Minggu, 20 Desember 2020

Anakku nomer loro wetenge loro

 Bahasa lisan dan bahasa tulisan sering berbeda. Spoken language dan written language tidak selalu sama. Apalagi bahasa tertulis yang baku. Khususnya bahasa-bahasa daerah yang punya aksara sendiri seperti bahasa Jawa.

Karena itu, orang Jawa sendiri pun sering tidak sadar bahwa sunarto harus ditulis sunarta, susilo susila, romo rama, projo praja, jenggolo jenggala, mojopahit majapahit....

Minggu pagi ini, 20 Desember 2020, saya ngobrol dengan Widodo Basuki, redaktur senior majalah Jaya Baya (bukan Joyo Boyo), sekaligus sastrawan Jawa yang sangat produktif.

Saya: Selamat pagi, Mas Widodo! Saya mau tanya mana ejaan standar bahasa Jawa? Tata krama atau toto kromo? Rama praja atau romo projo? Jenggala atau Jenggolo? Majapahit atau Mojopahit?

Widodo Basuki: Kalau ejaan dalam bahasa Jawa baku, yang benar: tata krama, rama, praja, jenggala, majapahit.

Saya: Berarti nama orang Jawa mestinya ditulis Mulyana, Suharta, Utama, Widada, Sulaksana, Hadimulyana...?

Widodo Basuki: Jika berhadapan dengan bahasa Indonesia seharusnya tetap ditulis "tata krama, praja" tapi dicetak miring. Bukan toto kromo, projo.

Harian Kompas penulisannya pakai kaidah seperti itu. Dan paling benar menurut saya.

Mengapa terjadi kesalahkaprahan di masyarakat?

Widodo Basuki: Memang kebanyakan kesalahan penulisan bahasa Jawa, kecenderungan menulis berdasarkan "bahasa lisan" bukan "bahasa tulis", seperti teks-teks pada lagu video campursari. Sehingga  dalam menulis "loro" (dua) disamakan dengan "loro" yang maknanya sakit. Padahal sakit seharusnya "lara". Coba bayangkan jika menulis "Anakku nomer loro wetenge loro".

Oh, kelihatannya ada masalah transliterasi dari aksara hanacaraka ke Latin.

 Widodo Basuki: Bisa jadi begitu, atau karena pengaruh bahasa subdialek yang banyak mengabaikan bahasa tulis? Entahlah. Tapi memang menjadi kasus umum untuk generasi milenial sekarang di semua wilayah.

 Pas saya juri lomba puisi Jawa (geguritan) di Universitas   Negeri Semarang tahun lalu, rata-rata peserta (Jatim, Jateng, DIY) lidahnya tidak bisa membedakan pengucapan  "wedhi" (pasir) dengan "wedi" ( takut).

Kalau artikel-artikel di majalah Jaya Baya dibaca ala bahasa Indonesia maka bahasa Jawanya jadi ragam Banyumasan atau ngapak?

Widodo Basuki: Bisa seperti itu, sesuai sub dialek/dialek masing daerah yang banyak ragamnya. Tetapi sebenarnya, patokan bakunya tetap pada penulisan bahasa Jawa standar, ya minimal seperti yang dipakai Jaya Baya dan PS. Soal nanti diucapkan oleh orang ngapak banyumasan, dan lain-lain,  tidak masalah.

Matur nuwun, Mas Widodo, eh, Mas Widada!

1 komentar:

  1. Widodo, eh, Widada. Riko, eh, Rika.
    Mas, Rika hanya bikin isun mumet.
    Agama seharusnya menjadi Inspirasi.
    Agama seharusnya bukan Aspirasi.
    Opo maning maksud e ?

    Agama, saya aspirasi supaya bisa menjadi manusia sholeha.
    Agama, menginspirasi saya untuk bisa menjadi manusia sholeha.
    Opo bedone kang ?

    Jika ajaran Agama-nya bener, mau diaspirasi ataupun menjadi inspirasi, ya samimawon. Yang penting hasilnya.
    Tugas Rika yang terpenting, menyisir para guru agama gadungan.

    BalasHapus