun 1960an. Lagu itulah yang membuat nama Ida Laila mulai tenar di seluruh Nusantara. Termasuk Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam.

Eh, ternyata wawancara di WA itu diolah menjadi berita di https://www.tempo.co/read/1246908/pedangdut-ida-laila-tenar-setelah-bawakan-lagu-keagungan-tuhan

Saya pun diberi atribusi: pengamat musik dangdut. Lumayan hehe...
Berikut reportase Mas Kukuh di www.tempo.co :




Pedangdut Ida Laila Tenar Setelah Bawakan Lagu Keagungan Tuhan


Editor: Kukuh S. Wibowo
12 September 2019 10:54 WIB


TEMPO.CO, Surabaya - Pengamat musik dangdut, Lambertus Lusi Hurek, mengatakan Ida Laila mulai tenar namanya saat membawakan lagu berjudul Keagungan Tuhan karya A. Malik Buzaid, pimpinan Orkes Melayu Sinar Kemala pada 1964. Sinar Kemala merupakan grup orkes Melayu yang didirikan di kawasan Ampel, Surabaya pada 1960-an.


Menurut Lambertus, Malik memilih Ida membawakan lagu ciptaanya karena bersuara jernih dan bagus dalam menghayati syairnya. "Ida Laila saat itu menjadi salah satu vokalis remaja bersama A. Rafiq dan beberapa artis lagi. Mereka tumbuh dari kampung Arab di Ampel Surabaya," kata Lambertus, Kamis, 12 September 2019.

Setelah itu Ida Laila membuat album duet bareng S. Ahmady, pimpinan Orkes Melayu Awara. Ahmady sejatinya juga anggota Sinar Kemala, namun memutuskan keluar dan berkarier sendiri. Bersama S. Ahmady inilah Ida menelorkan puluhan album lagu yang sangat terkenal pada zamannya. Selain Keagungan Tuhan, lagu-lagu Ida yang populer ialah Sepiring Berdua dan Munafik.

"Bahkan sampai sekarang lagu-lagu Ida bersama Awara masih sering diputar di radio ataupun di warung kopi. Mungkin Ida Laila ini artis dangdut klasik yang albumnya paling banyak di Indonesia," kata Lambertus.

Sebagai biduan dangdut, Ida Laila juga pernah menjadi salah satu narasumber penulisan buku berjudul Dangdut Stories karya Profesor Andrew Weintraub dari Pittsburgh University Amerika Serikat.

Ida Laila meninggal dunia Kamis dini hari tadi sekitar pukul 02.00. Ia mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Dr. Soedono Madiun dalam usia 75 tahun karena penyakit stroke. Rencananya jenazah warga Jalan Kanser Nomor 2 Ploso, Tambaksari, Surabaya itu akan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Rangkah Surabaya pada Kamis siang. (*)

Rabu, 11 September 2019

Tidak berani pegang timnas



Bagaimana kalau taruhan lagi? Saya pegang Thailand? Sampean timnas Indonesia?

Kali ini mas yang dari Gedangan, Sidoarjo, tidak berani. Takut kalah lagi. Dia sudah belajar dari pertandingan pertama timnas Indonesia vs Malaysia. Saat itu Indonesia kalah karena kehabisan bensin.

Percuma pegang timnas. Mainnya kayak rawon. Gak iso melayu. Napase gak kuat, kata pria 40an tahun ini di warkop kawasan Gubeng Surabaya tadi malam.

Indonesia memang kalah segalanya. Dipermalukan di rumah sendiri 0-3. Babak pertama lumayan, tanpa gol, babak kedua hancurrr.

Pemain Indonesia itu tidak bisa bermain 90 menit. Hanya bisa main satu babak. 45 menit lalu amblas. Demikian saya mengulang teori lama berdasarkan pengamatan saya menonton timnas senior dalam 10 tahun terakhir. Timnas U16 dan U19 justru bagus.

Mas itu dan beberapa penggila bola pun menimpali. Intinya memperkuat pendapat saya. Semuanya mengkritik pemain-pemain timnas yang banyak kelemahannya. Khususnya stamina yang habis.

Jadwal kompetisi terlalu padat. Pemain-pemain kami kelelahan, kata pelatih Simon dikutip koran pagi. Pemain-pemain sudah berjuang habis-habisan di lapangan, katanya ngeles.

Masih ada beberapa pertandingan yang bakal dilakoni tim Garuda. Tapi dua laga awal ini sangat merisaukan. Tak ada harapan untuk lolos. Main di kandang aja melempem. Apalagi bertanding di Malaysia, Thailand, Vietnam, Uni Emirat Arab.

Bagaimana kalau Indonesia lempar handuk aja? Tidak perlu bertanding lagi? Toh hasilnya bisa dipastikan kalah kalah kalah... melulu.

Kya Kya Kembang Jepun Dicat Ulang

Dua hari ini gapura Kya Kya Kembang Jepun dicat ulang oleh pekerja dari Pemkot Surabaya. Dalam rangka revitalisasi kota tua Surabaya. Program pemkot ini sudah berjalan tiga bulan.

Bangunan-bangunan tua era kolonial di kawasan Kembang Jepun, Karet, Panggung, Pabean dicat. Perlahan-lahan wajah kota lama, pecinan, mulai kelihatan lebih segar. Tidak kusam lagi seperti biasanya.

Wali Kota Risma memang ingin menjadikan kawasan kota tua hingga Ampel dan seterusnya sebagai destinasi wisata Surabaya. Agak telat memang karena masa jabatan Ning Risma berakhir tahun 2020.

Selama hampir 10 tahun menjabat wali kota, Ning Risma lebih fokus bangun taman-taman di berbagai kawasan. Juga bikin jalan pendamping alias frontage road yang terkenal itu. Penataan kota tua baru belakangan saja.

Hampir tiap sore saya ngopi di warkop dekat Kya Kya Kembang Jepun. Sambil ngobrol sama bu warung asli Madura yang tinggal di Bulak Banteng. Belajar bercakap bahasa Madura dengan penutur asli. "Kelihatan lebih indah," kata ibu penjual rujak manis asli Pulau Garam itu.

Kya Kya Kembang Jepun. Tahun 2003 jalan raya yang dulu bernama Handelstraat itu pernah dijadikan pusat kuliner. Makan-makan sambil menikmati tradisi budaya Tionghoa. Manajemen Kya Kya berkantor di Kembang Jepun 167. Persis di sebelahnya gapura khas pecinan itu.

Kya Kya cuma sukses menyedot pengunjung pada dua tahun awal. Tahun ketiga makin sepi. Tahun keempat apalagi. "Tahun 2007 itu tenant yang ada tinggal 30 persen. Sudah senen kemis," kata Freddy Handoko Istanto, pengurus Kya Kya Kembang Jepun, yang sekarang dosen Universitas Ciputra.

Tak lama kemudian pujasera Kya Kya bubar. Kontrak kerja sama Jawa Pos dengan Pemkot Surabaya memang habis. Belum lagi banyak persoalan lain. "Terlalu banyak pedagang makanan yang cuma coba-coba. Makanya sebagian besar pengunjung tidak puas. Harganya mahal tapi makanannya gak enak," kata Freddy.

Begitulah. Kya Kya Kembang Jepun yang pujasera itu sudah jadi nostalgia. Jadi catatan penelitian arek-arek mahasiswa anyar. Freddy Istanto pun jadi narasumber utama.

"Gara-gara proyek Kya Kya itu, saya jatuh cinta sama gedung-gedung tua," kata Freddy yang sering mampir ke Kembang Jepun untuk menikmati nasi rawon khas peranakan itu.

Lantas, bagaimana wajah kota tua setelah revitalisasi nanti?

Sudah pasti beda dengan gebrakan Dahlan Iskan dengan Kya Kya Kembang Jepun pada 31 Mei 2003 yang lalu. Ning Risma dan pemkot tentu sudah punya desain tentang wajah destinasi wisata di kota tua.

Saat ini Jalan Kembang Jepun sangat sepi pada malam hari. Hanya ada beberapa warung tenda di sebelah barat. Sama sekali tak ada sisa-sisa kejayaan ketika artis-artis top, politisi, menteri-menteri, hingga SBY (saat itu calon presiden) mampir dan makan minum di Kya Kya sambil menikmati alunan musik khas Tionghoa dan tembang kenangan.

Selasa, 10 September 2019

Prof Andrew Weintraub Pakar Dangdut dari Amerika

Andrew Weintraub bernyanyi dangdut di Gang Dolly Surabaya.



Dangdut itu musik rakyat. Anehnya, tidak ada ada ahli kita yang melakukan kajian secara mendalam baik dari aspek sosial, budaya, sejarah, dsb. Yang serius melakukan penelitian justru orang Amerika.

Prof Andrew Weintraub PhD dari dari University of Pittsburgh USA baru saja meluncurkan buku DANGDUT versi bahasa Indonesia di Unair Surabaya. Buku ini aslinya berbahasa Inggris berjudul DANGDUT STORIES pada 2010. Peneliti yang sangat gemar dangdut, khususnya Rhoma Irama, ini memberikan kontribusi besar pada literatur musik kita yang memang sangat minim.

Andrew, begitu pak profesor ini minta disapa, menelusuri jejak dangdut sejak masih cikal-bakal protomelayu, kemudian melayu deli, orkes melayu, gebrakan Rhoma Irama, hingga masyarakat mulai kenal musik genre dangdut. Andre bahkan membahas juga dangdut daerah, koplo, hingga artis-artis erotis macam Inul atau Trio Macan.

"Jangan panggil saya Profesor atau Doktor! Panggil saja Andrew supaya lebih akrab," kata Andrew Weintraub kepada saya dalam beberapa kesempatan.

 Inilah bedanya orang USA yang rendah hati meskipun hebat ketimbang orang kita yang cenderung gila gelar, suka mencantumkan banyak titel, meskipun penelitiannya tidak jelas. Banyak juga lho doktor dan profesor palsu di Indonesia.

Mana ada buku cerita dangdut sedetail dan selengkap ini? Andrew memburu rekaman-rekaman awal berupa piringan hitam sejak era Hindia Belanda hingga masa kini. Dia menyimak dan menganalisis struktur lagu, instrumentasi, cara nyanyi, syair, hingga penampilan musisi.

Saya pastikan orang Indonesia sekalipun, termasuk orang dangdut, tidak punya bahan-bahan yang dipunyai Andrew Weintraub. Rhoma Irama sendiri kaget melihat koleksi rekaman Andrew yang luar biasa. "Suatu saat kita belajar dangdut di Amerika," gurau Abdul Malik Buzaid (sekarang almarhum), personel OM Sinar Kemala Surabaya.

Saya beruntung diajak Andre mengikuti proses wawancara dan pengumpulan bahan-bahan dangdutnya di Surabaya. Dia temui musisi Orkes Melayu (OM) Sinar Kemala yang sangat terkenal pada 1960an. Mula-mula diskusi bersama di Hotel Hyatt, kemudian Andre menemui satu per satu pemusik di rumah masing-masing. "Supaya mereka bisa bicara lebih jujur dan bebas," katanya.

Dia juga survei orkes dangdut di Gang Dolly tempat prostitusi. Bahkan dia jadi vokalis dadakan dengan lagu-lagu Rhoma. Totalitas yang luar biasa.

Saya pun terkagum-kagum dengan cara kerja pakar USA. Dia harus bertemu muka one on one dengan sumber. Dan harus sumber pertama kecuali yang sudah meninggal dunia. Maka dia keliling Indonesia untuk menggali dangdut yang fenomenal itu.

Kapan ahli-ahli kita bisa ngelutus kayak Amrik?

Oh ya, saya juga berterima kasih karena Andrew mencamtumkan nama saya di kata pengantar buku dangdutnya baik yang versi bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia.

"Setelah ini saya akan melakukan penelitian tentang musik KOPLO. Sangat unik dan menarik," kata profesor yang ramah ini.

Mengenang Komposer OM Sinar Kemala A. Malik Buzaid



Insaflah, wahai manusia
Jika dirimu bernoda
Dunia hanya naungan
'tuk makhluk ciptaan Tuhan....

Nama Abdul Malik Buzaid, yang lebih populer dengan A. Malik Bz, tak bisa lepas dari orkes dan musik melayu di tanah air. Ayah sembilan anak ini merupakan salah satu dari sedikit pemusik tempo dulu yang terus berkarya sampai sekarang. Salah satu lagunya, Keagungan Tuhan, yang diciptakan pada 1964, masih diperdengarkan sampai hari ini dalam berbagai versi.

Setiap bulan Ramadan, lagu religi ini hampir selalu dirilis ulang oleh penyanyi atau grup band anak muda. Belum lama ini, Keagungan Tuhan dibawakan penyanyi remaja Vidi Aldiano dalam versi R&B. Sebelumnya, lagu yang awalnya dipopulerkan Ida Laila bersama Orkes Melayu (OM) Sinar Kemala pada 1964 ini dibawakan GIGI dalam versi rock.

Berikut petikan percakapan LAMBERTUS LUSI HUREK dengan A. Malik Bz di rumahnya di Desa Kureksari, Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jawa Timur.


Lagu Keagungan Tuhan ciptaan Anda sudah dibuat berapa versi, selain dibawakan OM Sinar Kemala sendiri?

Kalau tidak salah, sudah lebih dari 40 versi. Ada penyanyi solo, band, dan sebagainya. Mulai Ida Laila, Syam D'Lloyd, Titiek Sandhora, Hetty Koes Endang, Rita Effendy, GIGI, sampai Vidi Aldiano.

Mereka membawakan lagu saya itu sesuai karakter mereka. Ada yang pop, melayu, dangdut, koplo, gambus, kasidah, shalawatan, rock, soul, R&B, sampai sound track sinetron dan film, kemudian jingle iklan. Alhamdulillah, Keagungan Tuhan sudah menjadi lagu abadi, dibawakan orang dari masa ke masa.

Para produser minta izin dulu dari Anda sebagai pencipta lagu?

Ada yang izin, ada yang tidak izin. Ada yang ketahuan dulu baru izin. Maklum, budaya kita di Indonesia kan masih seperti itu. Belum menghormati hak cipta dan hak seorang pencipta lagu. Di TVRI lagu Keagungan Tuhan dirilis orang lain dan ditulis penciptanya orang lain. Itu sampai bertahun-tahun sampai saya komplain. Begitulah nasib pencipta lagu di Indonesia.

Artinya, Anda terus menerima royalti dari lagu itu?

Alhamdulillah. Royalti itu termasuk barang baru di Indonesia. Kalau yang tidak izin, ya, saya tidak dapat apa-apa. Pencipta lagu tidak dihargai. Kalau yang izin, ya, ada meskipun tidak besar. Royalti baru jalan setelah ada KCI (Yayasan Karyacipta Indonesia). Selama ini royalti dari GIGI yang paling tinggi. Sebab, penjualan album dan RBT-nya paling bagus.

Terakhir, lagu Keagungan Tuhan di-recycle oleh Vidi Aldiano.

Saya puas karena ternyata suaranya Vidi ini bagus. Improvisasinya bagus, penjiwaannya bagus. Saya nggak menyangka karena sebenarnya saya belum tahu ketika bapaknya Vidi, Pak Hari dan produser, minta izin memakai lagu Keagungan Tuhan. Saya oke-oke saja karena saya kenal baik neneknya Vidi yang bernama Darsih. Ibu Darsih itu seorang penyanyi keroncong yang bagus.

Bagi pencipta lagu seperti saya, nomor satu itu bukan bayaran, tapi kepuasan batin. Kalau asal dibayar, tapi lagu kita jadi rusak, buat apa? Lebih parah lagi, lagu kita dirusak, sementara kita juga tidak dapat bayaran.

Dari Vidi itu, kemudian dijadikan jingle iklan oleh sebuah perusahaan seluler?

Benar. Setelah membuat kaset dan CD, kemudian produser membuat RBT dengan mendaftar ke perusahaan seluler. Rupanya, XL tertarik karena lagunya bernuansa Ramadan dan anak muda. Saya dihubungi, dimintai izin, ya nggak apa-apa. Yang penting, mengikuti prosedur yang berlaku. Tadinya saya minta agar syair Keagungan Tuhan tidak diubah. Tapi, namanya juga iklan, ya liriknya dibuat sesuai kepentingan mereka.

Apa kekuatan lagu Keagungan Tuhan, sehingga bisa bertahan selama 40 tahun lebih?

Nomor satu, menurut saya, syair, kemudian baru melodinya. Saya yakin itu merupakan inspirasi dan pemberian dari Tuhan Yang Mahakuasa. Lagunya benar-benar murni, tidak ada unsur plagiat atau mencontoh lagu lain. Saya sendiri kaget kok bisa dikasih lagu seperti ini oleh Tuhan ya? Seperti suara gaib saja. Itu yang membuat Keagungan Tuhan bertahan, sampai dibuat film segala.

Bagaimana proses penciptaan lagu itu?

Ceritanya, tahun 1964, ketika masih muda, saya bersama teman-teman jalan-jalan ke kawasan lampu merah di Kremil, Surabaya. Saya duduk-duduk main gitar. Saya perhatikan suasana di sana. Ada orang mabuk, ngomong nggak karuan, ada yang kelonan, ngobrol... macam-macamlah. Kepala saya langsung pusing. Saya minta kertas dan potlot kepada seorang perempuan.

Saya kemudian menulis syair, notasi, bahkan intronya. Komplet. Cepat sekali prosesnya. Pulang ke rumahnya Pak Kadir, pimpinan OM Sinar Kemala, ada piano. Saya coba memainkan lagu itu. Kok enak rasanya. Pak Kadir juga senang. Sorenya saya benahi lagi, tambah bagus.

Dua hari kemudian Pak Urip Santoso datang ke rumah Pak Kadir untuk latihan bersama Sinar Kemala. Pak Urip ini pakar musik yang juga guru saya di bidang aransemen. Dia bilang, lagumu itu bagus. Lalu, sejak itu kami mainkan bersama teman-teman OM Sinar Kemala. Penyanyinya Ida Laila, dengan nada dasar Bes.

Rekamannya di mana?

Di RRI Surabaya. Piringan hitamnya (PH) kemudian diproduksi di Lokananta, Solo, dan disebarkan ke radio-radio di seluruh Indonesia, bahkan luar negeri. Di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, lagu saya pun jadi populer.

Keagungan Tuhan benar-benar dahsyat. Saya sendiri tidak pernah membayangkan bisa seperti ini. Radio Australia, BBC London, Suara Amerika (VOA), mutar lagu Keagungan Tuhan pada acara Pilihan Pendengar.

Selain Keagungan Tuhan, Anda telah menciptakan ratusan lagu untuk OM Sinar Kemala dan penyanyi lain. Siapa yang mendorong Anda menjadi song writer?

Saya diprovokasi oleh kakak saya, Abdullah, mantan TNI. Dia bilang kalau orang lain bisa membuat lagu mestinya kamu juga bisa. Jangan menjiplak lagu-lagu India, mengubah syair, kemudian mengklaim sebagai ciptaan sendiri.

Maka, saya belajar musik ke beberapa pemusik terkenal. Guru saya antara lain Pak Urip Santoso dan Pak Abubakar. Saya sampai mondok di rumahnya Pak Abubakar untuk belajar akordeon. Saya juga belajar biola sama pemusik-pemusik keroncong.

Setelah menguasai banyak instrumen, saya akhirnya bisa menulis lagu. Tapi semua itu, berdasarkan pengalaman saya, harus ada ilham dari Tuhan. Kalau nabi mendapat wahyu, seniman mendapat ilham. Tanpa ilham, sulit menghasilkan lagu yang baik.

Saya dulu sering dipaksa oleh produser untuk membuat lagu di studio. Ini yang saya tidak pernah bisa. Musik dangdut itu sempat terpuruk antara lain karena suka menjiplak lagu-lagu India. Kalau orientasinya hanya komersial, ya, nggak akan awet.

Ngomong-ngomong, apakah musik bisa menjadi sandaran hidup?

Di Indonesia sulit. Peneliti musik dangdut dari Amerika, Prof Andrew Weintraub, heran ketika masuk ke rumah saya ini. Kok rumah saya kecil, sederhana? Padahal, karya saya begitu banyak. Sejak dulu pun saya sudah dinasihati senior saya bahwa kita sulit hidup dari musik. Harus ada usaha atau pekerjaan lain.

Nasihat ini juga saya sampaikan kepada anak-anak saya. Mereka memang saya ajari musik, belajar not balok, not angka, alat-alat musik, tapi jangan sampai mengandalkan hidup dari musik. Lain sekali kondisinya dengan pemusik di negara maju yang bisa hidup makmur dari karya musiknya. (*)





Orkes Melayu dari Kampung Arab

Popularitas lagu Keagungan Tuhan tak lepas dari jasa Orkes Melayu (OM) Sinar Kemala. Orkes asal Kampung Ampel, Surabaya, yang dipimpin A. Kadir (almarhum) ini pada 1960-an dikenal sebagai salah satu OM terkenal di tanah air. OM Sinar Kemala bahkan kondang hingga ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

"Kalau di Medan ada OM Bukit Siguntang, OM Sinar Medan, dan OM Kenangan, kita di Jawa Timur punya OM Sinar Kemala. Saking populernya, kami selalu menerima tanggapan dari berbagai daerah," jelas Abdul Malik Buzaid, pemain akordeon sekaligus pencipta lagu untuk OM Sinar Kemala.

Menurut A Malik Bz, sapaan akrab pria asal Kampung Ampel, Surabaya, ini, kehebatan OM Sinar Kemala tidak lepas dari peran Abdul Kadir sebagai pemimpin orkes. Selain santun dan berwibawa, pemusik keturunan Arab itu sangat menonjol secara musikal. Kadir mahir menguasai banyak instrumen musik, vokalnya bagus, dan punya jiwa kepemimpinan tinggi.

"Pak Kadir itu disiplin, keras, dan cenderung otoriter. Tapi justru itu yang membuat OM Sinar Kemala bisa eksis dan dikenal publik," kata Malik Bz.

Berbeda dengan OM-OM papan atas seperti Bukit Siguntang atau Kenangan, OM Sinar Kemala banyak merilis lagu-lagu bernuansa Arabia. Ini tak lepas dari latar belakang A. Kadir sebagai pemusik gambus ternama di Kampung Arab pada 1950-an.

"OM Sinar Kemala itu tadinya Orkes Gambus Alfan. Saya belum ikut. Nah, karena pemasaran musik gambus surut, sementara musik melayu naik daun, maka Kadir beralih ke OM Sinar Kemala," kenang Malik.

Kalau orkes dangdut sekarang hanya beranggotakan tujuh hingga 10 orang, menurut Malik, orkes melayu selalu diperkuat belasan, bahkan 20-an orang. Pemain biola Sinar Kemala saja 12 orang. Belum lagi pemain alat musik tiup yang juga banyak. "Jadi, kami harus membaca partitur kalau main musik. Nggak pakai hafalan thok," katanya.

Malik masih ingat nama-nama pemain OM Sinar Kemala seperti Ida Laila alias Murah Ati (vokal), Nur Kumala (vokal), Khadam (trombone), Ellya Khadam (vokal), S Achmady (vokal), A. Kadir (suling, tabla), Yohana Satar (penyanyi), A. Rafiq (vokal), Wakhid (gitar), Saleh (trumpet, klarinet), Abubakar (biola, arranger), Muhammad Degel (kendang), A. Karim (tamborin), Umar (penyanyi), Said Efendi (vokal), Fuad (marakas), Husein (akordeon).

"Banyak yang sudah almarhum. Pak Kadir meninggal pada tahun 1985 di Ampel Cempaka," tutur Malik. "Pak Kadir sempat bilang sebelum dia meninggal, OM Sinar Kemala tidak akan mati."

Ketika film India booming pada 1960-an dan 1970-an, masyarakat Indonesia pun tergila-gila dengan musik Hindustan. Orkes-orkes di tanah air pun harus menyesuaikan diri seperti musik di film Awara. Maka, lagu-lagu bercorak Melayu menjadi andalan orkes-orkes.

"Pak Kadir sendiri kemudian mengubah penampilan ala India. Penyanyi Sinar Kemala seperti A Rafiq dan Ellya Khadam bergaya ala India. Dan itu sangat disukai masyarakat," katanya.

Ketika OM Sinar Kemala di puncak kejayaan, terjadi konflik antara Remaco (Jakarta) dan Golden Hand (Surabaya). Kedua perusahaan rekaman ini memperebutkan artis-artis OM Sinar Kemala. Maka, OM Sinar Kemala pun pecah.

Sejumlah personel kunci keluar dan bikin orkes baru. Orkes pecahan Sinar Kemala antara lain OM Sinar Mutiara (pimpinan Fouzi), OM Awara (S Achmady], OM Permata (Mono Sanjaya).

"A. Rafiq cabut ke Jakarta dan mendirikan A Rafiq Group. Orang ini dulu suaranya cempreng, nggak punya power. Setelah digembleng di Sinar Kemala, A. Rafiq maju pesat," tuturnya.

Malik Bz, penulis lagu plus pemain akordeon dan piano juga diajak bergabung dengan orkes lain. Bahkan, diminta membuat orkes baru untuk rekaman. "Tapi saya tidak mau. Saya tetap bertahan bersama OM Sinar Kemala," tegas Malik.

OM-OM pecahan Sinar Kemala ini dalam waktu singkat meraih popularitas. OM Awara dengan duet Ida Laila dan S Achmady mencetak puluhan album dan laku keras. A Rafiq, dengan celana dan goyangan yang khas, pun kian kondang setelah hijrah ke Jakarta. Malik sendiri tetap menulis lagu untuk dinyanyikan penyanyi-penyanyi rekaman sambil memberi les musik dari rumah ke rumah.

"Dunia rekaman kita nggak karuan karena dikuasai orang-orang yang mata duitan. Bikin lagu bukan untuk seni, tapi semata-mata uang. Seniman karbitan merajalela. Saya dipaksa ikut arus industri, tapi nggak mau," tegas Malik Bz.  (Lambertus Hurek)

PERSONEL OM SINAR KEMALA

Ghozali [pembawa acara]
Ida Laila [penyanyi]
Nur Kumala [penyanyi]
Munif Bahaswan [penyanyi]
Khadam [trombone]
Piek Nyoo [penari]
Fouzi [penggembira]
Ellya Khadam [penyanyi]

A. Kadir [pemimpin, suling, tabla]
Yohana Satar [penyanyi]
Wakhid [gitar]
Saleh [trumpet, klarinet]
Salim [pelawak]
Abubakar
Muhammad Degel [kendang]

A. Malik Bz. [akordeon, piano]
A. Karim [tamborin]
Umar [penyanyi]
Said Efendi [penyanyi]
Fuad [marakas]
Husein [akordeon]

Pemain biola : 12 orang.
Orkestrasi / arranger :

Suyanto
Andi Saifin
Kanan [Kepala RRI Surabaya]
Marzuki [RRI]
Urip Santoso
Sofyan


ABDUL MALIK BUZAID

Nama populer: A. Malik Bz.
Lahir : Surabaya, 31 Desember 1944
Istri : Aisyah
Anak : 9 orang. Dua dari istri pertama, tujuh dari istri kedua.
Nama anak: Zed (alm), Rifki. Sofyan (alm), Yasir, Anas, Miqdah, Azhar, Mus'ab, Amru.
Alamat: Jalan Flamboyan II/21 Kureksari, Waru, Sidoarjo.

ORGANISASI

- Persatuan Artis Melayu Dangdut Indonesia (PAMMI) Jawa Timur
- Dewan Kesenian Sidoarjo

PENGHARGAAN

- Anugerah Bakti Musik Indonesia, 2005
- Gubernur Jatim Imam Utomo, 2004
- Menteri Kebudayaan Belia dan Sukan Brunei Darussalam, 1994

Senin, 09 September 2019

Soesijanto GM Luminor Hotel Sidoarjo Doyan Golf

GM Luminor Sidoarjo Soesijanto dan PR Hotel 88 Surabaya Devy Widya


Dulu saya sering mampir di Luminor Hotel, Jalan Jemursari Surabaya, kalau ada live music. Kebetulan GM-nya, Soesijanto, senang musik. Sesekali dia bikin jazz night. Yang paling saya ingat, Ucok, saksofonis terkenal di Surabaya, mengajak anggota komunitas jazz-nya ke Luminor.

"Asyik banget kalau di hotel ada event jazz secara rutin. Apalagi tamu-tamu kami banyak yang suka," ujar Soesijanto.

Tak banyak percakapan tentang jazz, musik, okupansi dsb saat menikmati live music di Luminor Jemursari. Maklum, general manager yang satu ini sibuk meladeni tamunya yang banyak. Diajak bicara satu per satu.

"Kalau ada live music, silakan datang lagi," kata arek Suroboyo itu.

Eh, tak lama kemudian Soesijanto pindah ke Sidoarjo. Jadi GM Luminor Hotel di Jalan Pahlawan. Tak jauh dari mulut jalan tol, Stadion Gelora Delta, dan RS Delta Surya. Lokasi Hotel bintang 3 milik Waringin Hospitality itu memang sangat strategis. Membuat wajah Sidoarjo lebih modern.

Maka, diskusi atau lebih tepat ngobrol bareng GM Soesijanto jadi lebih sering. Ada-ada saja idenya untuk memeriahkan hari jadi Kabupaten Sidoarjo.

"Kita bikin semacam pesta kuliner khas Sidoarjo. Libatkan semua hotel yang ada di Sidoarjo. Kita harus ciptakan event untuk menarik wisatawan," katanya.

Ide ini kemungkinan baru bisa dieksekusi tahun depan. Saat hari jadi Sidoarjo kemarin Luminor Hotel bikin event sepeda sehat ke sejumlah objek wisata di Kabupaten Sidoarjo. Di antaranya candi-candi dan Pabrik Gula Toelangan (yang sudah dua tahun tidak beroperasi). Peserta sepeda sehat ini umumnya pengusaha dan relasi Luminor Hotel di Surabaya.

Soesijanto menilai Kabupaten Sidoarjo punya banyak potensi yang bisa diangkat ke tingkat nasional. Bandara Internasional Juanda berada di Sidoarjo. Terminal Purabaya di Bungurasih, Kecamatan Waru. Hotel-hotel berbintang juga mulai banyak. Tidak lagi terkonsentrasi di kawasan Bandara Juanda, tapi sudah masuk ke tengah kota.

Selain Luminor Hotel di Jalan Pahlawan, belakangan ada Favehotel di Jalan Jenggolo dan Neo+ di Jalan Raya Waru. Ada pula The Sun Hotel yang lebih dulu beroperasi pada 2005. Tamu-tamu hotel ini perlu "ditahan" agar bisa jalan-jalan dan berwisata di Kota Delta.

"Makanya, belum lama ini kami juga support acara jambore sepeda tua nasional di Gelora Delta. Kami tampilkan menu-menu khas Sidoarjo yang lezat," katanya.

Omong punya omong, akhirnya saya tahu kalau GM Soes ini penggemar berat golf. Bukan cuma hobi, golf sudah jadi kebutuhan hidupnya. "Saya sudah coba hampir semua olahraga. Sampai sekarang masih main bulutangkis. Tapi tidak ada olahraga yang nikmatnya melebihi golf," ujarnya seraya tersenyum.

Golf? Apanya yang nikmat?

"Wuihhh... sulit diceritakan. Kenikmatan golf itu hanya bisa dirasakan. Sekali merasakan nikmatnya golf, kita akan jatuh cinta selamanya," tuturnya.

Kalau sudah bicara golf... GM Soesijanto tampak sangat bahagia. Wajahnya berseri-seri. Soesijanto kemudian memberi semacam kursus kilat cara memukul bola golf.

 "Mukulnya gak asal. Gak boleh pakai power. Ada seni dan teknik khusus. Kalau Anda memakai power, ya pasti gagal."

Soesijanto kemudian memperlihatkan video di ponselnya. Hampir semuanya tentang permainan golf kelas dunia. Padang golf dengan rumput hijau yang sangat terawat.

 "Coba Anda perhatikan orang tua ini. Teknik memukulnya luar biasa. Gerakannya seperti hipnotis," katanya.

Sebagai orang yang sangat awam golf, saya sulit memahami permainan golf. Olahraga yang mirip klangenan pengusaha-pengusaha dan para veteran yang purnatugas. Nikmatnya di mana?

"Waduh, luar biasa golf itu. Kapan-kapan kita bikin turnamen golf biar Anda bisa melihat langsung di lapangan," ujar sang GM lantas tertawa kecil.

Soesijanto juga menyebut golf ini punya banyak filosofi. Salah satunya adalah bagaimana melawan diri sendiri. Musuh terbesar golfer itu sejatinya bukan pemain lain tapi dirinya sendiri. Dia harus bisa kontrol emosi, tetap tenang menghadapi berbagai handicap dsb dsb.

"Jadi, kita tidak gampang stres. Beban pekerjaan seberat apa pun bisa kita hadapi dengan tenang," kata GM Soes ala motivator Mario Teguh.

Jumat, 06 September 2019

Menang Taruhan tapi Sedih



Dari dulu saya selalu pegang Malaysia kalau taruhan bola. Sebab saya tahu Indonesia sangat sulit menang atas tim nasional negara tetangga itu di level senior. Beda dengan timnas U16 atau U19 kita yang masih gres. Saya masih ingat Dollah Saleh dkk dari Malaysia mempermalukan timnas Indonesia pada akhir 80an.

Karena itu, semalam saya menang taruhan saat nonton bareng di warkop Ngagel dekat sungai di Jagir Wonokromo. Taruhan kecil-kecilan khas wong embongan. Cukup Rp 100 ribu aja.

"Sudahlah.. timnas (Indonesia) gak bakalan menang. Pemain-pemain naturalisasinya sudah tua-tua. Gak iso melayu Cak," kata saya bikin mas dari Sidoarjo makin panas karena kalah taruhan.

Di satu sisi, saya senang karena menang taruhan. Tapi, di sisi lain, saya sedih melihat timnas Indonesia dibuat mainan oleh anak buah pelatih Mr Tan. Pasukan Malaysia dalam pertandingan Pra Piala Dunia (PPD) di Jakarta semalam main lepas, taktis, cerdas, berenergi. Selalu pressing dan mudah merebut bola dari pemain-pemain Indonesia.

Sebaliknya, Indonesia sudah habis sejak babak pertama. Tidak bisa main 90 menit. Bagaimana kalau Indonesia usul ke FIFA agar durasi permainan sepak bola dikurangi? 90 menit + tambahan waktu terlalu lama untuk Indonesia. Cukup 2 x 30 menit saja. Kayak sepak bola anak-anak di bawah 15 tahun itulah.

"Orang Indonesia itu sulit juara sepak bola karena makannya nasi nasi nasi. Dari dulu juara-juara Piala Dunia itu negara-negara yang penduduknya makan roti.

Orang Tiongkok makan mi. Ya.. sulit juara. Orang Somalia makan jagung.. gak iso menangan," kata saya asal bunyi.

"Alah... Wong Malaysia yo mangan sego. Kok iso apik?" tanya arek Darjo itu.

"Beras di Malaysia itu varietasnya beda dengan di Indonesia. Komposisinya agak lain," kata saya.

Yang pasti, pemain-pemain impor yang aslinya makan roti kayak Beto, Lilipaly, Igbonefo, atau Gonzalez jadi rusak setelah dinaturalisasi. Sebab sudah lama makan nasi, melekan sampai jam 1, jam 2, jam 3, jam 4, untuk nonton Liga Inggris dan Liga Spanyol di televisi. Sudah makan nasi yang indeks glikemiknya tinggi, melekan pula. Ada juga yang rokokan.

Sayang, dari dulu dokter-dokter jarang dilibatkan untuk pengembangan olahraga kita. Khususnya sepak bola. Sport science cuma slogan doang. Pengamat-pengamat di televisi lebih banyak bicara skema 4-3-3 atau 4-2-2, counter attack, false nine dsb. Jarang yang menyoroti kelemahan fisik pemain-pemain Indonesia yang tidak bisa bermain stabil selama 90 menit.

Hanya orang komunis dari Uni Sovyet yang sangat jeli membaca kelemahan pemain-pemain bola Indonesia. Namanya Polosin. Maka, ketika melatih timnas Indonesia, Polosin ini paling fokus di fisik fisik fisik. Latihan teknik, strategi dsb bukan porsi utama.

Hasilnya memang joss. Timnas Indonesia jadi juara sepak bola SEA Games. Sejak itu Indonesia tidak pernah juara lagi di tingkat Asia Tenggara.

Gak usah muluk-muluk bicara Piala Asia, apalagi Piala Dunia. Lawan Malaysia saja kalah melulu.

Bagaimana dengab uang hasil menang taruhan itu? Aha, saya pakai untuk beli sate dan pulsa. Lumayan.

Rabu, 04 September 2019

Suster Yerona Hurek Kasih Penghiburan

Sr. Yerona Hurek, CIJ


Baru-baru ini saya ngobrol dengan Tante Suster Yerona Hurek CIJ lewat telepon. Dia mungkin biarawati pertama dari kampung saya di Kecamatan Ileape, Lembata, NTT. Sekarang tugas di Sulawesi Selatan. Adik kandungnya pastor di Keuskupan Larantuka. Namanya Romo Paskalis Gilo Hurek Pr.

Nah, intinya Suster Yerona minta agar saya dan adik-adik tidak boleh bersedih lantaran Bapa Nikolaus Nuho Hurek meninggal dunia pada 22 Juli 2019. Orang beriman harus percaya ada kehidupan kekal bersama Bapa di Surga.

"Berni... mo ake tani muri... mo ake sedih. Bapa Niko naika teti Bapa langun kae. Bapa Niko naka surga. Kame pia di pesan misa untuk Bapa Niko," ujar Suster Yerona dengan logat yang khas.

Bahasanya campuran Indonesia, Lamaholot, hingga bahasa Nagi atau Melayu ala Larantuka. Terjemahannya:

"Berni... kamu jangan menangis lagi. Kamu jangan bersedih. Bapa Niko sudah pergi ke rumah Bapa. Bapa Niko pergi ke surga."

Sudah lama sekali saya tidak bertemu tante suster yang jadi pimpinan biara itu. Jadwal cutinya memang beda. Saya biasa pulang saat Natal, Suster Yerona mudik saat lain. Tidak mungkin saat Natal dan Tahun Baru karena para klerus sangat sibuk dengan urusan liturgi, diakonia dsb.

Begitu juga Romo Paskalis Hurek. Saya tidak pernah jumpa selama belasan tahun. Padahal Romo Paskalis sangat sering pulang ke rumahnya di pinggir Desa Mawa Napasabok itu.

"Go balik lewo kang gute ape," begitu kata-kata pastor yang juga pemusik dan penyanyi jempolan itu. (Saya pulang kampung untuk mengambik api. Semacam cas baterai agar tetap punya semangat dan antusias melayani umat. Begitu ujaran khas Romo Paskalis.)

Nah, kata-kata penghiburan dari Suster Yerona Hurek ini sebetulnya sudah sering saya dengar. Setiap hari kita baca di iklan dukacita. Atau di rumah persemayaman jenazah macam Adijasa di Jalan Demak, Surabaya. 

Tapi kata-kata itu menjadi sangat berarti ketika kami keluarga besar ditinggal Bapa Niko Hurek. "Bapamu itu pergi ke rumah Bapa," kata suster yang selalu antusias itu.

Selasa, 03 September 2019

Selamat untuk Kardinal Suharyo



Akhirnya masuk koran utama. Bapa Uskup Agung Jakarta Monsinyur Ignatius Suharyo diangkat Paus Fransiskus sebagai kardinal pada 1 September 2019. Beritanya dimuat Jawa Pos pagi ini dan Kompas kemarin. Biasanya informasi macam ini jarang masuk media arus utama di NKRI.

Ada 12 kardinal baru yang diumumkan Sri Paus asal Argentina itu. Dua di antaranya dari negara muslim. Salah satunya Mgr Suharyo.

Pengangkatan kardinal jelas peristiwa luar biasa. Di lingkungan umat Katolik di seluruh dunia. Apalagi di Indonesia yang mayoritas 90an persen muslim. Orang Katoliknya pun tidak sampai 5 persen. Orang Protestan, apalagi aliran Pentakosta dan Karismatik, jauh lebih banyak.

Kok bisa bapa uskup asal Indonesia yang dipilih jadi kardinal?

Inilah menariknya. Meskipun minoritas absolut, ternyata Gereja Katolik di Indonesia sudah lama diperhitungkan di tataran global. Katolik Indonesia dianggap sudah dewasa. Bukan lagi penerima pater-pater misionaris dari luar negeri, khususnya Eropa, tapi justru bertugas di berbagai negara.

Pater-pater SVD asal Flores NTT kini lebih banyak melanglang ke paroki-paroki di luar negeri. Di Kabupaten Lembata, daerah asal saya, misalnya saat ini hanya SATU paroki yang digembalakan pater-pater SVD. Yakni Paroki Waikomo di dekat RS Bukit yang terkenal itu. Paroki-paroki lain dipegang para reverendus dominus (RD) alias romo diosesan alias projo.

Padahal, hingga akhir 1990an paroki-paroki di Lembata, Adonara, Solor, Larantuka sepenuhnya alias 100 persen dipegang pater-pater SVD. Kiprah para pater asal Indonesia ini tentu saja mendapat perhatian dari Vatikan. Panggilan ternyata sangat subur di Indonesia.

Kembali ke Ignatius Kardinal Suharyo SJ yang baru diangkat Paus Fransiskus. Beliau merupakan kardinal ketiga asal Indonesia. Diawali Justinus Kardinal Darmojuwono SJ (+) pada 1967, kemudian Julius Kardinal Darmaatmadja SJ pada 1994.

Artinya, umat Katolik di Indonesia harus menunggu 25 tahun untuk dapat satu kardinal. Sebelumnya 27 tahun. Memang sangat tidak gampang jadi seorang kardinal. Terlalu banyak syarat dan kualitas yang dituntut Vatikan.

Berbeda dengan dua kardinal pendahulunya yang Yesuit, Kardinal Suharyo ini berlatar imam projo (RD) dari Keuskupan Agung Semarang. Beliau seorang teolog, pemikir, penulis, aktivis, yang ditahbiskan menjadi imam oleh Justinus Kardinal Darmoyuwono SJ.

Monsinyur Suharyo ini menarik. Sejak diangkat jadi Uskup Agung Semarang, beliau menolak hal-hal yang berbau feodalisme. Panggilan kehormatan seorang uskup, Monsinyur, pun beliau kurang suka. Kalau menulis artikel opini di koran dan majalah, penulisnya cukup ditulis I. SUHARYO. Tidak pakai Mgr. I. Suharyo.

Bahkan, beliau lebih suka dipanggil Bapak Suharyo atau Pak Haryo. Ini juga sesuai dengan motonya: Serviens Domino Cum Omni Humilitate (Aku Melayani Tuhan dengan Segala Rendah Hati).

Selamat untuk Kardinal Suharyo!
Selamat untuk Pak Haryo!
Berkah Dalem!

Senin, 02 September 2019

Ratusan Tumpeng di Kelenteng Cokro

Tahun Baru Islam kemarin cukup meriah. Ada pawai di berbagai kampung di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan kota-kota lain di Jawa Timur. Juga pengajian yang ramai.

Tahun Baru Islam bersamaan dengan Tahun Baru Jawa. Tanggal 1 Suro. Ada acara tumpengan bagi masyarakat Jawa yang kental kejawaannya. Apalagi para penghayat alias kejawen.

Setiap 1 Suro atau 1 Muharram saya selalu ingat Ibu Juliani Pudjiastuti. Orang Tionghoa ini ketua Kelenteng Hong San Ko Tee di Jalan Cokroaminoto, Surabaya. Biasa disebut Kelenteng Cokro.

Meskipun Tionghoa, jemaat Kelenteng Cokro selalu bikin acara suroan. Ada ratusan tumpeng yang disiapkan. Tumpeng-tumpeng itu didoakan oleh Pak Modin, kiai muslim, di depan altar Dewi Sri. Lalu bancakan dan dibawa pulang ke rumah masing-masing.

"Kami ini meskipun orang Tionghoa, tapi lahir dan hidup di tanah Jawa. Kalau mati pun dikubur di Jawa. Bukan di Tiongkok sana," kata Juliani yang murah senyum itu.

Bu Juliani sudah dipanggil Sang Pencipta untuk ke alam nirwana dua tahun lalu. Saya pun kehilangan suasana suroan yang kental kejawen justru di lingkungan kelenteng Tionghoa.

Saya juga lupa kalau pengurus Kelenteng Cokro masih melanjutkan tradisi tumpengan dan doa bersama untuk Indonesia setiap 1 Suro itu. Maklum, libur nasional 1 Muharram tahun ini jatuh pada hari Minggu. Dus, tidak terasa tanggal merahnya.

Minggu malam, 1 September 2019, baru saya ingat 1 Suro. Ingat Kelenteng Cokro. Ingat Ibu Juliani. "Tadi siang ada acara tumpengan di Kelenteng Cokro?" saya bertanya ke Erwina Tedjakusuma, putri mendiang Ibu Juliani. "Semoga lancar dan sukses!"

"Ada, Pak Hurek.. acaranya lancar, sukses. Kamsia," Erwina membalas.

Oh, rupanya Erwina dan pengurus Kelenteng Cokro lupa memberi tahu para wartawan di Surabaya. Karena itu, pagi ini tidak ada foto dan berita tumpengan di Kelenteng Cokro. Padahal biasa foto ratusan tumpeng di halaman TITD Hong San Koo Tee selalu menghiasi koran-koran di Surabaya keesokan harinya.

Selamat Tahun Baru Islam!
Selamat Tahun Baru Jawa!
Rahayu... Rahayu... Rahayu!

Minggu, 01 September 2019

HM Handoko Pengusaha dan Tokoh Muslim Tionghoa Sidoarjo



Di sela-sela kesibukannya sebagai pengusaha di kawasan Sedati, dekat Bandara Juanda, HM Handoko aktif mengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sidoarjo. Dia juga tak segan-segan bergabung dengan partai politik.

Oleh LAMBERTUS HUREK


KESIBUKAN Handoko, yang bernama Tionghoa, Poo Tji Swie, ini memang luar biasa. Pagi hingga siang mengurus bisnis, berhubungan dengan konsumen, relasi, hingga kalangan perbankan. Namun, di sela kesibukan itu, Handoko bisa dengan mudah melakukan 'improvisasi' dengan bertemu orang-orang nonbisnis seperti politisi, aktivis ormas, hingga pengurus PITI.

Sebagai salah satu tokoh teras Partai Golkar Sidoarjo, tentu saja Handoko ikut sibuk membahas persiapan pemilihan bupati di Sidoarjo. Dia banyak memberi masukan tentang strategi, taktik, hingga analisis mengenai kemampuan para kandidat. Handoko sejak dulu punya feeling yang kuat dalam menebak hasil pemilu.

"Saya memang tidak bisa diam. Ada saja yang harus saya kerjakan. Dan itu membuat saya lebih semangat dalam menjalani kehidupan ini," ujar ayah dua anak ini, Yuliana Handoko dan Albert Handoko, kepada Radar Surabaya pekan lalu (pertengahan Mei 2010).

Sebagai muslim Tionghoa, selama ini nama HM Handoko alias Poo Tji Swie identik dengan PITI. Maklum, dialah yang dipercaya untuk babat alas organisasi para mualaf keturunan Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. Selama tiga periode atau 15 tahun lebih, Handoko menjadi orang nomor satu di PITI Sidoarjo.

"Saya sih maunya tidak lama-lama mengurus PITI. Kalau bisa cukup satu periode, gantian ke orang lain. Tapi ternyata mencari orang yang bersedia meluangkan waktu untuk organisasi itu gak gampang," katanya seraya tersenyum.

Ketika hendak mengakhiri periode kedua di PITI Sidoarjo, Handoko mengaku sudah mengader beberapa aktivis muslim Tionghoa untuk menggantikan posisinya di PITI. Dia bikin acara-acara keagamaan Islam, bakti sosial seperti sunatan massal, hingga diskusi atau audiensi dengan pejabat. Handoko pun senang karena para pengusaha muslim Tionghoa yang selama ini hanya fokus di bisnis mulai bersedia membagi waktu untuk urusan sosial kemasyarakatan.

Sayang, ketika menjelang muktamar untuk mengganti dirinya, para kader itu merasa belum siap mengelola organisasi PITI. Handoko pun geleng-geleng kepala. Pria yang fasih bahasa Hokkian dan Mandarin ini kemudian sengaja mengulur-ulur waktu muktamar sambil melakukan lobi-lobi dengan beberapa kader muda yang dianggap potensial. Hasilnya? "Tidak memuaskan," kenang Handoko.

Apa boleh buat, muktamar PITI Sidoarjo akhirnya digelar juga pada 2005. Dan HM Handoko terpilih kembali sebagai ketua PITI Sidoarjo untuk masa jabatan lima tahun. "Itu yang membuat saya selalu identik dengan PITi Sidoarjo. Orang kalau omong PITI Sidoarjo, ya, mesti larinya ke saya. Padahal, saya sendiri sih tidak ingin berlama-lama duduk di depan," katanya.

Mengurus organisasi sosial keagamaan seperti PITI Sidoarjo, menurut Handoko, sangat berbeda dengan organisasi politik, parlemen, pemerintahan, atau organisasi bisnis. Kalau di dunia politik orang berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi bupati/wali kota, gubernur, atau anggota dewan, di PITI malah seakan berlomba-lomba menghindar.

"Sebab, di PITI itu kita harus benar-benar berjiwa sosial yang tinggi. Kita harus banyak berkorban untuk organisasi dan masyarakat," akunya.


Salah satu obsesi HM Handoko adalah membangun masjid berarsitektur Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. Sayang, sampai sekarang impian itu belum juga terwujud.

HARUS diakui, Masjid Cheng Hoo di Jalan Gading 2 Surabaya yang arsitekturnya unik, khas Tionghoa, bahkan sekilas mirip klenteng, menjadi inspirasi bagi para pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di seluruh Indonesia. Bahkan, mereka yang bikin PITI pun tergerak untuk mendirikan masjid sejenis di kotanya masing-masing.

Tak usah jauh-jauh. Di Pandaan, tetangga Sidoarjo, sudah berdiri Masjid Cheng Hoo milik Pemkab Pasuruan yang sangat menarik perhatian para pengguna jalan Surabaya-Malang. Di Sumatera pun sudah ada masjid semacam Masjid Cheng Hoo di Surabaya. "Nah, saya ingin Sidoarjo punya Masjid Cheng Hoo juga. Bahkan, kita sudah punya konsep sebelum yang di Pandaan itu jadi," kata HM Handoko kepada Radar Surabaya belum lama ini.

Konsep Masjid Cheng Hoo Sidoarjo yang digodok Handoko dan kawan-kawan sebetulnya mirip dengan Cheng Hoo Surabaya. Selain masjid berarsitektur Tionghoa, Handoko menginginkan pusat budaya Islam dan Tionghoa, sekolah, perpustakaan, lapangan olahraga, gedung serbaguna. Karena itu, lahannya harus cukup luas.

"Kalau sekadar masjid yang biasa-biasa saja, buat apa? Kita ingin ada nilai tambah bagi masyarakat di Kabupaten Sidoarjo," ujar pria bernama asli Poo Tji Swie itu.

Setelah membahas secara internal, Handoko bersama beberapa pengurus teras PITI Sidoarjo mengadakan audiensi dengan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso dan pejabat-pejabat lain. Intinya, Win Hendrarso memberikan respons positif. Handoko juga menggelar jumpa pers untuk mengetuk hati para pengusaha Tionghoa baik muslim maupun nonmuslim yang peduli pada rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo Sidoarjo.

"Alhamdulillah, banyak pihak yang tertarik untuk memberikan dukungan. Itu yang membuat saya dan teman-teman sangat antusias. Insya Allah, jadi," kenang ayah dua anak ini.

Sayang, setelah konsep itu digulirkan selama lima tahun, rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo Sidoarjo tak kunjung terealisasi. Pemkab Pasuruan yang tak pernah gembor-gembor justru lebih dulu mewujudkan masjid berarsitektur Tionghoa. Handoko pun mulai lemas dan tampaknya tak lagi berselera membicarakan rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo.

"Tapi kita tetap punya komitmen ke sana kok," tegasnya.

Menurut Handoko, persoalan utama yang mengganjal rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo di Sidoarjo adalah persoalan lahan. Awalnya, beberapa pengusaha properti alias pengembang berjanji menghibahkan sebagai lahan fasilitas umum (fasum) kepada PITI Sidoarjo. Ukurannya pun cukup memadai. "Tapi belakangan komitmennya kurang kuat," katanya.


Di era Orde Baru, warga keturunan Tionghoa sangat alergi politik. Mereka fokus 100 persen di bisnis. Setelah Orde Baru ambruk pada 1998, banyak pengusaha Tionghoa yang mulai terjun ke politik. Salah satunya Haji Muhammad Handoko.


SEBAGAI orang Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), HM Handoko tentu saja aktif turun ke lapangan. Bikin pengajian, bakti sosial, mengunjungi kiai-kiai berpengaruh, hingga menyumbang sejumlah masjid dan ormas Islam. Nama Handoko pun akhirnya dikenal luas di Kabupaten Sidoarjo, khususnya di kawasan Sedati dan sekitarnya.

Aktivitas sosial keagamaan ini ternyata menjadi modal yang besar bagi Handoko setelah reformasi. Ketika partai-partai baru bermunculan setelah Orde Baru tumbang, Handoko pun dilirik sejumlah aktivis politik di partai baru. Singkat kata, Handoko akhirnya memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Handoko sangat aktif dalam proses pembentukan PKB di Jawa Timur. "Saya memang cocok dengan figur Gus Dur dan komunitas nahdliyin. Kita memang ingin mengedepankan pemahaman Islam yang ramah, toleran, dan demokratis," kata pengusaha diler sebuah merek sepeda motor terkenal asal Jepang itu.

Handoko bahkan kemudian dipercaya menjadi pengurus teras di partai bintang sembilan itu. Sejak itu aktivitas keseharian ayah dua anak itu luar biasa padatnya. Sambil mengurus bisnis, ada saja aktivis politik yang datang ke kantornya di kawasan Sedati Agung.

"Saya menjadi paham liku-liku dan seluk-beluk politik. Bahwa di politik itu faktor kepentingan sangat dominan. Kalau sudah bicara kepentingan, teman sendiri bisa disikut," katanya.

Alhasil, selama 10 tahun terakhir, Handoko sudah mencicipi pengalaman sebagai aktivis, bahkan pengurus, beberapa partai politik. Ketika dia berusaha mengambil jarak dengan dunia politik, ada saja kader partai yang merangkulnya.

 "Saya pikir berpolitik juga bagian dari pengabdian kita kepada masyarakat. Politik juga bisa dikatakan sebagai ibadah," ujar pria yang kini menjadi pengurus DPD Partai Golkar Sidoarjo itu.

Sebagai warga negara yang baik, menurut Handoko, orang Tionghoa seharusnya perlu memberi warna tersendiri pada kehidupan politik di tanah air. Sebab, suka tidak suka, berbagai kebijakan dalam kehidupan berbangga dan bernegara ditentukan oleh para politisi di lembaga legislatif atau eksekutif. "Maka, orang Tionghoa perlu terlibat di politik supaya kita bisa bicara, kasih masukan, dan ikut menentukan kebijakan publik," tegasnya.

Hanya, Handoko buru-buru menambahkan, semua orang PITI yang terjun ke politik tidak boleh membawa-bawa organisasi, melainkan pribadi. Sebab, PITI itu organisasi sosial keagamaan, bukan organisasi politik. PITI pun tidak dibenarkan terlibat dalam dukung-mendukung calon tertentu.

"Apalagi, orang PITI itu partainya bermacam-macam. Ada yang Golkar, PKB, PAN, Demokrat, dan sebagainya," katanya. (*)

Dimuat di Radar Surabaya edisi 13-15 Mei 2010