Minggu, 27 Oktober 2024

Transformasi Bangunan Gereja Mangkrak Menjadi SMA Katolik Untung Suropati Krian


Pada tahun 1993, sebuah rencana ambisius dimulai di Krian, Sidoarjo. Sebuah gereja direncanakan dibangun untuk melayani sekitar 1.000 jiwa umat Katolik di wilayah Krian, Kedamaian, Tarik, dan Mojosari. 

Namun, apa yang dimulai dengan harapan, berubah menjadi sebuah cerita yang panjang dan penuh tantangan.

Setelah semua prosedur perizinan dilalui, pembangunan gereja ini terhenti pada 7 Juni 1994, ketika sekelompok orang menghentikan proses tersebut. Berbagai upaya sudah dilakukan tapi kandas. 

Uskup Surabaya Msgr. Johanes Hadiwikarta (saat itu) memutuskan agar proses pembangunan gereja dihentikan. Suasana tidak kondusif. Kalau dipaksakan bakal berdampak buruk dan merugikan umat Katolik di Stasi Krian.

 Sejak saat itu, bangunan tersebut dikenal sebagai "Gereja Santo Mangkraksius" di kalangan umat Katolik di Krian dan Sidoarjo.

Selama 27 tahun, bangunan ini mangkrak dan menjadi simbol kegagalan, bahkan menjadi objek uji nyali dan konten hantu-hantuan di media sosial, seperti yang diungkapkan oleh Anton, seorang warga Krian.

Banyak warga Sidoarjo, bahkan umat Katolik, tidak mengetahui alasan di balik mangkraknya gedung ini. Khususnya generasi muda yang lahir setelah peristiwa unjuk rasa dan perusakan di tahun 90-an, banyak yang tidak memiliki pemahaman tentang sejarah pahit ini.

Keuskupan Surabaya pun akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pembangunan gereja di lokasi tersebut. Sebab tidak ada jaminan bahwa gangguan dari oknum seperti di masa lalu tidak akan terulang. 

Dalam kondisi ini, Uskup Surabaya, Msgr. Vincentius Sutikno Wisaksono (RIP), mengambil langkah berani dengan mengubah peruntukan lahan tersebut menjadi sekolah. Ini disampaikan Bapa Uskup saat meresmikan Stasi Krian menjadi Paroki Krian.

Pada 15 November 2021, proses pembongkaran bangunan mangkrak dimulai dan ditargetkan selesai pada 30 November 2021. Lahan yang sebelumnya menjadi tempat kekhawatiran kini akan dialihfungsikan menjadi gedung SMA Katolik Untung Suropati Krian. 

Sekolah ini telah lama menumpang di gedung SMP, dan akhirnya mendapatkan kesempatan untuk memiliki gedung sendiri. Transformasi ini bukan hanya sekadar pengalihan fungsi bangunan, tetapi juga simbol harapan baru bagi umat Katolik di Krian dan sekitarnya. 

SMA Katolik Untung Suropati Krian diharapkan dapat menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas dan mendukung pengembangan karakter generasi muda, menjadikan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat.

Gedung SMA Katolik Untung Suropati Krian akhirnya diresmikan pada Sabtu, 6 Mei 2023. Suasana haru dan syukur kepada Allah terpancar dari wajah pengurus yayasan, para guru, serta siswa SMA Katolik Untung Suropati Krian yang kini memiliki gedung sendiri.

Seorang guru yang sudah mengabdi selama lebih dari satu dekade di SMA Katolik Untung Suropati Krian mengungkapkan rasa syukurnya. "Puji Tuhan, akhirnya kami bisa memiliki gedung sekolah sendiri setelah nebeng di SMPK selama puluhan tahun," ujarnya dengan penuh haru.

 Para siswa pun tampak antusias menyambut fasilitas baru yang jauh lebih memadai dibandingkan gedung sebelumnya.

Dengan fasilitas yang lebih lengkap, SMA Katolik Untung Suropati kini dapat mewujudkan visi pendidikan yang lebih optimal. Sekolah ini berkomitmen untuk menyediakan pendidikan berkualitas yang tidak hanya fokus pada akademik, tetapi juga membina karakter serta nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. 

Penyanyi Tunanetra Martin Kurman: Suara dari Lamaholot yang Menginspirasi


Martin Kurman, penyanyi tunanetra yang berasal dari Adonara, Flores Timur, telah menjadi suara ikonik yang menggugah masyarakat, baik di dalam maupun di luar Nusa Tenggara Timur. 

Dengan kemampuan vokalnya yang luar biasa, Martin mempopulerkan lagu-lagu berbahasa Lamaholot yang sarat makna. Salah satunya "Koda Kenirin," ciptaan Vinsen Ileratu. Lagu ini mengisahkan tentang kekuatan Alam Semesta yang ada sejak sebelum banjir besar melanda bumi.

Martin menyampaikan pesan mendalam tentang penciptaan surga dan bumi, serta pentingnya merawat nilai-nilai yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Lagu ini menjadi inspirasi bagi masyarakat Lamaholot untuk menjaga sistem nilai dan tradisi mereka. Seperti yang terungkap dalam syairnya:

"Buta bete, walan mara hala wati  
Ama… mo molo tawan kae  
Tana tawan ekan gere di wa ulin  
Bapa.. mo wahrin gere kae"

Lirik ini menyiratkan hubungan spiritual antara manusia dan pencipta, menggugah rasa syukur kepada Tuhan atas ciptaan-Nya. Martin menambahkan nuansa emosional yang kuat, membuat pendengarnya merasakan kedalaman makna dari setiap kata.

Lagu Ina Maria, devosi kepada Bunda Maria dalam bahasa Lamaholot, terasa syahdu saat dibawakan oleh Martin Kurman. Suasana terasa sedih bak ratapan orang tak berdaya yang meminta bantuan Sang Bunda.

"Louke loranga denga lagu-lagu Ade Martin," kata Tuto Goe, warga Lembata yang sangat menggemari lagu-lagu Martin Kurman di YouTube.

Selain lagu-lagu rohani, Martin juga dikenal dengan lagu-lagu ceria untuk menghibur penonton. Biasanya lagu-lagu dangdut lawas dimodifikasi dan dibawakan dengan gaya khas Martin.

 Di konser-konsernya, Martin tidak hanya menyuguhkan suara yang menyentuh, tetapi juga membawa kebahagiaan. Ia mampu membangkitkan tawa dan kegembiraan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.

Salah satu lagu yang paling terkenal, "Gampang Hala," mengadopsi irama tarian Sole Oha yang menjadi tradisi di kalangan etnis Lamaholot. Lagu ini sering dinyanyikan dalam tarian massal yang dilakukan oleh warga Lamaholot, baik di Indonesia maupun di luar negeri. 

"Talenta yang Tuhan berikan untuk Martin Kurman benar-benar luar biasa," kata Bunga Muda, seorang penggemar yang tinggal di Surabaya. "Dia adalah salah satu seniman Lamaholot paling berbakat yang pernah saya lihat."

Dengan setiap penampilannya, Martin Kurman tidak hanya membawa musik, tetapi juga kebanggaan akan identitas Lamaholot. Suaranya terus menginspirasi banyak orang, mengajak kita semua untuk merayakan dan menjaga warisan budaya yang kaya ini. 

Sabtu, 26 Oktober 2024

Hotel Irian Surabaya: Hotel Bersejarah Era Kolonial di Dekat Pasar Atom

Hotel Irian Surabaya, yang dahulu dikenal sebagai Hotel Insulinde, adalah salah satu hotel tua peninggalan Hindia Belanda yang masih bertahan di tengah pesatnya modernitas Kota Surabaya. 

Berlokasi strategis di Jalan Samudera 16, hotel ini hanya berjarak sekitar 50 meter dari Pasar Atom, pusat perbelanjaan legendaris di Surabaya.

Chrisyandi Tri Kartika, pustakawan Universitas Ciputra Surabaya sekaligus koordinator komunitas pecinta sejarah PSL, menjadikan Hotel Irian sebagai salah satu destinasi blusukan sejarah. Hotel Irian, dengan desain interior bergaya kolonial yang khas, menyajikan nuansa nostalgia. 

Mulai dari lantai ubin, cermin, lemari kayu antik, hingga ranjang tua, semuanya memiliki daya tarik unik bagi pengunjung yang ingin merasakan pengalaman masa lalu.

Selain keunikan arsitektur Hotel Irian, kawasan Jalan Samudera sendiri juga menyimpan nilai historis yang menarik. Dahulu, kawasan ini dikenal sebagai Jalan Bakmi. Ada Gereja Tionghoa pertama yang melayani jemaat dalam tiga dialek bahasa Tionghoa. Ini menambah kekayaan sejarah yang jarang ditemui di tengah kota metropolitan.

Hotel Irian menawarkan berbagai jenis kamar dengan tarif terjangkau. Cocok bagi pedagang maupun wisatawan yang mencari pengalaman menginap bernuansa kolonial. 

Salah satu pelanggan setia hotel ini, Wibawa Teja, mengisahkan pengalamannya menginap bersama keluarga. 

"Hotel paling nyaman di Surabaya adalah Hotel Irian. Ubin, cermin, lemari, ranjangnya semua antik. Terakhir nginap di sana waktu belanja barang antaran untuk melamar istri," ungkapnya.

Hotel Irian bukan sekadar penginapan, melainkan potongan sejarah yang masih hidup di Surabaya. Bagi pengunjung yang ingin merasakan suasana kota masa lalu, Hotel Irian Surabaya adalah pilihan yang tak tergantikan.

 Di tengah modernitas, hotel ini tetap mempertahankan pesona klasiknya, mengajak pengunjung menikmati atmosfer Surabaya tempo dulu. 

(NB: Naskah ini ditulis dengan bantuan AI).

Kamis, 10 Oktober 2024

Mengenang Sekolah-Sekolah Tionghoa di Surabaya sebelum Masa Orde Baru (1966)

Upaya untuk melestarikan memori Kota Surabaya terhadap sejarah pendidikan di kalangan komunitas Tionghoa kini sedang diinisiasi oleh Osa Kurniawan Ilham, dosen Universitas Ciputra (UC) Surabaya. 

Bersama para mahasiswa, Osa sedang mengerjakan proyek penyusunan memorial book, yang akan mengabadikan kisah serta memori bangunan sekolah-sekolah Tionghoa yang pernah berdiri di kota ini.

Sebagian besar bangunan sekolah Tionghoa tempo dulu kini beralih fungsi menjadi bangunan milik pemerintah. Menurutnya, proyek ini diharapkan dapat menghidupkan kembali ingatan tentang peran penting komunitas Tionghoa dalam dunia pendidikan Surabaya pada masa lampau.

Meski para alumni sekolah tersebut kini sudah lanjut usia dan jarang aktif di media sosial, masih ada banyak informasi yang bisa digali dari mereka. Foto-foto di media sosial juga ada meski tidak lengkap.

"Tidak sulit karena alumninya banyak. Masalahnya, para alumni sudah sangat tua dan tidak main medsos, kecuali Bapak Dr. Anthony Tjio, yang sekolahnya LHHS ditutup tahun 1958 kalau tidak salah," ujarnya.

Dr. Anthony Tjio, alumnus Lian Huo High School (LHHS) Surabaya, saat ini berdomisili di Tiongkok. Ia berbagi cerita mengenai pengalaman alumninya dan sejarah sekolah-sekolah Tionghoa di Surabaya. 

"Sebelum 1960, di Surabaya ada tiga SMA Tionghoa, masing-masing dengan aliran ideologi yang berbeda. Pertama, Lian Huo High School (Lian Chung) yang konservatif dan berafiliasi dengan Kuomintang di Taiwan, beruniform putih-biru. 

Kedua, Chung Hua High School (Chung Chung) yang netral, beruniform putih-putih. Ketiga, Sin Hua High School (Sin Chong) yang progresif dan berafiliasi dengan Republik Rakyat Tiongkok, beruniform putih-kopi susu, yang identik dengan kaum buruh Tionghoa," jelasnya.

Anthony melanjutkan, "Saya alumnus Lian Chung dan setelah sekolah, saya hijrah ke Amerika. Setelah semua sekolah Tionghoa ditutup oleh Orde Baru, banyak alumni Sin Chung dan Chung Chung yang pergi ke Mainland China untuk melanjutkan pendidikan mereka. 

Mereka berangkat ke Tiongkok pada masa Revolusi Budaya, yang menggulingkan feodalisme dan kasta masyarakat ciptaan Konghucu. Dampaknya, para terpelajar yang berpredikat kasta tertinggi KHC diharuskan turun ke sawah dan pabrik untuk berkontribusi dalam produksi sandang dan pangan."

Setelah Revolusi Budaya di tahun 1970-an, alumni tersebut diperbolehkan meninggalkan Tiongkok, yang memicu terjadinya eksodus ke Hong Kong Inggris dengan persyaratan yang ketat. Mereka keluar dengan kantong kosong.

 "Sebagai keturunan dengan jiwa resilience, kami belajar untuk bertahan dan sukses di mana pun berada," tambahnya.

Beberapa anggota grup Peranakan Tionghoa menyebut, dari 16 sekolah yang tercantum dalam daftar prioritas versi Osa, kemungkinan hanya 8 sekolah yang memiliki dokumentasi foto yang cukup lengkap di internet. 

Berikut daftar sekolah Tionghoa di Surabaya yang menjadi fokus dokumentasi dalam proyek memorial book ini:

1. Sekolah Chiao Kuang – Jl. Kranggan
2. Sekolah Khay Ming – Jl. Kalianyar
3. Sekolah Shin Hwa – Jl. Ngaglik
4. Sekolah Min Chiang – Jl. Kaliasin
5. Sekolah Sin Kiaw – Jl. Kapasan

6. Sekolah Chiao Chung – Jl. Pecindilan
7. Sekolah Ching Hua Kuo Min – Jl. Gentengkali
8. Sekolah Fu Wu – Jl. Kawung
9. Sekolah Hua Kiaw – Jl. Waspada
10. Sekolah Kuang Hua – Jl. Bunguran


11. Sekolah Hua Kiaw – Jl. Bunguran
12. Sekolah Chiao Tong – Jl. Darmokali
13. Sekolah Tiong Sian – Jl. Gembong Cantikan
14. Sekolah Tiongkok Lie Hak – Jl. Sidodadi
15. Sekolah Nan Chiang – Jl. Belakang Penjara
16. Sekolah Hok Kian Kong Tik Soe – Jl. Bibis (perkumpulan Hokkian)

Sabtu, 05 Oktober 2024

Mengenang Romo Antonius Benny Susetyo: Pastor Humanis yang Penuh Kontroversi

Romo Antonius Benny Susetyo, staf khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), meninggal dunia pada Sabtu, 5 Oktober 2024. Pastor yang dikenal dengan gagasan dan komunikasinya yang luwes ini berpulang hanya lima hari sebelum ulang tahunnya yang ke-56. 

Romo Benny meninggal di RS Mitra Medika Pontianak pada pukul 00.15 WIB. Jenazahnya dibawa ke Rumah Duka Gotong Royong, Blimbing, Malang, untuk disemayamkan.

Romo Benny, yang berasal dari Malang, terakhir menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan BPIP di Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, pada 3 Oktober 2024. Seminar tersebut mengangkat tema "Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dalam Berbangsa dan Bernegara: Kedaulatan Sumber Daya Alam," yang mencerminkan salah satu perhatian besar Romo Benny terhadap peran moral dalam tata kelola negara.

Bernie Making, seorang teman yang mengenal Romo Benny sejak Oktober 1996, merasa kehilangan besar atas kepergian Romo Benny. Ia mengenang masa awal mereka berkenalan di Situbondo ketika Romo Benny baru saja ditahbiskan sebagai imam praja Keuskupan Malang.

 Pada 10 Oktober 1996, ketika terjadi pembakaran 12 gereja di Situbondo, termasuk Gereja Katolik Bintang Samudera, Romo Benny menjadi figur penting dalam menjalin komunikasi lintas agama.

Salah satu momen penting dalam perjalanan hidup Romo Benny adalah ketika ia, setelah berkonsultasi dengan salah satu idolanya, Romo Mangunwijaya, mulai membangun hubungan dekat dengan Gus Dur, yang saat itu menjabat sebagai Ketua PBNU.

 Keduanya menjalin persahabatan erat yang berbuah pada kunjungan Gus Dur ke Situbondo. Bersama-sama, mereka menyusuri sejumlah pondok pesantren, mengadakan dialog antaragama, dan menyelenggarakan pasar murah di halaman gereja yang terbakar.

Kedekatan Romo Benny dengan Gus Dur tidak berhenti di situ. Saat Gus Dur menjadi Presiden RI, Romo Benny sering mengunjungi Istana Negara untuk berdiskusi dan menikmati guyonan khas Gus Dur. 

"Guyonan Gus Dur seakan tidak pernah habis," kenang Romo Benny dalam salah satu kesempatan. "Gaya Gus Dur tidak pernah berubah meskipun sudah jadi presiden."

Namun, di tengah kiprahnya yang luas di bidang sosial dan politik, Romo Benny juga menjadi figur yang kontroversial. Pernyataan-pernyataan tajamnya di berbagai media massa membuatnya lebih mirip seorang politikus atau aktivis dibandingkan pastor, sesuatu yang mengejutkan banyak umat Katolik.

 Isu bahkan sempat merebak bahwa Romo Benny telah melepaskan jubah imamatnya. Namun Keuskupan Malang kemudian mengklarifikasi bahwa Romo Benny tetap seorang pastor hingga akhir hayatnya.

Meskipun demikian, polemik tetap menghiasi perjalanan hidup Romo Benny. Ia tidak lagi terinkardasi pada Keuskupan Malang sejak 2023, yang berarti tidak dapat memimpin misa atau sakramen hingga ia mendapatkan inkardasi dari keuskupan lain. Namun, hal ini tidak mengurangi semangatnya dalam berkontribusi pada masyarakat luas melalui berbagai aktivitasnya.

Kini, Romo Benny telah pulang ke rumah Bapa. Sosoknya sebagai pastor yang humanis, komunikatif, dan penuh dedikasi dalam membangun persaudaraan antarumat akan selalu dikenang. 

Selamat jalan, Romo Benny!

Kamis, 03 Oktober 2024

Hotel Ganefo Surabaya: Menelusuri Keindahan Arsitektur Abad 19 di Tengah Modernitas Kota




Di tengah hiruk-pikuk Jalan Kapasan, Surabaya, terselip salah satu bangunan bersejarah yang kaya akan nilai arsitektur dan nostalgia, Hotel Ganefo. Bagi mereka yang lahir di era 1980-an atau sebelumnya, hotel ini mungkin masih terdengar akrab, tetapi bagi generasi muda, tempat ini hampir terlupakan. 

Maureen Nuradhy, dosen Universitas Ciputra Surabaya, menuturkan kisah menarik tentang hotel bersejarah ini.

"Untuk yang seumuran saya dan lahir di Surabaya, biasanya tahu hotel ini. Namun, generasi anak-anak saya jarang sekali ada yang tahu, apalagi lokasinya yang agak tersembunyi di kawasan urban Jalan Kapasan," ujar Maureen. 

Ia mengenang bagaimana di masa kecil, keluarganya beberapa kali mengunjungi hotel ini untuk menemui kerabat atau teman yang menginap di sana, sekitar tahun 1980-an.

Hotel Ganefo adalah salah satu contoh arsitektur bergaya Empire Indische Stijl dengan elemen simetris dan portico besar di bagian depan serta belakang. Fitur ini didesain untuk menanggulangi iklim panas dan lembab khas Surabaya. 

Selain itu, bangunan ini dihiasi tiang-tiang besar bergaya klasik Eropa (neoclassic/classic revival) dan fascia kayu khas Eropa di bawah atapnya, memberikan sentuhan artistik yang unik.

Menurut catatan tertua yang ditemukan, seorang penulis Eropa pernah mengunjungi bangunan ini pada tahun 1890-an untuk menemui The Toan Ing, putra Major The Boen Khe, pemilik rumah besar ini. Namun, data pasti tentang kapan rumah tersebut dibangun masih menjadi misteri. 

"Dari penelusuran yang saya lakukan, saya belum menemukan data kapan rumah ini dibangun," tambah Maureen.

Bangunan ini kemudian dibeli oleh Tan Siong Chiu, dengan plakat izin operasional hotel yang tertanggal tahun 1957. Interior lobi hotel yang dilengkapi dengan mebel bergaya art deco mengindikasikan bahwa perabotan tersebut kemungkinan dibuat pada era 1930-an. 

Namun, tidak semua bagian hotel mempertahankan keaslian dari abad ke-19. "Sisi belakang bangunan sudah tidak orisinil, tampaknya renovasi dilakukan sekitar tahun 1950-an," jelasnya.

Salah satu hal yang paling menonjol dari hotel ini adalah taman bergaya Tionghoa yang dulunya menghiasi bagian belakang bangunan. Maureen mengingat bagaimana saat kecil ia sering menikmati keindahan taman tersebut, lengkap dengan kolam, bonsai, dan miniatur bangunan khas Tionghoa. 

"Sayangnya, sekarang hanya sekitar 10 persen dari taman aslinya yang tersisa," kenangnya. 

Penulis Eropa yang pernah mengunjungi tempat ini pada 1890-an juga mendeskripsikan taman yang sama, menunjukkan bahwa taman tersebut adalah bagian tak terpisahkan dari bangunan sejak awal.

Maureen menyampaikan harapannya agar Hotel Ganefo, terutama tamannya, dapat direstorasi. "Seandainya ini direstorasi, betapa indahnya. Apalagi mengingat sangat jarang ada peninggalan taman abad ke-19 di Surabaya," ungkapnya.

Sementara itu, Budi, anggota komunitas sejarah Surabaya, menambahkan informasi penting tentang perubahan yang dialami Hotel Ganefo. "Sebelum proyek pelebaran jalan pada era 1970, gerbang hotel Ganefo lebih terlihat kemegahannya. Tapi pemandangan itu sudah terhapus dari memori saya," ujarnya. 

Ia juga menyebutkan bahwa di seberang hotel terdapat kantor polisi Seksi 5 yang konon dibangun pada era yang sama dengan hotel ini.

Menariknya, Budi juga mengungkapkan bahwa moyangnya datang dari Tiongkok dan tinggal di perkampungan sekitar Seksi 5 pada tahun 1900-an. "Keluarga saya dulu tinggal di area ini, dan setiap kali saya melintas di depan hotel ini, ada rasa nostalgia yang kuat," tambahnya.

Hotel Ganefo bukan hanya sebuah bangunan tua, tetapi sebuah saksi sejarah yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Keberadaannya di Surabaya bukan hanya menjadi bagian dari nostalgia, tetapi juga potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah yang mengedepankan keindahan arsitektur dan budaya.

Rabu, 02 Oktober 2024

Kawan Lama Daniel Kumanireng Masih Berjuang untuk Korban Tragedi Kanjuruhan

Tragedi Kanjuruhan sudah dua tahun berlalu. Sebanyak 135 orang suporter Arema FC meninggal dunia. Banyak orang sudah lupa, move on, tapi tidak bagi keluarga korban.

Salah satunya Daniel Doweng Kumanireng. Belum lama ini Daniel bersama beberapa keluarga korban dan pengacara datang ke Surabaya. Mempertanyakan restitusi atau santunan yang dulu dijanjikan.

"Sudah dua tahun kami tunggu. Belum ada realisasi," kata Daniel yang asli Flores Timur itu.

Daniel Doweng kawan lama zaman persekolahan di Larantuka, Flores. Saya lebih dulu merantau ke Malang. Dia menyusul setelah tamat SMAN 1 Larantuka. Lalu kuliah di Malang.

Belakangan saya tahu Daniel jadi dosen kampus swasta di Malang. "Kawan kita itu benar-benar penggemar sepak bola. Khususnya Arema," kata Gabriel Hokon, juga teman satu sekolah di Larantuka, kini tinggal di Kenjeran Surabaya.

Rupanya hobi nonton bola di Gajayana, kemudian pindah homebase di Kanjuruhan si Daniel menular ke Philip Kumanireng, anaknya. Philip selalu nonton Arema main.

Takdir tak dapat ditolak. Philip jadi korban tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 itu. Philip meninggal bersama pacarnya di dalam Stadion Kanjuruhan.

Daniel kehilangan anak kesayangan + calon menantu. Betapa hancur hati kawan itu. Setelah dua tahun Daniel sudah bisa berdamai dengan takdirnya. Namun janji restitusi itu tetap ditagih Daniel bersama ratusan keluarga korban Kanjuruhan.

Semoga di era Presiden Prabowo ada secercah harapan meski saat ini Kabinet Merah Putih masih sibuk membahas program makan siang gratis.