Gunung Ile Ape atau Ile Lewotolok di Pulau Lembata, NTT, meletus dahsyat pada Minggu pagi 29 November 2020. Ribuan penduduk dari 26 desa diungsikan ke Lewoleba. Inilah erupsi terdahsyat dalam sejarah gunung api di kampung halamanku itu.
Selama puluhan, bahkan ratusan tahun, Ile Ape aman-aman saja. Cuma batuk kecil. Baru kali ini erupsi mengeluarkan material hingga ketinggian 5.000-an meter. Jadi pemandangan yang langka di Flores Timur dan Lembata, bahkan NTT.
Karena itu, semua orang Ile Ape terkejut, panik, dan gelagapan. Tidak sempat membaca tanda-tanda alam beberapa bulan sebelum terjadi letusan ini.
Ada apa dengan Ile Ape? Ada pesan apa di balik letusan gunung setinggi 1.400-an meter itu?
Diskusi informal pun terjadi di Jawa Timur. Di antara sesama orang Ile Ape, Lembata, atau Flores Timur. Yang sama-sama etnis Lamaholot.
Ama Paul Manuk yang asli Adonara Barat punya perhatian khusus terhadap Ile Ape. Guru senior di SMAK Petra Surabaya itu punya suku yang satu nenek moyang dengan suku Manuk di Ile Ape. Ia punya konsen dengan adat leluhur Lamaholot.
Ama Paul: "Ini jadi pelajaran juga buat orang tua rae lewo. Tutu koda untuk gena ana. Berjagalah terus. Dan jangan lupa koda adat ama."
(Ini pelajaran untuk kita di kampung supaya tidak lupa adat istiadat. Mungkin ada adat yang diabaikan selama ini.)
Ama Paul meneruskan:
"Itu termasuk isyarat teti lodo. Sudahkah ribu peten oneka. Terus bagaimana dengan cerita ILE TELO? Tentu ada riwayat sambungannya. Tobo hama2 tutu lagi dan lagi. . ..ama. Pe ada jasmerahnya."
(Kejadian Ile Ape meletus itu isyarat dari langit. Sudahkan kita semua duduk bersama, bicarakan adat istiadat, harus duduk lagi. Semua itu ada jasmerahnya. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.)
Beberapa menit lalu Ama Cornelis Hurek di Kota Lama, Jalan Pecinan Malang, telepon. Pasti bertanya tentang Ile Ape meletus. Berikut pendapat dan analisisnya.
"Bernie, perkembangan rae lewo nega?" (bagaimana perkembangan erupsi di kampung.)
Saya bilang baru membaca laporan terakhir di situs Magma ESDM. Erupsi masih terjadi tapi tinggi semburan tinggal 800 meter. Tidak lagi 4.000 meter seperti hari pertama.
Data resmi PMBGV ini menunjukkan bahwa erupsi Ile Ape makin lama makin reda. Mudah-mudahan bisa cepat selesai. Agar ribuan warga segera pulang ke kampung masing-masing. Musim hujan saatnya mula wata hokot ekan (menanam jagung dan menyiangi rumput di ladang).
Saya sudah menduga Ama Cornelis di Malang ini lebih banyak bicara soal kristianitas dan alkitabiah. Kontras dengan Ama Paulus yang konsen ke adat istiadat orang Lamaholot.
"Itu peringatan untuk kita semua. Pasti ada hikmah di balik bencana ini," kata Ama Cornelis yang pernah merantau lama di Malaysia Timur.
Hikmah apa?
"Masyarakat kita di kampung itu sudah ratusan tahun terlalu sibuk dengan urusan adat. Bahkan, ada yang sampai lupa dengan Tuhan. Adat, adat, adat.. koda kiring tula gudung," katanya.
"Bukan berarti saya anti sama adat di kampung. Tapi mestinya jangan berlebihan. Gunung meletus ini jadi peringatan agar kita semua kembali pada Tuhan," ujar Ama Cornelis mirip khotbah evangelis yang lahir baru.
Hemmm... repot juga memang. Satu peristiwa alam disikapi dengan sudut pandang yang berbeda meski sama-sama orang Lamaholot. Sama-sama peduli Lewotanah.
Ama yang satu menganggap masyarakat di kampung sudah mengabaikan adat istiadat nenek moyang. Terlalu ikut arus modernisasi. Koda kiring, tula gudung.. sudah tidak seintens pada masa lalu.
Sebaliknya, Ama yang satunya lagi menganggap kami orang-orang Ile Ape terlalu larut dalam adat istadat. Agama di KTP Katolik tapi tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Alkitab, 10 Perintah Allah, 5 Perintah Gereja, katekismus dsb.
Saya sih manut Mbah Rono aja. Sang profesor pakar gunung berapi itu punya pendapat yang sangat menarik tentang erupsi dan perilaku volcano. Gunung api itu sahabat manusia, bukan musuh.
Gunung api pasti meletus atau erupsi. Itulah mekanisme alam untuk mengeluarkan material yang sudah dimasak di dapurnya selama sekian tahun. Material-material itu pun bermanfaat untuk manusia. Kawasan Ile Ape dan Lembata umumnya akan lebih subur.
Bagus sekali sikap anda . Mengikuti sains dan tidak berusaha mengkaitkan gunung berapi meletus dgn isyarat paranormal baik adat maupun agama.
BalasHapusBener.. kedua narasumber ini sejatinya sama saja. Yang satunya pakai kacamata agama Lamaholot (agama asli), sementara satunya pakai sudut pandang agama Pater Noster. Sama-sama menganggap peristiwa vulkanologi sebagai isyarat langit seakan-akan hukuman kepada masyarakat yang melanggar blablabla.
BalasHapusOrang-orang spiritual kuno dan modern kayak evangelis tidak mau pusing soal dapur magma dan aktivitas gunung berapi. Mayoritas orang Lamaholot, bahkan Indonesia, masih seperti itu. Makanya di media sosial banyak yang bilang Gunung Ile Ape meletus karena orang Ile Ape punya banyak dosa. Waduh...
Kan di Alkitab diceritakan begitu... krn kamu berdosa , dihukum Tuhan dengan banjir (Nuh); krn kamu berhomo ria dan memperlakukan malaikat Allah dgn buruk, maka dilaknat dgn hujan api dan bara (Luth, Sodom dan Gomorrah).
BalasHapusJika sbg orang Serani kita ingat perlakuan Yesus: orang sakit lepra, kemasukan setan, lumpuh, itu bukan krn mereka berdosa. Justru mereka harus dibantu, dikasihi.
Ternyata Yesus lebih ilmiah. Yesus memang oke.
Nah, betul banget. Sejak ribuan tahun lalu memang sudah ada pendapat macam itu. Bencana alam atau penyakit dianggap hukuman bagi orang-orang yang banyak dosanya.
HapusSampai sekarang pun banyak orang beragama yang pendapatnya sama seperti itu. Padahal Yesus sudah lama melawan pola pikir demikian.