Ada panggilan berkali-kali dari Pulau Lembata, NTT, lewotanah alias kampung halaman. Tidak segera saya angkat karena masih OTW alias di jalan raya. Saya agak trauma telepon-teleponan di jalan karena pernah kesenggol. Terkilir sedikit.
Saya sudah bisa menduga isinya. Berita kurang enak dari kampung. Deg-degan karena hampir tidak ada telepon atau SMS atau pesan WA yang isinya berita bahagia.
"Gunung Ile Ape meletus. Semua warga panik dan sedang mengungsi ke Lewoleba," kata Kristofora di Desa Lewotolok. Adik bungsu ini tani gareng atau menangis sejadi-jadinya karena memang emosinya paling peka. Mudah sedih dan menangis.
Oh Tuhan!
Minggu pertama Masa Adven! Pagi-pagi Ile Ape alias Ile Lewotolok erupsi. Meletus hebat. Benar-benar gawat karena wedhus gembelnya sangat tinggi. Hujan abunya menyebar sangat jauh.
Meski namanya Ile Ape (ile: gunung, ape: api), gunung di kampung kami itu sudah lama tidak erupsi. Bahkan sering dianggap sangat aman karena sudah mati. Meskipun setiap hari melelehkan cairan belereng dan kepulan asap.
Saya cek internet dan media sosial. Foto-foto Ile Ape meletus sudah mulai viral. Tinggi sekali semburannya. Orang-orang di Pulau Adonara yang sebenarnya agak jauh dari Lembata pun ngeri melihat letusan Ile Ape.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebut erupsi pertama 500 meter, disusul erupsi kedua mencapai 4.000 meter. Tinggi Ile Ape sendiri sekitar 1.400-an meter dari permukaan laut.
Ketinggian erupsi yang mencapai 4 km, ada yang bilang 5 km, itu yang viral di berbagai media. Ile Ape atau Ile Lewotolok sekaligus Pulau Lembata tiba-tiba jadi terkenal. Padahal selama ini tidak banyak orang di luar NTT yang tahu tentang Lembata.
Saya sendiri pun selalu mengaku berasal dari Pulau Flores kalau ditanya orang Jawa Timur. Tidak pernah saya bilang Lembata atau Lomblen. Sebab pasti muncul pertanyaan lanjutan, ''Lembata itu di mana?"
Sebagai orang yang lahir di kampung tua, kawasan gunung itu, saya sangat paham risiko dan dampak bencana geologi letusan Ile Ape. Sebanyak 26 desa seluruhnya berlokasi di sekeliling gunung. Semua desa berada di pinggir pantai tapi juga tidak terlalu jauh dari gunung sakti itu.
Kampung-kampung yang jauh cuma di kawasan tanjung seperti Tuak Wutun, Dulitukan, Tagawiti, Palilolon. Sementara kampungku di kawasan Bungamuda, Napasabok, Lamagute, Lamawara, Lewotolok, Waowala... sudah pasti terkena siraman abu gunung api.
"Bungamuda dan Lamawara parah. Banyak atap rumah yang rusak," ujar Kristofora dengan suara masih panik. Padahal sudah mengungsi di Lewoleba.
Saya berusaha menenangkan dan membesarkan hati si bungsu ini. Bahwa erupsi itu tidak akan lama. Sebagai gunung api, Ile Ape memang harus mengeluarkan semua isi perutnya. Percayalah, letusan akan semakin kecil dan lama-lama akan mereda.
"Ramalan di sini letusan nanti sore akan lebih besar lagi," katanya.
"Tenang, sabar, banyak sembahyang kontas (rosario)... semoga erupsi ini segera berakhir," kata saya.
Omonganku kayak penasihat spiritual yang paham rahasia gunung berapi. Padahal, saya pun ngeri melihat foto-foto dan video erupsi Ile Ape di grup medsos Flobamora Jawa Timur: "Pray for Lembata! Ile Lewotolok Meletus! Ribuan Warga Ngungsi!"
Gara-gara Ile Ape meletus, saya jadi rajin membaca laman Magma milik Kementerian ESDM yang rutin melaporkan aktivitas semua gunung berapi di Indonesia. Saya perhatikan ketinggian erupsi cenderung makin turun.
Satu jam lalu ketinggian erupsi sekitar 800 meter. Jauh di bawah 4.000-an meter pada Minggu 29 November 2020 lalu. Berita di media online pun tidak lagi seru.
Mudah-mudahan letusan Ile Ape segera berakhir. Apalagi saat ini masih pandemi virus korona. Pulau Lembata memang berstatus zona hijau. Tapi kalau pengungsi berjejalan di tenda, relawan-relawan dari luar berdatangan... bisa tambah runyam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar