Rabu, 16 Desember 2020

Sulitnya menemui pastor di gereja


Menjelang Natal 2020 ini saya mampir ke gereja. Ingin cari informasi tentang persiapan liturgi Natal hingga renungan. Kalau ada renungan rama yang saya anggap menarik, dan universal, biasanya saya minta untuk dimuat di surat kabar.

Sebetulnya renungan atau refleksi rama-rama atau pendeta di Jawa cukup bagus. Tapi banyak yang penuh dengan kutipan ayat suci. Mirip pelajaran eksegese atau pendalaman Alkitab. Karena itu, tidak cocok dimuat di koran atau majalah yang pembacanya 95 persen beragama Islam.

Sebaliknya ada rama atau pater yang renungannya sangat bagus untuk media massa umum. Contohnya renungan-renungan RD Antonius Benny Susetyo. Ini karena sejak ditahbiskan pada 1996 lalu Rama Benny senang menulis artikel untuk media umum hampir tiap hari. Karena itu, renungan-renungan Rama Benny sangat khas artikel opini di koran-koran.
Saking universalnya, pastor asal Malang itu sering lupa mengutip ayat-ayat Alkitab. Terlalu banyak ayat suci juga tidak menarik. "Yang penting itu pesannya sampai," katanya.

Nah, Rabu pagi ini, saya mampir ke Gereja Salib Suci, Wisma Tropodo, Waru, Sidoarjo. Paroki di dekat perbatasan Surabaya-Sidoarjo yang tiga pastornya berasal dari Flores. Semuanya SVD. Siapa tahu Pater Frans, Pater Gabriel, atau Pater Yosef punya renungan jelang Natal.

Eh, saya lupa sekarang masih pandemi Covid-19. Protokol kesehatan di lingkungan gereja ternyata sangat ketat. Jauh lebih ketat ketimbang di bandara, hotel, pusat belanja, atau kantor-kantor di Surabaya.

Pagar gereja di Wisma Tropodo itu ditutup rapat. Satpam sudah siap menembak tubuh kita dengan senjata khusus pengukur suhu tubuh. Ia juga terkesan mencurigai siapa saja yang hendak masuk ke halaman gereja.

"Apa keperluan Anda datang ke sini?" tanya satpam berbadan gemuk.

Waduh... mau jawab apa? Saya tidak punya keperluan penting sebetulnya. Cuma lihat pengumuman jadwal misa Natal dan sebagainya.

"Lihat pengumuman misa aja," kata saya sambil tersenyum kecut di balik masker.

"Sekarang tidak ada misa!" katanya agak keras kayak tentara.

"Saya tahu tidak ada misa sekarang. Mau lihat pengumuman di sebelah itu."

Kelihatannya satpam itu berusaha menolak saya masuk ke halaman Gereja Salib Suci. Tapi akhirnya membiarkan saya masuk sejenak untuk melihat papan pengumuman di dekat pos pengamanan.

Ternyata belum ada wara-wara seputar liturgi Natal. Cuma ada pengumuman loker-loker yang sudah kedaluwarsa. Rupanya sejak MDR, misa dari rumah, Maret 2020 tidak ada update pengumuman di gereja. Cuma pengumuman singkat via daring.

Bagaimana kalau saya ketemu salah satu pater? pikir saya. Sekalian wawancara tentang Natal untuk dijadikan renungan. Jadi, pater tidak perlu capek-capek menulis artikel sendiri.

"Mas, apakah saya bisa bertemu Pater Yosef," tanya saya kepada satpam.

"Apa sampean sudah janjian?"

"Belum."

"Harus janjian dulu karena rama sangat sibuk. Banyak umat lain yang juga ingin ketemu!"

"Oh... gitu ya! Harus janjian dulu!"

"Nanti kalau sudah janjian akan disampaikan ke sekretariat untuk dijadwalkan kapan bisanya. Bisa minggu depan atau kapan waktunya," ujar satpam gereja yang saya lupa namanya.

Wow... ternyata tidak mudah bertemu pastor di era pandemi ini. Bahkan sebelum pandemi pun kelihatannya satpam-satpam gereja sudah punya prosedur macam ini.

Saya pun langsung pulang dengan wajah lesu. Gak nyangka ternyata birokrasi di paroki lebih rumit ketimbang di pemerintahan. Lebih mudah menemui Bupati Sidoarjo atau Wali Kota Surabaya ketimbang rama-rama di gereja.

Maka, saya pun kehilangan selera untuk meminta renungan Natal dari pastor lain. Cukup nelepon atau pesan pendek ke RD Benny Susetyo. Dijamin langsung dikasih refleksi Natal yang panjang (1000 kata), sedang (600 kata), atau pendek (300 kata) sesuai pesanan. Tanpa dijejali banyak kutipan ayat-ayat Alkitab di tubuh artikel.

3 komentar:

  1. Soalnya anda ndak bilang kalau dari Jawa Pos.

    BalasHapus
  2. Sialnya nasib jadi orang berkulit gelap dan berambut keriting, ke gereja pun dikira mau ngutil kotak amal. Coba-o gua yang bermata sipit dan berkulit cerah, pakai jas armani, dasi hermes, arloji emas rolex, naik lexus ke gereja, pastilah pak satpam akan berlaku sopan.
    Tetapi walaupun gua sudah berlagak perlente, kalau gua ke Bali bersama pegawai-gua bangsa Jerman, naik pesawat garuda, perlakuan pramugari terhadap pegawai-ku jauh lebih sangat sopan daripada kepada gua, si-boss. Apalagi kalau check-in di hotel, orang bule diprioritaskan, walaupun gua yang mentraktir sewa hotelnya.
    Tidak bisa apa-apa, harus nerimo, sebab itu sudah sunnatullah.

    Di Eropa rakyatnya sangat taat peraturan dan hukum. Bukan karena mereka orang baik, tetapi sebab mereka TAKUT MASUK BUI.
    Lhoo koq aneh bin ajaib, di negeri awak, rakyatnya ber-bondong2, ber-jubel2, walaupun ada Korona, rebutan, ke kantor polisi, minta dirinya DIPENJARAKAN. Kok ono wong sing doyan mlebu bui. Urip iki pancene kontroverse.

    BalasHapus
  3. Memang sengaja saya datang sebagai umat katolik biasa. Tidak ngaku dari media massa dan sejenisnya.
    Kalau kepepet biasanya saya ngaku masih famili dekat dengan pater karena sama2 orang NTT. Padahal sebetulnya gak kenal hehe.
    Kunjungan impromptu ini sangat bagus untuk mengetahui situasi yang benar2 real di lapangan. Alias menyamar.

    Zaman dulu pater2 eropa atau amerika justru senang jalan2 atau nongkrong di halaman gereja. Otomatis anak2 atau umat berdatangan untuk salaman atau minta permen. Asyik sekali.

    Di Lembata atau Flores, gereja itu seperti taman atau ruang publik. Pasti ada lapangan luas untuk main bola dsb. Gereja2 pun tidak ada pagar. Maka orang biasa main2 atau gitaran dsb di halaman gereja. Pastornya malah senang karena suasana jadi meriah.

    BalasHapus