Sudah agak lama saya tidak nggowes agak jauh. Biasanya cuma di bawah 7 kilometer saja sejak musim hujan. Apalagi banyak jalan berlubang di sekitar Juanda dan beberapa kawasan Surabaya. Kalau tidak hati-hati sepeda bisa patah.
Sepeda tuaku memang sudah patah sekitar tiga tahun lagi. Gara-gara masuk lubang di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo. Ada mobil dari belakang yang tidak toleran sama pesepeda pancal. Akhirnya saya melipir dan masuk lubang.
Apa boleh buat, rangkanya dilas. Bisa dipakai nggowes tapi tidak seenak sebelum patah. Tapi terpaksa tetap dipakai karena hanya sepeda lawas itu yang saya punya. Satu sepeda yang agak mahal hilang di alun-alun Sidoarjo, sedangkan satu sepeda biasa dihibahkan ke seorang ibu pemulung yang rajin baca kitab suci.
Hobi bersepeda lawas jarak sedang tiba-tiba kumat setelah menyaksikan video-video yang dibagi Eka Tanjung di YouTube. Bung Eka ini mantan penyiar Radio Nederlanda Seksi Indonesia alias Ranesi. Radio lawas gelombang pendek (SW) yang dulu aku suka, selain Radio Australia dan BBC seksi Indonesia.
Ranesi sudah lama tutup seiring datangnya era internet. Tapi beberapa penyiarnya justru sangat aktif di media sosial dengan konten-konten menarik. Salah satunya Bung Eka yang terkenal dengan program Serba Belanda.
Di channel Serba Belanda saya ngiler melihat ratusan, bahkan ribuan orang Belanda, seliwar-seliwer di jalan raya dengan sepeda. Modelnya sederhana saja. Ada sepeda lawas (vintage), sepeda ala ibu-ibu belanja di Pasar Pucang, hingga sepeda mutakhir. Sepeda balap atau sepeda sport malah jarang terlihat di Amsterdam, Groningen, Rotterdam, Delf, dan kota-kota lain.
Saya jadi hafal nama-nama kota di negara bekas penjajah itu meskipun tidak pernah pesiar ke Belanda. Oh, ya, ada kota yang namanya Breda. Kota yang saat saya kecil di Pulau Lembata sering disebut gara-gara Pater Willem van der Leur SVD berasal dari Breda.
Pater Willem ini benar-benar maniak sepeda onthel. Keliling desa-desa di Lembata, kunjungan ke stasi-stasi selalu pakai sepeda onthel. Sepedanya kelas top asli made in Hollands. Pater Willem pakai sepeda meskipun ada sepeda motor milik misi.
"Pater Willem punya bapa itu orang sangat kaya di Belanda. Punya pabrik," kata Bapa Niko, pengurus gereja stasi di kampung. "Tapi Pater Willem lebih suka naik sepeda daripada pakai oto," ujar pengurus stasi yang tak lain ayahku itu.
Gara-gara Pater Willem inilah saya pun jadi ikut-ikutan doyan sepeda pancal. Meskipun cuma sepeda murahan. Kalah jauh dengan sepeda vintage ala Belanda itu. Juga kalah dengan sepeda-sepeda tua yang biasa dipakai komunitas-komunitas sepeda tua di Surabaya dan Sidoarjo.
Pagi ini saya nggowes dari ujung selatan-timur Surabaya menuju utara-timur di kawasan Bulak. Tepatnya di Patung Suroboyo yang dibangun Bu Risma, wali kota yang kini jadi menteri sosial. Cuaca cerah, agak sejuk, sangat nyaman untuk nggowes karena start sebelum pukul 06.00.
Total jarak tempuh 20 km lebih sedikit. Kecepatan rendah kayak orang-orang Belanda bersepeda di Amsterdam atau Groningen. Kalah jauh dengan Pater Willem asal Breda yang kecepatannya mirip pembalap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar