Selasa, 19 Januari 2021

Tahun baru di tengah pandemi

Tahun 2020 sudah berjalan dua pekan. Pandemi virus korona masih terjadi entah sampai kapan. Ada kecelakaan pesawat Sriwijaya Air di perairan Pulau Seribu yang menewaskan 62 orang.

Belum lagi musibah tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, banjir di mana-mana. Tahun 2020 yang mengerikan, annus horribilis, rupanya berlanjut di tahun 2021. 

Semoga bencana dan penderitaan bertubi-tubi itu segera berakhir!

Awal tahun baru 2021 masyarakat dilarang kumpul-kumpil untuk hura-hura seperti biasanya. Bahkan ibadah bersama pun hanya dilakukan secara daring atau virtual. Sebab angka positif korona terus naik di Jawa Timur.

Karena itu, saya memilih bertahun baru di hutan. Kawasan Jolotundo, Trawas, yang sejuk dengan pohon-pohon nan rindang. Air sungai sangat jernah karena hanya terpaut beberapa meter dari sumbernya.

"Kita bikin syukuran sederhana saja," kata Mbah Gatot Hartoyo, sesepuh budayawan Sidoarjo, yang sudah lama tinggal di Dusun Biting, dekat Petirtaan Jolotundo.

Maka, kami pun urunan untuk belanja makanan seadanya di Pasar Ngoro. Mbak Nur yang gemuk jadi tukang masak. Menunya gule sapi. Kebetulan seorang pedagang sapi juga ikut dalam kenduri tahun baru itu.

Acara tahun baru ala wong kampung ini rasanya lebih mengena. Sederhana, gayeng, dengan makanan yang lezat. Beda dengan di kota yang cuma hura-hura, tiup trompet di alun-alun, tanpa makanan spesial.

"Pandemi Covid-19 ini mestinya membuat bangsa kita makin bersatu dan kompak," kata Mbah Gatot saat memberi kata sambutan.

Mengapa begitu?

"Virus korona ini menyerang siapa saja. Virus itu tidak membeda-bedakan agama, suku, ras, status sosial, kaya miskin... siapa saja bisa kena. Kita mestinya sadar bahwa manusia itu pada dasarnya sama saja. Kita tidak boleh diskriminasi orang lain atas dasar suku, agama, ras, golongan dsb," kata Mbah Gatot yang mengaku 'abangan' itu.

Abangan, putihan, ijoan, kuningan, irengan... sama-sama rentan. Manusia sejatinya adalah makhluk yang lemah. Virus korona yang sangat sangat kecil itu ternyata membuat umat manusia di planet bumi ini (nyaris) tak berdaya.

Selamat tahun baru!

4 komentar:

  1. Bencana alam tidak akan berlangsung lama, sebentar lagi juga akan berachir. Hanya bencana yang disebabkan oleh ulah manusia berlangsung lama dan akibatnya jauh mengerikan.
    Perang agama, Katholik vs Protestan, berlangsung 30 tahun, hampir setengah penduduk Eropa mati terbunuh, kelaparan atau kena wabah.
    Gara-gara Hong Xiuquan mimpi ketemu Tuhan, dan Tuhan mengaku kepadanya, bahwa dia adalah adiknya Yesus Christus, jadi anak Tuhan kedua, dan harus menjadi raja-nya Tiongkok. Akibatnya selama 13 tahun orang China-Selatan saling bantai, 20 juta jiwa mati percuma. Semua gara2 ulah orang Inggris yang menbawa Opium dan Agama ke China.
    Mana ada bencana alam berlangsung 13 sampai 30 tahun ?

    BalasHapus
  2. Saya masih kelingan Mbak Sri, sekarang muncul lagi Mbak Nur yang semok.
    Aku iki di-imingi terus2-an. Kapan muncul Mbak You ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Sri sudah kawin lagi setelah suaminya lebih dulu nikah lagi di luar Jawa. Warungnya sekarang dijaga oleh pengungsi2 imigran pencari suaka asal Afghanistan.

      Mbak Nur ini bojone wong Darjo Krembung hehe. Wonge kelemon.. obesitas hehe.

      Hapus
  3. " Pandemi Covid-19 ini mestinya membuat bangsa kita makin bersatu dan kompak "
    Apakah bangsa kita kurang bersatu dan kurang kompak ? Jika demikian adanya, maka kami seluruh Bangsa Indonesia yang dilahirkan tahun '40-an harus menanggung dosa.
    Kita kelahiran '40-an, ikut aktif membantu Orba. Setelah Suharto jatuh, bahkan generasi kita memiliki 3 orang presiden dan 2 Wapres.
    Semua kekuasaan ada di tangan kita. Kalau sungguh Kebangsaan kita tidak kompak, maka tidak ada gunanya kita dilahirkan.
    Kita tenang-tenang membiarkan kelompok radikal, baik dari amerika dan dari timur-tengah meracuni otak anak2 kita.
    Kita merusak lingkungan demi beli mercedes dan hermes untuk istri dan gendhakan kita.
    Kita generasi '40-an di USA disebut generasi Hippies, generasi flower power, make love not war. Di Eropa disebut generasi-68, generasi sex bebas. Sayangnya di Indonesia koq malah jadi generasi memble, generasi ngak-ngik-ngok, tukang kompor.

    BalasHapus