Rabu, 21 Desember 2022

Republika dan Disway tidak cetak lagi

Sudah lama Ayas tak menemukan Disway di beberapa lapak koran di Surabaya. Padahal agen media cetak itu punya koleksi paling lengkap.

Ayas lalu kontak AN yang biasa edarkan koran-koran di Surabaya. Ayas pesan Disway edisi minggu lalu.

"Sudah gak cetak, Cak! Disway sekarang cuma online aja. Edisi cetaknya gak ada lagi sejak Desember 2022," kata orang Candi Sidoarjo itu.

Oh, begitu! 

Ayas ketinggalan informasi. Satu lagi media cetak pindah ke online. Digitalisasi. Edisi cetak rupanya tidak ramah pasar. Orang sekarang bisa mendapat informasi seketika di layar HP.

"Versi online juga bagus, Cak! Banyak yang langganan," kata AN.

Ayas lalu membuka laman Disway. Ada keterangan begini:

"Harian Disway adalah media yang didirikan oleh Dahlan Iskan untuk memperjuangkan jurnalisme di Indonesia. Bermulai dari kegelisahan Dahlan Iskan melihat kualitas media di Indonesia akhir-akhir ini. 

Mulai terbit pada 4 Juli 2020 tepat saat pandemi Covid-19. Sehingga, Harian Disway didesain untuk beradaptasi dengan situasi Covid-19.  Saat terbit perdana, Harian Disway versi cetak beroplah 25 ribu eksemplar di wilayah Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Terdiri dari halaman utama, olahraga, dan lifetsyle."

Artinya, Disway tak berumur panjang. Hanya 2 tahun 4 bulan. Padahal harian yang bukan koran ini konon ingin menunjukkan diri sebagai media "kasta atas". Dengan gaya tulisan naratif, kalimat-kalimat pendek, enak dibaca, menggelitik.

Selain Disway, koran Republika di Jakarta juga menyatakan akan berhenti cetak pada 31 Desember 2022. Mulai 1 Januari 2023 Republika hijrah sepenuhnya ke platform digital.

Direktur Republika Arys Hilman menulis:

"Inilah saatnya bagi kami untuk mengambil langkah kanan berikutnya. Mulai 1 Januari 2023, kami akan sepenuhnya berjalan dalam wahana digital. Surat kabar cetak akan kami terbitkan hingga edisi Sabtu, 31 Desember 2022."

Berbeda dengan Disway koran baru di masa pandemi, Republika koran besar dan berpengaruh pada 1990-an. Punya kaitan erat dengan ICMI dan BJ Habibie selaku ketua ICMI saat itu. Republika tampil sebagai koran dengan pangsa pasar umat Islam terdidik di perkotaan.

Dalam waktu singkat Republika jadi koran besar dan berpengaruh. Desain, tata letak, sudut berita, kolom-kolom, liputan khusus sangat menarik. Republika pun jadi bacaan wajib para aktivis mahasiswa macam HMI dan PMII saat itu.

Hingga datangnya era disrupsi. Media-media cetak bertumbangan. Suara Pembaruan, surat kabar besar & berpengaruh, lebih dulu gulung tikar. Tabloid Bola yang pernah sangat besar oplahnya pun sudah lama pamit.

Alhamdulillah, masih banyak koran cetak yang terbit di berbagai kota. "Bukan sekadar bertahan tapi masih bagi-bagi bonus dan ada kenaikan gaji  karyawan," kata seorang pimpinan koran cetak. 

Televisi analog tamat setelah 60 tahun

Dulu televisi barang langka. Tak ada televisi di kampung. Jumlah televisi di Pulau Lembata, NTT, pun mungkin tak sampai 5 biji. Punya baba-baba Tionghoa di Lewoleba.

Itu pun harus pakai parabola. Sebab pemancar atawa BTS di Kabupaten Flores Timur dulu hanya satu biji. Di Botung, bukit di ujung Adonara Barat. Persis di depan Larantuka, ibu kota kabupaten. Karena itu, siaran televisi yang hanya satu kanal, TVRI, hanya bisa ditangkap di Larantuka dan sekitarnya, Adonara Barat, dan sedikit di Pulau Solor.

Pulau Lembata yang ikut Kabupaten Flores Timur terlalu jauh dari BTS di Botung. Karena itu, biarpun orang kampung bisa urunan beli televisi ya percuma saja. Tak akan ada gambar.

Itulah sebabnya, Piala Dunia 1986 dulu hanya bisa dinikmati di radio. Siaran pandangan mata RRI saat itu memang luar biasa. Sangat hidup. Pendengar radio bisa membayangkan kehebatan Maradona, Valdano, Rummenige, dan bintang-bintang bola masa lalu.

Setelah hijrah ke kota pun aku lihat televisi masih sedikit. Masih langka. Tak banyak rumah yang ada televisinya. Termasuk di Malang, kota yang sudah terkenal sejak zaman Belanda. Karena itu, nonton bareng Safari, Selecta Pop, hingga sepak bola ke rumah tetangga yang punya televisi jadi kebiasaan.

Aku masih ingat pertama kali nonton Piala Eropa ya di kawasan Klojen, Malang. Nonton bareng televisi di rumah Hadi, kawan yang sekolah di SMAN 3. Ramai sekali. Saat itu Belanda juara dengan bintang Gullit, Van Basten, Rijkaard.

Waktu kuliah pun televisi masih langka. Kos-kosan yang punya 15 kamar hanya ada satu televisi. Maka nonton bareng jadi kebutuhan.

Lama-lama televisi jadi banyaaaak. Setiap rumah (di Jawa) punya televisi. Acara nobar ke tetangga tak ada lagi. Bahkan tiap kamar punya televisi. Lama-lama orang bosan dengan TV karena tak ada lagi acara yang menarik. Kecuali siaran langsung sepak bola EPL, La Liga, Euro, Piala Dunia. Timnas Indonesia juga aku suka.

Lama-lama aku tidak lagi nonton televisi. Setelah ada YouTube yang punya jutaan pilihan konten. Mungkin sudah 6 tahun aku tidak nonton televisi analog yang teresterial. Cuma tengok rekaman wawancara atau liputan di YouTube.

Aku baru nonton televisi lagi saat Piala Dunia 2022 di Qatar. Hingga final yang epik Argentina vs Prancis. Messi dkk juara. Inilah partai final paling mendebarkan hingga menit terakhir. Disusul adu penalti.

Sehari setelah final Piala Dunia, pemerintah resmi mematikan siaran televisi analog. Tamat sudah era televisi analog yang dimulai di Indonesia sejak 1962 (kalau tak salah ingat) hingga 2022. Selama 60 tahun televisi analog jadi bagian hidup kita sebelum datangnya era digital, media sosial, YouTube, dsb.

Apakah aku harus membeli televisi digital? Atau cukup beli kotak digital alias STB untuk dicolok di televisi analog lama itu?

Aku masih ragu. Kurang antusias dengan televisi digital. Sebab tak ada lagi acara menarik di televisi nasional. Kecuali siaran langsung sepak bola Liga Inggris dan Liga Spanyol. Kalau cuma sepak bola kita bisa beli paket Vidio untuk nonton di laptop atau ponsel.

Buat apa punya televisi digital kalau tidak pernah dipirsa? Buat apa punya televisi kalau acaranya cuma gosip artis Nikita Mirzani, Dewi Perssik, dan sejenisnya?

 Apalagi 90 persen musik di televisi Indonesia adalah dangdut & koplo. Tak akan ada jazz, rock progresif, pop fussion ala Krakatau zaman dulu, apalagi musik klasik. Belum lagi para presenter TV yang hobi menyela dan memotong omongan narasumber. Pertanyaan baru dijawab satu kalimat pendek, eh.. langsung dicecar pertanyaan baru. 

Minggu, 18 Desember 2022

Pater John Lado SVD romo songkok di Graha Wacana Ledug Prigen

Cukup banyak pastor asal NTT, khususnya Flores dan Lembata, yang selalu pakai songkok. Persis bapa-bapa haji di kampung. Kopiah selalu melekat di kepala.

Salah satu pastor songkok adalah Pater John Lado SVD. Pastor asal Pulau Lembata, NTT, ini bertugas di Graha Wacana SVD, Desa Ledug, Kecamatan Prigen, Pasuruan. Tak jauh dari Hotel Tretes View yang terkenal itu. Romo John mudah dikenali karena kopiahnya itu. Romo-romo yang lain tidak pakai kopiah.

Pater John Lado SVD juga lebih senang berkebun. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengurus tanaman-tananam di kompleks Graha Wacana, rumah retret yang cukup terkenal di Jawa Timur.

 Orang Tionghoa Katolik yang senang rekoleksi pasti tahu Graha Wacana Ledug. Apalagi mereka yang ikut Paguyuban Tulang Rusuk. Rekoleksi Tulang Rusuk selalu diadakan di sini karena pendiri dan pembinanya Pater Jusuf Halim SVD. Sebagai imam SVD, tentu saja Romo Halim ikut menghidupkan rumah retret milik SVD itu agar punya penghasilan cukup.

Sayang, Romo Yusuf Halim berpulang saat pandemi covid tahun lalu. Karena itu, Retret Tulang Rusuk pun vakum sementara. Masih menunggu pandemi selesai. Juga pembimbing rohani yang punya kemampuan mendekati mendiang Romo Yusuf Halim. Ini yang tidak gampang. Sebab pater keturunan Tionghoa itu punya talenta, karisma, dan magnet yang tak dipunyai imam-imam biasa.

"Mungkin tahun ini Retret Tulang Rusuk dihidupkan lagi," kata Hilarius, petugas Graha Wacana.

Minggu pagi, 18 Desember 2022, Ayas mampir ke Graha Wacana. Hendak ketemu Pater John Lado SVD. Sekadar silaturahmi dan ngobrol sedikit soal kebun, rekoleksi, perkembangan rumah retret selama musim pandemi.

Sayang, Pater John belum bangun. Mungkin semalam nonton sepak bola Maroko vs Kroasia. Biasa, pater-pater SVD asal Eropa dan NTT biasanya doyan nonton sepak bola. Apalagi Piala Dunia yang empat tahun sekali itu.

Pater John kabarnya baru melayani misa kudus sore hari. Ia juga punya kesibukan sendiri selain ngurus kebun. "Pater John itu unik. Lain dari lain," kata Hilarius yang asal Manggarai.

Saya pun sudah lama tahu keunikan Pater John. Maka, saya tidak berani mengetuk pintunya di depan tanaman-tanaman hijau itu. Saya hanya kirim pesan singkat di wassap: "Selamat pagi, Pater, salam sehat."

Selamat (menyambut) Natal! 

50% lulusan SMA di Jatim tidak kuliah, kata Khofifah. Solusinya apa?

Sekitar 50% lulusan SMA di Jawa Timur tidak melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Itu omongan Gubernur Khofifah. Lulusan SMK yang tidak kuliah tentu lebih banyak lagi.

Mengapa tidak kuliah? Bukankah pembelajaran di SMA diarahkan untuk (wajib) kuliah?

 Pasti kendala ekonomi. Biaya kuliah mahaaal. Apalagi kedokteran. Jual sawah, jual rumah, belum tentu bisa bayar kuliah jadi tabib modern.

Masalah lulusan SMA tidak (mampu) kuliah ini isu lama. Sudah dibahas panjang lebar oleh Pater Drost SJ, pendidik, kepala sekolah SMA paling top di Jakarta (doeloe), pemikir pendidikan, Jesuit, penulis buku-buku yang sebagian besar membahas karut marut pendidikan di Indonesia.

Ayas sangat terkesan dengan pemikiran Pater Drost. Pemikiran Drost doeloe juga sering diadopsi beberapa mendikbud era Orde Baru meski tidak sepenuhnya. Ada link & match ala Menteri Wardiman dan beberapa konsep lagi.

Berdasarkan kajian Pater Drost, lulusan SMA yang bisa kuliah di Indonesia sebetulnya hanya 10%. Tidak lebih. Bukan soal ekonomi orang tua, tidak mampu bayar uang kuliah, tapi karena kemampuan akademis. 

Universitas, kata Drost, harus jadi puncak piramida. Hanya anak-anak berotak cemerlang yang bisa kuliah karena tuntutan akademis di universitas (beneran) sangat berat. Kalau IQ kurang, kompetensi akademis tanggung, sulitlah kuliah, kata Drost.

Masih menurut Drost, hasil tes skalu,  sipenmaru, UMPT,  SNB PTN, atau apa pun namanya sejak doeloe sangat memprihatinkan. Yang lulus murni tak sampai angka 10%. Artinya mereka yang dapat nilai di atas 70. Bahkan yang dapat 60 pun persentasenya sedikit.

Pihak perguruan tinggi tetap saja menerima mahasiswa sesuai kuota kursi di kampus. Misalnya, fakultas yang kuotanya 200 kursi ya terima 200 mahasiswa meskipun yang nilainya di atas 70 tidak sampai 100 anak.

 Belum lagi penerimaan mahasiswa lewat pintu lain semacam PMDK atau seleksi mandiri yang kualitasnya di bawah sipenmaru atau UMPTN. Anak yang tidak lulus UMPTN bisa masuk lewat pintu mandiri.. kalau ortunya punya duit banyak.

Karena itu, idealisme Pater Drost SJ untuk menjadikan universitas sebagai center of excellence tidak akan kesampaian. Hanya angan-angan belaka. Apalagi PTS-PTS mau menampung siapa saja tanpa seleksi ketat soal akademik. Sing penting iso bayar!

Kalau yang boleh kuliah hanya 10% (atau dilonggarkan jadi 20%), mau dikemanakan yang 90% itu? Pater Drost sudah menguraikan panjang lebar di buku-bukunya yang sebagian besar terbitan Kanisius dan Gramedia. Tinggal baca saja.

Intinya, sekolah-sekolah vokasi yang diperbanyak, diperluas, diperbaiki mutunya. Jumlah SMA harus lebih sedikit ketimbang SMK. Bila perlu lulusan SD langsung masuk sekolah kejuruan macam tempo doeloe macam sekolah teknik (ST) lalu lanjut ke sekolah teknik menengah (STM) lalu sudah mahir dan masuk dunia kerja.

Lulusan SMA yang tidak kuliah, nganggur, jauh lebih berbahaya ketimbang lulusan SMK yang tidak kuliah. Ironisnya, pemerintah makin memassalkan SMA dan kurang fokus ke vokasi atawa kejuruan. Kualitas SMA diturunkan dengan model zonasi. 

Lalu, apa solusi Gubernur Khofifah? 

"Pemprov Jatim telah menginisiasi program double track SMA yang menjadi opsi untuk para siswa untuk berkecimpung di dunia kerja.

Dalam program double track, sistem pembelajaran SMA dan SMK dipadukan untuk memberi siswa keterampilan sesuai minatnya. Sehingga, para siswa bisa menggeluti dunia kerja apabila tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah kelulusan," kata Khofifah dikutip Suara Surabaya.

Solusi yang tanggung.

Mengapa SMA dibuat double track alias jadi setengah SMK? Mengapa bukan SMK yang diperkuat? Mengapa anak-anak SMP tidak diarahkan ke SMK sejak awal?

Kalau sudah kadung masuk SMK ya siap-siap kuliah. Program double track di SMA pasti tidak akan sebagus SMK beneran.

Pelik memang dunia pendidikan sedari dulu hingga kiamat. 

Nasi bungkus 5K masih ada di Buduran meski BBM naik terus

Harga bensin naik September lalu. Harga barang dan jasa ikut naik. Harga koran ikut naik sedikit. Sudah pasti inflasi juga naik.

Alhamdulillah, harga nasi bungkus di pinggir jalan raya Buduran, Sidoarjo, masih Rp 5.000. Dari dulu tetap anteng di angka itu. Ayas perhatikan sejak empat atau enam tahun lalu ya segitu.

Mutu menunya pun tak banyak berubah. Tongkol, hati, telor utuh, telor dadar, tahu.. dsb. Biasanya kalau BBM naik ukuran tempe atau dikecilkan. Telor bulat kadang dijadikan separo. Tapi di Buduran ini tetap bulat utuh.

"Alhamdulillah," kata ibu penjual sega bungkus itu.

Ayas bertanya apakah tidak rugi menjual sega bungkus lima ribu di era inflasi ini. Dia akui labanya turun. Tapi tetap puji Tuhan karena rezeki tetap ada. Dagangannya tetap lancar jaya.

Sabtu pagi, Ayas mampir beli sega bungkus di Buduran setelah lama tidak lewat di situ. Tak jauh dari Ayas punya kantor lama di dekat Museum Mpu Tantular. Harganya masih lima ribu.

"Biasanya gak sampe jam 9 sudah habis," kata ibu itu.

Seandainya tiap hari kita makan nasi bungkus macam di Buduran ini maka biaya hidup jadi rendah di Jawi Wetan. Sebulan tak sampai 500 ribu. Itu kalau makan tiga kali.

Kalau makan dua kali sehari ya 300-an. Apalagi yang cuma makan satu kali untuk program diet pengurusan badan. Dijamin cepat langsing. Susut perut 

Dan.. jangan lupa, setiap pekan ada Jumat Berkah. Di sejumlah tempat selalu disediakan sega bungkus gratis. Alhamdulillah. 

Selasa, 13 Desember 2022

Remy Sylado nyanyi di surga

Remy Sylado pulang. 

Selesai tugasnya di dunia ini. Orang ini banyak talenta. Serba bisa: Munsyi, poliglot, seniman teater, novelis, wartawan, musikus, teolog, budayawan dsb dsb. 

Tuhan Allah kasih talenta terlalu banyak untuk satu orang Remy Sylado. Bung Remy lahir di Makassar pada 12 Juli 1945. Terlalu banyak jejaknya di dunia literasi, musik lawas dengan majalah Aktuil di Bandung, hingga novel yang tidak indah tapi menarik.

Remy Sylado ibarat ensiklopedia atau wikipedia berjalan. Semua artikel, novel, ucapan, seminar dsb selalu ada penjelasan tentang kata atau istilah layaknya wikipedia. Malah lebih lengkap dan hidup.

Remy kerap diajak untuk memberikan ceramah tentang bahasa Indonesia kepada wartawan di Surabaya. Khususnya di Jawa Pos Group. Kali terakhir pada Bulan Bahasa 2018 di Graha Pena, Surabaya.

Di usianya yang senja, energinya masih kuat. Ia masih bicara lantang, penuh humor, sindir sana sindir sini.. bikin kita terbahak-bahak. Termasuk menertawakan kekonyolan wartawan sendiri yang bahasanya masih berantakan.

Remy Sylado juga pernah diundang Jawa Pos untuk memainkan teater tentang Sam Po Kong. Teater berdasar novel yang ditulisnya sendiri. Sangat menarik. Remy ternyata jago bahasa Tionghoa suku, khususnya Hokkian, hingga bahasa nasional yang disebut Mandarin itu.

Setelah membaca berita Remy Sylado berpulang, saya membuka lagi novel Sam Po Kong. Tebal sekali. Tapi ukuran hurufnya besar dan ceritanya menarik. Enak diikuti sampai selesai. Beda dengan novel Mata Hari, karya Remy juga, yang agak ruwet karena penuh dengan penjelasan-penjelasan ensiklopedistik.

Cukup banyak buku-buku karya Remy Sylado yang saya miliki. Sebagian besar sudah disumbangkan ke perpustakaan. Saya hanya simpan Sam Po Kong dan Mata Hari. Novel Ca Bau Kan dipinjam orang tak kembali.

Membaca buku-buku Remy ibarat kuliah di kampus. Tapi dosennya asyik sehingga mahasiswa ketagihan. Ibarat menimba air di sumur yang tak pernah kering.

Selamat jalan, Bung Remy Sylado  🙏🏼
Selamat bernyanyi di surga 🙏🏼

Senin, 12 Desember 2022

Tata Perayaan Ekaristi (TPE) Baru Bikin Bingung

Selama pandemi covid-19 liturgi daring jadi kebutuhan. Misa langsung di gereja tak boleh karena protokol kesehatan dsb. Apa boleh buat, kita orang harus ikut misa streaming dari rumah, warkop, hutan, pantai, di mana saja.

Teknologi digital membuat segalanya jadi mungkin. Ayas malah lebih senang ikut English Mass dari Kanada atau Amerika karena lebih padat dan singkat. Ekaristi cuma 30 menit saja. Di Indonesia, meski tidak sepanjang misa normal, misa streaming masih tetap lama.

Gara-gara terlalu sering misa online selama pandemi, Ayas jadi pangling saat misa offline di gereja. Ternyata selama masa pandemi ada sedikit perubahan Tata Perayaan Ekaristi (TPE). Perubahan sedikit redaksional kalimat di doa syukur agung dan beberapa lagi.

Perubahannya tidak terlalu besar. Cuma penambahan beberapa kata serta penyuntingan kalimat. Tapi tetap saja membuat umat Katolik kehilangan hafalan lama.

Doa-doa lama yang sudah hafal di luar kepala kini berubah. Padahal misa bahasa Inggris, bahasa Latin, dsb masih sama seperti dulu. Bahasa Indonesia memang paling tidak stabil. Bahasa Latin yang paling stabil.

Dari dulu doa tanda salib dalam bahasa Latin tidak berubah: In nomine Patris...

Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia sering berubah. Waktu Ayas kecil di desa selalu berdoa "Atas nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus". Kemudian diganti jadi "Demi nama Bapa.."

Versi sekarang "Dalam nama Bapa..."

Yang paling terasa, bagiku, adalah lagu-lagu tanggapan doa syukur agung. Lagu-lagu lama di Puji Syukur dan Madah Bakti tak lagi dipakai. Ada lagu-lagu baru yang harus dipelajari, dihafal, dan dibiasakan.

Maka saya pun hanya diam saja selama misa berlangsung. Takut salah. Padahal biasanya saya bernyanyi dengan agak keras macam pelatih paduan suara. 

Apa boleh buat. Semuanya memang berubah. Disesuaikan dengan perkembangan zaman. Karena itu, Ayas mampir di toko buku paroki dan membeli buku Tata Perayaan Ekaristi baru. 

Ayas Dukung Jerman Barat, Ebes Dukung Argentina

Minggu lalu Bapa Niko Hurek berulang tahun ke-82. Di surga. Tanggal lahirnya tidak jelas seperti orang-orang kampung tempo doeloe. Tuan Pater asal Belanda lalu tetapkan tanggal 6 Desember. Pesta Santo Nikolaus.

Entah mengapa Tuan Pater memilih tanggal yang sama dengan Pesta Sinterklaas. Mungkin ia ingin Bapa Niko jadi orang yang suka berbagi, peduli anak-anak, menyenangkan macam Sinterklaas.

Bulan Desember 2022 ini ada pesta bola di Qatar. Kali pertama Piala Dunia diadakan di kawasan Arab yang panas. Maka agendanya pun digeser. Bukan lagi pada musim panas tapi Desember. Agar pemain-pemain asal Eropa dan utara katulistiwa tidak kepanasan.

Ayas jadi ingat Ebes di kampung pelosok Pulau Lembata, NTT, tempo doeloe. Belum ada jaringan listrik. Tak ada televisi. Informasi hanya dari radio dan koran dua  mingguan Dian. Baru tahun 1990-an Dian jadi SKM: surat kabar mingguan. 

 Ebes pelanggan sekaligus distributor koran Dan milik kongregasi SVD yang didirikan dan dipimpin Pater Alex Beding SVD asal Lamalera, Lembata, itu. Saat itu di NTT hanya ada dua koran, yakni Dian dan Kupang Post. 

Ebes juga melanggan majalah mingguan Hidup. Isinya tentang gereja, liturgi, aneka informasi tentang Katolik di Indonesia dan luar negeri. Ada juga halaman anak, notasi lagu baru ciptaan Pater Soetanta SJ. Pastor inilah komponis dan arranger sebagian besar lagu di Puji Syukur.

Meski tidak ada TV, Bapa Niko sangat gandrung sepak bola. Tak pernah melewatkan siaran pandangan mata di radio. Mulai turnamen Piala Eltari antarkabupaten di NTT, timnas Indonesia, hingga Piala Dunia. Modalnya cuma dengar radio merek Conion. Tajam sekali tangkapan radio pakai gelombang SW itu.

Ebes mendengarkan radio seakan-akan melihat televisi. Ia bisa membayangkan gerakan pemain-pemain hanya berdasar laporan reporter-reporter radio saat itu macam Ripto Savidi. Dan, harus diakui, deskripsi siaran pandangan mata pada era 80-an sangat hidup. Pendengar radio benar-benar dibawa ke stadion.

Ayas pernah menemani Ebes menonton.. eh, mendengarkan siaran pandangan mata final Piala Dunia 86 di Meksiko. Argentina vs Jerman Barat. Ayas yang masih remaja terbangun karena Ebes ini terbawa emosi atau baper sekali. Ebes pendukung berat Argentina yang diperkuat Diego Maradona.

Ebes hafal nama-nama pemain Argentina macam Brown, Valdano, Ruggeri, dan Maradona tentu saja hanya berdasar ingatan dari siaran RRI itu. Ayas yang belum paham sepak bola mendukung Jerman Barat. Itu karena ada foto Rummenige di koran Dian yang merepro foto di koran Kompas.

SKM Dian terbitan Ende, Flores, dulu memang sering merepro foto-foto Kompas. Apalagi saat itu ada kerabat Pater Alex Beding SVD yang jadi redaktur dan orang penting di Kompas. Bung Marcel ini eks frater SVD juga asal Lembata.

Nah, pertandingan berlangsung sangat seru. Ayas yang awalnya kurang semangat ikut-ikutan panas ketika Jerman Barat melakukan serangan. Siaran radio memang ada virusnya meski hanya suara alias audio.

"Goooool!" Ayas berteriak ketika Rummenige cetak gol. 

Kelihatannya Jerman Barat bakal memang. Tapi Ebes sangat yakin Argentina yang bakal juara karena ada Maradona. Dan.. benar Argentina yang jadi juara saat itu. Maradona jadi mahabintang!

Sejak saat itulah Ayas jadi pendukung Jerman Barat. Belakangan Jerman Barat dan Jerman Timur bergabung jadi satu. Ayas tetap dukung Jerman meski tak pernah melihat permainan Rummenige, Brehme, Olaf Thon, Klinsmann, Matthaeus, Moller, dkk di televisi.

Ayas baru benar-benar nonton sepak bola di televisi pada Piala Dunia 1990. Nonton bareng hampir tiap malam di halaman Radio Suara Akbar di Jember. Siaran dari RTM Malaysia pakai parabola. Saat itu TVRI tidak menyiarkan semua pertandingan World Cup itu.

Ayas ternyata tidak salah. Timnas Jerman yang dilatih Kaisar Beckenbauer saat itu memang luar biasaaa. Kualitas permainannya jauh lebih bagus ketimbang yang saya bayangkan di radio di pelosok Lembata dulu. Dominasi total, passing kaki ke kaki, mengalahkan lawan dengan mudah.

Singkat cerita, Jerman akhirnya juara. Itulah timnas terbaik yang pernah Ayas lihat di televisi. Sampai sekarang pun masih terekam di memoriku gaya permainan der Panzer yang mengalir, flowing, atraktif. Stamina pemain Jerman pun sangat kuat laksana panzer.

Sayang, di Piala Dunia 2022 ini Jerman lambat panas. Kalah di laga pertama oleh Jepang. Permainan yang flowing dan attacking ala Kaisar masih terlihat tapi sudah merosot tajam. Jadi, wajarlah kalau Jerman tidak lolos ke babak 16 besar.

Dengan gugurnya Jerman, maka Ayas tak punya jago di Piala Dunia 2022. Siapa pun yang jadi juara bukan masalah bagiku. Namun, Bapa Niko tentu akan sangat senang kalau tahun ini Argentina yang juara! 

Parah! Satpam gereja marahi dan usir pastor terkenal

HANYA CERITA AJA

Oleh Romo Yohanes Gani, CM

Apa yang akan kuceritakan bukan untuk meremehkan suatu profesi atau pekerjaan sebab semua pekerjaan itu baik asal tidak merugikan orang lain. Ceritanya suatu hari aku membuat janji dengan seorang romo di suatu paroki. Dia meminta agar aku datang ke tempatnya. Kami janjian sekitar pukul 2 siang. 

Pada pukul 2 siang lebih sedikit aku baru sampai di pastorannya. Sampai di halaman gereja aku telpon dia dan mengatakan aku sudah sampai di halaman gereja. Dia menjawab agar aku masuk saja, sebab dia ada di lantai 2. Pastoran terdiri dari 2 lantai. Aku tanya lagi apakah motorku boleh dimasukan dalam garasi atau tidak? Dia menjawab masukkan saja. Garasinya cukup luas dan hanya ada satu mobil. 

Saat aku sedang telpon, seorang satpam mendatangiku. Dia berdiri di dekatku dengan wajah garang. Dia tanya aku mau apa? 

Aku mengatakan mau bertemu dengan romo X. Bapak itu menjawab tidak bisa, sebab jam segini romo sedang istirahat. Aku jawab bahwa baru saja telpon dan disuruh masuk. Bapak itu pergi meninggalkan tempatnya. Kupikir masalah selesai.

 Maka aku menuntun motor ke garasi. Ternyata bapak itu bergegas mendatangiku lagi dan menyuruhku agar mengeluarkan motor dari garasi, sebab itu khusus untuk mobilnya romo. Kupikir dari pada ribut yang tidak ada gunanya, maka aku kembali menuntun motor ke halaman gereja. 

Temanku ternyata sudah menunggu di ruang makan yang berada di lantai 1. Dia tanya mana sepeda motorku? Aku jawab diparkir di halaman gereja. Dia bertanya mengapa tidak dimasukkan garasi saja biar tidak kepanasan. Aku jawab motorku sudah terbiasa berjemur jadi tidak ada masalah. Dia mengajakku naik ke lantai 2, ke ruang rekreasi. Kami pun membicarakan beberapa masalah yang terkait dengan situasi masyarakat saat itu.

Satu jam lebih kami tenggelam dalam diskusi. Akhirnya aku pulang. Temanku mengatakan mengantar, aku jawab tidak apa. Aku tahu jalannya ke halaman gereja. 

Saat aku sudah duduk di atas jok sepeda motor dan siap meninggalkan halaman gereja, satpam itu datang lagi. Dengan kata-kata penuh tekanan dia menegur agar lain kali kalau mau bertemu romo harus lapor dia dulu. Biar dia yang memanggilkan. Tidak langsung telpon dan masuk begitu saja. 

Melihat wajahnya dan caranya bicara aku hanya tersenyum saja. Akhirnya setelah puas meluapkan kemarahannya dia pun pergi begitu saja. Sekali lagi aku hanya tersenyum. 

Aku sudah beberapa kali mengalami hal semacam ini. Bertemu dengan orang-orang yang seolah penguasa. Merasa diri penguasa yang berhak menentukan siapa saja yang boleh masuk dan bertemu pemilik rumah. Merasa bahwa dialah penjaga yang sah, maka semua orang harus melewatinya baru dapat masuk.

 Merasa paling tahu keinginan pemilik rumah. Merasa paling tahu apa yang boleh dan tidak boleh kalau mau memasuki rumah itu. Padahal belum tentu pemilik rumah akan seketat dan sekeras itu. Dalam kehidupan beragama pun ada banyak yang menjadi seperti pak satpam itu. (*)

Sabtu, 10 Desember 2022

Brasil memang layak angkat koper

Brasil ternyata tidak sebagus yang diberitakan di media massa. Permainan Neymar dkk saat melawan Kroasia di 8 besar Piala Dunia 2022 sangat membosankan.

Kroasia juga jelek. Kedua tim sama-sama kurang menarik. Sampai 90 menit skor sama kuat 0-0.

 Betapa tidak enaknya nonton bola yang tidak ada golnya. Boleh seri asalkan ada golnya. Entah 2-2, 3-3, 5-5...

Makin banyak gol makin bagus permainan. Ayas punya prinsip seperti itu. Sepak bola harus ada golnya. Lebih bagus lagi kalau 30 menit sudah ada gol. Ayas sering mencak-mencak sendiri menonton pertandingan yang tak ada golnya.

Ayas sebetulnya sudah malas nonton Piala Dunia. Sebab Jerman sudah tersisih. Belum lagi pertandingan selalu diadakan sampai dini hari. Tapi Ayas dituntut bisa menceritakan sedikit suasana Piala Dunia. Termasuk aksi para bintangnya.

Perpanjangan waktu Neymar bikin gol. Tapi dibalas Kroasia. Skor 1-1 tidak berubah. Tapi pertandingan tetap kurang menarik.

Ayas kurang suka adu penalti sejak dulu karena mirip judi. Sepak bola ya harus ada gol dalam masa 90 menit itu. Dan, kalau bisa skornya besar macam futsal. 6-3, 7-4, 5-3 dst. Ayas jadi mengerti mengapa orang Amerika tidak suka sepak bola lantaran tidak banyak gol selama 90 menit.

Syukurlah, Brasil tersingkir lewat adu penalti. Siapa suruh tidak bikin 3 atau 4 gol dalam masa 2x45 menit?

Kroasia masuk 4 besar alias semifinal. Sudah pasti membosankan. Tapi Modric dkk bisa saja dinaungi dewa hoki. Main bertahan total, sesekali serangan balik, kemudian adu penalti dan menang.

Ayas sudah lama tidak melekan untuk nonton bola. Tepatnya sebelum covid. Tapi gara-gara Piala Dunia ya terpaksa nonton lagi. Siapa tahu bagus, main terbuka, attacking football.. dan banyak gol. Ternyata ya boring football macam Spanyol, Brasil, dan Jerman. 

Jumat, 09 Desember 2022

Sampean satpam di mana?

"Sampean satpam di mana?"

Begitu pertanyaan seorang wanita setengah tua, pembantu di kawasan Rungkut, Surabaya. Ayas yang bukan satpam kaget sekali.

 Ayas kok disangka satpam? Bisa jadi Ayas punya potongan sekuriti. Punya badan kekar, kuat, macam satpam beneran.

 "Yah.. kerja di daerah Surabaya Utara," Ayas jawab sekenanya lalu ngalih. Agar tidak dikejar lagi pertanyaan susulan.

Pembantu yang rada kentir itu sudah lama minggat. Dibawa kabur seorang duda penjual jamu di awal covid. Ayas lega karena tak lagi ditanya tentang dunia persatpaman di Surabaya. 

Jumat pagi ini Ayas nggowes di kawasan Gunung Anyar. Mampir ngopi di warung kecil. Sekalian beli nasi pecel. Pelayannya wanita di bawah 30. Kecantikan di atas rata-rata. Nilainya sekitar 85.

Basa-basi sejenak tentang Piala Dunia, ekonomi yang ruwet, hingga kuli bangunan. "Sampean gak kerja? Kok masih nggowes jam begini?" tanya wanita satu anak itu.

"Aku biasa masuk sore. Kerja sampai tengah malam?" Ayas jawab ringkas saja.

"Sampean jaga di mana?" kejar penjual pecel itu.

Waduh.. rupanya Ayas dikira satpam yang jaga kantor. Ayas jadi ingat pembantu rada stres dulu di Rungkut. Pertanyaannya mirip atau sama persis. Sampean satpam di mana?

Apa boleh buat. Itulah persepsi. Sudah tiga orang yang bertanya seperti itu. Satu lagi ibu warung di dekat Juanda. Dia tidak percaya ketika Ayas bilang kerja dalam bidang komunikasi, berteman komputer setiap hari, dan blablabla.

"Kerja satpam itu juga halal," kata wanita asal Lamongan.

Tidak mudah memang meyakinkan 3 wanita ini bahwa Ayas bukan satpam. Sebab persepsi mereka sudah sangat kuat. Mereka juga tidak terbiasa dengan pertanyaan terbuka, open question, khas wartawan. Mereka lebih suka closed question. Bertanya untuk justifikasi dugaan mereka.

Pertanyaan tertutup memang bisa berbahaya. Ya, kalau orang yang ditanya itu benar satpam. Seharusnya pertanyaan terbuka yang dikedepankan. "Sampean kerja di mana? Sampean kerja apa? Sampean masuk kerja jam berapa?"

Ayas pun kehilangan selera makan pecel di warung pecel itu. Ayas alihkan perhatian dengan menengok video yang dibagi di grup Flobamora NTT. Anies Baswedan bicara panjang lebar, ngalor ngidul, saat menjawab pertanyaan Karni Ilyas. Padahal yang ditanya itu tentang sumur resapan untuk mencegah banjir di Jakarta.


Hidup satpam!
Haleluya!!! 

Kamis, 01 Desember 2022

Bayar Misa, Mengenang Dua Martir di Aceh Tempo Doeloe

Kamis pagi ini aku nggowes ke Gereja Roh Kudus, Purimas, Rungkut, Surabaya. Misa harian dimulai pukul 06.00. Biasanya dulu, sebelum covid, 05.30. Kurang pagi menurutku. Tapi pihak paroki tentu punya pertimbangan sendiri.

Go pate misa!
Aku bayar misa.

Bayar misa karena aku tidak ikut misa hari Minggu Adventus 1. Misa online pun tidak ikut. Padahal tidak sampai 40 menit. Padahal nonton sepak bola Piala Dunia dua jam masih disempatkan sampai dini hari.

Karena itu, orang di kampungku dulu, generasi bapa mamaku, biasa bilang pate misa. Membayar misa dengan ikut misa harian, sembahyang rosario, atau ibadat devosi ke Gua Maria, bakti sosial dsb.

Misa pagi ini dipimpin Pater Yosef Jaga Dawan SVD. Pastor asal Larantuka, Flores Timur. Ia didampingi seorang diakon asal Timor. Pater pakai kasula warna merah. Pasti peringatan santo/santa atau martir.

Pater Yosef Dawan memberi pengantar tentang peringatan Beato Dionisius dan Redemptus. Keduanya jadi martir di wilayah Kerajaan Aceh pada tahun 1600-an.

Pater Dionisius dan Bruder Redemptus dibunuh di Aceh atas titah Raja Sultan Iskandar Thani. Majalah Hidup menulis:

"Orang-orang Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan menyebarkan isu bahwa bangsa Portugis datang hanya untuk menyebarkan agama Katolik diwilayah Aceh. Karena itu, semua anggota misi ini ditangkap, dipenjarakan, dan disiksa agar menyangkal imannya.

 Selama sebulan mereka meringkuk di dalam penjara dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Beberapa orang dari antara mereka meninggalkan imannya untuk membeli kebebasan mereka."

Aku sudah sering dengar nama Dionisius dan Redemptus. Tapi cerita tentang kemartiran kedua misionaris itu di tanah Aceh jarang terdengar. Pater Yosef yang menyegarkan kembali kisah martiria yang luar biasa itu.

Keduanya tidak gentar mewartakan sabda Allah hingga ke ujung dunia. Tidak takut mati demi Sang Kristus.

Renungan singkat yang disampaikan diakon asal Timor itu pun kembali menyinggung soal Beato Dionisius dan Redemptus. Ia kaitkan dengan bacaan Injil tentang dua macam dasar.

Matius 7 : 24
"Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu."

Misa harian di Rungkut ini tidak lama. Hanya 40 menit saja. Meski singkat, saya bisa salaman dengan Pater Yosef Larantuka dan Suster Imelda dari Kefamenanu, NTT. Bisa basa-basi beberapa kalimat khas Flobamora alias NTT. 

Rabu, 30 November 2022

Surabaya ternyata kota nomor 10 di Indonesia

Surabaya pernah jadi kota terbesar di Indonesia. Lebih tepat di Hindia Belanda. Waktu itu lebih tepat Soerabaia atawa kadang ditulis Soerabaja. Belum ada Surabaya.

Batavia malah kota terbesar kedua. Belum ada Djakarta, apalagi Jakarta. Padahal Batavia itu pusat pemerintahan Hindia Belanda. Soerabaia kota dagang.

Itu dulu. Sebelum ada Republik Indonesia. Sebelum ada pertempuran heroik Arek-Arek Surabaya itu. Sebelum para meneer dan mevrouw pemakan roti dan keju itu dipulangkan ke negaranya di Holland sana.

Pagi ini ada anggota grup tempo doeloe yang mengangkat lagi nostalgia ini. Bahwasanya doeloe Surabaya kota terbesar nomor 1 di Indonesia (d/h Hindia Belanda). Jumlah mobil lebih banyak di Surabaya. Omzet dagang pun lebih banyak di Soerabaia.

"Sekarang Surabaya nomor berapa?" Ayas bertanya iseng saja.

Bung TS tidak jawab. Tapi ada anggota lain yang jawab Jakarta. Sudah pasti Jakarta lah, kata yang lain lagi. Ayas respons dengan hahahaha...

Ayas ingat betul tulisan seorang pewarta senior. Sebelum ada media sosial, ponsel pintar. HP sudah ada tapi hanya bisa menelepon dan kirim SMS. Juragan media itu bilang Surabaya bukan kota nomor 2 tapi nomor 6.

Nomor 2 kota apa? "Nomor 1 sampai 5 Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta," kata sang juragan koran.

Begitu terpusatnya ekonomi, bisnis, peredaran uang, pemerintahan dsb dsb di Jakarta. Kota-kota lain di luar Jakarta hanya kebagian remah-remah. Soerabaia yang doeloe unggul atas Batavia pun kalah jauh dari Jakarta yang nomor 5 (Jakarta Timur). 

Ayas sering kutip ungkapan Surabaya kota nomor 6 itu. Tapi dua pekan lalu tokoh kita rupanya punya versi baru tentang Jakarta vs Surabaya. Surabaya pada tahun 2022 ini ternyata cuma kota nomor 10 di Indonesia.

Berikut kutipan tulisan Siansen itu:

"Hermawan sudah identik dengan marketing. Ia sudah jadi ikan besar marketing di Surabaya. Tapi Surabaya itu ibarat kolam kecil. Yang disebut kolam besar adalah Jakarta. 

Surabaya memang kota terbesar kedua setelah Jakarta, tapi kedua yang jauh. Kota terbesar kedua yang sebenarnya masih Jakarta. Nomor tiganya masih Jakarta. Pun nomor 8-nya. 

Surabaya itu nomor 10. Nomor 9-nya Bekasi atau Tangerang. Secara ekonomi.

Maka Hermawan itu ibarat ikan besar di kolam kecil. Untuk bisa lebih besar ia harus mencari kolam besar. Ia pun pindah ke Jakarta."

Kamis, 24 November 2022

EYD Edisi V, Mahakudus atau Maha Kudus? Mahasiswa atau Maha Siswa?

Ejaan yang disempurnakan (EYD) ternyata sudah lima kali disempurnakan. Yang disempurnakan pun belum sempurna. Lalu disempurnakan lagi. Begitu seterusnya. 

 Tak ada yang sempurna kecuali Yang Maha Sempurna? Atau Mahasempurna?

Awalan atau prefiks maha- ini jadi salah satu pokok bahasan dalam EYD 5. Balai Bahasa Jawa Timur di Sidoarjo mengadakan sosialisasi EYD edisi kelima kemarin.

Sejak dulu maha- selalu disambung dengan kata dasar. Tidak boleh dipisah. Bentuk terikat, istilahnya. Mahasiswa, mahaguru, mahadewi, mahakarya, mahakuasa, mahakasih, mahasuci, dsb.

Di EYD edisi kelima ada perubahan. Awalan maha- yang mengacu ke sifat atau nama Tuhan harus dipisah. Tidak boleh disambung seperti EYD edisi pertama tahun 1972. "Ini pengkhususan," kata Kepala BBJT Umi Kulsum.

Karena itu, penulisan Mahakudus, Mahabenar, Mahakuasa, Mahakasih, Maharahim dsb harus diubah jadi Maha Kudus, Maha Kuasa, Maha Rahim, Maha Kasih.

Bagaimana dengan maha + kata berimbuhan?

Sama saja. Harus dipisahkan. Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemurah, Maha Pemberi, dsb. Aturan soal maha + kata berimbuhan ini sama persis dengan EYD 1972.

Saya jadi ingat gereja lamaku di Paroki Sakramen Maha Kudus (SMK), Pagesangan, Surabaya. Sejak masih berstatus stasi, kemudian diresmikan Presiden Gus Dur tahun 2001 (kalau tidak salah), penulisannya selalu dipisah: Sakramen Maha Kudus. Selalu disingkat SMK.

Dulu saya pernah kasih masukan kepada pengurus paroki bahwa penulisan yang benar Mahakudus, bukan Maha Kudus. Alasannya ya aturan EYD. Maha itu awalan sehingga harus melekat pada kata dasar. Tapi masukan saya dan beberapa pakar bahasa Indonesia tidak diindahkan.

Sekitar 20 tahun kemudian aturan EYD tentang maha- malah berubah. Yang benar malah Maha Kudus (dipisah). Bukan Mahakudus. 

 Yang dulu benar, sekarang salah. Yang dulu salah, sekarang benar. Hanya Beliau Yang Mahasempurna, eh Maha Sempurna! 

Rabu, 23 November 2022

Politik jalan buntu di Malaysia, Anwar Ibrahim sulit jadi PM

Hasil pemilu di Malaysia sudah diketahui hari itu juga. Akhir pekan lalu. Tak ada koalisi atau gabungan partai yang dapat kursi mayoritas. Pakatan Harapan pemenang pemilu hanya dapat 81 kursi. Padahal syarat minimal untuk membentuk pemerintahan 112 kursi.

Anwar Ibrahim, pimpinan Pakatan Harapan, pun tidak bisa dilantik sebagai perdana menteri. Muhyiddin Yasin, pimpinan Perikatan Nasional, malah klaim dapat 115 kursi. Namun ditolak Yang Dipertuan Agong karena angka sebenarnya tidak sampai 115.

Perikatan Nasional dalam pilihan raya umum itu dapat 73 kursi. Tapi pecahan Barisan Nasional ini dapat dukungan dari partai-partai di Sabah dan Serawak.

Kunci pemecah kebuntuan politik di Malaysia sebenarnya di Barisan Nasional. Koalisi yang pernah berkuasa sejak merdeka sampai 2018 itu punya 30 kursi.

Mau diberikan ke mana dukungan Barisan Nasional? Ke Pakatan Harapan atau Barisan Nasional? Ini yang tidak jelas. Zaid Hamidi pimpinan BN condong ke Anwar Ibrahim sebagai perdana menteri. Sementara sebagian elite BN lebih suka Muhyiddin karena dianggap lebih Melayu, lebih muslim, tidak dekat DAP yang dominan Tionghoa.

Anwar Ibrahim memang sekutu utama Partai DAP yang didominasi Tionghoa modern kosmopolitan. Tanpa DAP yang solid, Pakatan Harapan tak akan menang dalam dua pemilu beruntun.

Nah, kedekatan Anwar dengan DAP dengan Tionghoa, India, dan bukan muslim itulah yang membuat sebagian politisi dan masyarakat Malaysia jadi antipati. Termasuk Muhyiddin Yasin, mantan PM yang sangat ngebet ingin kembali jadi PM.

Muhyiddin bahkan menolak usulan Raja Malaysia agar Pakatan Harapan bekerja sama dengan Perikatan Nasional untuk membentuk pemerintahan yang kuat dan stabil. "No way!" kata Muhyiddin. "PN tidak akan pernah bekerja sama dengan PH."

Partai Islam Malaysia (PAS) anggota Perikatan Nasional sangat anti DAP dan Tionghoa. DAP dituduh sebagai partai komunis yang berbahaya. DAP punya agenda melakukan kristenisasi bersama elemen Yahudi, tuduh Muhyiddin saat kampanye.

Situasi politik di Malaysia ini mirip perpolitikan di Indonesia era demokrasi parlementer tahun 50-an. Sangat keras konflik ideologi, aliran, suku, ras, dan sebagainya. Kabinet jatuh bangun karena anggota parlemen tidak bisa bekerja sama dan membangun koalisi untuk pemerintahan yang berdedikasi pada rakyat.

Karena itu, saya bisa mengerti mengapa Presiden Soekarno saat itu membubarkan parlemen yang kacau mirip pasar sapi itu. Bung Karno kemudian bikin dekrit kembali ke UUD 45. Demokrasi parlementer ala Malaysia ternyata bisa sangat berbahaya dan bikin konflik politik tak kunjung sudah.

Malaysia punya Raja atau Yang Dipertuan Agung. Sri Baginda tentu tidak tinggal diam melihat kerajaannya goyang gara-gara kisruh politik pasca pemilihan umum itu. 

Selasa, 22 November 2022

Musafir Kelana di Sunan Ampel

Di Masjid Sunan Ampel, Surabaya, ini banyak sekali orang yang tidur siang. Mereka musafir. Peziarah dari luar kota. Ada yang rombongan besar, rombongan sedang, rombongan kecil, hingga musafir solo.

Suasana di dalam dan emperan masjid terkenal ini memang sejuk. Beda jauh dengan hawa Surabaya yang selalu suhu tinggi. Padahal tidak ada pendingin udara (AC) di dalam masjid. Kipas angin pun mati.

"Saya sudah tiga hari di sini," kata seorang musafir kelana dari pulau garam. Ia tidak tahu kapan pulang. Bisa lama, bisa cepat lelaki itu ngalap barokah di situs religi salah satu Wali Sanga tersebut.

Ada yang tidur, ada pula peziarah yang sembahyang salat. Di emperan tampak beberapa orang sembahyang tasbih. Ada juga yang menikmati layar ponsel.

Saya pun istirahat sejenak di emperan masjid. Tak jauh dari makam KH Mas Mansyur pahlawan nasional. Diam merenung. Menikmati suasana di kawasan Ampel yang tenang meski para musafir cukup banyak.

"Hati-hati, Pak, karena sering kejadian (jambret)," pesan musafir asal pulau garam setelah saya traktir pisang rebus. 

Makam KH Hasan Gipo di Samping Masjid Sunan Ampel

Makam KH Hasan Gipo berada di samping Masjid Sunan Ampel, Surabaya. Satu kompleks dengan makam KH Mas Mansyur, pahlawan nasional.

Di dalam kompleks itu ada banyak makam. Tak ada kijing kecuali nisan. Tak ada bedanya makam pahlawan Mas Mansyur dan makam Mbah Kiai Hasan Gipo dengan makam-makam lain.

Saya baru tahu makam KH Hasan Gipo setelah blusukan ke kawasan wisata religi Sunan Ampel. Tapi sudah lama paham Langgar Gipo di Kalimas Udik. Langgar bersejarah yang jadi salah satu bangunan cagar budaya di Surabaya.

Tempo doeloe Jalan Kalimas Udik itu disebut Jalan Gipo. Ada juga yang bilang Gang Gipo. Selain Langgar Gipo, terdapat beberapa bangunan tua yang menarik. Khususnya gudang-gudang sisa kejayaan perdagangan di Kalimas tempo doeloe.

KH Hasan Gipo bukan kiai sembarangan. Ia ketua pertama Nahdlatoel Oelama (NO) atau ejaan sekarang NU: Nahdlatul Ulama. Periode 1926-1934.

Langgar Gipo bahkan disebut-sebut pernah jadi tempat transit calon jamaah haji pada masa Hindia Belanda. Perjalanan haji pakai kapal laut. Langgar Gipo semacam embarkasi haji masa kini di Sukolilo itu.

Ngomong-ngomong tentang Makam Gipo dan Langgar Gipo, saya jadi ingat Gee Tjien Boen. Arek Suroboyo di Amerika ini ternyata saat kecil tinggal di dekat Langgar Gipo di Jalan Gipo alias Kalimas Udik itu. 

Senin, 21 November 2022

Setahun tragedi pohon tumbang di Jolotundo

Pohon tumbang menimpa warung di dekat Petirtaan Jolotundo, Desa Seloliman, Trawas, Mojokerto, Minggu 14 November 2021. Tiga orang meninggal dunia. Lima orang luka parah.

Saya ikut tahlilan hari ketujuh kematian Rian di rerentuhan warung itu. Tempat yang biasa saya sambangi selama bertahun-tahun. Sampai kenal Ningsih, ibunya Rian, hingga keluarga besar warga asli Balekambang, Seloliman, itu.

Sudah setahun kejadian tragis itu berlalu. Ningsih dan suaminya, warga setempat, kelihatan masih trauma. Bergidik saat lewat di depan warung yang ada musala bikinan Mas Tar itu. Ningsih bahkan sempat kapok buka warung di kawasan wisata yang sejuk itu.

Tapi hidup jalan terus. Saat ini Ningsih sudah buka warung baru. Agak jauh dari lokasi pohon tumbang. Tepatnya di bawah, tanjakan menuju ke Sumber Kilisuci. Di kawasan Jolotundo ini ada 33 sumber air bermutu tinggi.

 Orang-orang kota sering ambil air Jolotundo untuk dibawa pulang. Orang kebatinan dan Hindu lebih senang sumber langsung di petirtaan kuna tinggalan Raja Airlangga itu.

Saya lihat warung Ningsih yang baru ini lebih keren. Mirip kafe di kota. Tapi belum ramai pengunjung. Beda dengan warung lama yang makan korban itu. Maklum, banyak pelanggan lama tak tahu kalau Ningsih sudah eksis lagi dengan warung barunya.

Kadaver Hermawan Kartajaya Arek Kapasari Gang V



Kata ini tak pernah saya dengar selama 10 atau 20 tahun. Juga tidak pernah baca di koran atau majalah baik cetak maupun digital. Kadaver atau cadaver.

Tapi saya ingat kadaver ada kaitan dengan mayat atau jenazah manusia. Minggu ini kata kadaver sering muncul di koran. Saya juga sempat sunting naskah mentahan tentang kadaver ini.

Maka saya cek lagi kamus bahasa Indonesia. Cadaver tak ada. Kadaver ada. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menulis:

ka.da.ver /kadavêr/
jenazah, biasanya digunakan mahasiswa kedokteran untuk praktikum anatomi

Kata kadaver (banyak media pakai "cadaver") jadi hidup gara-gara Hermawan Kartajaya. Begawan marketing ini berulang tahun ke-75. Begitu banyak acara digelar untuk memaknai perjalanan arek Kapasari Gang V Surabaya itu.

Salah satunya nostalgia ke rumah masa kecil di gang sempit yang sudah dijual. Kemudian dijual lagi oleh yang membeli dulu. Hermawan yang kondang banget itu ternyata anak kampung.

Hermawan juga pesan sembahyang misa di SMAK St Louis I Surabaya. Dulu ia sempat mengajar matematika di situ. "Setahun cuma misa satu kali! Rupanya Hermawan masih Katolik," canda kenalannya. 

Acara paling spesial ya kadaver itu. Pada 18 November 2022, tepat hari jadi ke-75, Hermawan Kartajaya datang ke kampus FK Universitas Airlangga. Menandatangani wasiat penyerahan jenazahnya saat berpulang kelak. Kadaver Hermawan untuk praktik atau riset mahasiswa kedokteran.

Banyak orang yang tercengang. Pihak keluarga pun awalnya keberatan. Tapi bukan Hermawan kalau tidak mampu me-marketing-kan idenya. Akhirnya sepakat.

Hidup kadaver!
Hidup Hermawan!
Dirgahayu! 

Minggu, 20 November 2022

Tak ada lagi sate kelinci di Jolotundo Trawas

Sudah lama tak ada sate kelinci di kawasan Jolotundo, Trawas. Tepatnya sejak pandemi covid melanda tanah air. Virus corona juga bikin mati kelinci? Tidak juga.

"Tapi serangan penyakit kelinci datangnya bersamaan dengan covid," kata Surani kepada Ayas. 

Ayas dulu memang sering mampir di warung tengah hutan itu. Di Desa Kedungudi, Kecamatan Trawas. Surani membuka warung dengan menu andalan kelinci. Sate kelinci, bakso kelinci, rica-rica kelinci.. serba kelinci lah.

Pak Rani kerja lama jadi koki di salah satu hotel terkenal di Tretes. Hotel Surya. Karena itu, ia paham betul cara mengolah daging kelinci jadi sate yang enak. Kuncinya di jenis kelinci, kemudian bumbu-bumbu.

"Silakan Anda bandingkan sate kelinci punyaku dengan di Tretes atau tempat lain," kata pria yang tidak tamat SMA itu.

Surani bilang kelinci yang bagus untuk sate atau kuliner itu jenis NZ: New Zealand. Besar badannya, dagingnya empuk, enaaak. Beda dengan kelinci-kelinci lokal yang makan rumput. "NZ itu makan pelet. Saya sudah paham banget bahan-bahan untuk pelet makanannya kelinci NZ."

Surani tak hanya jago masak kelinci tapi juga beternak kelinci. Awalnya sedikit, lama-lama jadi banyak. Jenis NZ. Dialah yang paling banyak memasok kelinci untuk disate di Tretes, Trawas, dan beberapa tempat lain.

Malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba datang serangan penyakit misterius itu. Kelinci-kelinci peliharaannya mati semua. Kecuali kelinci lokal yang tidak laku untuk sate atau rica-rica. "Kerugian jangan ditanya lagi. Wuakeeeh," katanya.

Itulah sebabnya tak ada lagi sate kelinci, bakso kelinci, rica kelinci di warung lesehan yang disebut Winnova. Banner di pinggir jalan itu pun sudah diturunkan. Sekarang hanya ada sate ayam.

Ayas duduk mendengar Surani bercerita tentang suka duka angon kelinci di Trawas. Labanya luar biasa karena permintaan sangat tinggi. Apalagi ada embel-embel daging kelinci bisa kurangi kolesterol jahat dsb. "Tapi begitu kena penyakit ya habis," kata lelaki yang senang nonton wayang kulit di YouTube itu.

Ada rencana beternak kelinci dan jualan sate kelinci lagi? Surani menggeleng. Sebab saat ini belum aman dari virus aneh itu. "Kalau kelinci lokalan sih tahan penyakit. Tapi dagingnya alot dan kurang enak," katanya.

Surani sepertinya kapok memelihara kelinci NZ dalam jumlah besar seperti dulu. Namun ia punya rencana beternak kelinci lokal dengan pakan khusus yang sudah dimodifikasi. Agar rasa satenya lebih enak dan empuk.

Mudah-mudahan sate kelinci khas Trawas ini bisa muncul lagi. Orang Surabaya kayaknya tidak peduli kelinci NZ, Australia, Jerman, Belanda, Rusia, Jawa, dsb. Pokoke sate kelinci aja, titik! 

Menikmati Orkes Koplo Bojo Loro


Orkes-orkes koplo dengan biduanita kampung manggung lagi. Ngamen di pinggir jalan. Mulai Krian, Balongbendo, Mojosari, Trawas dan sekitarnya.

Empat pemusik - kibod, bas, gitar, kendang - sudah lebih dari cukup. Ditemani dua biduanita kampung. Ada yang rada nom, STW (setengah tuwek), semok, gendut.

Makin bening kulit penyanyi sekarang. Tak kalah dengan di televisi atau YouTube. Teknologi dan obat-obatan untuk perawatan kulit sudah lama masuk ke kampung-kampung. "Suara nomor dua. Sing penting ayu, bodinya bagus," kata Cak T juragan orkes di Wonoayu dekat Krian.

Akhir pekan ini saya nikmati live music kelas kampung di kawasan Mojosari. Orkes asal Krian. Dua penyanyi wanita juga dari Krian. Wajah standar. Agak seksi khas artis koplo.

Lagu Bojo Loro (bukan Lara) rupanya digemari penonton paman-paman dan mbah-mbah. Lagu ini aslinya Mandarin. Kalau tak salah dari film Pendekar Ulat Sutra. Tian Can Bian alias Thien Chan Pien. 

<< Abang biru lampune disko
Awak kuru dek, mikir bojo loro
Bojo sing enom njaluk disayang
Sing tuwo njur wegah ditinggal

Telung dino mulih rono
Telung dino bali neng kene
Sing sedino kanggo sopo
Sing sedino kanggo wong liyo >>

Entah kenapa setelah diadaptasi ke Indonesia, khususnya Jawa, jadi Bojo Loro. Syair agak slengekan. Jenaka. Pusing karena harus membagi kasih untuk dua istri. Apalagi bojo papat atawa bojo telu. Bojo paling banyak papat kata ahli syariat.

Cukup meriah ngamen musik kelas kampung ini. Meski belum seramai sebelum pandemi 2020. Penonton terhibur menikmati goyangan biduanita nan aduhai. Mbak-mbak biduanita juga senang dapat saweran dari om-om.

Di sini senang, di sana senang
Di mana-mana hatiku senang

Anwar Ibrahim klaim menang pilihan raya umum

Pilihan raya umum (PRU) atawa pemilihan umum di Malaysia langsung diketahui hasilnya. Tidak perlu menunggu sampai satu bulan macam di sini. Karena itu, lembaga-lembaga survei atau quick count tidak laku di negara jiran itu.

Nurul Izzah dari Pakatan Harapan (PH) kalah. Padahal, putri Anwar Ibrahim dan Wan Azizah ini saya jangka bakal jadi perdana menteri (PM) suatu ketika kelak. Bapak ibunya menang.

Hasil PRU-15 Malaysia ini sudah bisa ditebak. Tak ada koalisi yang dapat mayoritas 112 - syarat minimal untuk membentuk pemerintahan. Parlemen tergantung, istilah di Malaysia. Karena itu, koalisi Pakatan Harapan dan Perikatan Nasional (PN) yang berhak lobi-lobi dagang sapi agar dapat kursi mayoritas di parlemen.

Anwar Ibrahim langsung jumpa pers. Mengklaim PH sudah punya angka (minimal 112) untuk bentuk kerajaan. Artinya Anwar bakal jadi perdana menteri.

Sebaliknya, Muhyiddin Yasin dari PN juga mengklaim menang sehingga berhak membentuk pemerintahan. UMNO bersama Barisan Nasional kalah telak. Padahal UMNO merupakan partai terbesar sejak Malaysia merdeka hingga 2018. 

Pakatan Harapan pimpinan Anwar Ibrahim, bersama DAP yang dominan Tionghoa, mengubah peta politik Malaysia. Oh ya, Tun Mahathir Mohamad kali ini kalah telak di Langkawi. Isyarat kuat bahwa Tun M harus tetirah dari politik. Usianya jelang 98 tahun.

Siapa yang bakal jadi PM Malaysia? Kalau bukan Anwar, ya Muhyiddin. Saya pernah jabat tangan kedua tokoh ini. Muhyiddin yang pernah jadi timbalan (deputi) PM Malaysia, kemudian PM Malaysia, bahkan pernah diskusi cukup lama dengan awak redaksi media di Surabaya.

Saya ikut diskusi itu. Cukup menarik Datok Muhyiddin ini. Datok Sri Anwar Ibrahim lebih menarik lagi. Pernah jadi timbalan PM, kemudian dijebloskan ke penjara beberapa kali. Disiksa, dihina, dilecehkan, tapi kemudian jadi ikon perjuangan reformasi di Malaysia. Anwar Ibrahim (dulu) sangat sering berkunjung ke Indonesia. Tampil di Mata Najwa dan sebagainya.

Saya pernah bertanya kepada ketua dan komisioner KPU di Jawa Timur. Apakah mungkin tahapan pemilu dan pilkada di Indonesia dipercepat? Disederhanakan?

Tahapan pemilu cuma satu bulan atau dua bulan macam di Malaysia? Hasil pemilu bisa langsung diketahui? Tidak perlu menunggu satu minggu atau satu bulan?

"Sulit, Cak," kata mantan ketua KPU di daerah. "Tahapan pemilu legislatif, pilkada, pemilihan presiden di Indonesia berbeda jauh dengan di luar negeri. Belum lagi faktor geografis. Indonesia ini luas banget, Cak!"

Benar, Indonesia luas banget. Tapi hasil pilkada di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik pun perlu waktu seminggu lebih sebelum diumumkan secara resmi. KPU di Indonesia perlu belajar bergadang sampai pukul 5 pagi ke Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) di Malaysia. 

Jumat, 18 November 2022

Pemilu Malaysia - Kesempatan Terakhir Anwar Ibrahim

Pemilihan umum atau pilihan raya umum (PRU) di Malaysia sangat menarik. Sabtu 19 November 2022, rakyat Malaysia yang berusia 18 tahun ke atas ramai-ramai turun mengundi anggota parlemen.

Pemilu di Malaysia sangat berbeda dengan di Indonesia. Malaysia sistem parlementer. Distrik murni. Caleg yang menanglah yang mewakili daerah pemilihan (dapil).

Sebanyak 945 calon bersaing untuk mengisi 222 kursi parlemen. Gabungan atau koalisi yang menguasai 112 kursi berhak memerintah. Jadi perdana menteri (PM). Kalau tak ada gabungan yang dapat 112 kursi, maka harus negosiasi dengan partai lain agar bisa "menubuhkan kerajaan" alias membentuk pemerintahan.

Saya lumayan hafal sistem politik di Malaysia sejak Tun Mahathir Mohammad, 97 tahun, terpilih sebagai perdana menteri tertua di dunia pada 2018. Saat itu Dr Mahathir jadi pimpinan koalisi Pakatan Harapan (PH).

Mahathir dan PH ambruk. Diganti Muhyiddin sebagai PM setelah keluar dari PH. Muhyiddin pun tak lama menjabat PM karena koalisinya tumbang setelah UMNO menarik dukungan. Otomatis tidak dapat angka 112 kursi parlemen.

Muhyidin digantikan Ismail Sabri dari UMNO sebagai perdana menteri. Itu pun tak lama juga. PM Ismail bubarkan parlemen pada 10 Oktober 2022 sehingga harus ada pemilu dipercepat. Kalau normal seharusnya PRU 15 baru diadakan tahun depan.

Inilah hebatnya Malaysia. Setelah parlemen  bubar, maka harus ada pemilu paling lambat 60 hari. Tapi KPU di sana memutuskan pemilu atau pilihan raya umum diadakan sebulan lebih sedikit setelah parlemen vakum. 

Bagaimana persiapan logistik, kertas suara, daftar pemilih tetap dsb? 

Malaysia sangat canggih. KTP elektronik itu sudah sah sebagai kartu pemilih. Siapa pun yang sudah berusia 18 berhak mengundi (memilih) caleg di kawasan tempat tinggalnya. Tidak bisa di kawasan lain. 

Orang Sabah yang tinggal di Kuala Lumpur harus pulang kampung  untuk nyontreng. Karena itu, orang Malaysia yang tinggal di luar negeri ramai-ramai balik kampung untuk PRU 15. Khususnya warga Tionghoa yang hampir semuanya pendukung DAP, partai aliran progresif, modern, dan agak sekuler. Tionghoa sangat kuat di Malaysia karena populasinya banyak.

Saya tidak bisa bayangkan Indonesia mampu mengadakan pemilu secepat itu. Persiapan hanya satu bulan. Saat ini KPU di Indonesia sudah sibuk ngurus pemilu meski baru diadakan tahun 2024. Artinya, Indonesia butuh persiapan dua tahun. KTP di Indonesia pun tidak bisa digunakan sebagai syarat sebagai calon pemilih.

Lantas, siapa yang bakal jadi PM Malaysia?

Sulit ditebak. PH tidak sekuat tahun 2018. Barisan Nasional (BN) yang didominasi UMNO pun tak lagi solid. Apalagi pimpinannya, mantan PM Najib Razak, masuk penjara gara-gara korupsi. Koalisi Perikatan Nasional (PN) masih menyuarakan sentimen anti-Tionghoa, kontra DAP, cenderung menyudutkan bukan Islam dan bukan Melayu.

Tun Mahathir bikin koalisi Gerakan Tanah Air (GTA) yang dianggap pupuk bawang. Apalagi usia Tun M sudah 98 tahun. Tidak lagi garang seperti tahun 80-an dan 90-an. 
 
"Nampaknya tiada gabungan yang akan menang cukup kerusi untuk bentuk Kerajaan," tulis Mahathir yang pernah jadi PM Malaysia selama 22 tahun.

Apakah Anwar Ibrahim bakal jadi PM Malaysia?

Tergantung hasil Pakatan Harapan besok. Kalau tidak mampu meraih 112 kursi, ya wassalam. Mahathir pun wassalam. Ismail Sabri dari Barisan Nasional pun belum tentu kembali ke Putrajaya.

Muhyiddin Yasin dari PN? Belum pasti juga. Dan.. kabinet di Malaysia bakal jatuh bangun lagi seperti era parlementer di Indonesia tahun 50-an. 

Minggu, 06 November 2022

Kompas makin tipis kian menghilang

Sudah lama saya tak baca Kompas. Kali terakhir di Malang.. kalau tak salah. Jelang Lebaran awal Mei 2022. Di kafe nuansa tempo doeloe di Kayutangan.. kalau tidak salah.

Dulu baca Kompas saban hari. Sebab dilanggan kantor. Kompas ini koran paling penting di Indonesia karena jadi kompas bahasa jurnalistik sekaligus bahasa Indonesia. Kata petahana untuk incumbent, misalnya, dimulai Kompas.

Meskipun koran terbitan Jakarta, tak ada kata-kata cakapan Melayu Betawi di Kompas. Apalagi kata-kata bahasa Jawa. Omongan narasumber dengan bahasa cakapan, spoken language, diubah jadi bahasa baku yang baik dan benar.

 Ini berbeda dengan ratusan koran Jawa Group yang selalu memberi ruang luas untuk bahasa cakapan lokal dalam tulisan-tulisan berita atau analisis. Khususnya dalam kutipan langsung - direct quotation. 

Contoh: "Arek-arek kudu sinau sing serius ben iso lulus kabeh," kata Wawali Armudji. 

Sabtu 5 November 2022, saya tidak sengaja ketemu Kompas di Porong, Sidoarjo. Rupanya emak tua di dekat kantor polisi masih jual Kompas. "Ono ae sing tuku,"  katanya. "Tapi sing laku yo tetep ae JP."

Disway laku gak? "Wis gak dol. Dulu aku jual banyak tapi gak laku. Kapok," katanya.

Panjebar Semangat? "Alhamdulillah, lumayan."

Radar Surabaya? "Ada aja yang beli," kata emak pengecer koran itu.

Saya pun beli Kompas untuk melihat perkembangan koran yang pernah jadi surat kabar nomor satu di Indonesia itu. Makin tipis sekarang. Tinggal 16 halaman. Kalah tebal dengan Radar-Radar di daerah. Jawa Pos masih mantap 24 halaman.

Mirip melihat koran cetak yang makin tipis digempur teknologi digital, media sosial, dsb. Dulu Kompas identik dengan koran super tebal. Bisa 80 halaman, bahkan edisi khusus bisa 100 halaman. Ketika masih ada Kompas Jatim, koran Kompas ini bisa 36 halaman saban hari.

Karena itu, doeloe, Kompas sangat disukai tukang-tukang loak. Timbangannya naik tajam. Sekarang Kompas berubah seperti koran-koran kota kecil alias kelas Radar. Sama-sama sulit mencetak koran tebal dalam oplah yang banyak.

Berapa oplahnya? Rahasia perusahaan. Yang penting, iklannya masih lumayan. Bisa untuk menggaji karyawan-karyawan yang tersisa.

Di halaman 16 ada tulisan ringan alias boks tentang Bre Redana. Lelaki kelahiran Salatiga, 27 November 1957, itu dulu wartawan Kompas dengan tulisan yang nyastra, kritis, tajam, paling enak dibaca. Saya sering hanya membaca kolom Bre Redana dan melewatkan tulisan-tulisan lain yang kurang menarik.

Bre sudah lama pensiun. Sekarang fokus jadi penulis fiksi. "Sebab saya tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menulis," kata Bre kepada Putu, wartawan senior yang nyastra juga.

Bre masih saja bicara soal analog vs digital. Kita orang sudah meloncat jauh ke budaya digital ketika budaya membaca analog (cetak) belum terbentuk. Budaya digital yang visual mengepung kita dari berbagai penjuru.

Karena itulah, koran makin lama makin tipis dan hilang di pasar. 

Senin, 24 Oktober 2022

Sembahyang Rosario Primitif di Era Digital

Bishop Robert Barron dari USA menulis:

"Friends, October is the Month of the Rosary. Through the prayers of the Rosary, we meditate upon the great Christian mysteries of Jesus' birth, life, death, and resurrection."

Bapa Uskup Barron ini salah satu pembicara dan penulis masalah kekatolikan yang cukup terkenal di USA. Ia juga aktif sekali di media sosial, YouTube, dan sebagainya sehingga dikenal di seluruh dunia. Saya sering ikuti homili dan kuliahnya di Youtube.

Yah.. Uskup Barron mengingatkan kita semua, orang Katolik, tentang Bulan Rosario. Selama bulan Oktober harus selalu berdoa rosario. Orang Flores Timur dan Lembata dulu bilang sembahyang kontas. Orang Katolik di Jawa bilang sembahyang tasbeh.

Sembahyang Kontas ini tidak sulit. Rosario itu doa sederhana. Paling sederhana. Tinggal mengulang-ulang Salam Maria sampai 50 kali. 

"Kalau tidak kuat ya cukup 30 kali saja," pesan bapaku dulu.

"Kalau tidak kuat 30 kali ya 10 kali Salam Maria saja," pesan guru sekolah dasar di kampungku dulu.

Saya perhatikan orang Katolik di Jawa selalu sembahyang tasbeh lengkap 5 peristiwa atawa 50 kali Sembah Bekti Kawula alias Salam Maria. Tidak pakai diskon jadi 30 kali atau 10 kali macam di kita orang punya kampung.

Di buku Finding God karya Father Ken Kaisch, yang barusan saya baca, ada sembahyang rosari primitif. Disebut juga The Psalter of The Blessed Virgin. Doa rosario primitif ini hanya mendaraskan 150 kali Salam Maria tanpa Bapa Kami, Kemuliaan, Terpujilah, Doa Fatima dsb.

"Going back to the primitive rosary, you are able to move more directly into the monologistic aspects of this great prayer," tulis Pater Ken Kaisch.

Cukup banyak variasi sembahyang kontas atau rosario ini. Teorinya sudah sering kita dengar dan baca. Namun, praktiknya sering tidak mudah di era disrupsi digital ini.

Ave Maria, gratia plena... 

Nyandu HP, Lupa Sembahyang

Telepon seluler alias HP alias ponsel sering bikin nyandu. Kita orang berlama-lama memelototi layar HP, baca komen-komen di media sosial, nonton video di YouTube, baca berita, artikel dsb.

Kalau dulu bangun pagi langsung ke belakang, cuci muka, sembahyang pagi, kini bangun pagi langsung buka HP. Siapa tahu ada pesan-pesan penting di grup WA dan sebagainya. Maklum, sebagian besar informasi tentang pekerjaan ada di WAG.

Saya pernah meluncur pagi sekali dari luar kota ke kawasan Kalimas Surabaya. Maklum, setiap Selasa pagi ada pertemuan atawa weekly meeting. HP belum aktif. Saya cuma baca koran di warkop, ngopi, sarapan roti kayak orang bule.

Sampai di kantor ketemu dek admin di front office. "Ngapain ke sini, Pak? Rapatnya kan diundur hari Kamis. Gak tau ya?" katanya sambil ketawa sedikit.

Masak sih? "Makanya, jangan lupa cek info update di grup."

Begitulah lika-liku hidup di era digital. Terlalu aktif, nyandu ponsel, kurang baik. Tapi kurang aktif pun bisa ketinggalan informasi. 

Apa boleh buat,  saya pun kabur ke Pulau Madura. Rekreasi sejenak ke Bangkalan, mampir di kelenteng, cari makanan khas Meduro dsb.

Sudah lama saya setel HP agar mati dan hidup sendiri. HP aktif mulai pukul 08.00 dan mati pukul 23.59. Lewat pukul 00.00 tidak boleh main HP, nonton YouTube, dan sebagainya.

Sayang sekali, disiplin diriku tergolong rendah. Apalagi sejak ada pengalaman salah informasi soal rapat Selasaan itu. Maka sebelum pukul 08.00 pun HP lebih sering dihidupkan. Bahkan kadang jam lima pagi sudah on. Hanya untuk mengetahui hasil-hasil Liga Inggris,  Liga Spanyol, dan Liga Italia.

Liga Jerman kurang menarik karena Bayern Muenchen terlalu kuat. PSG di Liga Prancis pun tak punya lawan seimbang.

Disiplin mematikan HP di bawah pukul 24.00 pun sering dilanggar. Yah.. karena faktor YouTube. Rekaman pertandingan bola, gol-gol cantik, lagu-lagu lawas, lawakan Kartolo, ludruk, Mak Lampir, hingga kampanye Pilihan Raya Umum (PRU) di Malaysia sangat menarik untuk diikuti. Apalagi pidato Anwar Ibrahim, Mat Sabu, atau Anthony Loke dari Pakatan Harapan sangat keras menghantam Barisan Nasional, khususnya UMNO.

Kalau terlalu asyik nonton Youtube, main ponsel pinter ya tahu-tahu sudah tidur pulas. Data internet pun terkuras banyak.

Dan.. kita orang sudah lupa kebiasaan sembahyang malam sebelum tidur. Mea culpa! Mea maxima culpa! 

Kamis, 13 Oktober 2022

Bekas Bankgebouw Nuts Spaarbank di Pojok Jalan Karet

Bangunan tua di pojok Jalan Karet Nomor 85 itu tampak kusam. Begitu juga Nomor 83. Bangunan kolonial itu dekat Sungai Kalimas, tepat di stren kali sebelah barat. Nyaris dempet Jembatan Merah.

Tempo doeloe zaman Hindia Belanda gedung apa?

Saya sering bertanya ke orang-orang lawas yang kerja di Kembang Jepun. Termasuk beberapa wartawan Jawa Pos era 80-an yang ngantor di Kembang Jepun 167-169. Hanya berjarak sekitar 50 meter saja. Tapi tak ada yang tahu persis.

"Jelas bangunan penting lah," kata Cak Sur, karyawan Jawa Pos sejak 1982 sampai pensiun di musim pandemi covid.

 "Kita gak punya catatan atau dokumen. Anda cari sendirilah." 

Umi Bangkalan yang kerja di pojokan Jalan Karet pun tak oneng (tahu). Padahal umi ini kerja di kawasan Karet dan Kembang Jepun sejak awal 80-an hingga berpulang di musim covid. Anaknya, Taufik, lebih tak oneng lagi.

Saya beberapa kali mampir dan ngobrol dengan karyawan di Jalan Karet 85. Tak oneng juga. Mas Jowo ini hanya tahu bangunan itu punya sejarah penting. Kantor dagang atau notaris atau advokat tempo doeloe.

Sudah lama gedung di pojok Jalan Karet 85 ditempati Daiki & Co, kantor ekspedisi. Daiki pernah jaya tempo doeloe tahun 1950-an dengan laopan Liem Joe Tjie. Luar biasa dulu pengiriman barang-barang atau dokumen ke kota-kota di Nusantara.

Sekarang Daiki hanya melayani ekspedisi jarak pendek macam Surabaya-Malang. Sudah turun kelas jadi skala UKM dari perusahaan besar. Karena itu, gedungnya kurang terawat. Banyak debu di dalam kantor itu.

Apa ada rencana dijual? 

"Waduh, bosnya gak mau karena semacam warisan sejak dulu kala," kata Mas Jowo. Meskipun bisnis ekspedisi lesu betul di era pandemi, Daiki tetap mencoba bertahan di gedung tua itu.

Sebelum menempati Karet 85, kantor Daiki & Co menempati gedung di Jalan Petjinan Kulon 102. Hanya beberapa langkah dari kantor sekarang. Gedung lama itu kemudian diambil alih perusahaan ekspedisi dan perkapalan terkenal Salam Pacific Indonesia Lines alias SPIL.

"Malah dulu Daiki ini satu kantor dengan SPIL," kata karyawan Daiki.

Bagaimana dengan gedung di sebelahnya, Karet 83? 

Sekarang jadi semacam sekretariat perkumpulan lansia suku Hakka. Sesekali mereka adakan pertemuan atau kongkow-kongkow di situ.

Tak heran, gedung tua di Karet 83 Surabaya itu seperti rumah tinggal biasa. Ada jemuran terlihat di lantai 2. Penghuninya baba Tionghoa dan istrinya yang sudah tua.

Sayang, baba ini juga tidak banyak tahu riwayat gedung itu pada zaman Belanda. "Yang penting, kita orang tetep sehat," kata baba itu suatu ketika.

Syukurlah, Bintoro Hoepoedio sempat bagi informasi di grup bangunan tempo doeloe. Ia tampilkan foto lama dengan keterangan: 

"Dulu, Bankgebouw Nuts Spaarbank Soerabaja, ca 1925.  Kini, bangunan di Jl Karet - Jl Kembang Jepun, Surabaya, bagian kanan tinggal separuh, jadi jalan inspeksi."

Ouw.. ternyata itu bangunan jadi kantor bank di era Hindia Belanda.

Tahun 1950-an bangunan di Petjinan Kulon 83 (sekarang Jalan Karet 83) ditulis di buku telepon sebagai kantor Advocaat & Procurreur a.n. Tjoa Soe Tjen.

Senin, 10 Oktober 2022

Teman Punya Anak Mati di Stadion Kanjuruhan

Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Malang, menelan korban tewas 130 orang. Itu versi polisi dan pemerintah. Versi lain di media sosial bisa lebih banyak dari angka itu.

Nasi sudah jadi bubur. Yang mati tidak akan hidup lagi. Tim investigasi sedang bekerja kumpulkan informasi dan data dari banyak pihak.

Yang bikin saya tak habis pikir: pemerintah daerah, kepolisian, tentara dsb sepertinya lupa bahwa pandemi covid masih ada. Stadion Kanjuruhan dibuka lebar-lebar seakan tak ada covid. Bahkan lebih parah ketimbang sebelum ada penyakit aneh yang disebut covid itu.

Jumlah penonton di dalam Stadion Kanjuruhan lebih dari 100 persen. Belum lagi ribuan orang di luar stadion saat Arema vs Persebaya. Orang Ngalam, khususnya forkopimda, lupa dengan covid.

Di masa pandemi, saat ini, mestinya penonton bola dibatasi. Paling banyak 70 persenlah. Tidak boleh kapasitas penuh. Apalagi sampai 150 persen kayak di Kepanjen itu.

Sambil mikir covid dan pertandingan bola, tiba-tiba datang pesan WA dari Gabriel Hokon. Teman lama satu kelas di SMAN 1 Larantuka itu bilang ada orang Flores Timur jadi korban di Kanjuruhan. Oh, Tuhan! 

"Korban meninggal di antaranya anak teman kita Daniel Doweng Kumanireng dan pacarnya. Sudah dimakamkan," tulis Gabriel yang tinggal di kawasan Kenjeran.

Daniel Doweng.. sudah 30-an tahun tidak ketemu. Saya cuma satu tahun sekelas di A1-1 - jurusan fisika di SMAN satu-satunya di Kabupaten Flores Timur itu. Setelah itu saya merantau ke Jawa. Minggat ke Malang dan seterusnya.

Daniel menyusul setelah tamat SMAN 1 Larantuka. Begitu juga Gabriel. Tapi kami tak pernah ketemu muka. Bahkan, saya tidak pernah tahu bahwa Daniel sudah lama jadi dosen di Malang. Dan.. gila bola, khususnya Arema FC - seperti saya dulu gila Arema Galatama di Stadion Gajayana.

Hobi nonton sepak bola itu kemudian menurun ke Philip, anaknya. Pemuda itu (hampir) selalu nonton Arema bertanding di Kanjuruhan. Bersama pacarnya yang juga Aremanita. 

Begitulah kalau orang terlalu fanatik. Fanatik bola, fanatik capres, fanatik ormas, fanatik agama dsb! 

"Kalau fanatik di kampung paling hanya baku pelungku terus bubar. 
Di sini gas airmata, diinjak sampe mati," kata kawan Gabriel yang asli Tanjung Bunga, dekat Larantuka, itu.

Nasi sudah jadi bubur.
Philip sudah pulang bersama 130 suporter Arema lainnya.

Semoga semuanya bahagia di surga.

Semoga Tragedi Kanjuruhan menjadi titik balik mereformasi tata kelola sepak bola di Indonesia. Jangan ada lagi nyawa-nyawa melayang hanya karena sepak bola. 

212 Tahun Gereja Kepanjen, Paroki Kelsapa Surabaya

Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria  (Kelsapa), Surabaya, baru saja merayakan hari jadi ke-212. Dua abad lebih. Gereja di Jalan Kepanjen 9 ini disebut-sebut sebagai gereja katolik tertua di Surabaya. Mungkin tertua di Jawa Timur juga.

Tidak ada perayaan besar 212 tahun Paroki Kelsapa. Bukan hanya karena masih ada sisa-sisa pandemi covid, tapi memang itu sudah jadi kebiasaan umat Katolik di Indonesia. Pesta atau perayaan besar hanya digelar orang Katolik  lima tahun sekali alias Lustrum.

Pesta hari jadi paroki atau gereja hanya dirayakan pada ulang tahun kelipatan lima. Misalnya, ulang tahun ke-50, 55, 70, 75, 100, 200, 205, 210, 215, dst. 

"Terlalu capek, buang energi, buang duit, kalau dirayakan tiap tahun," kata seorang pater tua yang sudah tiada. 

Perayaan ekaristi atau misa HUT ke-212 Paroki Kelsapa Surabaya dipimpin Romo Martinus Paryanto, CM. Saya ikut misa daring alias live streaming - habitus baru sejak awal pandemi covid. 

Saya lihat banyak jemaat mengenakan busana adat Nusantara. Orang-orang Flores, NTT, tak ketinggalan memakai busana tenun ikat khas Flores, Lembata, Adonara, Solor, Timor dsb.

Sejak dulu Gereja Kepanjen memang jadi jujukan perantau-perantau asal NTT yang katolik untuk misa mingguan. Maklum, dulu perhubungan hanya mengandalkan kapal-kapal kayu yang sandar di Kalimas. Kos-kosan atau kontrakan orang NTT (dulu) pun hampir semuanya di kawasan Surabaya Utara. 

Gerejanya ya cuma di Kepanjen ini. Belum ada Paroki Santo Mikael di Jalan Tanjung Sadari yang kini digembalakan imam-imam SDB alias Selesian itu. Juga belum ada paroki di Pogot, dekat Kedungcowek, dan Paroki Marinus Yohanes di Kenjeran Perum AL.

Maka, saya dulu pun pertama kali misa di Surabaya ya di Gereja Kepanjen yang legendaris itu. Orang-orang Flores dan Lembata dulu saya lihat sudah banyak sekali. Jadi dirigen, paduan suara, pastor, lektor, pengurus lingkungan, hingga juru parkir. 

Setiap kali lewat di kawasan Indrapura, kita orang biasanya mampir ke Jalan Kepanjen. Ngombe es teh, mangan mi, di depan gereja lalu masuk untuk sembahyang tasbeh alias doa rosario meski sering tidak genap 5 peristiwa. Apalagi di bulan Oktober yang disebut bulan rosario ini. 

Selamat hari jadi ke-212 Paroki Kelsapa Surabaya.

Berkah Dalem.

Kamis, 06 Oktober 2022

Ikut senang teman sekelas jadi jenderal


Kanca lawas, teman sekelas di Mitreka Satata Malang, ternyata sudah bintang satu. Kepala Pusat Perbekalan dan Materiil TNI Angkatan Udara alias Kapusbekmatau Marsma TNI Nur Surachman. 

Ah, Ayas jadi sungkan dengan Nur. Biasanya panggil nama saja tanpa kata sandang Mas, Sam, Cak.. sekarang kudu sapa Pak Nur, Pak Komandan, Siap Ndan... 

Lama nian Ayas tidak bertemu muka dengan Nur dan kawan-kawan sekelas di Smansa, A1-3,  tempo doeloe. Ayas pun tak pernah ikut reuni, jalan sehat, anjangsana, halal bihalal dsb. Juga baru dimasukkan grup oleh Heru dan Edwin yang jadi admin.

Karena itu, Ayas tidak mengikuti perkembangan karir kanca-kanca lawas. Ayas cuma tahu yang dekat-dekat saja macam Ipong yang juragan kafe di Klojen dan Ijen. Begitu juga Edwin dan Jokpram di Jakarta.

Pekan lalu, Ayas iseng-iseng baca berita di laman TNI AU. Ada nama Nur Surachman, pangkat marsma. Nur dari Ngalam? Yang pendiam dan sopan itu? Jadi pati TNI?

Luar biasa!

 Saat di Smansa, Nur ini bukan tipe siswa yang punya bakat jadi tentara. Kurang suka main basket atau olahraga lain. Beda dengan Jokpri atau Yanuar yang main basket saban hari.

 Badannya pun tidak kekar dan berotot. Beda dengan Jokpram, Yanuar, Tanuki, yang atletis. Karena itu, Ayas tidak menyangka Nur menempuh jalur militer hingga jenjang yang tinggi.

Ayas ikut senang Nur sudah jadi jenderal bintang satu.  Selamat! 

Dirgahayu TNI.