Sabtu, 19 Maret 2022

Memeng-memeng telanjang dada di Lembata

Iseng-iseng saya coba ketik kata "Lembata" di arsip foto-foto tempo doeloe Universitas Leiden, Belanda. Wow, langsung muncul foto-foto eksotis sekitar tahun 1928 atau 1929.

Sangat menarik, unik, dan khas. Tapi bisa dianggap primitif atau melanggar norma susila dan agama, kata orang sekarang.

Perempuan-perempuan muda, tua, anak hampir semuanya telanjang dada. Tidak pakai kutang, bra, BH, atau apa pun namanya. Pun tidak tutup payudara dengan sarung.

Mereka pun tampak bersikap wajar saat difoto oleh orang bule Belanda. Tidak malu atau sungkan karena susunya terbuka. Padahal foto dari jarak dekat, closed up.

Ada keterangan di teks foto Belanda itu. Mulai dari Lamalera, Lerek, Atawatung, dan beberapa tempat lain. Itulah wajah polos apa adanya orang-orang kampung di Pulau Lembata tahun 1920-an.

Orang-orang Lembata, NTT umumnya, sudah pandai membuat tenun ikat. Kainnya dijadikan sarung. Tapi atasannya belum ada. Makanya wanita-wanita telanjang dada. Bapak-bapak juga tidak pakai baju.

Tahun 80-an saya masih lihat beberapa "memeng" (bahasa Lamaholot: nenek-nenek) di kampung di Pulau Lembata yang gayanya persis di foto Belanda itu. Telanjang dada. Tidak ada yang merasa ganjil karena memang sudah biasa. Tapi jumlahnya tidak banyak. Satu desa mungkin tak sampai lima memeng.

Wanita-wanita muda sudah lama meninggalkan kebiasaan memeng-memeng itu. Tapi kebiasaan pakai sarung sangat umum. 

Bahkan sampai sekarang pun sebagian besar wanita di kampung-kampung Lembata pakai sarung ke gereja. Dianggap lebih sopan dan anggun ketimbang pakai kaos oblong atawa t-shirt.

Ukuran kesopanan di tanah air memang terus berubah dari masa ke masa. Kalau dulu wanita telanjang dada dianggap biasa, sekarang diminta tutup seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Cuma kelihatan matanya doang!

Kalau kelihatan rambutnya malah dianggap berdosa. Melanggar perintah Tuhan.

Mea culpa, mea maxima culpa!

Jumat, 18 Maret 2022

Pater Kurt Bart SVD setia sampai akhir

Satu lagi pater tua berbahagia di Rumah Bapa. Pater Kurt Bart SVD, pengurus Rumah Retret Kemah Tabor di Mataloko Flores. Pastor asal Jerman ini meninggal pada usia 87 tahun.

Akhir pekan lalu Pater Alex Beding SVD asal Lembata, NTT, berpulang dalam usia 98 tahun. Kedua pater ini sangat terkenal di NTT, khususnya Flores. Keduanya jadi bapa rohani pater-pater yang jauh lebih muda.

Kitab Mazmur bilang usia manusia itu 70 tahun. Kalau ada bonus ya 80 tahun. Kalau manusia bisa hidup di atas 80 tahun berarti bonusnya banyak. Terpujilah Kristus!

Berdasar catatan teman-teman di Flores, setidaknya ada 5 pater SVD lansia yang masih kerasan di Flores. Meskipun resminya sudah pensiun karena faktor usia. Tapi tidak mau pulang ke negara asalnya di Belanda, Jerman, dsb.

Pater Kurt Bart SVD ini salah satu dari 5 misionaris Eropa itu. Setelah kematian Pater Kurt maka tinggal 4 pater londo di Flores. 

Pater Kurt Bart SVD menjadi pater misionaris ke-520 yang bermisi sampai meninggal di tanah misi. Terlalu sulit meninggalkan Flores yang sering disebut pulau bunga - meski tak banyak bunga segar di sana.

Kita orang dari NTT, khususnya Flores dan pulau-pulau sekitarnya, tentu sangat kehilangan Pater Kurt. Tapi kita percaya beliau sudah bahagia di surga.

Pater Kurt telah mengakhiri pertandingan dan setia sampai akhir.

Setetes Air dari Lembata untuk Nusantara

Beberapa hari ini beredar video yang viral di kalangan warga NTT. Khususnya di perantauan. Ritual penyerahan air dan tanah dari bumi Flobamorata (Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata) untuk dibawa Gubernur NTT Viktor Laiskodat ke ibu kota Nusantara di Kalimantan.

Tentu tidak semua 22 kabupaten di NTT ikut serta. Diambil 7 atau 9 daerah sebagai perwakilan. Ada yang dari Flores, Sumba, Timor, Sabu Raijua, Lembata. Ada yang dapat jatah air, ada daerah yang sumbang tanah. Demi  Nusantara jaya.

Yang paling menarik bagi saya tentu prosesi penyerahan air dari Pulau Lembata. Sepertinya mewakili kawasan etnis Lamaholot yang meliputi Adonara, Solor, Lembata, Flores Timur daratan.

"Kame mete wai!" kata tokoh Lembata dalam bahasa dan logat yang sangat saya kenal.

Artinya, kami membawa air. Lalu ia merinci nama-nama tempat pengambilan air tanah itu. Meliputi seluruh Lomblen, nama lama Pulau Lembata, dari utara, selatan, timur, barat, tengah, dsb.

Saya dan beberapa orang Lamaholot di Surabaya dan Sidoarjo pun sempat diskusi ringan soal ritual ambil air untuk IKN itu. Tidak menyangka Presiden Jokowi punya ide unik seperti itu. Benar-benar kejutan yang menggembirakan.

"Nae punya pembisik2 itu org hebat yg lewo tana anaka kereen.. jadi selalu berasaskan temutu dan adat ama. Hullen  aja nae punya gaya bicara. Org desa yg mengkota... ☺️☺️☺️," komentar Ama Paul, tokoh Adonara di Sidoarjo.

Lihat saja Jokowi punya gaya bicara. Orang desa yang mengkota. Orang hebat dari kampung yang selalu berasaskan adat nenek moyang. Begitu kira-kira arti bahasa Lamaholot itu.

Masih dari Ama Paul: "Nae sendiri (Jokowi)  belajar paham tentang adat dan koda puken ama. Selalu pehen koda kirin. Beberapa kali hut RI nae pake pakaian adat..pe salah satu buktinya ama."

"Mantap e ama," kata Gabriel Hokon, orang Tanjung Bunga, Pulau Flores, yang sudah karatan di Surabaya. 

Bung ini lebih sering berbahasa Nagi alias Melayu Larantuka ketimbang Lamaholot. "Torang iko senang le," katanya. (Kita orang juga ikut senang).

Seremoni tanah dan air dari 34 provinsi di IKN sudah selesai. Sebuah langkah besar, revolusi mental, sudah dilakukan Jokowi. Relokasi ibu kota NKRI ternyata tetap dilakukan meski pandemi covid masih merebak.

Kamis, 17 Maret 2022

Sopir Truk di Kalimas

Kawasan kota lama di Surabaya Utara memang menarik. Khususnya Kalimas dan sekitarnya. Begitu banyak gedung tua yang pernah jaya pada masa Hindia Belanda. Bekas-bekasnya masih bisa kita nikmati meski sebagian besar mangkrak dan hancur.

"The glory is over!" begitu judul salah satu cerpen Misbach Yusa Biran yang paling aku sukai.

Petang kemarin, seperti biasa, aku cangkrukan di warkop dekat Kalimas. Tepatnya di kawasan Nyamplungan. Hiruk pikuk dan sibuk. Rupanya pandemi is over.

"Sampean sopir truk di Kalimas, ya?" tanya seorang pria 40-an tahun. Orang itu mengaku asli Surabaya. Dari kampung Sidodadi.

"Iya.. di kawasan sekitar sini lah," jawab saya sekenanya.

 Membenarkan bahwa saya memang sopir truk di Kalimas. Bongkar muat di dermaga lawas dekat situ.

Ia bertanya macam-macam soal truk, derita jadi sopir, hingga perkembangan di NTT. Termasuk balapan di Mandalika, NTB. "Maaf, saya kurang paham perkembangan di Flores atau NTT. Sebagian besar umur saya habis di Jawa Timur," kataku.

Lalu saya mengalihkan pembicaraan soal minyak goreng. Mafia migor, mafia sawit, dsb. Tapi rupanya ia malas membahas minyak goreng. Lebih fokus ke truk. 

Makanya saya segera menghabiskan kopi tubruk. Menyingkir dari situ. Lah, wong aku gak iso nyetir truk! Malah sering maki-maki sopir truk yang ugal-ugalan di jalan raya.

Sopir truk. 

Hehehe.. menarik sekali profesi yang butuh skill dan keberanian tingkat tinggi. Berani nyalib, wani ugal-ugalan, wani sembarang. Nek koen gak wani nyetir yo mancing ae nak tambak darjo!

Sebelum sopir truk, saya dikira satpam. Kemudian Pak Satpam beneran di daerah Rungkut Menanggal selama ini mengira saya sebagai tukang ojek online. Maklum, saya selalu pakai jaket Persebaya warna hijau ke mana-mana. Mirip jaket hijau Gojek atau Grab.

Di kawasan Jembatan Merah, dekat Taman Sejarah atau Taman Jayengrono, saya disangka tukang kebun. Petugas kebersihan yang merawat taman dari Pemkot Surabaya. Bukan potongan juragan atau pedagang. Juga bukan potongan wartawan.

Saya tidak pernah membantah atau klarifikasi. Satpam, sopir, tukang ojek, petugas kebersihan, tukang sampah... punya manfaat. Bayangkan kalau para tukang sampah di Surabaya mogok massal.

Selasa, 15 Maret 2022

Indonesia tanah yang mulia



Pagi ini mampir ke makam WR Soepratman di Jalan Rangkah, Surabaya. Pahlawan nasional, komponis, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Soepratman juga wartawan terkenal pada masa Hindia Belanda.

Terlambat memang nyekar dalam rangka Hari Musik Nasional. Tapi paling tidak buat mengenang seniman yang hari lahirnya dijadikan hari musik Indonesia. Bahwa musik punya peran dalam perjuangan bangsa kita.

Namanya nyekar tapi tidak pakai kembang setaman. Cuma sembahyang pendek di dalam hati saja.

Lalu mampir ke warkop dekat makam itu. Alhamdulillah, ada seorang bapak yang antusias baca surat kabar. Serius sekali. Tidak bisa diajak basa-basa atau wawancara.

Alhamdulillah, koran cetak masih diminati. Jadi rebutan bapa-bapa lansia atawa lao ren. Yang muda-muda fokus ke telepon seluler. Main media sosial, game, order online, kenalan dsb.

Saking asyiknya, mereka tidak peduli dengan orang yang mampir di makam Soepratman.

Indonesia, tanah yang mulia

Tanah kita yang kaya

Senin, 14 Maret 2022

Matur Nuwun, Dr Urip Murtedjo! Selamat Jalan

Malaikat maut bisa ambil nyawa kapan saja. Siapa saja, di mana saja. Karena itu, kita sering terkejut dapat kabar kenalan atau keluarga kita meninggal dunia.

Mengapa meninggal? Sakit apa? Apa.. hemm kena covid? Pertanyaan macam ini cenderung basa-basi saja. Yang pasti, sudah takdir ilahi.

Dokter Urip Murtedjo pun berpulang. Selamat jalan, Dok! Semoga bahagia di surga.

Setelah membaca berita baru saya tahu kalau dr Urip, spesialis bedah kepala dan leher, punya komorbid. Cukup banyak ternyata, kata dr Wahjuni sang istri.

Ada diabetes, hipertensi, ginjal. Karena itu, ia belum bisa divaksin. ''Papa rentan sekali terpapar covid,'' kata dr Bramantyo putra almarhum dr Urip.

Nah, banyak orang awam seakan tidak percaya seorang dokter juga punya komorbid yang banyak. Apalagi level pimpinan rumah sakit terbesar. Yang punya anak buah sekian ratus dokter yang hebat.

Yang pasti, dr Urip Murtedjo ini sangat terkenal di Surabaya. Foto dan pernyataan selalu muncul di koran-koran, televisi, radio, serta media online. Ia sangat piawai menjelaskan masalah medis yang ruwet dalam bahasa awam sehingga mudah dimengerti.

Apa saja yang ada kaitan dengan RSUD dr Soetomo selalu menarik kalau disampaikan dr Urip. Almarhum juga selalu siap melayani pertanyaan-pertanyaan awak media. Termasuk pertanyaan yang terlalu polos atawa kurang mutu.

Para pekerja media di Surabaya berutang jasa pada dr Urip. 

Terima kasih, Dok!

Sabtu, 12 Maret 2022

Terima Kasih, Pater Alex Beding SVD, Perintis Pers di NTT

Minggu lalu saya iseng-iseng membaca buku lama tulisan Pater Alex Beding SVD. Semacam memoar, refleksi, sekaligus kegundahannya tentang Pulau Lembata. Pastor pertama dari Pulau Lembata, NTT, ini prihatin dengan sikap pejabat-pejabat daerah yang dianggap mengabaikan aspirasi rakyat.

Sabtu petang ini, 12 Maret 2022, di bawah pepohonan kawasan Jolotundo, Trawas, yang sejuk muncul berita duka di media sosial. Pater Alex Beding SVD meninggal dunia. Resquescat in pace!

Pastor Aleksander Koker Beding SVD, nama lengkapnya, mengakhiri tugasnya di dunia pada usia 98 tahun. Tercatat sebagai pater tertua di NTT. 

Di usia jelang satu abad, Pater Alex tetap berkarya. Membaca, menulis, membaca, menulis... Usia boleh tua tapi tidak pikun. Dan tetap bisa jalan kaki ke mana-mana.

PA Beding, nama populer Pater Alex di media massa, tetap kasih wejangan untuk pater-pater muda yang sudah masuk generasi cucu dan cicitnya. Pastor asal Desa Lamalera, kampung ikan paus itu, tak henti-hentinya bikin refleksi lewat tulisan-tulisan di media massa.

Tahun 2021 lalu Pater Alex Beding merayakan ulang tahun ke-70 imamatnya. Yah.. 70 tahun lalu pertama kali ada orang Lembata yang ditahbiskan jadi pastor. Anak nelayan jadi seorang penjala manusia.

Betapa banyak karya Pater Alex di Flores, NTT, dan Indonesia. Ialah yang mendirikan Penerbit Nusa Indah di Ende, Flores. Penerbit yang paling banyak menerbitkan buku-buku rohani Katolik di Indonesia. Juga buku-buku humaniora, bahasa, pertanian, dsb. Yang best seller tentu buku-buku bahasa Indonesia karangan Prof Gorys Keraf, akademisi yang kebetulan satu kampung dengan Pater Alex Beding di Lamalera.

Ketika media komunikasi belum sehebat sekarang, media sosial belum ada, Pater Alex Beding sudah meyakini pentingnya media massa. Pers yang isinya sejalan dengan kebutuhan masyarakat NTT. Bukan media yang Jakarta sentris atau Jawa sentris.

Maka, Pater Alex Beding SVD menerbitkan surat kabar Dian pada 1973. Awalnya dua mingguan, kemudian jadi mingguan. Sebelum Dian, Pater Alex dan tim di Nusa Indah menerbitkan majalah atau buletin Bentara kalau tidak salah.

Surat kabar Dian sukses besar. Jadi bacaan utama hingga ke pelosok desa yang tidak punya listrik. Masih pakai pelita. "Membangun manusia pembangun," begitu konsep Pater Alex dengan Dian itu.

Setelah Dian, Pater Alex bikin majalah anak-anak. Namanya Kunang-Kunang. Ini juga sangat sukses di masanya. Sayang, Dian kemudian tergusur harian Flores Pos yang tidak sesukses Dian. Ini juga karena Pater Alex tak lagi aktif lantaran usia yang sepuh.

Saya beberapa kali bertemu Pater Alex Beding SVD di Biara Soverdi, Jalan Polisi Istimewa Surabaya. Sempat ngobrol panjang lebar seputar media massa, perkembangan pers di NTT, hingga memudarnya Dian dan Kunang-Kunang.

Obrolan ringan ini saya unggah ke blog. Ternyata jadi salah satu rujukan profesor di Belanda untuk menulis buku besar tentang Sejarah Gereja Katolik di Indonesia. Prof Karel Steenbrink yang terkenal itu pun minta izin saya agar foto Pater Alex Beding dimuat di bukunya. Prof Steenbrink meninggal dunia tahun 2021 lalu.

Tak ayal lagi, Pater Alex Beding SVD tercatat sebagai tokoh perintis pers di NTT. Beliau mendapat penghargaan khusus pada peringatan Hari Pers Nasional beberapa tahun lalu.

Kini, Pater Alex, sang pelopor, sang pembangun, nelayan penjala manusia itu sudah tenang bersama Sang Pencipta. Terima kasih banyak, Pater!