Kamis, 14 Januari 2021

Nggowes Sepeda Tua, Ingat Pater Willem

Sudah agak lama saya tidak nggowes agak jauh. Biasanya cuma di bawah 7 kilometer saja sejak musim hujan. Apalagi banyak jalan berlubang di sekitar Juanda dan beberapa kawasan Surabaya. Kalau tidak hati-hati sepeda bisa patah.

Sepeda tuaku memang sudah patah sekitar tiga tahun lagi. Gara-gara masuk lubang di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo. Ada mobil dari belakang yang tidak toleran sama pesepeda pancal. Akhirnya saya melipir dan masuk lubang.

Apa boleh buat, rangkanya dilas. Bisa dipakai nggowes tapi tidak seenak sebelum patah. Tapi terpaksa tetap dipakai karena hanya sepeda lawas itu yang saya punya. Satu sepeda yang agak mahal hilang di alun-alun Sidoarjo, sedangkan satu sepeda biasa dihibahkan ke seorang ibu pemulung yang rajin baca kitab suci.

Hobi bersepeda lawas jarak sedang tiba-tiba kumat setelah menyaksikan video-video yang dibagi Eka Tanjung di YouTube. Bung Eka ini mantan penyiar Radio Nederlanda Seksi Indonesia alias Ranesi. Radio lawas gelombang pendek (SW) yang dulu aku suka, selain Radio Australia dan BBC seksi Indonesia.

Ranesi sudah lama tutup seiring datangnya era internet. Tapi beberapa penyiarnya justru sangat aktif di media sosial dengan konten-konten menarik. Salah satunya Bung Eka yang terkenal dengan program Serba Belanda.

Di channel Serba Belanda saya ngiler melihat ratusan, bahkan ribuan orang Belanda, seliwar-seliwer di jalan raya dengan sepeda. Modelnya sederhana saja. Ada sepeda lawas (vintage), sepeda ala ibu-ibu belanja di Pasar Pucang, hingga sepeda mutakhir. Sepeda balap atau sepeda sport malah jarang terlihat di Amsterdam, Groningen, Rotterdam, Delf, dan kota-kota lain.

Saya jadi hafal nama-nama kota di negara bekas penjajah itu meskipun tidak pernah pesiar ke Belanda. Oh, ya, ada kota yang namanya Breda. Kota yang saat saya kecil di Pulau Lembata sering disebut gara-gara Pater Willem van der Leur SVD berasal dari Breda.

Pater Willem ini benar-benar maniak sepeda onthel. Keliling desa-desa di Lembata, kunjungan ke stasi-stasi selalu pakai sepeda onthel. Sepedanya kelas top asli made in Hollands. Pater Willem pakai sepeda meskipun ada sepeda motor milik misi.

 "Pater Willem punya bapa itu orang sangat kaya di Belanda. Punya pabrik," kata Bapa Niko, pengurus gereja stasi di kampung. "Tapi Pater Willem lebih suka naik sepeda daripada pakai oto," ujar pengurus stasi yang tak lain ayahku itu.

Gara-gara Pater Willem inilah saya pun jadi ikut-ikutan doyan sepeda pancal. Meskipun cuma sepeda murahan. Kalah jauh dengan sepeda vintage ala Belanda itu. Juga kalah dengan sepeda-sepeda tua yang biasa dipakai komunitas-komunitas sepeda tua di Surabaya dan Sidoarjo.

Pagi ini saya nggowes dari ujung selatan-timur Surabaya menuju utara-timur di kawasan Bulak. Tepatnya di Patung Suroboyo yang dibangun Bu Risma, wali kota yang kini jadi menteri sosial. Cuaca cerah, agak sejuk, sangat nyaman untuk nggowes karena start sebelum pukul 06.00.

Total jarak tempuh 20 km lebih sedikit. Kecepatan rendah kayak orang-orang Belanda bersepeda di Amsterdam atau Groningen. Kalah jauh dengan Pater Willem asal Breda yang kecepatannya mirip pembalap.

Kamis, 31 Desember 2020

Malam Natal bersama Uskup Malang




Natal 2020 ini sedikit lebih baik ketimbang pekan suci Paskah lalu. Paling tidak masih ada segelintir umat yang diperbolehkan hadir dalam misa kudus secara langsung di dalam gereja. Sekitar 20 persen dari kapasitas gereja.

Beda dengan pekan suci yang benar-benar 100% ekaristi live streaming. Namun, pandemi korona yang sudah berlangsung selama sembilan bulan membuat kita makin terbiasa dengan streaming, online, daring, virtual, work from home (WFH), dsb.

Malam Natal kemarin saya berada di Malang. Kota yang tak asing bagi saya. Ikut misa atau ekaristi live streaming dari Gereja Katedral, Jalan Ijen, yang lumayan terkenal itu. Uskup Malang Mgr Henricus Pidyarto Gunawan, OCarm yang pimpin misa didampingi dua reverendus dominus (RD) alias rama diosesan.

Bapa Uskup Pidyarto ini juga tak asing lagi. Dulu para mahasiswa dan umat Katolik di Jember sangat sering mengundang Rama Pidyarto sebagai pembicara seminar. Beliau pakar kitab suci yang sangat produktif menulis buku.

 Mulai buku-buku teks yang berat untuk para seminaris dan pastor hingga buku-buku populer yang mirip katekismus. Buku Mempertanggungjawabkan Iman Katolik karya Rama Pydiarto (sekarang Monsinyur Pydiarto) sangat sangat populer. Khususnya yang sampulnya merah.

Ketika sudah jadi bapa uskup pun gaya Monsinyur Pidyarto tidak banyak berubah. Homilinya seperti saat Misa Malam Natal kemarin seperti pengajaran seorang guru besar di kampus. Monsinyur ini memang menyandang gelar profesor jauh sebelum ditahbiskan sebagai Uskup Malang di Stadion Gajayana.

Sudah sangat lama saya tidak pernah dengar khotbah atau ceramah Rama/Monsinyur Pydiarto. Mungkin sekitar 20 tahun. Karena itu, saya langsung terkenang masa lalu ketika sering mengikuti seminar atau pendalaman iman bersama Rama Pydiarto. 

Saat khotbah di Katedral Malang pun beliau mengutip kata-kata asli Alkitab kemudian menjelaskannya secara padat dan sederhana. Kemampuan seperti itu yang membuat beliau sering diundang ke mana-mana.

Meskipun suasana pandemi, misa malam Natal di Malang berlangsung relatif normal. Sekitar 1 jam 40 menit. Kita tidak kehilangan nuansa malam kudus meskipun tidak bisa lagi ke gereja sejak akhir Maret 2020 lalu.

Semoga pandemi Covid-19 bisa diatasi tahun 2021. Sudah terlalu lama kita menderita.

Jumat, 25 Desember 2020

Muhammad Hasan Hurek kepala desa saat krisis

Muhammad Hasan Hurek belum lama terpilih menjadi Kepala Desa Mawa Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata, NTT. Sempat ada pesta rakyat layaknya syukuran kepala desa baru. 

Tapi kegembiraan tak berlangsung lama. Beberapa pekan kemudian puluhan rumah adat milik masyarakat Desa Mawa dan Bungamuda ludes terbakar. Tak jelas asal usul si jago merah.

Dibantu Pemkab Lembata, warga gotong royong untuk membangun kembali rumah-rumah adat khas nenek moyang itu. Semacam pondok sederhana beratap alang-alang, daun kelapa, atau daun siwalan.

Ritual adat Lamaholot pun sudah disiapkan untuk rekonsiliasi. Berdamai dengan tanah ekan atau alam sekitar. Sebab, bagi sebagian besar orang di kampung, kebakaran puluhan rumah adat itu bukan kebakaran biasa. Ada sesuatu dengan leluhur.

Eh, tiba-tiba Ile Ape atau Gunung Lewotolok meletus. Mengeluarkan semburan hingga 5.000 meter. Hujan abu dan material vulkanik pun menyebar ke 26 desa di sekeliling Gunung Lewotolok. Sebagian besar bangunan rusak.

Ribuan warga terpaksa diungsikan ke Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Erupsi besar memang tidak ada lagi. Namun semburan kecil hingga 800 meter masih terjadi. Gempa bumi vulkanik pun terjadi setiap hari.

Masis Hurek, sapaan akrab Kepala Desa Muhammad Hasan Hurek, pun harus kerja keras mengurus rakyatnya yang mengungsi. Khususnya mengatur logistik, konsumsi, agar ribuan warga tidak kelaparan.

Masis Hurek ini beragama Islam. Ayahnya Bapa Hasan Hada Hurek (alm), nakhoda dan pelaut ulung asli Mawa Napasabok. Ibunya Mama Sawia (alm) asal Bonerate, Sulawesi. Keluarga muslim yang taat di kampung yang 95 persen beragama Katolik.

Orang-orang kampung di daerah asalku di Pulau Lembata memang sejak dulu tidak pernah membeda-bedakan agama. Kiwanan Watanen hama hena. Artinya, Katolik atau Islam saja saja. Hama-hama laran tang tai teti kowa lolon: Sama-sama jalan menuju ke atas awan (nirwana).

Karena itu, saudara sepupuku Masis Hurek ini dipercaya jadi kepala desa. Dulu juga pernah ada kades beragama Islam. Ama Hasan Kotak Wahon. Yang menarik, saat dipimpin kades muslim inilah berdiri SD Katolik Yonas di Desa Mawa Napasabok.

Kamis 24 Desember 2020, Kades Masis Hurek mengirim ucapan selamat Natal kepada keluarga besar warga desanya. Baik yang ada di lewotanah (kampung halaman) hingga rantau yang jauh di Malaysia, Batam, atau Jawa.

Tanah tahun ini benar-benar berbeda bagi orang Ile Ape. Bukan saja karena pandemi korona, tapi erupsi gunung api yang tak kunjung berakhir. Warga masih berada di pengungsian. Tak punya apa-apa. Makan minum menunggu bantuan pemerintah, gereja, dermawan, relawan dsb.

Acara gerian witi wawe (sembelih babi dan kambing) untuk perayaan Natal di desa sudah pasti tidak ada. Acara soka seleng atau dolo-dolo atau tarian rakyat tak ada lagi.

Semoga penderitaan bertubi-tubi ini segera berakhir. Dan semoga Pak Kades Masis diberi kekuatan oleh Tuhan agar mampu memimpin rakyatnya melewati krisis ini. Amin!

Kamis, 24 Desember 2020

Damai Natal di tengah pandemi

Kamis pagi, 24 Desember 2020.

Suasana di halaman Gereja Santa Teresa, Pandaan, tampak lengang. Tak terasa ada kemeriahan jelang Misa Malam Natal seperti tahun-tahun sebelumnya.

Hanya ada beberapa orang yang duduk santai di dekat pos satpam. Suasana pandemi membuat pertemuan jemaat sangat dibatasi. Ekaristi Natal yang biasanya sangat meriah pun harus mengalah. Demi mematuhi aturan pemerintah tentang protokol kesehatan, 3M, dan sebagainya.

"Kuota umat sudah habis. Misa Malam Natal sangat dibatasi. Tidak menerima umat dari luar," kata petugas keamanan dengan ramah.

Oh, rupanya ada Pater Stanislaus Beda CM duduk-duduk dekat pohon natal depan gereja. Ada dua anak muda yang menemani. Penampilan pastor asal Pulau Lembata, NTT, itu sangat kasual. Pakai celana pendek, kaos oblong, seperti baru selesai olahraga ringan.

Apa kabar, Pater? 

"Baik-baik saja," kata Pater Stanis seraya tersenyum.

Pria yang sudah 33 tahun jadi imam itu pun mengakui bahwa perayaan Natal tahun ini harus mengikuti prosedur kesehatan yang ketat. Satu bangku hanya diisi dua orang. Padahal biasanya sampai 10 orang atau lebih.

Toh, umat Katolik di Paroki Pandaan bisa ikut misa Malam Natal dari rumah lewat live streaming. Komsos paroki yang menyediakan layanan online mass. Komsos Keuskupan Malang juga menyediakan channel misa Malam Natal untuk umat di Keuskupan Malang. Paroki Pandaan memang masuk Keuskupan Malang.

"Kita harus hati-hati dengan pandemi ini. Khususnya dengan warga dari kawasan zona merah seperti Sidoarjo," kata Pater Stanis.

Tapi, setiap malam Natal malaikat bilang ke gembala-gembala, "Jangan takut!"

"Tapi saya kan manusia (bukan malaikat)," kata Pater Stanis yang terkenal dengan joke-jole segar saat berkhotbah itu.

Salam damai Natal untuk semua!
Damai di bumi, damai di surga!

Minggu, 20 Desember 2020

Anakku nomer loro wetenge loro

 Bahasa lisan dan bahasa tulisan sering berbeda. Spoken language dan written language tidak selalu sama. Apalagi bahasa tertulis yang baku. Khususnya bahasa-bahasa daerah yang punya aksara sendiri seperti bahasa Jawa.

Karena itu, orang Jawa sendiri pun sering tidak sadar bahwa sunarto harus ditulis sunarta, susilo susila, romo rama, projo praja, jenggolo jenggala, mojopahit majapahit....

Minggu pagi ini, 20 Desember 2020, saya ngobrol dengan Widodo Basuki, redaktur senior majalah Jaya Baya (bukan Joyo Boyo), sekaligus sastrawan Jawa yang sangat produktif.

Saya: Selamat pagi, Mas Widodo! Saya mau tanya mana ejaan standar bahasa Jawa? Tata krama atau toto kromo? Rama praja atau romo projo? Jenggala atau Jenggolo? Majapahit atau Mojopahit?

Widodo Basuki: Kalau ejaan dalam bahasa Jawa baku, yang benar: tata krama, rama, praja, jenggala, majapahit.

Saya: Berarti nama orang Jawa mestinya ditulis Mulyana, Suharta, Utama, Widada, Sulaksana, Hadimulyana...?

Widodo Basuki: Jika berhadapan dengan bahasa Indonesia seharusnya tetap ditulis "tata krama, praja" tapi dicetak miring. Bukan toto kromo, projo.

Harian Kompas penulisannya pakai kaidah seperti itu. Dan paling benar menurut saya.

Mengapa terjadi kesalahkaprahan di masyarakat?

Widodo Basuki: Memang kebanyakan kesalahan penulisan bahasa Jawa, kecenderungan menulis berdasarkan "bahasa lisan" bukan "bahasa tulis", seperti teks-teks pada lagu video campursari. Sehingga  dalam menulis "loro" (dua) disamakan dengan "loro" yang maknanya sakit. Padahal sakit seharusnya "lara". Coba bayangkan jika menulis "Anakku nomer loro wetenge loro".

Oh, kelihatannya ada masalah transliterasi dari aksara hanacaraka ke Latin.

 Widodo Basuki: Bisa jadi begitu, atau karena pengaruh bahasa subdialek yang banyak mengabaikan bahasa tulis? Entahlah. Tapi memang menjadi kasus umum untuk generasi milenial sekarang di semua wilayah.

 Pas saya juri lomba puisi Jawa (geguritan) di Universitas   Negeri Semarang tahun lalu, rata-rata peserta (Jatim, Jateng, DIY) lidahnya tidak bisa membedakan pengucapan  "wedhi" (pasir) dengan "wedi" ( takut).

Kalau artikel-artikel di majalah Jaya Baya dibaca ala bahasa Indonesia maka bahasa Jawanya jadi ragam Banyumasan atau ngapak?

Widodo Basuki: Bisa seperti itu, sesuai sub dialek/dialek masing daerah yang banyak ragamnya. Tetapi sebenarnya, patokan bakunya tetap pada penulisan bahasa Jawa standar, ya minimal seperti yang dipakai Jaya Baya dan PS. Soal nanti diucapkan oleh orang ngapak banyumasan, dan lain-lain,  tidak masalah.

Matur nuwun, Mas Widodo, eh, Mas Widada!

Jumat, 18 Desember 2020

Koran Tempo Tidak Dicetak Lagi

Sambil menunggu tambal ban, saya mampir ke warkop dekat Pasar Pahing, Rungkut, Surabaya. Nyeruput kopi setengah pahit sambil baca-baca informasi di ponsel. Soal covid, paslon MA-Mudjiaman yang gugat hasil Pilkada Surabaya ke Mahkamah Konstitusi, jalan-jalan rusak di Sidoarjo, dsb.

Tiba-tiba muncul informasi dari Tempo Media di beranda. Begini bunyinya:

"Koran Tempo akan sepenuhnya bertransformasi ke digital mulai Januari 2021. Dapatkan penawaran khusus dari Kami untuk Anda, yaitu berlangganan Koran Tempo digital hanya Rp 399.000 untuk 24 bulan."

Lagi-lagi kabar buruk untuk industri media cetak. Satu lagi surat kabar penting di Indonesia tidak dicetak lagi. Tidak akan ada lagi di kios-kios atau lapak koran di terminal, stasiun kereta api, pinggir jalan, dsb.

Masih lumayan Koran Tempo tidak mati total. Masih terbit tapi hanya versi digital alias e-paper. Justru bisa diakses dengan mudah di ponsel. Tidak perlu menunggu kiriman loper yang sering terlambat itu.

Selama pandemi Covid-19 berbagai macam bisnis memang jadi lesu darah. Omzet turun drastis. Kecuali bisnis seluler, data internet, media sosial, dan segala macam bisnis yang berbau online.

Tak terkecuali industri media massa konvensional. Media sosial makin merajalela. Siapa saja bisa bikin channel televisi sendiri. Tidak perlu menunggu diundang ke stasiun televisi resmi.

Digitalisasi Koran Tempo sejatinya bukan hal baru. Di Eropa dan Amerika media-media konvensional berusia ratusan tahun sudah lama migrasi ke digital. Ada yang sukses, lebih banyak yang tertatih-tatih.

 Di Indonesia pun sama. Sudah banyak media offline yang dulu jaya luar biasa malah hancur di online karena macam-macam sebab. Mudah-mudahan Koran Tempo mampu beradaptasi dengan kebiasaan baru di jagat media massa Nusantara.

Beberapa komentar warganet:

Agus Rudianto: 
"Saya mah akan lihat dulu, apakah masih profesional atau sarat kepentingan."

Lazuardhi Abdul Hayy Dwipa:
"Kasian para penjaja koran dan majalah..😭😭😭...saya kenal baik dengan orang orang ini..banyaknya sudah sepuh. Mereka mengeluh pendapatan mereka sangat jauh menurun dll. Apalagi kalau mau menjual majalah harus beli dulu tidak bisa bayar belakangan. Kasian...mereka orang orang lemah yang tergerus roda zaman."

Nuralim Karsono:
"Saya yakin klo TEMPO kembali ke jatidirinya spti zaman orde baru sbg penyampai amanat hati nurani rakyat akan sukses bertransformasi."

Syamsu Salewangang:
"Bila Tempo ttp professional maka pembaca akan ikut kemanapun Tempo berkiprah."

Kamis, 17 Desember 2020

Rama Praja atau Romo Projo?

(Foto: RD Laurens Yatim Muda menyalurkan bantuan kepada pengungsi letusan Gunung Lewotolok di Pulau Lembata, NTT. Beliau rama praja Keuskupan Larantuka.)



Mana yang baku menurut bahasa Indonesia?

rama atau romo? 
rama praja atau romo projo?
tata krama atau toto kromo?
Surabaya atau Suroboyo?
Majapahit atau Mojopahit?
Jenggala atau Jenggolo?

Di Sidoarjo ada Lapangan Jenggala di Kecamatan Gedangan dan Lapangan Jenggolo di Kecamatan Kota.

Di Sidoarjo ada Jalan Mojopahit di kawasan RSUD, sementara di Jalan Majapahit di Surabaya terletak di belakang Pastoran HKY Katedral, dekat kampus Unika Widya Mandala, Jalan Dinoyo. Sama-sama nama jalan yang mengacu pada kerajaan lama dengan Raja Hayam Wuruk itu.

Kata ROMO/RAMA yang artinya ayah atau bapak atau bapa sangat populer di kalangan masyarakat Katolik di Indonesia. Sebab, imam atau pastornya selalu disapa romo/rama.

 Ada juga sapaan pater untuk pastor-pastor yang punya ordo atau kongregasi seperti SVD, SJ, Karmelit, dsb. Romo atau pater artinya sama: bapak. Father bahasa Inggrisnya.

 Berbeda dengan di NTT yang membedakan romo (praja/projo) dengan pater (ordo), di Jawa semua pastor sama-sama dipanggil romo. Sangat jarang ada umat Katolik di Jawa yang menyapa pastornya dengan pater, kecuali di paroki-paroki yang digembalakan imam-imam SVD.

Berdasar pedoman transliterasi bahasa Jawa, kata romo harus ditulis rama. Dan harus dibaca romo, bukan rama ala bahasa Indonesia. Karena itu, baik ditulis rama atau romo, ucapannya sama: romo.

Bagaimana dengan bahasa Indonesia? 

Saya sering iseng menulis komentar di grup-grup Katolik di Jawa dengan kata rama. Pagi ini, misalnya, diskusi tentang oknum-oknum pastor yang kurang ramah. Selalu tidak punya waktu bila hendak ditemui umat. Ada pastor yang lebih suka orang kaya ketimbang orang miskin. Singkatnya, perilaku yang tidak sesuai dengan kaul imamatnya.

Nah, rupanya ada orang yang mengoreksi ejaan saya. "Yang benar romo, bukan rama," kata aktivis gereja dari Jakarta kalau tidak salah.

Maka, saya kutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hasilnya ini:

-------------
bentuk tidak baku: romo

n ayah
n Kat padri; pastor
n Kat panggilan untuk pastor
-----------

Menurut KBBI, kamus paling resmi terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 40-an tahun lalu, kata 'romo' itu tidak baku. Yang baku adalah 'rama'.

Apakah tim penyusun KBBI itu keliru mengingat mayoritas beragama Islam? Tidak juga. Jangan salah! Penyelia utama KBBI itu mendiang Prof Dr Anton M. Moeliono yang beragama Katolik.

Bukan sekadar Katolik, Prof Anton punya latar belakang pendidikan dan keluarga yang sangat kental dengan kekatolikan. Ada juga Prof Harimurti Kridalaksana dari UI yang juga berlatar belakang Katolik yang kuat.

 Karena itu, kata-kata yang bernuansa Katolik sudah pasti telah dikaji secara mendalam. Pasti ada argumentasi akademis mengapa kata baku yang dipakai rama, bukan romo. Dan itu ada kaitan dengan pedoman transliterasi bahasa Jawa hanacaraka ke alfabet Latin itu.

Nah, daripada pusing berdebat soal rama vs romo, RP Hidin Situmorang, O.Carm. yang asli Batak pernah bilang, "Jangan panggil saya Romo Hidin! Sebaiknya panggil saya Pastor Hidin!"

Hehehe.....