Tahun 2021 ini ternyata kita masih berpolemik panjang lebar soal seragam sekolah. Ketika jutaan rakyat Indonesia sedang megap-megap dihantam badai pandemi Covid-19. Dan debat di Indonesia biasanya tidak pernah jauh dari formalisasi dan purifikasi agama.
Orang Indonesia makin saleh dan saleha. Makin religius. Karena itu, kesalehan harus diperlihatkan di sekolah-sekolah. Anak TK, SD hingga mahasiswa harus pakai busana muslimah. Pakai jilbab, hijab, kerudung dan sejenisnya.
Kode pakaian seragam ini bukan masalah kalau diterapkan di sekolah-sekolah yayasan muslim. Tapi bagaimana jika diterapkan di sekolah negeri? Yang murid-muridnya tidak semuanya beragama Islam?
Itulah yang terjadi di salah satu SMK Negeri di Padang, Sumatera Barat. Ada orang tua tidak terima karena anaknya yang Kristen dipaksa pakai hijab alias jilbab "sesuai aturan sekolah itu". Jadi viral di media sosial.
Ternyata praktik itu sudah lama berlaku di sekolah itu. Juga di banyak kota lain di Indonesia. Tapi siswi-siswi nonmuslim manut saja. Tidak protes meski diwajibkan sekolahnya pakai jilbab. Orang tuanya pun diam saja. Toh, pakai jilbab bukan berarti pindah agama, pikir para orang tua.
Kalau tidak ikut ketentuan sekolah negeri itu berarti harus keluar. Cari sekolah swasta. Pasti mahal dan kualitasnya tidak sebagus negeri. Toh, pakai jilbab hanya di lingkungan sekolah. Di luar lingkungan sekolah kan bisa dilepas lagi.
Baru jadi masalah jika kewajiban jilbab untuk semua perempuan juga diterapkan di RT, RW, desa atau kelurahan. Misalnya, wanita yang tidak pakai busana muslimah tidak boleh tinggal di Aceh atau Padang. Kalau melanggar akan ditangkap polisi syariah atau polisi pamong praja.
Polemik pro kontra kewajiban berseragam sekolah negeri ala madrasah di Padang itu mengingatkan saya pada polemik seragam sekolah tahun 1980-an di Indonesia. Bahkan tahun 1970-an sudah ramai.
Pater Drost SJ yang paling lantang menolak seragam sekolah. Bukan cuma wacana atau omong doang, Pater Drost SJ menerapkan di SMA Katolik yang dipimpinnya. Peserta didik di sekolahnya tidak diwajibkan pakai pakaian seragam. Boleh pakai pakaian apa saja asal sopan, bersih, tidak norak.
"Untuk apa murid pakai seragam sekolah? Di Indonesia semua di seragamkan, maka hasilnya seperti ini. Saya antiseragam", ungkap Pater Drost dengan nada tinggi.
"Manusia telah dijadikan anggota kawanan" begitu pendapat mantan Kepala Sekolah SMAK Kanisius periode 1977-1987 ini tentang seragam.
Keunikan atau otentiknya setiap manusia yang sudah terberikan telah teringkari melalui praktek seragam. Penyeragaman kostum murid di Indonesia merupakan bentuk represi negara serta meluluhlantakkan karakter pribadi warganya. Seragam hanya melahirkan mental penurut, pengikut, bukan kemerdekaan untuk menjadi pribadi yang kuat.
"Saya dulu pernah didatangi pegawai Depdikbud. Mereka suruh semua guru memakai seragam. Saya bilang, tidak! Murid akan stres bila melihat semuanya harus berseragam", ungkapnya.
Bagaimana dengan pendapat bahwa pakaian seragam untuk menghilangkan sekat-sekat anak yang kaya dan miskin di sekolah?
"Omong kosong, ini penipuan!" tegas Pater Drost. "Bagaimana bisa menghilangkan perbedaan si kaya dan si miskin? Toh, mereka di luar juga akan tahu kalau pulang sekolah ada yang naik sedan dan ada yang naik bajaj," ujar pastor kelahiran Jakarta tahun 1925 itu.
Pater Drost SJ sudah lama berpulang ke pangkuan Sang Pencipta. Saya tidak bisa membayangkan seandainya beliau masih hidup di Indonesia. Kata-katanya pasti akan meledak-ledak ketika mengetahui ada aturan kewajiban seragam sekolah berbusana muslimah untuk semua siswi (apa pun agamanya) justru di sekolah negeri.
Membaca artikel-artikel lama Pater Drost SJ rasanya kita mundur jauuuh ke belakang. Mundur 50 tahun lebih.
Thema yang interessant namun sensitif. Yang besar memakai cara machiavelli, menghalalkan segala cara untuk mencapai kehendaknya.
BalasHapusYang kecil memakai cara pohon bambu, kemana engkau meniup, kesana aku condong, jika engkau sudah lelah meniup, aku akan tegak kembali.
Gitu saja kok repot. Win win solution lah !
Sayang Bung Karno sudah tiada, seandainya Beliau masih ada, aku akan bertanya; apakah sifat semacam diatas adalah " kearifan lokal ", ataukah sifat itu sesuai katanya Oslan Husein, tahu-tempe-kacang dele, hanye ade di Indonesie ?
Wahai Pater Drost, Anda salah tafsir, boro-boro mundur 50 tahun, kite maunye moendoer 1400 tahoen, kembali ke zaman sunnatullah.
Thema ini seharusnya dikaji oleh ahli anthropologi-sosial-budaya, mengapa segelintir manusia-manusia pendatang yang kulturnya kalah dari kita, bisa mampu mengobrak-abrik, menjungkir-balikkan, budaya rakyat Indonesia, hanya dalam tengat waktu kurang lebih 30 tahun terachir.
Tacik-ku dulu waktu dia masih mahasiswi di Airlangga, sering pada hari2 raya nasional, memakai kebaya, rambutnya di-gelung, beralas kaki pakai klompen (bakiak mahalan sedikit). Untung matanya dia besar, tidak sipit, dan kulitnya kuning langsat, sebab nenek-buyut kami adalah perempuan suku-indigen dari pulau Taiwan, yang notabene manusia ras austronesia.
Cukup menarik. Semoga SKB tiga menteri bisa menyelesaikan masalah intoleransi di sekolah2 negeri.
BalasHapus