Kamis, 17 Desember 2020

Rama Praja atau Romo Projo?

(Foto: RD Laurens Yatim Muda menyalurkan bantuan kepada pengungsi letusan Gunung Lewotolok di Pulau Lembata, NTT. Beliau rama praja Keuskupan Larantuka.)



Mana yang baku menurut bahasa Indonesia?

rama atau romo? 
rama praja atau romo projo?
tata krama atau toto kromo?
Surabaya atau Suroboyo?
Majapahit atau Mojopahit?
Jenggala atau Jenggolo?

Di Sidoarjo ada Lapangan Jenggala di Kecamatan Gedangan dan Lapangan Jenggolo di Kecamatan Kota.

Di Sidoarjo ada Jalan Mojopahit di kawasan RSUD, sementara di Jalan Majapahit di Surabaya terletak di belakang Pastoran HKY Katedral, dekat kampus Unika Widya Mandala, Jalan Dinoyo. Sama-sama nama jalan yang mengacu pada kerajaan lama dengan Raja Hayam Wuruk itu.

Kata ROMO/RAMA yang artinya ayah atau bapak atau bapa sangat populer di kalangan masyarakat Katolik di Indonesia. Sebab, imam atau pastornya selalu disapa romo/rama.

 Ada juga sapaan pater untuk pastor-pastor yang punya ordo atau kongregasi seperti SVD, SJ, Karmelit, dsb. Romo atau pater artinya sama: bapak. Father bahasa Inggrisnya.

 Berbeda dengan di NTT yang membedakan romo (praja/projo) dengan pater (ordo), di Jawa semua pastor sama-sama dipanggil romo. Sangat jarang ada umat Katolik di Jawa yang menyapa pastornya dengan pater, kecuali di paroki-paroki yang digembalakan imam-imam SVD.

Berdasar pedoman transliterasi bahasa Jawa, kata romo harus ditulis rama. Dan harus dibaca romo, bukan rama ala bahasa Indonesia. Karena itu, baik ditulis rama atau romo, ucapannya sama: romo.

Bagaimana dengan bahasa Indonesia? 

Saya sering iseng menulis komentar di grup-grup Katolik di Jawa dengan kata rama. Pagi ini, misalnya, diskusi tentang oknum-oknum pastor yang kurang ramah. Selalu tidak punya waktu bila hendak ditemui umat. Ada pastor yang lebih suka orang kaya ketimbang orang miskin. Singkatnya, perilaku yang tidak sesuai dengan kaul imamatnya.

Nah, rupanya ada orang yang mengoreksi ejaan saya. "Yang benar romo, bukan rama," kata aktivis gereja dari Jakarta kalau tidak salah.

Maka, saya kutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hasilnya ini:

-------------
bentuk tidak baku: romo

n ayah
n Kat padri; pastor
n Kat panggilan untuk pastor
-----------

Menurut KBBI, kamus paling resmi terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 40-an tahun lalu, kata 'romo' itu tidak baku. Yang baku adalah 'rama'.

Apakah tim penyusun KBBI itu keliru mengingat mayoritas beragama Islam? Tidak juga. Jangan salah! Penyelia utama KBBI itu mendiang Prof Dr Anton M. Moeliono yang beragama Katolik.

Bukan sekadar Katolik, Prof Anton punya latar belakang pendidikan dan keluarga yang sangat kental dengan kekatolikan. Ada juga Prof Harimurti Kridalaksana dari UI yang juga berlatar belakang Katolik yang kuat.

 Karena itu, kata-kata yang bernuansa Katolik sudah pasti telah dikaji secara mendalam. Pasti ada argumentasi akademis mengapa kata baku yang dipakai rama, bukan romo. Dan itu ada kaitan dengan pedoman transliterasi bahasa Jawa hanacaraka ke alfabet Latin itu.

Nah, daripada pusing berdebat soal rama vs romo, RP Hidin Situmorang, O.Carm. yang asli Batak pernah bilang, "Jangan panggil saya Romo Hidin! Sebaiknya panggil saya Pastor Hidin!"

Hehehe.....

8 komentar:

  1. Surabaya atau Suroboyo. Saya pernah mendapat warkat pos. Alamat yang tertera macam2. Soerabaja, Soerabaia, Surabaia, Surabaja. Semua warkat pos sampai ke alamat yang dituju.
    Pak Pos zaman dulu, di seluruh dunia, memang diajarkan cocokologi. Kadang2 surat yang alamatnya tidak cocok, atau tulisannya tidak jelas, achirnya bisa sampai ke tujuan.
    Saya paham maksud Bung Hurek yang menginginkan Bangsa Indonesia mampu berbahasa nasional yang BAKU dan BAIK. Bahasa sebagai penyatu bangsa.
    Yang terjadi saat ini, katanya-katanya: ingin musyawarah, berdialog, namun nyata nya, yang satu bahasa Indonesia nya Ngarab, yang kedua bahasa Indonesia nya Nginggris dan yang ketiga berbahasa melayu-kupang. Di othak-athik, di cocok-cocok-kan, ora iso gathuk.

    Saya bukan Kadrun yang bermimpi bertemu, ber-cakap2 dengan Nabi, bahkan lebih dari itu, saya hampir setiap hari digendong Pater Noster di gedung universitas, waktu masih sekolah. Apakah Bung Hurek pernah melihat Pater Noster ?
    Gara2 Covid-19, saya sudah setahun lebih, nyantol di Eropa. Pikiran sudah kangen kembali ke Tiongkok.
    Natal tahun ini, gara2 Lockdown, anak2 dan cucu2 tidak bisa kumpul. Jadi tahun ini tidak ada pohon Natal, kata istri-ku kemarin. Iyo wis, rapopo.
    Ternyata menghadapi wabah kali ini, para ahli kehabisan akal. Apakah kita boleh mencoba cara leluhur jaman doeloe ? Dulu di pulau Bali, kalau ada wabah, kita memasang daun pandan-duri yang dilumuri kapur-sirih, diatas pintu masuk rumah masing2. Atau memakai cara Bani Israel waktu di Mesir, melumuri pintu dengan darah kambing.
    Nützt es nichts, so schadet es auch nicht. Kata orang Jerman.
    Kalau tidak ada guna nya, setidaknya juga tidak membahayakan.
    Probieren geht über studieren. Coba-coba membuat jadi pandai.

    Yang lebih mengerikan daripada Covid-19, adalah wabah modern, CTE, singkatan dari Chronis-Traumatis-Enzephalopatie. Di-indonesia-kan menjadi, Otak-Bonsai. Ciri-cirinya : Tompel di jidat.
    CTE tidak ada obatnya, sebab otak yang sungsut tidak bisa pulih kembali. Manusia jadi Zombie.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, Surabaya itu yang paling baku dan tepat. Tulisannya dalam bahasa Indonesia, Surabaya, dibaca Surabaya. Tulisan di majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat atau Jaya Baya juga tetap Surabaya tapi dibaca Suroboyo.

      Tapi masih banyak orang yang menulis Arek Suroboyo karena mengikuti fonologi bahasa Indonesia.

      Wong Jawa dibaca Wong Jowo.

      Hapus
  2. Otak atik gathuk alias ilmu cocokologi memang sangat efektif dan sakti di Indonesia. Makanya sangat sulit ada standardisasi atau pembakuan bahasa meskipun sudah lama dikerjakan oleh pusat bahasa dan pakar-pakar sejak dulu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Otak-atik-londo gathuke NKRI. Tanpa huruf Latin peninggalan Belanda, apakah ada Bahasa Indonesia ? Tanpa Bahasa Indonesia, apakah ada Bangsa Indonesia ?
      Untung Bahasa Indonesia memakai Huruf Latin, sehingga semua kata bisa disepel atau dieja.
      NASI : en + a = na, es + i = si, jadi nasi. Bukan SEGO .

      Kalau Bahasa Tiongkok sangat sulit, tidak bisa disepel, sebab prinsip bahasa China berdasarkan Piktogramm (tulisan-gambar).
      Setiap kata harus diingat gambarnya.
      Buku pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah THHK untuk anak2 kelas satu SR. Ada gambar, lalu dibawahnya dikasih tulisan latin. Ada gambar Pipa-tembakau. Ibu guru bertanya kepada A-cong. Cong, coba kamu sepel kata ini !
      P + I = PI , P + A = PA. Acong diam membisu.
      Ibu guru bertanya. Cong, jadinya apa ? Cangklong , Buk !
      Untuk orang Cina, si-Acong tidak salah, sebab pipa bahasa bali-nya memang cangklong.
      Mama-saya pandai membaca dan menulis bahasa-china. Tulisan china-nya pakai Maopit (kuas) sangat indah. Tetapi dia tidak fasih berbahasa mandarin, sebab yang dia belajar adalah bahasa nenek-moyang nya, bahasa Min-nan, atau bahasa Chuan-ciu.
      Di Tiongkok gambar anjing ditulis 狗,boleh dibaca sesukanya tergantung suku masing2, ada ribuan suku dan sub-suku.

      Hapus
  3. Salatiga juga sangat tepat.
    Ejaan bahasa Indonesia: Salatiga dibaca Salatiga juga.
    Ejaan bahasa Jawa: Salatiga dibaca Solotigo.

    BalasHapus
  4. Yogyakarta, Surakarta, semuanya juga benar. Yang salah: Solo. Seharusnya Sala. Akibatnya orang2 seluruh Indonesia menyanyikan Bengawan Solo seperti sungai yang kesepian karena "solo".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Solo Sala Solo Sala.
      Mbah Google tampilkan 2 versi Solo dan Sala. Beberapa dokumen resmi juga pakai Sala dan Surakarta. Tapi 95% pakai Solo sesuai bunyinya dan ditulis pakai tata bunyi (fonologi) bahasa Indonesia.

      Hapus
    2. Solo Sala

      Pak Orep dodolan soto. Pak Urip dadalan sata.
      Mbok Yem ngombe kopi. Mbak Yem ngumbe kapi.
      Pusing mboh ora wero. Karepe mbah ara wera.

      Hapus